Monday, May 21, 2007

MENGENAL PROPAGANDA

Read More..

MENGENAL PROPAGANDA

"If you give a man the correct information for seven years, he may believe the incorrect information on the first day of the eighth year when it is necessary, from your point of view, that he should do so. Your first job is to build the credibility and the authenticity of your propaganda, and persuade the enemy to trust you although you are his enemy."
A Psychological Warfare Casebook, Operations Research Office,
Johns Hopkins University, Baltimore (1958)

Coba perhatikan sekali lagi kutipan dari A Psychological Warfare Casebook di atas. Katanya, kalau kita memberi seseorang informasi yang benar terus-terusan selama tujuh tahun, maka ia akan tetap percaya terhadap informasi yang kita berikan pada tahun ke delapan, meskipun informasi yang terakhir itu keliru. Katanya lagi, hal pertama yang harus kita perbuat adalah membangun kredibilitas dan autentisitas propaganda kita, lalu mengajak musuh agar percaya sama kita, meskipun nyatanya kita adalah musuhnya. Berkat propaganda, kita sulit membedakan mana lawan mana kawan. Itulah dahsyatnya propaganda.
Mendengar kata propaganda, biasanya kita langsung teringat Hitler. Ya, sosok Hitler identik sekali dengan propaganda. Ialah yang membuat propaganda naik ke pentas politik internasional. Ia juga yang membikin propaganda identik dengan kebohongan dan manipulasi. Padahal, dulunya, konon propaganda bertujuan mulia.
Menurut Nurudin (2001), secara etimologis propaganda berasal dari kata bahasa Latin propagare yang berarti cara tukang kebun menyemaikan tunas suatu tanaman ke sebuah lahan untuk memrpoduksi tanaman baru yang kelak akan tumbuh sendiri. Dengan kata lain juga berarti mengembangkan atau memekarkan (untuk tunas). Propaganda sebagai kata istilah tercatat digunakan pertama kali oleh Gereja Katolik Roma. Pada 1622, Paus Gregorius XV membentuk The Roman Catholic Sacred Congregation for the Propagation of the Faith (Sacra Congregatio Christiano Nomini Propagando atau singkatnya Propaganda Fide; diindonesiakan jadi Majelis Suci untuk Propaganda Agama). Propaganda Fide dibentuk untuk menyebarkan misi agama sekaligus mengawasi kegiatan misionaris agama Katolik Roma di Italia maupun di negara-negara lain. Alasannya, masyarakat yang tidak mengenal ajaran Katolik tidak akan pernah memeluk agama tersebut. Padahal tak kenal maka tak sayang. Karena itu harus ada usaha yang terorganisasi dari luar untuk memperkenalkan agama itu kepada masyarakat. Dengan begitu masyarakat akan mengetahui kemudian memeluk agama tersebut. Karena tujuannya untuk penyebaran agama, maka propaganda dinilai berkonotasi positif.
Saat itu, retorika adalah satu-satunya media propaganda. Propaganda dilakukan dengan hanya bermodalkan kemampuan olah wicara. Dengan diksi yang hebat, nada dan intonasi yang tepat, gestur dan gestikulasi yang memikat, seorang orator dapat mempengaruhi khalayak dengan cepat. Keadaan mulai berubah setelah terjadinya Revolusi Industri, terutama dengan keberadaan mesin cetak. Keberadaan mesin cetak membuat propagandis mampu menulis dan memperbanyak pesan-pesan propagandistik dalam bentuk pamflet dan poster. Selanjutnya, perkembangan teknologi informasi membuat propagandis memiliki semakin banyak alternatif media. Malah, kini media massa menjadi mesin propaganda yang trengginas.
Dalam perkembangannya, propaganda kemudian memperoleh konotasi negatif. Propaganda jadi identik dengan hal-hal buruk, seperti peneroran, penipuan, pembohongan, pemanipulasian, dan berbagai atribut jelek lain. Sosok yang dianggap layak dipersalahkan atas jasanya menegatifkan konotasi propaganda adalah Adolf Hitler.
Hitler percaya betul bahwa propaganda adalah alat yang vital untuk mencapai tujuan. Hitler rupanya sangat terkesan dengan kekuatan propaganda Sekutu, khususnya Inggris, dalam Perang Dunia I dan meyakini propaganda sebagai penyebab jatuhnya moral dan semangat juang tentara Jerman pada 1918. Bagi Hitler, propaganda tidak lebih dari sekadar alat untuk meraih tujuan. Segala cara halal dilakukan. Yang penting tujuan tercapai. Jelas, kejujuran dan kebenaran tidak pernah ada dalam kamusnya. Gara-gara Hitler, akhirnya propaganda menjadi identik dengan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan. Dan, itulah propaganda yang dipahami orang kebanyakan.
Tapi, sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan propaganda?

Definisi Propaganda

Mendefinisikan propaganda tampaknya bukan perkara mudah. Para pakar komunikasi saja tidak pernah mencapai kata mufakat dalam mendefinisikan propaganda. Hampir setiap pakar mempunyai definisi yang berbeda satu sama lain, meskipun di beberapa bagian terdapat kemiripan. Berikut ini adalah beberapa definisi propaganda yang dikemukakan oleh sejumlah pakar dan sumber. Sembilan definisi pertama diadaptasi dari Sastropoetro (1991: 21-34).
1. Encyclopedia International: ‘propaganda adalah suatu jenis komunikasi yang berusaha mempengaruhi pandangan dan reaksi, tanpa mengindahkan tentang nilai benar atau tidak benarnya pesan yang disampaikan’.
2. Everyman’s Encyclopedia: ‘propaganda adalah suatu seni untuk penyebaran dan meyakinkan suatu kepercayaan, khususnya suatu kepercayaan agama atau politik’.
3. Qualter: ‘propaganda is the deliberate attempt by some individual or group to form, control or alter the attitudes of other groups by the use of the instruments of communication with the intention that in any given situation the reaction of those so influenced will be that desired by the propagandist (= propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja oleh beberapa individu atau kelompok untuk membentuk, mengawasi atau mengubah sikap dari kelompok-kelompok lain dengan menggunakan media komunikasi dengan tujuan bahwa pada setiap situasi yang tersedia, reaksi dari mereka yang dipengaruhi akan seperti yang diinginkan oleh sang propagandis)'.
4. Laswell: ‘propaganda in broadest sense is the technique of influencing human action by the manipulation of representations (= propaganda dalam arti yang luas adalah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasi representasinya (representasi dalam hal ini berarti kegiatan atau berbicara untuk suatu kelompok))’.
5. Barnays: ‘modern propaganda is a consistent, enduring effort to create or shape events to influence the relations of the public to an enterprise, idea or group (= propaganda modern adalah suatu usaha yang bersifat konsisten dan terus-menerus untuk menciptakan atau membentuk peristiwa-peristiwa guna mempengaruhi hubungan publik terhadap suatu usaha atau kelompok)’.
6. Ralph D. Casey: ‘propaganda is the deliberate and conscious effort to fix an attitude or modify an opinion as it relates to a doctrine or program, and on the other hand, the conscientious effort of the agencies of communications to disseminate facts in a spirit of objectivity and honesty (= propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja dan sadar untuk memantapkan suatu sikap atau merupakan suatu pendapat yang berkaitan dengan suatu doktrin atau program dan di pihak lain merupakan usaha sadar dari lembaga-lembaga komunikasi untuk menyebarkan fakta dalam semangat objektivitas dan kejujuran)’.
7. Lindley Fraser: ‘propaganda may be defined as the activity, or the art, of inducing others to behave in a way which they would not behave in its absence (= propaganda dapat dirumuskan sebagai aktivitas atau seni mengajak atau menyebabkan orang lain berperilaku sedemikian rupa yang tidak akan dilakukan tanpa adanya propaganda tersebut)’.
8. Michael H. Prosser: ‘propaganda is the dissemination of a systematically planned and widely addressed presentation of a particular set of values or policies (= propaganda adalah suatu penyebaran sajian sejumlah nilai atau kebijakan tertentu yang disusun secara sistematis dan disampaikan secara luas)’.
9. Sastropoetro: “propaganda adalah suatu penyebaran pesan yang terlebih dahulu telah direncanakan secara seksama untuk mengubah sikap, pandangan, pendapat dan tingkah laku dari penerima sesuai dengan pola yang telah ditetapkan oleh komunikator”.
10. Leonard W. Doob (dari Nurudin, 2001: 10): ‘propaganda adalah usaha sistematis yang dilakukan oleh individu yang masing-masing berkepentingan untuk mengontrol sikap kelompok individu lainnya dengan cara menggunakan sugesti dan sebagai akibatnya mengontrol kegiatan tersebut’.
11. DOD Military Terms, Joint Doctrine Division, J-7, Joint Staff (DOD) "propaganda: Any form of communication in support of national objectives designed to influence the opinions, emotions, attitudes, or behavior of any group in order to benefit the sponsor, either directly or indirectly... (= propaganda: setiap bentuk komunikasi untuk mendukung tujuan nasional yang dirancang untuk mempengaruhi opini, emosi, sikap, atau perilaku setiap kelompok dalam rangka menguntungkan sponsor, baik secara langsung ataupun tidak langsung…)"
12. Political Dictionary, Fast Times, Inc.: “propaganda: a latin word that was first used by Pope Gregory XV in 1622, when he established the Sacred Congregation of Propaganda, a commission designed to spread the Catholic faith worldwide. Since then propaganda has taken on a much broader meaning, and refers to any technique, whether in writing, speech, music, film or other means, that attempts to influence mass public opinion... (= propaganda: sebuah kata Latin yang pertama kali digunakan oleh Paus Gregory XV pada 1622, ketika dia mendirikan Sacred Congregation of Propaganda, sebuah komisi yang dirancang untuk menyebarkan agama Katolik ke seluruh dunia. Sejak itu propaganda memiliki makna yang lebih meluas, dan mengacu pada setiap teknik, apakah itu dalam kepenulisan, pembicaraan, musik, film, ataupun sarana-saranan lain, yang berusaha mempengaruhi opini publik masyarakat)”.
13. Columbus dan Wolf (Pengantar Hubungan Internasional, hal. 184): ‘propaganda sering diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seorang komunikator yang bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku penduduk yang menjadi sasarannya melalui simbol-simbol verbal, tulisan, dan perilaku, dengan menggunakan media seperti buku-buku, pamflet, film, ceramah, dan lain-lain. Propaganda merupakan salah satu metode standar yang digunakan negara untuk mengamankan, memelihara, dan menerapkan kekuasaan dalam rangka memajukan kepentingan nasionalnya’.
14. Wikipedia: “In the broad sense of the term, propaganda is information that serves a particular agenda, which could be true or false. If true, it may be one-sided and fail to paint a complete picture. In a narrower and more common use of the term, propaganda refers to deliberately false or misleading deceptive information that supports a political cause or the interests of those in power. In an even narrower, less commonly used but legitimate sense of the term, propaganda refers only to false information that is meant to reassure people who already believe. The assumption is that, if people believe something that is false, they will constantly be assailed by doubts. Since these doubts are unpleasant, people will be eager to have them extinguished, and are therefore receptive to the reassurances of those in a position of authority. For this reason propaganda is often addressed to people who are already sympathetic to the agenda (= Dalam arti luas, propaganda adalah informasi yang memiliki agenda tertentu yang bisa benar bisa juga keliru. Jika benar, bisa jadi ia bersifat sepihak dan tidak memberikan gambaran yang seutuhnya. Dalam arti yang lebih sempit dan yang lebih sering digunakan, propaganda mengacu pada informasi yang secara sengaja salah, menyesatkan atau menipu yang mendukung suatu perkara politik atau kepentingan pihak yang berkuasa. Dalam arti yang lebih sempit lagi, dan lebih jarang digunakan namun masih memiliki makna yang sah, propaganda mengacu hanya pada informasi keliru yang dimaksudkan untuk menenangkan orang-orang yang sebelumnya sudah percaya. Asumsinya adalah, jika orang percaya sesuatu yang salah, dia akan terus-menerus diserang keraguan. Karena sesuatu yang meragukan adalah hal yang tidak menyenangkan, orang ingin menghilangkannya, dan oleh karena itu bersikap reseptif terhadap ketenangan yang diberikan oleh mereka yang punya otoritas. Atas dasar hal ini propaganda sering ditujukan kepada orang-orang yang sebelumnya sudah bersimpati kepada agenda propagandis)”.
15. International Encyclopedia of the Social Sciences (1968): propaganda is the relatively deliberate manipulation by means of symbols (words, gestures, flags, images, monuments, music, ets.), of other people’s thoughts or actions with respect to beliefs, values, and behaviors which these people (“reactors”) regard as controversial (= Propaganda adalah upaya sengaja untuk memanipulasi pemikiran dan perbuatan orang lain berkaitan dengan keyakinan, nilai, dan perilaku yang oleh orang tersebut dianggap kontroversial, dengan menggunakan simbol-simbol (kata, gestur, bendera, gambar, monumen, musik, dll.)).
16. Encyclopaedia Britannica (2002): propaganda is more or less systematic effort to manipulate other people’s beliefs, attitudes, or actions by means of symbols (words, gestures, banners, monuments, music, clothing, insignia, hairstyles, design on coins and postage stamps, and so forth). Deliberateness and a relatively heavy emphasis on manipulation distinguish propaganda from casual conversation or the free and easy exchange of ideas (= kira-kira propaganda adalah upaya sistematik untuk memanipulasi keyakinan, sikap, atau tindakan orang lain dengan menggunakan simbol-simbol (kata, gestur, bendera, monumen, musik, pakaian, lambang, gaya rambut, disain uang dan perangko, dan semacamnya). Unsur kesengajaan dan manipulasi membedakan propaganda dari percakapan sehari-hari atau pertukaran gagasan secara bebas dan mudah).
17. Encyclopedia Americana (2001): propaganda is any systematic attempt to influence opinion on a wide scale primarily by symbolic means. It is a form of communication that seeks to promote or discourage attitudes as a means of advancing or injuring an organization, an individual, or a cause. Propaganda proceeds by deliberate plan for calculated effects. It usually addresses a mass audiensce through mass media, or special audiences and media that provide access to mass opinion. The manipulation of symbols – words and pictures and other signs and images – is the essence of propaganda (=Propaganda adalah setiap upaya sistematik untuk mempengaruhi opini secara luas dengan menggunakan simbol-simbol. Propaganda adalah bentuk komunikasi yang berusaha mempromosikan atau mencegah sikap sebagai alat untuk memajukan atau merugikan suatu organisasi, seorang individu, atau maksud tertentu. Propaganda dilakukan berdasarkan suatu rencana dengan pengaruh yang sudah diperhitungkan. Propaganda biasanya ditujukan kepada khalayak luas melalui media massa, atau khalayak dan media tertentu yang memberi akses terbentuknya opini umum. Inti dari propaganda adalah manipulasi simbol – kata dan gambar dan tanda dan citra lain).
Dari seabreg definisi di atas, kita lihat ada yang memandang propaganda secara netral dan ada yang melihatnya sebagai praktik kotor. Definisi yang taat asas pada ilmu komunikasi cenderung menganggap propaganda sebagai metode komunikasi, sehingga menganggap propaganda murni sebagai alat. Artinya, ‘hukum asalnya’ adalah netral. Definisi ini bisa disebut definisi normatif. Menurut definisi ini, propaganda tidak bisa dinilai baik atau buruk. Definisi kedua lebih melihat propaganda dari segi keumuman praktik di lapangan. Berdasarkan keumuman, propaganda terkait dengan manipulasi, kebohongan, dan semacamnya. Definisi semacam ini dapat disebut definisi empiris.
Secara keilmuan propaganda termasuk dalam disiplin ilmu komunikasi. Dalam peta ilmu komunikasi, propaganda termasuk ke dalam metode komunikasi (lih Effendy, 2002: 6-9). Metode berarti cara. Dalam hal ini propaganda merupakan suatu cara penyampaian pesan. Sebagai sebuah cara, propaganda dianggap sekadar alat, sehingga ia bersifat bebas nilai. Masalah baik-buruknya alat itu ditentukan oleh faktor lain, yaitu penggunaan alat tersebut.
Pisau sering dipakai untuk menunjukkan bagaimana suatu alat yang sama bisa dianggap baik atau buruk. Di tangan seorang koki, pisau akan dianggap baik karena difungsikan sebagai alat dapur. Di tangan seorang pembunuh, pisau yang sama akan dianggap jelek karena digunakan sebagai alat pencabut nyawa orang. Pisaunya sama, penggunaannya berbeda. Penggunaan alat yang sama secara berbeda itulah yang akan menghasilkan penilaian yang berbeda terhadap alat tersebut. Perbedaan itu mewujud dalam bentuk tujuan, kalau tujuannya baik maka nilainya baik.
Dengan kata lain, ilmu komunikasi ingin mengatakan bahwa propaganda adalah alat. Sebagai alat, propaganda bisa digunakan oleh siapa saja dengan tujuan apa saja dan caranya terserah. Siapa yang menggunakan dengan tujuan apa dan cara yang terserah itulah yang akan menentukan baik-buruknya propaganda. Propaganda yang dilakukan demi kemaslahatan umat akan dianggap sebagai propaganda yang baik. Misalnya propaganda antinarkoba (narkotika dan obat-obat terlarang) akan dianggap propaganda yang baik. Atau propaganda berantas KKN (korupsi-kolusi-nepotisme). Secara naluriah semua orang akan mengatakan propaganda dalam dua masalah itu baik. Tapi semua orang juga akan menganggap propaganda yang dilakukan Amerika Serikat ketika menyerang Afghanistan dan Irak sebagai propaganda yang buruk.

