Thursday, August 16, 2007

TKI DAN PROBLEM KLASIK PERBURUHAN

TKI DAN PROBLEM KLASIK

PERBURUHAN

Oleh Ali Musthofa


Akhir-akhir ini media massa cetak dan elektronik gencar memberitakan ratusan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) eksodus dari negeri jiran, Malaysia. Mereka eksodus meninggalkan Malaysia dengan dihinggapi rasa takut yang luar biasa terhadap hukuman denda, cambuk, dan penjara. Pasalnya, UU Keimigrasian Malaysia tahun 2002—yang mengenakan hukuman denda, cambuk, dan penjara terhadap Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk dan bekerja secara ilegal di Malaysia—segera diberlakukan.

Hingga menjelang batas waktu terakhir (tanggal 31 Agustus 2002) yang diberikan pemerintah Malaysia terhadap TKA ilegal agar segera meninggalkan Malaysia, masih tersisa sekitar 80 ribu dari 480 ribu TKI ilegal yang terkatung-katung di negeri jiran itu. Mereka terdiri dari kaum laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Sebagian di antaranya memasuki penjara-penjara Malaysia dengan tangan diborgol dan berwajah sayu tanpa pembelaan. Di penjara, mereka tentu menderita lantaran harus berhadapan dengan hukuman cambuk dan denda yang harus dibayar. Padahal belum tentu di antara mereka ada yang upahnya dibayar oleh para majikanya. Sementara itu, mereka yang berhasil lolos dari kejaran penjara harus berdesak-desakan mulai dari kapal pengangkut hingga tenda-tenda penampungan. Sebagian di antaranya juga dilaporkan ada yang mati tanpa ada yang menangisi.

Derita TKI ilegal adalah cermin dari akumulasi penderitaan diri dan negara sepanjang hampir lima tahun ini. Sejak pertengahan 1997 hingga tahun 2002, Indonesia dihajar oleh krisis multidimensi yang tak kunjung berakhir dan dipermalukan dengan apa yang diperbuatnya sendiri. Namun, yang paling menderita akibat hajaran itu dan selalu disalahkan adalah mereka yang papa; bukan pejabat atau wakil rakyat yang bergaji puluhan juta. Sungguh ironis, ada negara yang doyan devisa tapi justru menelantarkan pahlawannya. Bukankah TKI adalah pahlawan devisa dan sumber rezeki bagi siapa pun yang terlibat mengurusinya? Sebab, berapa pun besarnya pelayanan negara terhadap TKI selama ini pada faktanya belum pernah ada yang gratis. Bahkan, TKI sering menjadi obyek eksploitasi; mulai dari proses keberangkatannya ke negara yang akan di tuju hingga kepulangannya ke alam baka sekalipun.

Tidakkah kita perlu belajar dari pemerintah Filipina yang pada tahun 1995 mati-matian membebaskan Flor Contemplation—seorang warga negaranya yang bekerja sebagai TKW di Singapura—yang nyaris mati ditiang gantungan lantaran dituduh melakukan pembunuhan terhadap rekannya seprofesi (Republika, 27/03/1995). Reaksi pemerintah dan rakyat Filipina ketika itu sangatlah maksimal hingga sempat meruncingkan hubungan diplomatik dengan kedua negara ASEAN tersebut. Demikian juga ketika TKA asal Filipina kini menghadapi masalah yang sama di Malaysia. Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo melakukan langkah-langkah proaktif; ia tampil dengan sigap membela warga negaranya mulai dari menelepon PM Malaysia Mahatir Mohammad agar menghentikan pemulangan TKA asal Flipina, menjemput langsung mereka yang datang, dan melalui stasiun TV nasional dengan nada sedih ia menyeru kepada rakyat Filipina agar membantu saudara-saudara mereka yang bernasib kurang baik tersebut (Media Indonesia, 03/09/2002). Sebaliknya, sikap pemerintah dan rakyat Indonesia justru sebaliknya; mengambil peran yang cenderung minimalis jika tidak mau disebut pasrah bahkan terkesan masa bodoh. Ini bisa dilihat dari lawatan Presiden Megawati ke luar negeri yang tak dapat dicegah, meski diteriaki oleh berbagai kalangan di dalam negerinya agar berkonsentrasi mengurusi TKI dan pemulihan ekonomi. Hal yang sama juga dilakukan oleh para wakilnya di gedung MPR/DPR. Di tengah teriakan dan tangis anak-anak TKI yang ketakutan, kedinginan, dan kelaparan yang mengancam jiwanya, para wakil rakyat malah ‘mendengkur’ di ruang sidang tahunan MPR 2002 yang lalu. Padahal, rakyat membayar mereka 2 miliar dalam sehari sidang.

Beberapa Penyebab Masalah TKI

Sesungguhnya buruh migran yang kini disebut dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sudah ada sejak tahun 1972. Menurut Abdul Chalid (Kompas, 28/08/2002), para buruh migran awalnya bekerja sebagai pekerja kebun akibat keberhasilan agroindustri, terutama kebun sawit dan karet. Dalam perkembangannya, buruh migran merambah pekerjaan lain semacam kuli bangunan, pembantu rumah tangga, pelayan restoran, dan pekerjaan-pekerjaan sektor informal lainnya. Sebagian besar dari mereka—kebanyakan berasal dari Sumatera—diberi surat izin tinggal tetap. Penduduk setempat kemudian bersimpati dengan mereka karena tergolong pekerja yang rajin, tekun, dan ulet.

Ketika booming ekonomi menerpa Malaysia pada dekade 1980-an dan 1990-an, buruh migran terus berdatangan dari pelosok Jawa dalam jumlah banyak. Di antara mereka ada sedikit yang diberi surat izin tinggal tetap. Namun, sayang permohonan surat izin tinggal tetap itu kemudian ditutup pada tahun 1992 hingga sekarang. Ditutupnya permohonan tersebut merupakan desakan dari para pejabat yang beretnik Cina dan India. Mereka menganggap kebijakan pemberian izin tinggal tetap itu sebagai taktik untuk memenangkan kelompok Melayu dalam percaturan politik di Malaysia. Bagi mereka yang tidak mempunyai surat izin tinggal tetap itu dibuat permit kerja. Meskipun demikian ada juga yang berstatus ilegal.

Menurut data Depnaker, dalam waktu setahun, paling tidak, terdapat 2 juta TKI— baik laki-laki maupun perempuan—dikirim ke luar negeri (Asia Tenggara, Asia Timur, Timur Tengah, dan sebagainya). Jumlah sebesar itu adalah TKI yang dikirim melalui jalur resmi alias legal, sementara yang tidak legal sulit untuk dikontrol sehingga cenderung sulit untuk menghitung jumlahnya (Sri Kusyuniati; Kompas, 04/08/2002). Menurut Mahatir Mohammad, jumlah TKA di Malaysia mencapai 10 persen dari 24 juta penduduk Malaysia. Sebagian besar adalah TKI yang pada tahun 2002 ini mencapai hampir 1 juta orang. Sebagian dari TKI itu berstatus legal (memiliki izin kerja, paspor, dan surat resmi lainnya), sementara sisanya (480 ribu) berstatus ilegal (Kompas, 01/09/2002).

Munculnya kekisruhan soal TKI ilegal yang dewasa ini terus menyesaki ruang publik itu di antaranya disebabkan karena: Pertama, terus merosotnya simpati penduduk Malaysia terhadap prilaku TKI—yang semula dikenal sebagai pekerja yang tekun, ulet, dan rajin—dan bergeser menjadi sebaliknya. Pergeseran ini terjadi dalam waktu yang cukup lama karena: (a) Para TKI berhasil memperbaiki taraf hidupnya sehingga tidak jarang mampu melampaui taraf hidup penduduk setempat sehingga menimbulkan kecemburuan. (b) Di antara TKI yang melanggar garis agama-budaya, misalnya TKI ada yang mau bekerja pada penduduk setempat yang non-Muslim baik sebagai pembantu rumah tangga (PRT) maupun pelayan restoran Cina dan India. Bagi penduduk setempat yang Muslim, hal ini dianggap ‘aib’ karena tipisnya garis pemisah antara agama dan budaya. Oleh karena itu, TKI yang melanggar garis ini dianggap bukan lagi saudara serumpun. (c) Di antara para TKI ada yang terlibat dalam tindak kriminilitas seperti pencurian, perampokan, dll. Akibat pelanggaran-pelanggaran itulah, dalam jangka panjang, terus menggerogoti simpati penduduk setempat terhadap TKI.