Unsur-unsur Propaganda

Sebagai metode komunikasi, unsur-unsur propaganda tentu saja mengikuti unsur-unsur komunikasi. Dengan demikian komponen propaganda merupakan turunan dari komponen komunikasi seperti yang bisa kita lihat berikut ini (bdgk. Sastropoetro: 1991, Nurudin: 2001).
Propagandis. Propagandis adalah pihak atau pelaku yang secara sengaja melakukan penyebaran pesan dengan tujuan mengubah pola sikap dan pola pikir sasaran propaganda. Propagandis bisa berupa individu, individu yang melembaga (institutionalized person), atau lembaga. Adapun yang dimaksud dengan individu yang melembaga adalah seseorang yang ketika berpropaganda selalu mengatasnamakan atau dikaitkan dengan suatu lembaga. Daya tarik propagandis akan dipengaruhi oleh tiga faktor berikut (Nimmo, 2000).
1. Status komunikator. Setiap orang memiliki dan memainkan peran tertentu, seperti mahasiswa, guru, pejabat pemerintah, politisi, ekonom, jurnalis, dan sebagainya. Setiap peran itu memiliki status prestise masing-masing. Umumnya, semakin tinggi status propagandis, semakin tinggi daya persuasifnya.
2. Kredibilitas komunikator. Sasaran propaganda mempersepsi para komunikator dengan beberapa cara. Sejauh mereka mempersepsi bahwa propagandis itu memiliki keahlian, kompetensi, keandalan, dapat dipercaya, dan otoritas, mereka akan menganggap bahwa komunikator itu kredibel. Umumnya, semakin kredibel seorang propagandis, semakin efektif persuasinya dalam jangka pendek. Meski demikian, seiring meningkatnya daya kritis masyarakat, orang-orang kini mampu membedakan antara apa yang dikatakan dan kredibilitas sumbernya. Dengan demikian, orang-orang tak ragu untuk mempertanyakan isi pesan yang disampaikan meskipun pada saat yang sama memegang opini komunikator.
3. Daya tarik komunikator. Status dan kredibilitas seorang komunikator menentukan menarik-tidaknya dia di mata reaktor. Tetapi, kepribadiannya, daya tariknya, dan kepercayaan dirinya juga turut membantu daya tarik tersebut. Daya tarik ini akan meningkatkan daya persuasi.
Pesan. Pesan propagandistik adalah isi atau materi yang propagandis susun sedemikian rupa agar mampu mengubah pola pikir dan pola sikap reaktor. Pesan ini disusun secara cermat dan matang agar reaktor dapat menerima pesan yang disampaikan sehingga pola sikap dan pola pikirnya sesuai dengan kehendak propagandis.
1. Isi pesan. Tidak ada rumusan yang pasti bagaimana seharusnya isi pesan propagandistik disusun. Dalam kasus tertentu, ancaman bisa membuat seseorang melakukan sesuatu. Dalam kondisi lain, ancaman itu bisa menjadi bumerang. Agar efektif, setiap himbauan harus membela suatu perubahan opini. Tetapi jika pesan itu terlalu berbeda dari pandangan reaktor, ia akan diabaikan. Suatu pesan propaganda tidak boleh ceplas-ceplos, namun ada kecenderungan lebih persuasif jika kesimpulan yang harus diambil dari himbauan itu diberikan dengan tegas dan tidak diserahkan kepada reaktor untuk menduga-duga. Di depan reaktor yang bersahabat cukup dikemukakan satu sisi argumentasi; di depan reaktor yang tidak bersahabat dan tidak memiliki komitmen, kemukakan kedua sisinya. Ungkapan yang metaforis lebih meningkatkan daya persuasi daripada ungkapan yang harfiah. Penggunaan distraksi, humor, anekdot, dan sebagainya, seringkali, meski tak selalu, menambah keefektifan himbauan.
2. Struktur pesan. Seperti dalam isi pesan, tidak ada ketetapan pasti ihwal hubungan antara struktur pesan dan tanggapan orang terhadapnya. Ada berbagai struktur pesan yang bisa dibuat. Misalnya, menempatkan materi terpenting di akhir, atau di muka, atau di tengah-tengah. Bila argumentasi propagandistik itu mengenai topik yang dikenal baik oleh reaktor, yang lebih dulu dianggap penting akan lebih diingat sehingga lebih persuasif. Jika topiknya tidak dikenal, argumentasi yang disebut terakhir biasanya paling berpengaruh.
Media. Untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, propagandis menggunakan pelbagai sarana yang dipilih secara cermat agar sesuai dengan sasaran propaganda dan menimbulkan efek yang optimal. Propaganda kontemporer menggunakan semua saluran komunikasi –interpersonal, organisasional, dan massal– seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, film, poster, anjangsono, dan sebagainya. Masalahnya bukan terletak pada penentuan media mana yang akan digunakan, melainkan pada penentuan media mana yang sesuai untuk tujuan dan sasaran yang diingini. Dalam hal ini, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan.
1. Memilih media sesuai dengan yang digunakan orang. Setiap orang memiliki karakteristik tersendiri dalam hal mengakses informasi. Ada yang melalui televisi, ada juga yang melalui radio, ada yang sekadar membaca koran atau majalah, bahkan ada yang merasa cukup dengan Internet. Di Barat sana, orang terbiasa memperoleh informasi dari buku. Di Indonesia, hal demikian masih terasa ‘aneh’. Ada juga kalangan tertentu yang mengakses informasi dari seluruh media itu: baca koran, nonton televisi, ngakses Internet, dengerin radio pun tak ketinggalan. Propagandis harus mengetahui kebiasaan calon sasarannya dalam mengakses informasi. Ini dilakukan agar propagandis bisa menentukan media yang tepat untuk penyebaran pesannya.
2. Memilih media yang dipercaya orang. Kurang lebih setengah dari orang Amerika menganggap televisi sebagai media yang dapat dipercaya, seperempatnya memilih surat kabar, dan sisanya terbagi hampir sama antara radio dan majalah. Jika mereka hanya boleh memiliki satu dari keempat media itu –televisi, koran, radio, dan majalah– sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya, hampir enam puluh persen akan memilih televisi (Nimmo, 2000). Bagaimana di Indonesia? Setahu saya, hingga kini belum ada yang melakukan survei perihal ini. Anggaplah, misalnya, orang Indonesia lebih percaya informasi yang disajikan televisi ketimbang oleh surat kabar, radio, atau majalah. Dengan sendirinya propagandis pun akan lebih banyak memanfaatkan televisi sebagai media penyebaran pesannya.
3. Kesesuaian media yang akan digunakan. Ellul mengatakan bahwa media tertentu lebih cocok bagi tipe propaganda tertentu. Misalnya, bioskop dan hubungan interpersonal paling cocok untuk melakukan propaganda sosiologi, sementara surat kabar, radio, dan televisi, akan sangat efektif bagi propaganda politik (Nimmo, 2000).
Reaktor. Reaktor adalah pihak yang menjadi sasaran propagandis. Reaktor inilah yang pola pikir dan pola sikapnya hendak diubah mengikuti kehendak propagandis. Agar aktivitas propagandanya efektif, propagandis harus mengenal betul karakter reaktor. Kumpulkan segala macam informasi mengenai reaktor; usianya, pekerjaannya, agamanya, tingkat pendidikannya, kebiasaannya, dan lain-lain.
Efek. Efek adalah umpan balik yang dikehendaki oleh propagandis, berupa perubahan pola sikap dan pola pikir reaktor sesuai yang dikehendaki propagandis.

Jenis-jenis Propaganda

Selain dalam hal definisi, pusparagam pendapat juga terjadi dalam hal klasifikasi propaganda. Ada yang melihatnya dari sisi sumber propaganda, ada yang meninjaunya dari segi jelas-tidaknya tujuan propaganda itu.
William E. Daugherty dan Morris Janowitz dalam A Psychological Warfare Casebook mengelasifikasi propaganda berdasarkan sumbernya sebagai berikut.
1. White propaganda, yaitu propaganda yang sumbernya dapat diidentifikasi secara jelas dan terbuka. White propaganda juga disebut overt propaganda alias propaganda terbuka. Dalam ajang pemilu, propaganda jenis ini mudah dijumpai. Juga dalam bidang periklanan yang sering disebut propaganda komersil (commercial propaganda).
2. Black propaganda, disebut juga covert propaganda atau propaganda terselubung, yaitu propaganda yang seolah-olah menunjukkan sumbernya, padahal bukan sumber yang sebenarnya. Dengan kata lain, ini jenis propaganda lempar batu sembunyi tangan. Karena sifatnya yang terselubung, sumber aslinya tidak diketahui, sehingga jika kegiatan propaganda itu melanggar etika atau norma tertentu, sulit untuk mengetahui kepada siapa pelanggaran itu seharusnya dialamatkan. Propaganda jenis ini biasanya digunakan untuk melancarkan tuduhan, teror, dan stigma terhadap pihak yang dimusuhinya. Jenis ini galibnya digunakan dalam perang opini.
3. Grey propaganda, yaitu propaganda yang seolah-olah berasal dari sumber yang netral, padahal sebenarnya bersumber dari pihak lawan. Grey propaganda tidak lebih dari black propaganda yang kurang mantap. Pasalnya, pelaku grey propaganda ini berupaya menghindari identifikasi, baik dari sumber yang bersahabat maupun yang berlawanan.
Sementara Mertz dan Lieber dalam Conflict in Context: Understanding Local to Global Security, juga Doob dalam Public Opinion and Propaganda, mengategorisasi propaganda menurut jelas-tidaknya tujuan di balik pesan yang disampaikan.
1. Revealed propaganda (propaganda terang-terangan/terbuka) adalah propaganda yang tujuannya jelas.
2. Concealed propaganda (propaganda tersembunyi/tertutup) adalah propaganda yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain dengan mengaburkan tujuan di balik pesan yang disampaikan.
Selanjutnya, Jacques Ellul (Nimmo, 2000: 126-127) membagi propaganda dengan cara yang berbeda. Ellul membedakan propaganda politik dan propaganda sosiologi, propaganda agitasi dan propaganda integrasi, propaganda vertikal dan propaganda horizontal.
1. Propaganda politik melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai, atau golongan yang berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Ini dilakukan melalui himbauan-himbauan khas berjangka pendek.
2. Propaganda sosiologi kurang kentara namun efek yang ditimbulkannya lebih berjangka panjang. Melalui propaganda ini orang didoktrin oleh suatu pandangan hidup tertentu; sebuah ideologi yang berangsur-angsur merembes atau tepatnya dirembeskan ke dalam pranata-pranata ekonomi, sosial, dan politik suatu masyarakat. Hasilnya adalah suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dihukum atau dikecam dengan keras sebagai penyimpang.
3. Propaganda agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian, tujuan demi tujuan. Melalui agitasi, para pemimpin mempertahankan kegairahan para penganutnya dengan memperoleh suatu kemenangan yang khas, kemudian memberi peluang untuk bernapas, diikuti oleh usaha yang lain lagi dalam satu rangkaian tujuan.
4. Propaganda integrasi berusaha menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang mengabdikan diri mereka kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun, bahkan selama mereka hidup.
5. Propaganda vertikal adalah propaganda satu-kepada-banyak dan terutama mengandalkan media massa bagi penyebaran himbauannya.
6. Propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang pemimpin kepada kelompok; lebih banyak melalui komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi ketimbang melalui komunikasi massa. Secara tradisional partai-partai politik mengandalkan propaganda horizontal, seperti kunjungan ke pengurus organisasi di daerah, pelatihan kader partai, persekongkolan di dalam sel, dan sebagainya.
Lain lagi dengan Paul Kescskemeti (dikutip dari Sastropoetro, 1991: 24-25). Kescskemeti mengategorisasi propaganda ke dalam dua jenis utama, yaitu propaganda komersial dan propaganda politik. Propaganda komersial meliputi periklanan, kecakapan menjual, dan hubungan masyarakat (public relations). Propaganda politik mencakupi kegiatan dan gerakan partai-partai politik yang menuju kepada pemastian penerimaan doktrinnya, mengerahkan anggota baru, memenangkan suara, dan lain sebagainya. Tipe lain dari propaganda politik meliputi teknik promosi yang digunakan oleh pemerintah dan kelompok penguasa untuk meningkatkan prestasinya, baik di dalam maupun luar negeri, menjaga semangat warganya di dalam negeri, dan menghancurkan moral para penentangnya baik dalam perang terbuka ataupun dalam perang dingin.
Ada juga propaganda yang dilakukan di luar bidang komersial dan politik, yaitu kampanye untuk amal, kampanye untuk mendapat perhatian umum terhadap suatu kepentingan sosial, usaha untuk mendapat pengakuan terhadap teori-teori ilmiah, atau suatu gaya arsitektur tertentu, dan promosi untuk suatu prinsip higienis atau suatu kesukaan.
Beberapa ahli membedakan propaganda menjadi propaganda disengaja dan tidak disengaja (Nimmo, 2000: 126). Nimmo mencontohkan perbedaan antara seorang guru ekonomi yang dengan sengaja mendoktrin para siswanya dengan pandangan-pandangan Marxis dan guru ekonomi yang ketika menjawab suatu pertanyaan, secara spontan menunjukkan segi-segi positif dalam filsafat ekonomi Marxis dibandingkan kapitalisme.
Selain jenis propaganda yang telah disebutkan di atas, ada juga yang disebut dengan propaganda of the deed. Sejatinya propaganda berkarakter antikekerasan. Namun demikian para ilmuwan telah memberikan jastifikasi terhadap penggunaan kekerasan atau propaganda of the deed, dengan merumuskannya sebagai berikut (Sastropoetro, 1991: 28-30): ‘a public action or display having the purpose or the effect of furthering or hindering a cause (= suatu tindakan atau peragaan yang bersifat publik dengan tujuan atau akibat meneruskan atau menghalangi suatu maksud). Dalam Encyclopaedia Britannica termaktub uraian, ‘Communication effects are sometimes obtained with the aid of physical devices which are not usually employed for the purpose. The act of killing is no ordinary method of communication, yet killing is spoken of as propaganda of the deed when political assassination are carried out as a menass of affecting attitudes (= Efek komunikasi terkadang dapat diraih dengan bantuan sarana fisik yang biasanya tidak digunakan untuk tujuan tersebut. Tindak pembunuhan lazimnya bukanlah metode komunikasi, namun pembunuhan dapat dianggap sebagai propaganda of the deed manakala pembunuhan politis dilakukan sebagai sarana untuk mempengaruhi sikap)’.
Termasuk kategori propaganda of the deed (= propaganda tindakan nyata) adalah tindak terorisme. Terlepas dari belum adanya definisi yang disepakati bersama dari istilah terorisme, terorisme itu sendiri memiliki cara yang khas yaitu penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politis. Misalnya, peristiwa Bom Bali yang berhasil membuat publik, khususnya dunia Barat, percaya bahwa Indonesia adalah “sarang teroris”.

Propaganda atau Perang Urat Syaraf?

Banyak orang yang menukarartikan propaganda dan perang urat syaraf. Padahal, propaganda dan perang urat syaraf adalah dua istilah yang berbeda meski keduanya memang bagian dari ilmu komunikasi. Malah, keduanya sama-sama berstatus metode komunikasi.
Perang urat syaraf adalah istilah bahasa Indonesia sebagai padanan untuk istilah bahasa Inggris psychological warfare. Menurut US Department of Defense (DOD) dan Inter-American Defense Board (IADB), psychological warfare adalah “The planned use of propaganda and other psychological actions having the primary purpose of influencing the opinions, emotions, attitudes, and behavior of hostile foreign groups in such a way as to support the achievement of national objectives (= Penggunaan propaganda dan tindak psikologis lainnya secara terencana dengan tujuan utama mempengaruhi opini, emosi, sikap, dan perilaku kelompok musuh asing sedemikian rupa untuk mendukung ketercapaian tujuan nasional)”. Dalam Encyclopedia International terdapat definisi dan keterangan sebagai berikut, “Psychological warfare, the application of psychology to the conduct of war in an effort to win victories without force. Though psychological warfare embraces the use of unorthodox military techniques or unfamiliar instruments of war to panic, unnerve, or depress the enemy, the term has genreally to come to mean the use of propaganda, which has been defined as ‘organized persuasion by non-violent means’. The object is to change the mind of the enemy. In the broadest sense, psychological warfare synchronizes politicak, propaganda, subversive, and military efforts with modern psychology to attain specified goals (= Perang urat syaraf adalah penerapan psikologi dalam tindak perang sebagai upaya meraih kemenangan tanpa penggunaan kekerasan. Meskipun perang urat syaraf mencakup penggunaan teknik-teknik militer ortodoks atau instrumen perang yang tak lazim untuk membuat musuh panik, ciut nyali, atau tertekan, istilah itu sendiri secara umum berarti penggunaan propaganda, yang telah didefinisikan sebagai ‘persuasi yang terorganisasi dengan cara-cara tanpa kekerasan’. Tujuannya ialah untuk mengubah pikiran musuh. Dalam pengertian yang paling luas, perang urat syaraf mengawinkan upaya-upaya politik, propaganda, subversif, dan militer dengan psikologi modern untuk meraih tujuan tertentu)”.
Paul M.A. Lineberger (diadaptasi dari Effendy, 2002: 161) membagi pengertian perang uraf syaraf secara sempit dan luas. Secara sempit, perang urat syaraf adalah: ‘The use of propaganda against an enemy, together with such operational measures of a military, economic, or political nature as may be required to supplement propaganda (= Penggunaan propaganda untuk melawan musuh, yang dibarengi tindakan-tindakan operasional dalam bidang militer, ekonomi, atau politik yang dibutuhkan untuk melengkapi propaganda)’. Secara luas, perang urat syaraf adalah: “The application of parts of the science of psychology to further the efforts of political, economic, or military actions (= Penerapan ilmu psikologi untuk memperkuat upaya tindakan politik, ekonomi, atau militer)’.
Dari beberapa keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa propaganda menjadi inti dari kegiatan perang uraf syarat. Bedanya, propaganda lebih luas cakupannya karena meliputi setiap aktivitas yang berusaha mengubah pola sikap dan pola pikir khalayak. Sedangkan perang urat syaraf merupakan istilah perang dan penggunaannya terbatas pada bidang politik, ekonomi, dan militer. Meskipun secara operasional, apa yang berlaku bagi propaganda, juga berlaku bagi perang urat syaraf.
Saat ini yang namanya perang tidak selalu bersifat fisik. Perang secara fisik, atau secara militer, merupakan perang konvensional dan lebih merupakan pilihan terakhir untuk menaklukkan musuh ketika cara-cara politik dan ekonomi (baca: diplomasi) mengalami kebuntuan. Artinya, ketika kita mendapati aktivitas propaganda, khususnya propaganda politik, yang dijalankan oleh suatu negara, kita harus memiliki kerangka berpikir bahwa propaganda yang dilakukan itu merupakan bagian dari upaya perang urat syaraf negara tersebut.

Read More..

Mengapa Belum Ada Daulah Islamiyah?

Read More..

Mengapa Belum Ada
Daulah Islamiyah?


Jumlah kaum Muslimin saat ini di seluruh dunia lebih kurang satu seperempat miliar. Sedangkan Syariat Islam adalah aturan hidup yang paling baik dan sempurna. Sebab, ia berasal dari Allah SWT. Tetapi, mengapa sampai saat ini belum ada daulah (pemerintahan) bagi kaum Muslimin yang dapat menerapkan Syariat Islam?

Memang benar bahwa Syariat Islam adalah aturan hidup yang paling baik dan agung. Ia merupakan sistem yang paling sesuai dan paling layak diterapkan, bukan hanya untuk kaum Muslimin, tetapi bagi seluruh umat manusia. Sebab, Rasulullah saw adalah rahmat yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman:

"(Dan) Tidaklah Kami utus engkau (Muhammad), melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam" (Al Anbiya' 107).

Sistem yang dibuat manusia, walaupun dianggap tinggi nilainya dan yang membuatnya adalah akal yang jenius, namun tidaklah mungkin sistem buatan tersebut mampu menandingi sistem yang berasal dari Al Khaliq (Allah SWT). Sebab, hanya Dia yang mengetahui apa-apa yang bermanfaat dan yang berbahaya (membawa kemudlaratan) bagi setiap manusia. Dia pulalah yang mengetahui keadaan setiap masa (zaman) dan tempat.

Kaum Muslimin saat ini berjumlah sekitar satu seperempat miliar jiwa. Namun demikian, perbaikan nasib, kondisi dan situasi mereka tidak dapat ditentukan dari jumlah manusianya. Menanggapi jumlah ini, kita akan teringat kepada Hadits Rasulullah saw yang berbunyi:

"Akan datang suatu masa, dalam waktu dekat, ketika bangsa-bangsa (musuh-musuh Islam) bersatu-padu mengalahkan (memperebutkan) kalian. Mereka seperti gerombolan orang rakus yang berkerumun untuk berebut hidangan makanan yang ada di sekitar mereka".

Salah seorang Shahabat bertanya: 'Apakah karena kami (kaum Muslimin) ketika itu sedikit?' Rasulullah saw menjawab:

"Tidak! Bahkan kalian waktu itu sangat banyak jumlahnya. Tetapi kalian bagaikan buih di atas lautan (yang terombang-ambing). (Ketika itu) Allah telah mencabut rasa takut kepadamu dari hati musuh-musuh kalian, dan Allah telah menancapkan di dalam hati kalian 'wahan'".

Seorang Shahabat bertanya: 'Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan wahan itu?' Dijawab oleh Rasulullah saw:

"Cinta kepada dunia dan takut (benci) kepada mati".1)

Hadits ini amat tepat untuk menggambarkan situasi dan kondisi kaum Muslimin saat ini. Sesungguhnya, penyakit yang diderita oleh kaum Muslimin sekarang ini ada dua macam. Pertama, cinta dunia. Kedua, takut mati. Untuk mengobati agar sembuh dari penyakit tersebut, maka hendaklah kaum Muslimin mau merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul, sesuai dengan yang tertera dalam firman Allah SWT yang berbunyi:

"Maka, siapa saja yang mengikuti petunjukKu, ia tidak tersesat dan tidak celaka. Dan siapa saja yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya (akan menghadapi) penghidupan yang sempit" (Thaha: 123-124).


-------------------
1) At Tarikh Al Kabir, Imam Bukhari; Tartib Musnad Imam Ahmad XXIV/31-32; "Sunan Abu Daud, hadits No. 4279.

Juga sabda Rasulullah saw:
"Telah kutinggalkan kepada kalian dua perkara yang bila kalian berpegang-teguh kepada keduanya, maka kalian tidak tersesat untuk selama-lamanya: (ia adalah) Kitabullah dan Sunah RasulNya".2)

Mengikuti Kitabullah dan Sunah Rasul bukan hanya sekadar melakukan ibadah mahdlah (ritual) belaka, tetapi tidak lain adalah melaksanakan Islam secara kaffah (totalitas), dimulai dari aqidah sampai kepada masalah hukum yang paling kecil sekalipun.

Memang, untuk sampai ke arah sana, kita perlu menyampaikan da'wah Islam kepada kaum Muslimin agar mereka dapat memahami Islam secara murni. Sebab, munculnya keadaan buruk yang menimpa kaum Muslimin saat ini adalah akibat kelalaian kita sendiri dan usaha-usaha dari musuh-musuh Islam yang berhasil memutarbalikkan serta memanipulasi sebagian besar ide dan persepsi Islam. Musuh-musuh Islam itu telah sengaja mengaburkan berbagai pemikiran umat yang semua itu bertujuan untuk menyesatkan.

Saat ini kita melihat bahwa kaum Muslimin masih melanjutkan era kebangkitannya dan kembali kepada kesadarannya. Namun semua itu membutuhkan usaha dan kerjasama seluruh kaum Muslimin yang dimulai dari kalangan orang-orang yang telah sadar akan pentingnya kebangkitan Islam untuk memimpin dan mengajak umat ini ke pantai tujuannya. Mereka perlu diselamatkan/dilepaskan dari cengkeraman kekuasaan negara-negara kafir Barat maupun Rusia yang bersatu-padu mengeroyok umat Islam bagaikan orang-orang lapar yang berebut hidangan.

Bagi kaum Muslimin, khususnya para ulama dan intelektual Muslim yang telah menyadari kondisi zaman ini, hendaklah mereka memfokuskan kegiatannya bukan hanya dengan berusaha mewujudkan kesadaran yang benar terhadap Islam, tetapi juga berusaha menegakkan Daulah Islamiyah dan mengembalikan Khilafah Ar Rasyidah 'Ala Minhajin An Nubuwwah; yang mengikuti jejak kenabian dengan menerapkan hukum-hukum Allah SWT di tengah-tengah masyarakat, serta bersama khilafah Islam mengembangkan Risalah Islam ke seluruh dunia dengan cara da'wah dan jihad; seperti yang terjadi periode awal Islam dahulu, saat umat Islam masih memiliki negara.

-------------------
2) Lihat Al Fathul Kabir II /27; Al Muwatha' II /899; dan Jami'ul Bayan Al Ilmi II /221].

Usaha tersebut, bagi umat merupakan suatu kewajiban yang tidak boleh diabaikan lagi. Kalau dahulu pada permulaan abad ke XX ini kaum kafir (negara-negara Eropa) telah menghancurkan negara dan sistem pemerintahan Islam, tanpa ada satu reaksipun dari umat, maka harapan kita sekarang adalah bahwa umat ini dapat kembali mengembalikan kekuasaan negara Islam di bumi ini, sesuai dengan janji Rasulallah saw kepada umat ini:

"... Kemudian akan muncul [kembali] masa kekhalifahan yang mengikuti jejak kenabian...".3)

Kembalinya daulah Islam ke tengah masyarakat dunia internasional masih dan akan tetap dihalangi oleh negara-negara adidaya melalui antek-antek mereka (para penguasa kaum Muslimin). Oleh karena mereka bersatu padu dalam makar dan tipu daya ini, maka hendaklah seluruh umat melalui gerakan-gerakan Islam di seluruh dunia bersatu padu, baik dari segi langkah/gerak maupun strategi untuk menegakkan kembali pemerintahan Islam; tetapi hanya dengan cara da'wah dan politik, bukan dengan cara memberontak/menggunakan kekuatan fisik. Sebab, yang diinginkan oleh para penguasa adalah menghancurkan semua gerakan Islam yang di tempuh dengan membangkitkan emosi melalui langkah-langkah kekuatan fisik (dengan cara mengangkat senjata) yang dilakukan beberapa harakah Islam, di samping langkah tidak sesuai dan malah bertentangan dengan metode da'wah Rasulullah saw.

-------------------
3) Lihat Al Fathul Kabir III; Musnad Imam Ahmad IV/273; Musnad Abu Daud Ath Thayalisi hadits No. 438; dan Majma'u Az Zawaid V/189.

Read More..

Menerapkan Islam dan Mengemban Dakwah

Read More..

Menerapkan Islam dan Mengemban Dakwah

Partai politik Islam harus memiliki pemahaman yang jernih tentang sistem Islam dan juga bagaimana cara negara mengemban dakwah. Bahkan, partai politik Islam itu harus mengadopsi sejumlah permasalahan, seperti bagaimana sistem pemerintahan, struktur dan fungsinya, bagaimana pemerintahan menerapkan hukum syara’, pemahaman yang terperinci akan sistem peradilan, dan bagaimana penguasa menjalankan fungsi-fungsi pokoknya. Di samping itu, parpol tersebut memahami sistem dan prinsip-prinsip ekonomi serta anggaran negara, cara-cara mengatur masalah ekonomi, sumber daya alam, sistem perpajakan, serta hubungan negara dan perusahaan-perusahaan swasta, termasuk status kepemilikan negara dan keuangan negara. Semua itu dimaksudkan agar dapat dibuat kebijakan ekonomi yang efektif sesuai dengan syariat dan agar penggunaan anggaran benar-benar disusun berdasarkan keperluan dan prioritas. Perlu pula ada pemahaman tentang status warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Bagaimana aturan diterapkan kepada muslim maupun nonmuslim. Juga, masalah-masalah lain. Untuk itu, diperlukan suatu rancangan undang-undang dasar untuk memberikan gambaran perihal negara Khilafah dan juga agar dapat diajukan untuk diterapkan segera setelah Khilafah berdiri.
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, Hizbut Tahrir telah mengadopsi sebuah undang-undang dasar yang terperinci dan juga telah mengelaborasi dalil-dalil atas undang-undang dasar tersebut dan penerapannya dalam buku Muqadimah al-Dustur aw asbab al-Muwajjabba. Buku tersebut juga mengelaborasi aspek-aspek penting dalam sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, dan pendidikan, serta kebijakan luar negeri yang telah disebutkan di dalam rancangan undang-undang dasar tersebut. Berikut adalah pasal pertama dari rancangan undang-undang dasar yang disusun oleh Hizbut Tahir yang berisi landasan negara Khilafah dan pentingnya penerapan Islam di dalam setiap aspek kehidupan, serta pentingnya mengemban dakwah.
Pasal 1. Landasan negara adalah Akidah Islam. Oleh karena itu, segala sesuatu yang menyangkut struktur negara, penguasa, pertanggungjawaban, atau aspek lain yang berhubungan dengan kenegaraan, harus dibangun berdasarkan Akidah Islam. Akidah Islam juga menjadi sumber asas undang-undang dasar dan perundang-undangan negara. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan perundang-undangan harus bersumberkan Akidah Islam.
Negara berdiri berdasarkan terbentuknya ide-ide baru yang menjadi landasan dan strukturnya. Artinya, kekuasaan dan kewenangan di dalam negara berubah seiring perubahan ide-ide tersebut. Jika ide-ide itu menjadi pemahaman dan dipahami dengan baik dan diyakini, maka pemahaman itu akan memengaruhi manusia. Manusia akan berperilaku dan menjalani hidup sesuai dengan pemahamannya itu. Tolok ukur kemaslahatan akan berubah seiring berubahnya cara pandang terhadap kehidupan, serta kekuasaan dan kewenangan berperan mengatur mekanisme yang mengawasi dan mengurusi kemaslahatan tersebut. Pemikiran yang khas akan melahirkan pandangan kehidupan yang juga khas, yang akan menjadi dasar negara serta melandasi seluruh kekuasaan, kewenangan, sistem, dan undang-undang dasarnya. Mengingat pemikiran khas tentang kehidupan itu terangkum dalam serangkaian pemahaman, standar, dan keyakinan, maka kumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan itu menjadi dasar negara. Adapun penguasa adalah pihak yang mengurusi kepentingan-kepentingan masyarakat, serta memantau pelaksanaan kepentingan-kepentingan masyarakat itu agar sesuai dengan pemahaman, standar, dan keyakinan tadi. Sekumpulan pemikiran itu menentukan keseluruhan pandangan hidup dan cara-cara penanganan kepentingan masyarakat, sedang penguasa berperan menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Dari pemahaman seperti ini, negara didefinisikan sebagai suatu lembaga atau entitas yang berfungsi untuk menerapkan sekumpulan pemahaman (mafahim), standar (maqayis), dan keyakinan (qana’ah) yang diterima oleh masyarakat.
Kumpulan pemikiran yang menjadi landasan suatu negara itu bisa berasal dari pemikiran yang mendasar dan khas, bisa juga berasal dari pemikiran yang tidak khas. Jika kumpulan pemikiran itu lahir dari pemikiran yang mendasar, maka negara akan memiliki landasan yang kuat dan kokoh. Dalam hal ini, negara akan tegak di atas pemikiran yang khas yang akan menjadi sumber dari segala pemikiran, perasaan, undang-undang dasar, dan sistemnya. Apabila negara tidak berdiri di atas pemikiran yang mendasar, maka negara akan memiliki landasan yang rapuh, sehingga mudah digoyang atau dijajah oleh negara asing. Lemahnya landasan negara akan membuat negara tersebut mudah tunduk kepada pemikiran dan konsep-konsep asing, yang pada gilirannya akan mengundang kekuatan asing untuk menguasai atau menghancurkan negara.
Negara Islam berdiri di atas Akidah Islam karena kumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan yang diterima umat berasal dari Akidah Islam sebagai qaidah fikriyyah. Umat Islam menerima akidah itu dan meyakininya sebagai qaidah fikriyyah berdasarkan bukti-bukti yang qath’i dan meyakinkan. Berdasarkan keyakinan itulah, kaum muslim wajib tunduk sepenuhnya terhadap Akidah Islam dan menjadikan Akidah Islam sebagai landasan hidupnya, serta sebagai standar perbuatan, pemikiran, dan perasaannya. Akidah tersebut selanjutnya akan membentuk seluruh cara pandang umat terhadap kehidupan ini dan menjadi landasan bagi cara pandang kehidupannya. Umat juga akan memandang kemaslahatan berdasarkan akidah tersebut. Dari akidah yang sama, umat juga akan mengambil sekumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan. Dengan demikian, akidah Islam adalah dasar Negara Islam.
Negara Islam yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. berdiri di atas landasan yang khas. Karena itu, landasan tersebut harus menjadi dasar negara Islam di mana pun dan kapan pun. Ketika Nabi saw. mengambil alih kekuasaan dan mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, beliau mendirikannya di atas Akidah Islam, meskipun ayat-ayat yang berkenaan dengan legislasi hukum belum turun seluruhnya. Nabi saw. menjadikan landasan kehidupan kaum muslim, penilaian, interaksi, dan urusan masyarakat, serta kekuasaan, kewenangan dan pemerintahan, berdasarkan prinsip Laa ilaaha illa Allah, Muhammad al-Rasul Allah.
Nabi saw. juga memerintahkan jihad dan mewajibkan kaum muslim untuk mengemban Akidah Islam ke seluruh umat. Dengan mekanisme ini, Negara Islam mampu mempropagandakan Islam ke seluruh dunia dan memperluas wilayahnya sambil menjaga perbatasan-perbatasan dan berjaga-jaga dari setiap upaya yang akan merongrong landasan negara. Dalam sebuah hadis, Nabi saw. bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaaha illa Allah, Muhammad ar-Rasul Allah. Jika mereka mengatakan hal itu, maka darah dan harta mereka terlindungi, serta aman dariku kecuali secara hak”.
Islam memberikan kekuasaan kepada kaum muslim untuk menerapkan hukum-hukum syariat. Umat menunjuk penguasa sebagai wakil untuk menjalankan tanggung jawab tersebut. Allah Swt. mewajibkan kaum muslim untuk memastikan bahwa Islam diterapkan secara keseluruhan dengan melakukan kontrol terhadap penguasa, mengawal Negara dan para pejabatnya untuk senantiasa terikat pada hukum Islam, serta memelihara qiyadah fikriyyah dan pemikiran Islam di antara umat. Allah Swt. menyebutkan wajibnya kaum muslim mendirikan partai atau kelompok untuk menjalankan fungsi-fungsi berikut.
Untuk menjaga agar ketaatan dan loyalitas hanya diberikan kepada Islam, Allah Swt. memerintahkan kaum muslim untuk menaati penguasa selama penguasa itu melakukan tugasnya dalam menerapkan hukum-hukum Islam dan menjadikan hukum syara’ sebagai rujukan dalam menghadapi segala masalah dan situasi. Banyak hadis yang menjelaskan tentang Islam sebagai satu-satunya kriteria untuk ketaatan terhadap penguasa, sekaligus menginstruksikan kaum muslim untuk menarik diri dari ketaatan itu apabila penguasa tidak menerapkan Islam.
Auf bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakannya. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian”. Kami bertanya, “Ya, Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka?” Beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat” (HR Muslim). Dalam hadis ini, kata shalat berarti menjalankan kekuasaan pemerintahan berdasarkan hukum Islam.
Semua ini menjadi dalil bahwa landasan negara adalah Akidah Islam. Nabi saw. mendirikan negara di atas Akidah Islam. Rasulullah saw. memerintahkan kaum muslim untuk menjaga Akidah Islam itu dengan melakukan jihad, dan mewajibkan kaum muslim untuk siap berjuang demi mempertahankannya sebagai landasan negara. Inilah dalil-dalil yang melandasi isi pasal satu di atas.
Seluruh masalah, besar atau kecil, penting atau tidak penting, bernilai atau tidak bernilai, harus didekati, ditelaah, dan diselesaikan berdasarkan Akidah Islam. Setiap ide, pemikiran, pemahaman, atau undang-undang yang bersumber dari akal manusia, penilaian manusia, atau setiap sumber selain Akidah Islam dan tidak digali dari hukum-hukum syara’, tidak dapat diterima. Konsep-konsep seperti pragmatisme, realisme, atau yang sejenisnya yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum, tidak memiliki landasan sama sekali.
Islam adalah sistem yang sempurna yang harus diterapkan secara paripurna. Allah Swt. melarang penerapan Islam secara parsial. Karena Negara Islam berdiri di atas landasan Akidah Islam, maka konsep-konsep penerapan Islam secara gradual dan parsial tidak dapat diterima. Menerapkan 20% sistem Islam berarti menerapkan 80% sistem kufur, dan Islam menolak keras hal itu. Selain itu, konsep demokrasi tidak boleh diadopsi oleh negara karena demokrasi bertentangan dengan konsep yang lahir dari Akidah Islam. Terlebih lagi, demokrasi tidak bersumber dari Akidah Islam. Demokrasi adalah demos kratos, yang berarti kedaulatan rakyat.
Konsep-konsep seperti nasionalisme, patriotisme, atau segala bentuk ashabiyyah (kecintaan terhadap keluarga, suku, atau asal muasal) tidak memiliki tempat di dalam Islam karena semua itu tidak berasal dari Akidah Islam, bahkan bertentangan dengan Akidah Islam. Dalam banyak hadis, Nabi saw. secara tegas melarang segala bentuk ashabiyyah.
Sehubungan dengan bagian kedua dari pasal satu di atas, alasannya ialah bahwa konstitusi adalah undang-undang dasar negara. Dalil bahwa Allah Swt. memerintahkan penguasa untuk menerapkan hukum-hukum Islam tertuang dalam al-Quran dan Sunnah. Allah Swt. berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasakan suatu keberatan di hati mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati” (QS al-Nisaa’ [4]: 65).
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka. Dan, berhati-hatilah kamu terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” (QS al-Maa-idah [5]: 49).
Demikian pula, Allah Swt. telah memerintahkan agar legislasi hukum negara dilakukan dengan berdasarkan wahyu yang Allah turunkan dan melarang pemerintahan yang dijalankan selain dengan Islam.
“Siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu termasuk orang-orang yang kafir” (QS al-Maai-dah [5]: 44).
Nabi saw. menyebutkan bahwa segala sesuatu yang tidak berasal dari Islam, meskipun mirip dengan Islam, tidak akan diterima. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan (baik) yang tidak kami perintahkan (kepada siapa pun) untuk melakukannya (atau tidak sesuai dengan Islam), maka perbuatan itu tidak akan diterima” (HR Bukhari).
Semua ini menjadi dalil bahwa legislasi hukum negara terikat dengan segala apa yang muncul dari Akidah Islam dan hanya dapat dilakukan dengan cara menggali hukum syara’.

Read More..

Meneladani Rasulullah saw.

Read More..

Meneladani Rasulullah saw.

Aktivitas Rasulullah saw. menjadi contoh metode sejati penegakan Khilafah dan pendirian Negara Islam, atau dengan kata lain mengubah Darul Kufur menjadi Darul Islam. Untuk itu, kita perlu memahami bagaimana rukun-rukun dari metode yang dilakukan Rasulullah saw. Setelah itu, kita terapkan ke dalam situasi kita untuk meniti jalan menuju kembalinya Khilafah.
Prinsip ta’asi atau meneladani perbuatan Rasulullah saw. senantiasa mendapat bagian tersendiri dalam buku-buku yang membahas masalah Ushul ketika memahami Sunnah Nabi saw. Adapun yang jadi soal dalam hal ini adalah bagaimana cara kita meneladani perbuatan Rasulullah saw. dan apa hukumnya. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik” (QS al-Ahzab [33]: 21).
Allah Swt. juga memerintahkan kepada Nabi saw. untuk berkata kepada orang-orang beriman:
Katakanlah: “Apabila kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran [3]: 31).
Dengan demikian, kaum muslim wajib meneladani dan mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. jika mereka mengharapkan ampunan Allah Swt. dan surga yang dijanjikan-Nya. Oleh karena itu, meneladani dan mengikuti perbuatan Rasulullah saw. adalah wajib. Akan tetapi, kaum muslim harus meneladani beliau dengan benar dan dalam hal-hal yang memang Allah perintahkan. Berikut adalah klasifikasi perbuatan Rasulullah saw.

Perbuatan Jibiliyyah

Perbuatan jibiliyyah adalah perbuatan yang dilakukan Nabi saw. sebagai bagian dari karakter kemanusiaannya. Misalnya, Bukhari meriwayatkan bagaimana merahnya wajah beliau ketika marah. Menurut Imam Tirmidzi dalam Syama’il, beliau saw. berjalan begitu cepatnya seolah-olah sedang menuruni bukit. Hal-hal seperti ini boleh-boleh saja kita tiru demi menunjukkan kecintaan kita terhadap Rasulullah saw, karena itu memang perbuatan beliau. Namun, perbuatan semacam itu tidak memiliki konsekuensi hukum, sehingga status hukum perbuatan-perbuatan seperti itu adalah mubah.

Perbuatan Khas

Perbuatan khas adalah perbuatan yang memang khusus dan dikhususkan bagi Nabi saw. Misalnya, di dalam al-Quran dinyatakan bahwa istri-istri beliau dilarang menikah lagi setelah menjanda, sedangkan wanita-wanita beriman dapat menikah lagi setelah suami mereka meninggal atau setelah bercerai. Nabi saw. juga dibolehkan menikahi lebih dari dari empat wanita, sementara itu lelaki muslim dilarang. Rasulullah saw. berpuasa siang dan malam non-stop, tapi beliau melarang kaum muslim melakukan hal yang sama. Status hukum shalat tahajud itu wajib bagi Nabi saw, tapi bagi kaum muslim sunnah nafilah (Syakhshiyyah Islamiyyah, Jilid 3). Kaum muslim dilarang mengikuti Rasulullah saw. dalam perbuatan-perbuatan semacam ini. Jadi, kita tidak boleh melakukan tahajud sebagai sebuah kewajiban. Kita pun tidak boleh melarang seorang muslimah menikah kembali setelah mereka bercerai atau menjanda. Demikian pula laki-laki muslim tidak boleh memiliki lebih dari empat istri. Mengikuti Rasulullah saw. dalam perbuatan-perbuatan semacam ini adalah haram.

Perbuatan Umum (Tasyri’)

Perbuatan tasyri’ adalah perbuatan, perkataan, atau persetujuan Rasulullah saw. yang mengandung konsekuensi hukum. Perbuatan itu bisa jadi berstatus wajib, mandub, atau mubah. Apabila perbuatan yang Rasulullah saw. lakukan adalah penjelasan atas suatu kewajiban, maka perbuatan itu adalah wajib. Misalnya, Allah Swt. menyatakan dalam banyak ayat al-Quran tentang wajibnya menegakkan shalat lima waktu. Dalam hadis masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw. bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat”. Jadi, fakta bahwa Nabi saw shalat dalam urutan yang sama (tartib) dan berulang-ulang (ta’addud) merupakan penjelasan atas kewajiban shalat lima waktu tadi, karena itu cara shalat kita pun wajib mengikuti shalatnya Rasulullah saw.
Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
“Siapa saja yang melihat bulan, berpuasalah” (QS al-Baqarah [2]: 184).
Lalu, dalam sebuah hadis yang masyhur kita dapati Nabi saw bersabda, “Berpuasalah kalian manakala melihat bulan dan berbukalah tatkala melihat bulan. Adapun jika bulan tertutup awan, maka genapkanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari” (Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Bulugh al-Maram). Riwayat ini menjelaskan kapan mulai berpuasa dan kapan berhenti berpuasa. Artinya, hadis ini merupakan penjelasan atas perintah Allah Swt. dalam al-Quran tadi. Hukum perbuatan yang dijelaskan dalam hadis ini sama dengan perbuatan yang diperintahkan dalam al-Quran, yaitu wajib. Selin itu, yang juga termasuk wajib adalah melihat hilal atau menggenapkannya menjadi tiga puluh hari ketika mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan.
Contoh lain ialah firman Allah Swt. dalam al-Quran:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (QS al-Maa-idah [5]: 38).
Dalam sebuah hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Jami’u ash-Shahih dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Pemotongan tangan dilakukan dalam pencurian yang mencapai seperempat dinar”. Hadis ini menjelaskan hukum sebelumnya, yaitu tentang kewajiban memotong tangan seorang pencuri.
Demikian pula dalam masalah dakwah. Rasulullah saw. wajib melakukan aktivitas dakwah dan beliau diwajibkan untuk menegakkan agama ini. Hal ini dapat kita tinjau dari fakta bahwa beliau siap mengorbankan hidupnya demi melaksanakan kewajiban tersebut. Rasulullah saw. berkata kepada pamannya, “Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku berhenti dari perkara ini, niscaya aku tidak akan berhenti darinya hingga Allah memenangkan perkara ini atau aku mati karenanya” (Imam Thabari, Sirah, Jilid 6, par. 1179).
Dengan demikian, setiap perbuatan dan pernyataan yang menjelaskan metode itu harus dipandang sebagai bagian kewajiban dari metode untuk melangsungkan kehidupan Islam.
Aktivitas Qurbah (Mendekatkan Diri kepada Allah Swt.)

Mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan memperoleh ridha-Nya adalah tujuan orang-orang beriman dan menjadi landasan dasar dari seluruh perbuatannya. Setiap perbuatan yang jika dilakukan akan mendatangkan ridha Allah Swt. dan jika ditinggalkan akan mengundang azab-Nya dikategorikan sebagai wajib. Perbuatan yang mendekatkan seorang muslim kepada Allah Swt., tapi jika tidak dilakukan tidak mengundang hukuman dipandang sebagai perbuatan yang mandub. Perbuatan Rasulullah saw. yang mengindikasikan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. (taqarrub illa Allah) juga berstatus mandub. Misalnya, aktivitas zikir dan doa dapat mendatangkan ridha Allah Swt., sehingga keduanya berstatus hukum mandub. Dalam Syama’il, Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis bahwa Nabi saw. terbiasa membaca basmallah sebelum makan. Aktivitas seperti ini mengingatkan diri kepada Allah Swt. dan menunjukkan rasa syukur. Oleh karena itu, membaca doa sebelum makan adalah mandub.


Mubah

Perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung indikator qurbah atau tidak menunjukkan pahala atau siksa, berstatus hukum mubah. Kaum muslim boleh melakukannya sesuai dengan kehendak mereka. Misalnya, Nabi saw. terbiasa meminta juru tulis untuk menuliskan al-Quran di pelepah daun kurma. Cara ini tidak mengandung konsekuensi pahala atau siksa, karena itu status hukumnya adalah mubah. Dalam konteks ini, menggunakan cara lain, seperti CD dan mencetaknya juga mubah-mubah saja.
Relevansi dari semua ini dengan topik yang kita bahas adalah, kita harus dapat memilah-milah perbuatan-perbuatan yang Rasulullah saw. lakukan. Aktivitas mana yang beliau lakukan semata-mata sebagai manusia sehingga tak wajib diikuti dan aktivitas mana yang memang wajib diikuti, yang memang beliau lakukan sebagai sebuah kewajiban dan bagian dari metode beliau dalam menegakkan Diinullah.

Read More..

Menegakkan Khilafah dan Menerapkan Hukum Allah adalah Masalah Utama Kaum Muslim

Read More..

Menegakkan Khilafah dan Menerapkan Hukum Allah adalah Masalah Utama Kaum Muslim

Saat ini kaum muslim mengalami cobaan yang paling berat dan penderitaan yang paling parah yang pernah mereka alami. Obat yang paling mujarab untuk mengatasi semua itu terletak pada pemahaman mereka. Apakah mereka menganggap masalah yang mereka hadapi itu sebagai masalah yang utama atau tidak. Selain itu, apakah mereka menjadikan pilihan hidup atau mati sebagai solusi atas masalah tersebut atau tidak, terutama jika masalah yang dibahas adalah perkara yang mencakup seluruh masalah utama itu. Selama pemahaman seperti itu tidak menguasai pikiran dan perasaannya, kaum muslim akan terus mengalami kemunduran dan kemerosotan, dan mereka tidak akan pernah bangkit untuk kembali memimpin bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh karena itu, kewajiban kaum muslim saat ini ialah memandang masalah utama mereka serta mengembalikan pemahaman yang benar tentang masalah tersebut ke dalam hati, jiwa, dan pikiran mereka. Selanjutnya, menjadi pemahaman yang menggerakkan mereka untuk mengambil langkah-langkah hidup atau mati dengan ketetapan hati yang tak tergoyahkan dan semangat yang tak kunjung padam. Inilah yang menjadi akar permasalahan, dan inilah titik tolak dari langkah-langkah yang harus dilakukan kaum muslim untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi.
Realitas yang dihadapi kaum muslim saat ini dapat dirasakan oleh setiap muslim, tanpa perlu eksplikasi lebih jauh ataupun elaborasi lebih dalam. Saat ini negeri-negeri kaum muslim diperintah oleh sistem kufur, sehingga tak diragukan lagi mereka hidup di Darul Kufur. Mereka terpecah ke dalam lebih dari empat entitas, mulai dari negara bercorak kebangsaan, keemiran, kesultanan, dan kemullahan (Ing: States, Emirates, Sultanates, atau Sheikhdoms). Mereka terlalu lemah untuk dapat berdiri tegak menentang kaum kuffar. Dalam kondisi ini, yang jadi masalah bagi setiap negara di dunia Islam ialah bagaimana mengubah kondisi mereka dari Darul Kufur menjadi Darul Islam, lalu menyatukannya dengan negeri-negeri Islam yang lain. Inilah yang menjadi masalah utama kita selaku umat Islam. Lebih dari itu, hal ini merupakan pangkal dari seluruh masalah utama umat Islam sehingga pilihan hidup atau mati dalam perkara ini merupakan hal yang urgen.
Masalah utama ini, yaitu mengubah kondisi negeri-negeri Islam dari Darul Kufur menjadi Darul Islam dan menyatukannya dengan negeri-negeri Islam yang lain, menjadi tujuan yang harus dicapai oleh kaum muslim. Metode untuk meraih tujuan itu ialah dengan menegakkan Khilafah, dengan kata lain mengembalikan eksistensinya. Dengan demikian, masalah yang dihadapi kaum muslim saat ini ialah tegaknya Khilafah sebagai sistem pemerintahan yang kelak akan mengubah kondisi negeri-negeri Islam menjadi Darul Islam dan menyatukan seluruh negeri-negeri Islam di dunia ini.
Akan tetapi, harus dipahami betul bahwa yang menjadi masalah kaum muslim saat ini bukan sekadar menunjuk seseorang menjadi khalifah sehingga hal ini dianggap fardhu kifayah, lantas ketika telah ditunjuk seorang khalifah, masalah tersebut tidak lagi menjadi masalah utama. Persoalan yang saat ini dihadapi umat Islam adalah berdirinya Khilafah, maksudnya menegakkan sistem Khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan. Tanggung jawab dari kewajiban ini sangat besar, dan realitasnya lebih dari sekadar menunjuk seorang khalifah, meskipun tegaknya Khilafah memang mengharuskan adanya penunjukan seorang khalifah. Ibnu Umar r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang mati tanpa ada baiat di pundaknya (tanpa adanya sistem yang mengadakan baiat, yaitu Khilafah), maka matinya seperti mati jahiliyah”.
Sungguh, menegakkan Khilafah adalah masalah yang utama. Hal ini karena penegakan Khilafah, selain akan mentransformasi Darul Kufur menjadi Darul Islam, juga berarti menghancurkan sistem kufur sekaligus menghilangkan kekufuran, yang juga merupakan masalah yang utama. Maka dari itu, Rasulullah saw. memerintahkan kaum muslim untuk menghindari pertumpahan darah, dengan catatan, ‘…kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata’. Juga karena disebutkan dalam hadis: “… Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, haruskah kita perangi mereka?” Beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat”. Oleh karena itu, dengan tegaknya Khilafah berarti masalah utama yang berkaitan dengan hilangnya kekufuran yang nyata juga akan teratasi. Dengan demikian, penegakan Khilafah merupakan masalah yang utama, karena menjadi metode untuk menyelesaikan masalah-masalah utama yang lain, dan karena dalil-dalil syara’ dalam Sunnah menetapkannya demikian. Jadi, dalam menghadapi masalah ini kita harus mengambil sikap hidup atau mati.
Sejak urusan pemerintahan dikuasai oleh orang-orang kafir-munafik-murtad, kaum muslim tidak pernah berhenti berupaya membebaskan diri dari kungkungan sistem kufur dan hegemoni penguasa beserta kaki tangannya. Akan tetapi, mereka tidak memahami bahwa masalah yang mereka perjuangkan itu adalah masalah yang utama, dan bahwa tidak ada cara lain selain dengan menganggapnya perkara hidup atau mati. Karena itu, kurangnya pemahaman di kalangan kaum muslim itu telah menyebabkan hilangnya kesatuan mereka sebagai sebuah komunitas, atau satu umat, yang siap memikul penderitaan, penahanan, dan penyiksaan, selain mengalami kemiskinan, kehancuran, dan kematian. Semua itu adalah risiko yang tidak dapat dipisahkan dari upaya memperjuangkan suatu masalah yang utama. Walhasil, upaya-upaya yang telah mereka lakukan itu kerapkali menemui kegagalan dan tidak mencapai kemajuan sedikit pun dalam perjuangan yang dilakukan.
Kaum muslim tidak perlu memeras otak untuk bisa menilai bahwa masalah yang mereka hadapi adalah masalah yang utama. Masalah itu begitu nyata terpampang di hadapan mata mereka. Senyata realitas bahwa secara rasional mustahil orang-orang kafir membiarkan Islam kembali ke arena politik dan meraih kekuasaan. Selama orang-orang kafir tetap melakukan tekanan, sekecil apa pun tekanan itu, terhadap mereka yang memperjuangkan kembalinya Khilafah, maka hal itu menjadi bukti bahwa masalah ini adalah masalah yang utama. Orang-orang yang murtad dan munafik sama sadisnya dalam melakukan kejahatan dan penindasan. Mereka menggunakan segala kekuasaan yang mereka miliki untuk memerangi kaum mukmin yang berupaya merebut kekuasaan dari mereka dalam rangka menegakkan aturan-aturan Allah Swt. dan melindungi kesucian Allah Swt. melalui penerapan hudud Allah. Dengan sendirinya, hal ini membuktikan bahwa masalah ini adalah masalah yang utama.
Oleh karena itu, mustahil upaya yang dilakukan kaum muslim dalam masalah ini membuahkan hasil, kecuali mereka memandangnya sebagai masalah yang utama, yang keberhasilannya ditentukan oleh pilihan hidup atau mati. Kegagalan kaum muslim dalam memandang hakikat dari perjuangan ini dan ketetapan Allah Swt. dalam masalah tersebut, membuat mereka merasa bebas untuk menempuh metode penyelesaian masalah itu. Akibatnya, langkah yang mereka ambil dalam hal ini tidak sampai pada standar hidup dan mati. Perjuangan untuk menyelesaikan sebuah masalah utama seperti penggantian sistem kufur dan penegakan sistem Islam tidak akan pernah berhasil, tidak peduli seberapa besar kekuatan atau upaya yang dilakukan, kecuali apabila hal itu dianggap dan tergambarkan--selama proses perjuangan itu--sebagai masalah utama. Maksudnya, perjuangan ke arah sana dilakukan dalam kerangka perjuangan hidup dan mati.
Sehubungan dengan itu, kaum muslim--baik individu maupun kelompok--harus disadarkan bahwa mereka tidak punya pilihan lain, selain melakukan perjuangan melawan sistem kufur dalam kerangka perjuangan hidup dan mati. Hal ini karena karakter masalahnya memang mengharuskan kita untuk berbuat demikian dan karena al-Quran dan Sunnah menetapkannya seperti itu. Selain itu, Rasulullah saw. mengajari kita bagaimana memilah masalah, serta memerintahkan kita untuk melakukan perjuangan hidup atau mati dalam menghadapi masalah utama. Ketika Allah Swt. mengutus Rasulullah saw. dengan Risalah Islam, dan tatkala Rasulullah saw. mulai berdakwah melalui pertarungan pemikiran, beliau memandang masalahnya itu sebagai masalah eksistensi Islam dan melakukannya dalam kerangka hidup atau mati.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Nabi saw. diberitahu oleh pamannya, Abu Thalib, bahwa Quraisy memintanya membujuk Muhammad saw. berhenti menyerang pemikiran mereka. Ketika itu Abu Thalib berkata, “Selamatkan aku dan dirimu, dan janganlah bebani aku dengan tanggung jawab yang melebihi batas kemampuanku.”
Mendengar ucapan pamannya itu Rasulullah saw. berkata, “Wahai Paman, Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku berhenti dari perkara ini, niscaya aku tidak akan berhenti hingga Allah memenangkan perkara ini atau aku mati karenanya.”
Ketika Nabi saw. mendirikan Negara di Madinah dan melakukan jihad, beliau memandang masalah itu sebagai perkara eksistensi Islam dan beliau menghadapinya dalam kerangka hidup dan mati. Diriwayatkan bahwa dalam peristiwa di Hudaibiah, ketika Nabi saw. berada di Usfan dalam perjalanannya melakukan umrah, beliau bertemu seorang laki-laki dari Bani Ka’ab. Nabi saw. bertanya apakah dia punya kabar tentang Quraisy. Laki-laki itu menjawab, “Quraisy telah mendengar kabar kedatanganmu dan keluar dengan memakai pakaian dari kulit macan tutul dan berkemah di Dhu Tuwa untuk mencegahmu memasuki Makkah dan menentang mereka. Khalid bin Walid ada bersama mereka dan telah dikirim lebih dulu ke Kura-al-Ghamim”.
Mendengar hal itu Rasulullah saw. berkata, “Terkutuklah Quraisy! Perang telah menguasai pikiran mereka. Apa ruginya mereka membiarkan aku dan orang-orang Arab menempuh jalan kami sendiri? Jika mereka membunuhku, itulah yang mereka inginkan, dan jika Allah memberiku kemenangan atas mereka, mereka akan berbondong-bondong masuk Islam. Jika mereka tidak melakukan hal itu, mereka akan berperang selagi mereka memiliki kekuatan. Jadi, apa yang Quraisy pikirkan? Demi Allah, aku tidak akan berhenti memperjuangkan perkara yang aku diutus karenanya sampai Dia memberikan kemenangan atau salifah ini mengeras”. Salifah adalah bagian dari leher manusia yang apabila mengeras akan mengakibatkan kematian. Setelah berkata seperti itu, Rasulullah saw. melanjutkan perjalanannya hingga sampai di Hudaibiah.
Dalam dua kasus ini, mengemban dakwah melalui pertarungan pemikiran dan mengemban dakwah melalui jihad, Rasulullah saw. menganggapnya sebagai masalah eksistensi dan kemenangan Islam. Beliau menjadikannya sebagai masalah utama, lalu melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam kedua kasus itu dalam kerangka hidup dan mati. Oleh karena itu, Rasulullah saw. mengatakan, “Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku berhenti dari perkara ini, niscaya aku tidak akan berhenti darinya hingga Allah memenangkan perkara ini atau aku mati karenanya”, dan beliau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan berhenti memperjuangkan perkara yang aku diutus karenanya sampai Dia memberikan kemenangan atau salifah ini mengeras”.
Seandainya Rasulullah saw. tidak menjadikan masalah itu sebagai masalah utama dan tidak memperjuangkannya dalam kerangka hidup dan mati, Islam tidak akan pernah jaya, baik melalui dakwah dengan pertarungan pemikiran maupun melalui jihad dengan mengangkat senjata. Situasi ini serupa dengan yang kini dihadapi kaum muslim, yaitu dengan adanya dominasi sistem kufur, serta hegemoni orang-orang kafir dan munafik atas mereka. Jika mereka tidak menganggap masalah itu sebagai masalah utama, juga jika mereka tidak memperjuangkannya dalam kerangka hidup dan mati, maka usaha mereka tidak akan membuahkan hasil apa pun, serta mereka tidak akan mencapai kemajuan barang selangkah.
Dalam kondisi ini, kami menyeru setiap muslim yang hidup di tengah-tengah dominasi kufur di negeri-negeri Islam untuk berjuang menegakkan Khilafah sebagai metode untuk mengubah negaranya menjadi Darul Islam dan menyatukannya dengan negeri-negeri Islam yang lain dengan cara mengemban dakwah ke seluruh dunia untuk mengembalikan kejayaan Islam. Perjuangan ini harus dilakukan dengan keyakinan penuh, kejelasan, dan kesadaran akan sabda Rasulullah saw., “Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku berhenti dari perkara ini, niscaya aku tidak akan berhenti darinya hingga Allah memenangkan perkara ini atau aku mati karenanya”, dan sabdanya, “Demi Allah, aku tidak akan berhenti memperjuangkan perkara yang aku diutus karenanya sampai Dia memberikan kemenangan atau salifah ini mengeras”.

Read More..

Menegakkan Khilafah adalah Kewajiban bagi Seluruh Kaum Muslim

Read More..

Menegakkan Khilafah adalah Kewajiban bagi Seluruh Kaum Muslim

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia. Khilafah berperan untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Istilah lain dari Khilafah adalah Imamah. Dua istilah tersebut memiliki pengertian yang sama. Sejumlah hadis sahih menyebutkan keduanya dengan pengertian yang sama. Tidak ada perbedaan di antara kedua istilah itu, baik dalam al-Quran maupun Sunnah Nabi saw. Penggunaan istilah Khilafah atau Imamah tidaklah wajib. Adapun yang wajib adalah menegakkan pengertian dari istilah itu sendiri.
Penegakan Khilafah adalah sebuah kewajiban bagi seluruh kaum muslim di dunia. Melaksanakan kewajiban ini, sama seperti melaksanakan kewajiban-kewajiban lain yang Allah Swt. tetapkan. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang bersifat urgen, tidak ada pilihan lain selain melaksanakannya. Sikap lalai terhadap pelaksanaan kewajiban ini merupakan dosa besar yang akan mendapat azab yang pedih dari Allah Swt.
Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penunjukan seorang khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslim dapat ditemukan dalam Sunnah dan Ijma sahabat.
Nafi’ meriwayatkan bahwa Umar berkata kepadanya bahwa ia mendengar Nabi saw. berkata, “Siapa saja yang melepaskan diri dari ketaatan terhadap Allah Swt., akan menemui Allah di Hari Kebangkitan tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati tanpa memiliki baiat (ketaatan terhadap seorang khalifah) di pundaknya, sesungguhnya ia mati seperti mati jahiliah.”
Demikianlah, Nabi saw. mewajibkan kaum muslim untuk memiliki baiat. Nabi saw. menegaskan bahwa orang yang mati tanpa memiliki baiat, maka matinya seperti mati jahiliah. Baiat tidak diberikan kepada siapa pun selain kepada seorang khalifah, dan Nabi saw. mewajibkan setiap muslim untuk memiliki baiat terhadap seorang khalifah di pundaknya masing-masing. Meskipun demikian, beliau tidak mewajibkan setiap muslim untuk melakukan baiat secara langsung kepada seorang khalifah. Adapun yang diwajibkan ialah adanya baiat pada pundak setiap muslim yang sudah balig, yaitu setiap muslim yang bisa memutuskan bahwa seseorang memang layak dipilih dan dibaiat menjadi khalifah. Jadi, yang wajib adalah adanya seorang khalifah yang menempatkan baiat di pundak setiap muslim, terlepas dari apakah setiap muslim memberikan baiatnya secara personal ataukah tidak.
Hadis Nabi saw. di atas menjadi dalil bahwa penunjukan seorang khalifah adalah sebuah kewajiban, tapi tidak menjadi dalil bahwa setiap muslim wajib memberikan baiat. Hal ini karena Nabi saw. tidak memperlakukan seorang muslim yang seumur-umur tidak memiliki baiat di pundaknya sebagai orang yang tidak memberikan baiat. Hisham bin Urwa dari Abu Salih dari Abu Hurairah, mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Kelak akan ada para pemimpin setelahku yang akan mengurusi kalian. Pemimpim yang alim akan memimpin dengan kealimannya, dan pemimpin yang zalim akan memimpin dengan kezalimannya. Dengarkan dan taatilah mereka dalam segala urusan yang makruf. Apabila mereka bertindak benar, maka itu menjadi hak kalian. Apabila mereka berbuat salah, maka kewajiban kalian untuk mengoreksi mereka”.
Imam Muslim meriwayatkan dari al-A’araj dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda, “Bersabarlah, seorang imam adalah perisai yang menjadi pelindung bagi umatnya. Umat berperang dan berlindung di belakangnya”. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hazim yang berkata, “Aku bersama-sama dengan Abu Hurairah selama lima tahun dan aku mendengar ia membicarakan sabda Nabi saw., ‘Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi. Apabila seorang nabi meninggal, maka segera diganti oleh nabi penerusnya. Namun, tak akan ada nabi setelahku. Kelak akan ada para khalifah dalam jumlah yang banyak’. Para sahabat bertanya, ‘Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Beliau menjawab, ‘Tepatilah baiat yang pertama dan hanya yang pertama. Berikan kepada mereka hak-haknya. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka perihal perkara yang telah Allah kuasakan kepada mereka”. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang melihat sesuatu yang tidak menyenangkan dari pemimpinnya, hendaknya ia bersabar, karena siapa saja yang melepaskan dari dari sulthan (kekuasaan Islam), meskipun hanya sejengkal dan ia mati dalam keadaan seperti itu, maka matinya seperti mati jahiliah.”
Dalam hadis-hadis di atas, Nabi saw. mengabarkan tentang bakal adanya para pemimpin yang menangani urusan kaum muslim. Dari hadis-hadis tersebut, juga diperoleh keterangan tentang peran khalifah sebagai perisai yang akan melindungi umat. Jadi, gambaran tentang fungsi imam sebagai perisai adalah informasi tentang kemaslahatan dari keberadaan imam. Informasi tersebut merupakan seruan untuk melakukan perbuatan. Jika seruan yang disampaikan oleh Allah Swt. dan Nabi saw. mengandung celaan, maka itu berarti perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Namun, jika seruan itu mengandung pujian, maka itu berarti sebuah perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Jika perbuatan yang diperintahkan itu penting bagi penerapan hukum syara’, atau jika ditinggalkannya perbuatan itu menyebabkan terabaikannya hukum syara’, berarti perintah itu bersifat tegas. Dalam hadis-hadis di atas ada kabar bahwa yang menjalankan urusan kaum muslim adalah para khalifah, yang mengindikasikan adanya perintah untuk mengangkat khalifah.
Dari hadis-hadis itu juga terdapat larangan bagi kaum muslim untuk memisahkan diri dari penguasa, yang berarti mengindikasikan wajibnya kaum muslim menunjuk seseorang menjadi penguasa untuk memerintah mereka. Selanjutnya, Nabi saw. memerintahkan kaum muslim untuk menaati khalifah dan memerangi orang-orang yang melawan kekuasaan sang khalifah. Ini mengindikasikan kewajiban untuk mengangkat seorang khalifah dan melindungi khalifah tersebut dengan cara memerangi siapa saja yang menentangnya. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang telah membaiat seorang imam, lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka taatilah ia semampunya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.” Jadi, perintah untuk menaati imam merupakan perintah untuk mengangkat imam. Juga, perintah untuk memerangi orang-orang yang menentang imam adalah indikasi bahwa perintah tersebut bersifat tegas (jazm) dalam rangka mempertahankan keberadaan satu orang khalifah.
Selain itu, para sahabat bersepakat dalam kewajiban menetapkan seorang khalifah setelah wafatnya Nabi saw. Mereka bersepakat menunjuk Abu Bakar r.a. sebagai khalifah pertama. Setelah Abu Bakar wafat, para sahabat memilih Umar r.a. dan setelah Umar, para sahabat mengangkat Utsman r.a. Ijma juga menunjukkan bagaimana para sahabat sampai menunda penguburan Nabi saw. demi mendahulukan penunjukan seorang khalifah. Padahal, mengubur orang yang meninggal adalah fardhu, dan orang-orang yang hendak mempersiapkan penguburan mayat diharamkan melakukan aktivitas lain sebelum penguburan itu tuntas. Artinya, pada saat itu para sahabat terkena kewajiban untuk mempersiapkan penguburan Nabi saw. Akan tetapi, sebagian sahabat malah sibuk memilih khalifah, sementara yang sebagian lagi mendiamkan sebagian sahabat yang sibuk memilih khalifah itu. Itu artinya, para sahabat yang mendiamkan itu telah turut berpartisipasi dalam menunda pengebumian Nabi saw. hingga dua malam, meskipun mereka mampu menolak penangguhan itu dan mereka mampu mengubur mayat Nabi saw. pada saat itu juga. Dengan demikian, hal ini merupakan Ijma untuk mendahulukan pemilihan seorang khalifah ketimbang mengubur mayat. Hal ini hanya bisa terjadi karena kewajiban memilih seorang khalifah dipandang lebih tinggi prioritasnya ketimbang kewajiban mengebumikan mayat. Para sahabat pun sepanjang hidupnya bersepakat tentang wajibnya memilih seorang khalifah. Meskipun terkadang mereka berselisih pendapat tentang siapa yang yang akan dipilih menjadi khalifah, tapi mereka tidak pernah bersilang pendapat ihwal penunjukan seorang khalifah, baik ketika Nabi saw. wafat maupun ketika setiap Khulafaur Rasyidin meninggal. Oleh karena itu, Ijma sahabat ini merupakan dalil yang jelas, kuat, dan meyakinkan perihal wajibnya mengangkat seorang khalifah.
Sejumlah dalil secara pasti menunjukkan bahwa penegakan Islam dan penerapan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan merupakan kewajiban atas seluruh kaum muslim. Kewajiban tersebut tidak akan pernah terlaksana secara sempurna kecuali ada penguasa yang memiliki kekuasaan untuk menerapkannya. Salah satu kaidah syara’ menyatakan bahwa ‘jika suatu kewajiban tidak bisa sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib’. Wajibnya penunjukan seorang khalifah sesuai dengan kaidah tersebut. Prinsip ini bisa direalisasi dengan contoh-contoh berikut.
Imam Baihaqi dalam Sunan-nya meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun yang berhak melaksanakan hudud tanpa Sulthan (otoritas Negara)”.
Imam Tahawi meriwayatkan sebuah hadis dari Muslim bin Yasar bahwa Nabi saw. bersabda, “(Pengumpulan) zakat, (pelaksanaan) hudud, (pendistribusian) ghanimah, dan (penunjukan) khatib Jumat adalah hak Sulthan”. (Riwayat yang sama juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaibah dalam Musanaf-nya dan juga oleh Imam Narghiyani. Semuanya dapat diterima.)
Dengan demikian, menegakkan Khilafah merupakan sebuah kewajiban yang menopang sejumlah banyak kewajiban yang lain, seperti hudud, pengumpulan dan pendistribusian zakat, pengaturan shalat Jumat dan para khatibnya, serta kewajiban-kewajiban yang lain. Penggusuran sistem kufur juga sangat bergantung pada keberadaan Khilafah. Menegakkan Islam pada hakikatnya adalah dengan cara menegakkan Khilafah karena itulah satu-satunya metode untuk menerapkan Islam secara sempurna. Dengan demikian, keseluruhan aspek Islam bergantung pada Khilafah karena Khilafahlah metode untuk merealisasi eksistensi Islam.
Situasi terkini dari umat Islam membuktikan pernyataan di atas. Hukum pidana Islam tidak diberlakukan dan malah diganti dengan hukum pidana yang berasal dari negara-negara Eropa. Sistem ekonomi Islam diganti oleh sistem ekonomi Kapitalisme. Saat ini sumber daya alam milik umat Islam menjadi ‘ghanimah’ yang didistribusikan oleh orang-orang kafir. Negeri-negeri Islam dikuasai oleh orang-orang kafir, meskipun kaum muslim memiliki kekuatan militer yang memadai. Ketiadaan cara hidup Islami membuat klab malam dan bar menjamur di tanah suci al-Quds, serta di banyak kota lain di dunia Islam. Rentetan fakta yang memilukan ini jelas-jelas menggambarkan akibat dari ketiadaan Islam dan betapa benarnya pernyataan Rasulullah saw.
Allah Swt. memerintahkan Nabi saw. untuk menangani urusan kaum muslim berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, yakni Islam, dan perintah itu merupakan perintah yang tegas. Allah Swt. menyeru Nabi saw. dengan firman-Nya:
“Maka putuskanlah perkara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan kepadamu, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS al-Maa-idah [5]: 48).
“Maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan kepadamu, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkanmu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu” (QS al-Maa-idah [5]: 49).
Perintah Allah Swt. kepada Nabi saw. merupakan perintah kepada umat Islam secara keseluruhan, kecuali ada indikasi yang membatasi bahwa perintah itu hanya ditujukan kepada Nabi saw. Dalam ayat-ayat di atas tidak ada indikasi semacam itu, sehingga perintah Allah kepada Nabi saw. yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut adalah juga perintah kepada seluruh kaum muslim untuk menerapkan hukum-hukum Allah. Penegakan Khilafah tidak lain adalah penegakan hukum dan kedaulatan Allah. Di sisi lain, Allah Swt. mewajibkan kaum muslim untuk menaati para penguasa. Artinya, keberadaan penguasa itu sendiri adalah perkara yang wajib. Allah Swt. berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul-Nya, dan para pemimpin di antara kalian” (QS al-Nisaa’ [4]: 59).
Allah swt tidak mewajibkan kita untuk menaati sesuatu yang tidak ada. Hal ini mengindikasikan bahwa eksistensi penguasa adalah wajib. Ketika Allah Swt. mewajibkan sikap taat terhadap penguasa, artinya Allah mewajibkan kita untuk mengangkat penguasa yang kelak akan ditaati. Implementasi Syariat Islam sangat bergantung pada eksistensi penguasa. Dengan demikian, keberadaan penguasa tersebut merupakan kewajiban karena tanpa penguasa tidak akan ada penerapan syariat yang paripurna.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut berikut penjelasannya, jelas bahwa kaum muslim diwajibkan mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi penguasa. Juga jelas bahwa pengangkatan seorang khalifah yang akan menjalankan pemerintahan merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan dilakukan demi penerapan hukum syara’, bukan sekadar demi kekuasaan. Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakannya. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian”. Lantas, Nabi saw ditanya, “Ya, Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka?” Beliau menjawab, “Jangan, selagi mereka masih menegakkan shalat”. Hadis ini dengan lugas menerangkan ihwal pemimpin yang baik dan yang buruk, dan melarang melakukan perlawanan terhadap penguasa selama penguasa itu masih menegakkan shalat, yang dalam konteks hadis tersebut berarti menegakkan hukum-hukum Islam.
Walhasil, mengangkat seorang khalifah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam merupakan kewajiban yang mendapat legitimasi yang pasti dan meyakinkan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Lebih jauh lagi, kewajiban ini lahir karena Allah Swt. mewajibkan kaum muslim untuk menegakkan Islam dan melindungi kemuliaan kaum muslim.
Meskipun demikian, kewajiban ini bersifat kolektif. Artinya, jika ada sebagian kaum muslim yang telah memenuhinya, maka kewajiban itu dianggap telah terpenuhi dan sebagian kaum muslim yang lain tidak lagi terkena kewajiban itu. Namun, jika sebagian kaum muslim yang sudah berupaya itu belum mampu menyempurnakan kewajiban tersebut, meskipun mereka telah berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikannya, maka tanggung jawab untuk menunaikan kewajiban itu tetap ada di pundak seluruh kaum muslim. Jadi, kewajiban itu tetap ada pada diri setiap muslim selama Khilafah belum tegak.
Berdiam dirinya seorang muslim dari perjuangan menegakkan Khilafah dianggap sebuah dosa besar karena hal itu berarti ia tidak melakukan kewajiban yang sangat penting dalam Islam. Padahal, keberadaan Khilafah menjadi tumpuan pelaksanaan hukum-hukum Allah Swt. Bahkan, eksistensi Islam dalam kehidupan pun amat ditentukan oleh ada-tidaknya Khilafah. Jadi, seluruh kaum muslim akan dianggap berdosa besar manakala mereka berdiam diri dari perjuangan menegakkan Khilafah. Lalu, jika kaum muslim bersepakat untuk hidup tanpa adanya Khilafah, maka seluruh kaum muslim di muka bumi ini berdosa.
Apabila ada sebagian kaum muslim yang memperjuangkan tegaknya Khilafah dan ada sebagian lain yang tidak ikut berjuang, maka dosa itu akan berguguran dari pundak mereka yang memperjuangkannya, meskipun kewajiban itu tetap ada pada mereka selama belum diangkatnya seorang khalifah. Hal ini karena keterlibatan dalam penunaian kewajiban itu akan menghilangkan dosa akibat tertangguhkannya pelaksanaan kewajiban itu yang seharusnya tepat pada waktunya, dan akibat dari tidak dipenuhinya kewajiban itu, terlepas dari bentuk keterlibatan seseorang dalam memperjuangkannya, dan terlepas dari kebenciannya terhadap sesuatu yang membuatnya tidak mampu memenuhi kewajiban itu.
Sementara itu, orang-orang yang tidak terlibat dalam penunaian kewajiban itu, tetap dianggap berdosa terhitung sejak lewat waktu (dua malam) tiga hari dari khalifah terakhir hingga terpilihnya khalifah yang baru nanti. Hal ini karena Allah Swt. telah memerintahkan suatu kewajiban kepada mereka, tapi mereka tidak melaksanakan kewajiban itu ataupun terlibat dalam usaha yang diperlukan demi sempurnanya kewajiban tersebut. Oleh karena itu, mereka akan dianggap berdosa dan layak memperoleh hukuman dan celaan dari Allah Swt. di dunia dan di akhirat kelak. Mereka berdosa akibat ketidakterlibatannya dalam perjuangan menegakkan Khilafah atau dalam usaha-usaha yang menurut syariat mengarah pada penegakan Khilafah. Tentu saja seorang muslim layak mendapat sanksi dari Allah Swt. tatkala ia mengabaikan kewajiban yang seharusnya dilakukannya, apalagi jika kewajiban itu menjadi fondasi bagi terlaksananya kewajiban-kewajiban lain, demi tegaknya hukum-hukum Allah, kembalinya kejayaan Islam, serta demi tingginya kalimat Allah di muka bumi ini.
Dengan demikian, tidak ada seorang muslim pun di mayapada ini yang memiliki dalih untuk mengabaikan aktivitas untuk menegakkan agama Islam sebagaimana yang telah Allah Swt. perintahkan, yaitu menegakkan Khilafah bagi seluruh kaum muslim. Ketiadaan Khilafah berarti tidak ada yang menerapkan hudud Allah untuk melindungi kesucian Allah Swt., tidak ada yang menerapkan hukum syara’, serta tidak ada yang menyatukan kaum muslim di bawah panji Laa ilaaha illa Allah, Muhammad ar-Rasul Allah. Islam tidak akan menolerir siapa pun yang mengabaikan kewajiban ini hingga terlaksana secara paripurna.

Read More..

MENDIRIKAN NEGARA ISLAM WAJIB ATAS SELURUH MUSLIM

Read More..

MENDIRIKAN NEGARA ISLAM
WAJIB ATAS SELURUH MUSLIM



Perangkat Negara Islam dibentuk atas tujuh pilar (unsur), yaitu: khalifah, mu'awinun, wulah, qudhah, dirjen adiminstrasi, militer, dan majelis syura. Jika negara berhasil menyempurnakan tujuh unsur ini, maka perangkat negara juga menjadi sempurna. Jika kurang salah satu darinya, maka perangkat negara juga kurang. Akan tetapi, negara (Negara Islam) masih tetap dikatakan eksis dan kekurangan salah satu unsur itu tidak membahayakan negara selama unsur khalifah masih ada. Karena khalifah adalah asas dalam Negara Islam.
Adapun kaidah-kaidah pemerintahan dalam Negara Islam ada empat macam: khalifah yang diangkat hanya seorang, kekuasaan milik umat, wewenang kepemimpinan milik syara', dan pelegalisasian hukum-hukum syara' sebagai undang-undang negara hanya dilakukan oleh khalifah. Jika salah satu dari kaidah-hkaidah ini kurang, maka pemerintahan tidak bisa disebut pemerintahan Islam, bahkan harus menyempurnakan seluruh empat kaidah ini. Asas dalam Negara Islam adalah khalifah, sementara unsur-unsur lainnya adalah pengganti atau teman diskusi khalifah. Dengan demikian, Negara Islam adalah khalifah yang menerapkan Islam. Khilafah atau imamah adalah wewenang mutlak dalam mengatur kaum muslimin. Khilafah bukan termasuk aqidah, tetapi bagian dari hukum-hukum syara' karena kedudukannya sebagai bagian dari masalah-masalah furu'iyah yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia.
Menegakkan atau mengangkat khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin. Tidak halal bagi muslim yang bermalam selama dua hari tanpa memberikan baiat kepada khalifah. Jika kaum muslimin menganggap sepi terhadap khalifah selama tiga saja, maka mereka semua dihukumi dosa sampai mereka berhasil menegakkan khalifah. Dosa mereka tidak akan gugur sampai mereka mencurahkan segenap upaya dan kekuatan untuk menegakkan khalifah dan mengarahkan aktifitas hingga berhasil mengangkat khalifah.
Keharusan mengangkat khalifah ditetapkan dengan Kitabullah, sunnah Rasul, dan ijma' shahabat. Dasar yang diambil dari Kitabullah adalah perintah Allah pada Rasul agar menjalankan pemerintahan (hukum) Islam di tengah kaum muslimin dengan apa-apa yang diturunkan-Nya kepadanya. Perintah-Nya tegas dan pasti. Allah berfirman: "Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang keadamu" (QS. Al-Maaidah: 48). Firman-Nya lagi: "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhdap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (QS. Al-Maaidah: 49). Khithab Allah pada Rasul ini adalah khithab untuk umatnya selama belum ada dalil yang mentakhshishnya (mengecualikannya). Dan, dalam konteks ini belum ada dalil yang mentakhshishnya. Dengan demikian, khithabnya untuk seluruh kaum muslimin adalah dengan keharusan mendirikan pemerintahan [Islam]. Mendirikan khalifah adalah mendirikan pemerintahan dan kekuasaan [Islam].
Adapun dalil sunnahnya adalah sabda Rasul seperti berikut: "Barangsiapa mati dan belum mengetahui (mengakui) imam (khalifah) zamannya, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah." Imam Ahmad dan Thabrani juga meriwayatkan: "Dan barangsiapa mati, sementara di lehernya tidak ada baiat, maka matinya adalah mati jahili." Dua perawi ini meriwayatkan dari hadits Mu'awiyah. Dalam shahihnya, Imam Muslim juga punya riwayat dari Ibnu Umar yang berkata, "Saya mendengar Rasul bersabda, 'Barangsiapa melepaskan tangan dari taat pada Allah, maka dia pasti akan bertemu Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak punya hujjah. Dan, barangsiapa mati sementara di lehernya tidak ada baiat, maka matinya mati jahiliah.'" Hisyam bin 'Urwah meriwayatkan dari Abu Shalih dari Abuhurairah yang menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Setelahku akan menyusul para wulah yang memerintah kalian, lalu orang baik akan memerintah kalian dengan kebaikannya, dan orang yang cabul akan memerintah kalian dengan kecabulannya. Maka dari itu, dengarkanlah mereka dan taatilah dalam hal-hal yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka (para penguasa itu) berbuat baik, maka kebaikan bagi kalian. Jika mereka berbuat jahat, maka kebaikan untuk kalian dan tanggung jawab (dosa atas kejahatan itu) dibebankan pada mereka."
Adapun dasar ijma'nya adalah sikap politik para sahabat yang membuat keputusan yang paling penting setelah wafatnya Rasul. Keputusan politik itu diwujudkan dengan mengangkat seorang khalifah. Dalilnya adalah peristiwa politik riil yang shahih di rumah Saqifah bani Sa'idah. Demikian juga mengenai pengangkatan seorang khalifah baru setelah kematian setiap khalifah sebelumnya. Keharusan mengangkat seorang khalifah yang didasarkan pada ijma' shahabat dilangsungkan dan dinukil secara mutawatir. Pengangkatan ini sampai menjadikan khalifah sebagai kewajiban terpenting di antara kewajiban-kewajiban yang ada. Demikian itu dikatagorikan sebagai bentuk dalil yang qath'i dan bentuk kesepakatan para sahabat yang mutawatir atas dilarangnya umat kosong dari adanya khalifah di manapun dan kapanpun. Oleh karena itu, umat wajib mengangkat dan memberi kuasa pada seorang imam. Dengan demikian, seluruh umat semenjak wafatnya Rasul hingga hari kiamat kena khithab dalil-dalil di atas.
Kepastian keharusan mengangkat khalifah sangat jelas. Kepastian pemahaman para sahabat atas kepastian keharusan ini juga sangat jelas. Kepastian yang jelas ini ditunjukkan dengan keputusan politik para sahabat yang mengakhirkan penguburan jenazah Rasulullah sampai mereka berhasil membaiat seorang khalifah untuk memimpin negara. Demikian juga tentang keputusan politik yang diambil Khalifah Umar bin Khaththab ra. di waktu mendekati kematiannya karena tikaman seorang budak. Melihat kondisi khalifah yang sangat kritis ini, kaum muslimin mendesak Umar ra. agar menentukan penggantinya, namun Umar ra. menolak. Lalu mereka mendesak Umar ra. hingga akhirnya khalifah memilih enam calon penggantinya. Khalifah Umar ra. membatasi pencalonan khalifah yang ditunjuknya hanya pada enam orang. Salah seorang dari mereka akan dipilih menjadi khalifah. Bahkan, Umar ra. tidak cukup dengan ini. Dia memberi batas waktu pemilihan. Umar ra. memberi limit waktu selama tiga hari dengan catatan, jika selama tiga hari belum ada kesepakatan mengangkat seorang khalifah, maka bunuhlah yang menentang. Kemudian dia mewakilkan tugas ini pada enam calon tersebut. Di samping sebagai para calon pengganti khalifah dan termasuk para pembesar sahabat, mereka ini juga bertindak sebagai tim formatur khilafah. Mereka adalah Ali ra., 'Utsman ra., Abdurrahman bin 'Auf ra., Zubair bin 'Awwam ra., Thalhah bin 'Ubaidillah ra., dan Sa'ad bin Abi Waqash ra. Jika saja salah seorang dari mereka ada yang tidak setuju atas pengangkatan seorang khalifah harus dibunuh, maka demikian itu menunjukkan adanya kepastian hukum untuk memilih seorang khalifah.
Banyak kewajiban syar'i yang harus dilaksanakan oleh khalifah, seperti menjalankan hukum-hukum, menegakkan hudud, menutup bahaya, menyiapkan perangkat militer untuk pasukan, memberi keputusan hukum tentang pertikaian-pertikaian di antara rakyat, memelihara keamanan, dan kewajiban-kewajiban lainnya. Karena itu, pengangkatan khalifah adalah wajib.
Menuntut jabatan khilafah tidaklah dibenci makruh). Para sahabat yang bersidang di kediaman bani Saqif juga saling tarik-menarik dalam memperebutkan jabatan khilafah. Tim formatur bentukan Khalifah Umar ra. juga saling tarik-menarik mendapatkan kekhilafahan. Secara mutlak tidak satupun dari para sahabat yang menentang hal itu. Bahkan, sejak awal, kesepakatan para sahabat yang menerima perebuatan jabatan khilafah ini telah mengental.
Kewajiban mengangkat khalifah bagi kaum muslimin tidak boleh lebih dari satu khalifah. Dalilnya adalah sabda Rasul: "Jika dua khalifah dibaiat, maka bunuh salah satunya." Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri. Ada juga hadits Rasul yang lain: "Barangsiapa membaiat seorang imam, lalu dia memberinya satu tepukan tangan dan buah hatinya, maka taatilah khalifah itu jika dia mampu (semampunya). Jika datang khalifah lain yang hendak mencabutnya, maka penggallah leher khalifah yang lain itu." Dalam riwayat lain berbunyi: "Maka penggallah dia dengan pedang di manapun dia adanya." Perintah membunuh khalifah tandingan harus dilaksanakan jika khalifah itu tidak bisa dicegah kecuali dengan dibunuh. Jika beberapa orang yang memiliki kapasitas sebagai khalifah berkumpul, maka khalifah yang didukung adalah yang paling banyak memperoleh baiat. Sedangkan yang menentang baiat (suara) mayoritas adalah pembangkang (pendosa). Ini jika mereka bersepakat dalam pengadaan khalifah, tidak dalam perjanjian atas penguasaan wilayah untuk masing-masing calon khalifah. Namun, jika perjanjian penguasaan atas wilayah bagi satu orang yang telah memenuhi syarat-syarat khilafah, kemudian mayoritas umat membaiat khalifah (calon) lain, maka yang pertama (yang telah memenuhi syarat-syarat khalifah) adalah khalifah, sedangkan yang kedua (mendapatkan dukungan baiat terbanyak) wajib ditolak. Adapun syarat-syarat yang harus ada dalam diri seorang khalifah adalah: Islam, laki-laki, balig, berakal, adil, mampu, dan merdeka (bukan budak). Artinya, seorang khalifah harus laki-laki, muslim, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Adapun tentang syarat Islam, dalilnya adalah: "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang mukmin" (QS. An-Nisaa': 141). Sedangkan syarat laki-laki adalah sabda Rasulullah: "Kaum tidak akan jaya [jika] mereka menyerahkan [pengaturan] urusan [pemerintahan] kepada wanita." Adapun syarat balig dan berakal adalah sabda Rasul: "Pena diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur hingga bangun, dari anak kecil hingga bermimpi, dan dari orang gila hingga berakal." Barangsiapa yang pena diangkat darinya, maka dia bukan orang mukallaf (dibebani hukum) secara syara'. Dia tidak sah menjadi khalifah atau jabatan-jabatan lainnya yang menyangkut pemerintahan karena dia tidak memiliki hak mengatur.
Adapun syarat adil adalah syarat yang sudah lazim dan pasti. Syarat ini untuk mengikatkan dan mengentalkan khalifah juga untuk melangsungkan kelangsungan khalifah. Karena dalam kesaksian, Allah mengharuskan saksi memiliki keadilan. Allah berfirman: "Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antaramu" (QS. Ath-Thalaq: 2). Maka, barangsiapa yang memiliki wewenang lebih agung daripada saksi dan dia adalah khalifah, maka dia jauh lebih diwajibkan menjadi orang yang adil.
Adapun syarat khalifah harus orang yang merdeka adalah karena budak dikuasai oleh tuannya. Budak tidak memiliki kemampuan atau wewenang menjalankan peran dengan dirinya sendiri. Lebih jauh, dia tidak memiliki kuasa mengatur orang lain.
Sedangkan syarat kuasa, maka orang yang tidak mampu melaksanakan beban (kewajiban), sudah barang tentu beban apapun yang diberikan kepadanya akan sia-sia dan dia akan berlaku sewenang-wenang terhadap hukum-hukum dan menyia-nyiakan hak-hak. Islam tidak membolehkan demikian.
Ini adalah syarat-syarat khalifah yang baku. Adapun syarat-syarat lain yang disebutkan para ulama fiqih, seperti berani, berilmu, dari suku Quraisy atau dari keluarga Fathimah, dan syarat-syarat lain yang sejenis, maka demikian itu bukan syarat-syarat yang mengikat khilafah. Tidak ada dalil apapun yang mensahkan hal itu sebagai syarat yang mengikat khilafah dan mensahkan baiat. Karena itu, masalah tersebut tidak dikatagorikan sebagai syarat. Dengan demikian, setiap muslim laki-laki yang balig, berakal, adil, merdeka, dan kuasa disahkan untuk dibaiat menjadi khalifah kaum muslimin. Tidak ada syarat lain di luar itu.
Atas dasar ini, maka mendirikan Negara Islam adalah wajib atas semua kaum muslimin. Ini ditetapkan berdasarkan Kitabullah, Sunnah Nabi, dan ijma' sahabat. Karena kaum muslimin tunduk pada pengaruh kafir di negara mereka yang menerapkan hukum-hukum kafir, maka negara mereka menjadi Daru Kufrun setelah menjadi Daru Islam. Artinya, yang menjadi panutan (kiblat) mereka tidak lagi Islam meski negara mereka adalah Negara Islam. Wajib atas mereka hidup di Daru Islam dan menjadikan Islam sebagai panutan atau kiblat. Mereka tidak mungkin mewujudkan hal ini kecuali dengan mendirikan Negara Islam. Kaum muslimin akan selalu berdosa hingga mereka berjuang untuk menegakkan Negara Islam, lalu membaiat seorang khalifah yang akan menerapkan Islam dan mengemban dakwahnya ke semua penjuru alam.

Read More..