Kedua, pertumbuhan populasi TKI yang terus membesar hingga mencapai hampir 1 juta (980 ribu) mengundang kecemasan penduduk setempat, terutama dari etnis Cina dan India. Maklum, jumlah TKI plus TKA (2,5 juta) telah mencapai lebih kurang 10 persen penduduk Malaysia yang berjumlah lebih-kurang 24 juta jiwa. Kecemasan ini dapat dibaca dari sikap pemerintah Malaysia yang menutup permohonan izin tinggal tetap TKI sejak tahun 1992 hingga sekarang. Ditutupnya permohonan tersebut karena desakan dari para pejabat yang beretnik Cina dan India. Mereka menganggap kebijakan pemberian izin tinggal tetap itu sebagai taktik untuk memenangkan kelompok Melayu dalam percaturan politik di Malaysia.

Ketiga, masalah TKI juga dipengaruhi oleh pergeseran konfigurasi kultural pejabat Malaysia saat ini. Kebetulan pejabat-pejabat Malaysia saat ini banyak yang berasal dari bagian utara Semenanjung seperti Kedah, Perlis, Kelantan, dan Trengganu yang secara kultur mereka lebih dekat dengan suku Patani di Thailand Selatan. Negeri-negeri di selatan seperti Perak, Pahang, Selangor, Johor, Negeri Sembilan, dan Malaka sebagian besar berasal dari suku Jawa, Bugis, Banjar, dan suku-suku lain di Sumatera yang berdatangan pada awal abad ke-20. Karena latar belakang sejarah yang demikian, wajar jika kebijakan pemerintah Malaysia kurang berpihak kepada TKI. Seandainya pejabat-pejabat penting Malaysia banyak berasal dari kawasan selatan Semenanjung mungkin penyelesaian masalah yang dihadapi TKI saat ini akan berbeda lantaran ada kesamaan kultur (Abdul Chalid; Kompas, 28/08/2002).

Keempat, masalah TKI merupakan refleksi dari kekesalan pemerintah Malaysia terhadap pemerintah Indonesia yang dianggap ‘lamban’ dalam membaca sinyal Malaysia dalam soal TKA; juga refleksi dari ‘ketidakcakapan’ pemerintah Indonesia dalam mengurus warganya yang sering membuat masalah selama bekerja di Malaysia. Mahatir yang pada Oktober 2003 mendatang akan menyerahkan jabatan PM—nya kepada Deputi PM Datuk Sri Abdullah Ahmad Badawi tampaknya tidak mau ‘ternodai’ akhir perjalanan politiknya dengan masalah TKA/TKI ilegal yang dicemaskan sebagian besar rakyatnya. Oleh karena itu, Mahatir memberlakukan UU Keimigrasian dan telah disosialisasikan sejak enam bulan yang lalu, bahkan rencana itu telah disampaikan langsung kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Jacob Nuwa Wea untuk segera diantisipasi dengan baik oleh Pemerintah Indonesia.

Problem Klasik Perburuhan

Sebagai dampak dari kelambanan sikap pemerintah dalam mengantisipasi sinyal Malaysia menyangkut TKA/TKI ilegal tersebut kini TKI menjadi korban. Mereka yang terusir dari negeri jiran itu dan berdatangan ke Tanah Air menambah barisan pengangguran dan kaum miskin di Indonesia yang jumlahnya telah mencapai puluhan ribu hingga ratusan juta orang akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Indonesia memiliki jumlah penduduk miskin tidak kurang dari 100 juta orang, pengangguran mencapai 40 juta orang, pemuda putus sekolah mencapai 4,5 juta orang, dan jutaan lagi mengalami malnutrisi. Sepanjang krisis ekonomi yang kini telah berganti menjadi krisis multidimensi itu tercatat peningkatan angka kriminalitas hingga mencapai 1000 persen, angka perceraian meningkat hingga 400 persen, dan angka penghuni rumah sakit jiwa akibat depresi meningkat hingga mencapai 300 persen.

Peningkatan angka-angka tersebut dapat dimengerti; betapa sebagian besar rakyat Indonesia sesungguhnya tengah mengalami laju 'depresiasi kehidupan yang dipercepat'. Berbagai upaya pemerintah melalui apa yang disebut dengan pemulihan ekonomi dan program-program peningkatan kesejahteraan rakyat, termasuk kesejahteraan buruh, hingga menghabiskan dana APBN ribuan triliun rupiah sepanjang krisis ini beerlangsung patut dipertanyakan. Sebab, program-program tersebut sepertinya kandas tidak berbekas. Sementara itu, masalah yang menyelimuti buruh, misalnya, tetap berputar pada problem klasik, yakni: Pertama, tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai yang dapat menyerap barisan pengangguran dalam jumlah banyak. Ini di antaranya karena program-program pemulihan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat masih belum sepenuhnya berbasis pada sektor real. Kebijakan pemulihan ekonomi masih berkutat pada sektor non-real yang sangat 'rigid' dalam menyerap tenaga kerja.

Kedua, rendahnya daya serap lapangan kerja mengakibatkan tingginya penawaran pekerja pada pasar tenaga kerja sehingga memperlemah daya tawar pekerja dalam menentukan upah yang harus diterimanya. Sementara itu, di sisi lain permintaan terhadap tenaga kerja yang ber-skill juga kerap tidak terpenuhi karena rendahnya skill yang dimiliki oleh kebanyakan tenaga kerja Indonesia. Jadilah mayoritas tenaga kerja Indonesia (TKI), terutama yang bekerja di luar negeri, selalu menghuni lapisan periferal. Sebagai contoh, mereka yang bekerja di Malaysia mayoritas bekerja sebagai buruh bangunan, buruh perkebunan, pelayan restoran, pembantu rumah tangga, dan sebagainya. Meski TKI yang bekerja di Malaysia itu terkenal rajin, tekun, dan ulet, namun karena posisinya yang periferal, mereka tetap rapuh sehingga mudah terusir, tereksploitasi, dan terancam berbagai bentuk penganiayaan.

Ketiga, rendahnya daya tawar tenaga kerja membuka terjadinya eksploitasi terhadap pekerja. Pekerja, misalnya, senantiasa tertekan dengan upah yang rendah atau bahkan tidak dibayar selama berbulan-bulan dengan alasan perusahaan sedang mengalami krisis keuangan. Kasus ini terjadi, misalnya, pada TKI yang bekerja di Sabah Softwood Bhd—perusahaan kayu terbesar di sabah itu—tidak membayar gaji TKI hingga 9 bulan. Alasannya, para importir di Jepang, AS, dan Eropa belum membayar sehingga perusahaan mengalami krisis keuangan. Perusahaan tersebut menggaji TKI rata-rata RM 350 perorang perbulan. Gaji itu secara rutin harus dipotong setiap bulannya dengan syarat yang ditetapkan perusahaan, misalnya untuk pajak dipotong sebesar RM 360/tahun, izin kerja RM 60/tahun, penerbitan paspor RM 10/tahun, kesehatan RM 200/tahun (perempuan), dan RM 180/tahun (laki-laki), serta uang simpanan sebesar 11 persen kali total gaji (Kompas, 01/09/2002). Jika ditotal, potongan gaji TKI oleh perusahaan mencapai RM 1092/tahun sedangkan total pendapatannya mencapai RM 4200/tahun. Artinya, setiap tahunnya TKI seharusnya memiliki sisa untuk bekal hidup sebesar RM 3108. Dilihat dari komponen potongan yang demikian, tidak ada alasan bagi TKI untuk dikatakan ilegal karena aspek legalitas sebenarnya telah dianggarkan setiap tahun oleh perusahaan yang bersangkutan. Demikian juga uang pesangon yang harus diterima TKI manakala sewaktu-waktu terjadi penggeledahan, penangkapan, dan pemulangan yang bermuara pada PHK seperti yang saat ini terjadi.

Keempat, dalam melaksanakan fungsinya, pengusaha kerap mendapatkan tekanan dari pemerintah; semisal pengusaha selalu dibebani dengan berbagai pungutan pajak dan retribusi. Apalagi pada era otonomi sekarang ini, ‘pungutan resmi dan tidak resmi’ tampaknya telah menjadi keniscayaan. Banyaknya pungutan tersebut menimbulkan cost yang tinggi sehingga jika pengusaha hendak untung, ia terpaksa harus memeras pekerjanya dengan upah rendah. Masalah akad kerja yang rusak ini disebabkan karena masih rendahnya kadar pemahaman pemerintah, pengusaha, dan pekerja mengenai: (1) akad kerja; (2) upaya pemenuhan terhadap kebutuhan pokok. Munculnya demonstrasi pekerja yang menuntut dinaikannya Upah Minimum Propinsi (UMP) untuk kasus Indonesia adalah bukti terdistorsinya antar akad kerja dan upaya pemenuhan kebutuhan pokok. Padahal, akad kerja adalah transaksi ijârah (perburuhan) yang terjadi antara pekerja (ajir) dan yang mempekerjakan (musta’jir). Transaksi yang dibolehkan dalam Islam harus terjadi pada barang dan jasa yang halal. Transaksi pada barang disebut dengan jual beli sedangkan transaksi pada jasa terjadi pada jasa yang diberikan pekerja. Satuan yang mengukur besarnya jasa inilah yang disebut dengan upah. Besar kecilnya upah ditentukan oleh keridhaan kedua belah pihak (ajir-musta’jir). Sementara itu, pada upaya pemenuhan kebutuhan pokok, pada dasarnya Islam mewajibkan setiap individu yang mampu untuk memenuhinya sendiri. Manakala individu tersebut tidak mampu kewajibannya berpindah, mulai dari ahli warisnya hingga pada negara. Negara dalam hal ini berkewajiban mengupayakan pemenuhan kebutuhan pokoknya pada barang-barang tertentu (seperti pangan, sandang dan papan) dan pada jasa-jasa tertentu (seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan).

Kelima, adanya sekat-sekat geografis antara Malaysia dan Indonesi, sebagai negara bekas jajahan, membuat hubungan kedua negara ini—yang sejatinya menyatu dilihat dari segi agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk masing-masing—harus rela dibatasi secara kaku oleh instrumen legalitas semisal, paspor, visa, dan sebagainya. Kesamaan agama dengan akidah Islamnya sebagai faktor pengikat utama terkalahkan oleh ego nasionalisme yang dimiliki kedua negara. Komentar yang dikeluarkan Amien Rais (yang merasa terhina sebagai ‘bangsa’ di satu sisi) akibat pemberlakuan hukum cambuk dan sanggahan yang dikemukakan oleh Menlu Malaysia Syed Ahmad Al-Bar (yang merasa tersinggung juga sebagai 'bangsa' pada sisi yang lain) mencerminkan bahwa kedua negara telah melupakan hubungannya sebagai sesama negeri Muslim. Dalam konsep Islam, hubungan sesama negeri-negeri Muslim bukan didasarkan pada nasionalisme, tetapi pada akidah Islam, sehingga tidak perlu dibatasi oleh instrumen legalitas.

Peran Pemerintah

Masalah yang kini dialami TKI pada dasarnya adalah juga masalah bersama. Namun demikian, yang paling bertanggung jawab dalam masalah ini adalah pemerintah. Oleh karena itu, peran pemerintah yang cenderung minimalis harus didorong agar lebih maksimal dalam mengurus TKI ini. Sebab, apa pun statusnya, TKI adalah warga negara Indonesia juga yang berhak mendapat pelayanan negara secara memuaskan. Meski terhitung sangat terlambat, langkah Pemerintah Indonesia membuat nota kesepahaman (MoU) dengan Pemerintah Malaysia dalam masalah TKI—guna memudahkan mereka dalam mengurus legalitasnya agar memungkinkan bagi mereka yang sudah berstatus legal bisa kembali bekerja di Malaysia—adalah langkah yang memang seharusnya dilakukan jika pemerintah masih memiliki rasa tanggung jawab. Namun demikian, harus diakui bahwa keterlambatan pemerintah dalam mengambil langkah taktis dalam soal TKI ini menggambarkan rusaknya pelayanan publik yang dilakukan negara. Akibatnya, rakyat menjadi korban hukuman cambuk yang tak terhindarkan. Menurut Jaringan Relawan Nunukan (LSM) jumlah TKI yang meninggal telah mencapai 68 orang (Republika, 03/09/2002). Wallâhu a’lam. []

Ali Musthofa, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia, Ketua Yayasan Pengembangan Umat (YPU) Al-Bantany, tinggal di Banten.

No comments: