Thursday, August 16, 2007

NIGERIA: NEGERI KAYA YANG MELARAT

NIGERIA: NEGERI KAYA YANG MELARAT


Nigeria adalah salah satu negeri Muslim di Afrika yang paling sering diperbincangkan di media massa. Sayangnya, lebih banyak perkara negatif yang dikaitkan dengan negeri ini. Di antaranya adalah kerusuhan massal—yang katanya—akibat penerapan syariat Islam, kemelaratan, kriminalitas yang tingggi, tingkat korupsi nomor satu di dunia, kudeta militer yang tidak pernah berhenti, dan statusnya sebagai gudang narkoba. Apalagi negeri ini adalah negeri yang lebih dari 50 persen penduduknya adalah Muslim. Sisanya, yakni 40 persen, adalah Kristen, dan 10 persennya belum beragama.

Ironis memang. Negeri yang mayoritas penduduknya Muslim dikategorikan sebagai negeri miskin dan korup. Orang yang berpikir dangkal dan membenci Islam boleh jadi akan menuduh bahwa Islamlah yang menjadi akar penyebab semua persoalan di atas.

Perlu dijelaskan kepada para ‘penuduh’ di atas, bahwa Nigeria—sebagaimana sejumlah negeri yang diklaim sebagai negara-negara Islam yang ada saat ini—yang mayoritas berpenduduk Muslim bukanlah negeri yang menerapkan syariat Islam. Artinya, kondisi buruk negara mereka tidak ada hubungan dengan Islam. Negeri-negeri Islam yang melarat dan korup itu justru sebagian besar merupakan negara sekular yang tidak menerapkan syariat Islam. Kondisi di atas terjadi karena negeri-negeri tersebut, termasuk Nigeria, jauh dari syariat Islam.

Nigeria sesungguhnya adalah negeri yang kaya. Nigeria merupakan negara urutan keenam penghasil minyak terbesar di dunia. Negeri ini setiap harinya memproduksi dua juta barel minyak mentah. Indonesia, sebagai perbandingan, hanya 1,3 juta barel. Gas alam negeri ini juga melimpah-ruah. Yang lebih ironis, negeri ini termasuk negeri dengan penduduk yang rata-rata melarat dan dengan utang luar negeri terbesar di Afrika (25 miliar dolar). Negeri ini juga harus membayar bunga dan cicilan utangnya sebesar 1,2 miliar dolar. Jika demikian, apa penyebab semua keterpurukan negeri ini?

Korban Kapitalisme Global dan Para Jenderal Serakah

Apa yang menimpa Nigeria sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan negeri-negeri Islam yang lainnya. Alamnya kaya tetapi penduduknya menderita. Sama halnya dengan Indonesia. Penyebabnya adalah penerapan sistem kapitalisme di negeri-negeri tersebut yang merupakan warisan yang dipaksakan oleh para penjajah mereka. Di bidang ekonomi, sistem kapitalisme telah mengundang investasi asing dari negara-negara kapitalis dengan alasan untuk membangun negara yang baru merdeka. Tidak hanya itu, mereka juga diberikan bantuan utang luar negeri dengan alasan yang sama: untuk pembangunan. Pada kenyataannya, investasi asing dan utang luar negeri ini merupakan alat negara-negara kaya untuk menjerat negara yang baru merdeka tersebut.

Nigeria mengalami hal yang sama. Atas dasar investasi asing, perusahan-perusahaan raksasa kapitalisme global—seperti Shell, patungan Inggris-Belanda, Chevron (AS), dan Elf (Perancis) masuk ke Nigeria. Perusahan ini menguras kekayaan alam Nigeria, sementara rakyatnya tetap saja menderita. Penduduk Ogoni dan kelompok etnis lainnya menjadi penonton yang melarat di daerah Delta Niger yang merupakan ladang migas terbesar di Nigeria. Kondisi mereka sama melaratnya dengan orang Aceh, Papua, dan Riau di tanah mereka yang kekayaannya dikeruk oleh perusahaan asing.

Kapitalisme global ini, dengan alasan keamanan investasi, kemudian bersekutu dengan jenderal-jenderal serakah. Akibatnya, uang ‘pajak’ (yang jumlahnya sudah sangat kecil) yang diberikan oleh perusahaan tersebut masuk ke kantong-kantong para penguasa militer yang ditransfer ke bank-bank asing. Bersamaan dengan itu, ketika kontrol dan hukum tidak berfungsi, KKN pun merajela. Perusahaan kapitalis ini tidak ambil pusing dengan kondisi seperti ini. Bagi mereka, yang penting investasi mereka aman dan perusahaan mereka untung, meskipun mereka harus bersekutu dengan para penguasa militer yang kejam terhadap rakyatnya.

Tidak mengherankan jika kehidupan rakyat Nigeria semakin menderita. Pendapatan perkapitanya yang tahun 1985 mencapai 2.500 USD melorot menjadi 200 USD sepuluh tahun kemudian. Menyusul bangkrutnya ekonomi, kriminalitas pun meningkat. Ditambah lagi dengan konflik antaretnis yang tidak jarang mengatasnamakan agama.

Meninggalnya Presiden Sani Abacha 8 Juni 1998 pada awalnya memberikan harapan pada rakyat Nigeria. Rakyat yang sudah muak dengan rezim militer berharap munculnya pemerintahan yang demokratis. Keinginan itu terwujud saat diadakan pemilu yang dimenangkan oleh Olusegun Obasanjo dengan 62,5 persen suara. Namun ternyata, harapan tinggal harapan, demokrasi ternyata tidak membawa banyak perubahan bagi rakyat Nigeria. Profesor Aluko, salah seorang ekonom Nigeria, bahkan mengatakan, bahwa pemerintahan militer Jenderal Sani Abaca yang tidak demokratis jauh lebih baik pengaturan ekonominya dibandingkan dengan pemerintahan sekarang. Tawaran demokrasi malah menambah penderitaan masyarakat Nigeria. Robert D. Kaplan menulis kondisi di Nigeria dengan mengatakan, “Demokratisasi di Nigeria menyebabkan maraknya kekerasan etnis yang kronis, yang tidak saja membungkam kebebasan individu, tetapi juga membahayakan kehidupan kelompok.”

Penderitaan pun terus berlanjut. Kondisi yang menyedihkan ini mendorong kaum Muslim di Negeria untuk melirik syariat Islam. Mereka melihat bahwa persoalan korupsi, kriminalitas, dan KKN akan dapat diselesaikan dengan syariat Islam. Pemerintah negara bagian Nigeria Utara lalu memulainya dengan penerapan hukum bagi para pelaku kriminal pada bulan Februari 2001. Beberapa negara bagian yang mayoritas Muslim pun menuntut hal yang sama. Beberapa kelompok muda dan profesional negara bagian timur laut Nigeria mengatakan, bahwa penerapan syariat Islam akan secara efektif mengendalikan tingginya tingkat kriminalitas dan persoalan lainnya. Gubernur Ahmad Sanim, dalam wawancaranya dengan BBC, mengatakan, “Islam adalah akidah dan kepercayaan. Bagi orang yang beriman, hanya akidah itulah yang menentukan mana perkara yang salah mana yang benar.” (BBC, Kcom, 22/03/2002).

Pemberlakuan sebagian syariat Islam ini kemudian memicu protes dari masyarakat non-Muslim yang sebagian besar berada di Selatan. Bahkan, kebijakan tersebut sampai menimbulkan kerusuhan yang banyak menimbulkan korban jiwa. Namun demikian, tidak sedikit pengamat yang melihat pemicu sesungguhnya bukanlah masalah penerapan syariat Islam, tetapi karena pihak militer yang tidak puas dengan kebijakan Obansanjo. Pasalnya, kebijakan ‘pemerintahan yang bersih’ yang dicanangkan Obasanjo akan merugikan kepentingan dan aset ekonomi yang selama ini didapat pihak militer. Apalagi Obasanjo juga mengusulkan pengurangan jumlah angkatan bersenjata menjadi setengahnya (30.000 personil), pengetatan anggaran militer, dan pengusutan pelanggaran HAM di masa yang lalu. Pengamat tersebut mengatakan, bahwa pihak militerlah yang memprovokasi berbagai kerusuhan di atas.

Pihak Kristen pun tampaknya ikut bermain ddi balik berbagai kerusuhan di Nigeria. Memang, sejak dulu konflik antara Islam dan Kristen terus berlangsung. Konflik sering terjadi terutama setelah masa penjajahan Inggris yang menjadikan pihak Kristen sebagai alat untuk mendominasi Nigeria dan mencegah kebangkitan kelompok Islam. Campur tangan asing ini telah turut memprovokasi berbagai kerusuhan di Nigeria.

Tidak hanya itu, penerapan syariat Islam di Negeria juga telah dijadikan isu internasional oleh negara-negara Barat untuk menyudutkan hukum Islam. Ini tampak, misalnya, dari adanya berbagai reaksi terhadap keputusan hukuman rajam sampai mati Pengadilan Syariah di Negara Bagian Katsina. Hukuman rajam itu jatuhkan pada Hari Selasa 20 Agustus 2002 terhadap Amina Lawal yang terbukti telah berzina. LaShawn R, Direktur Eksekutif Human Right Watch, divisi hak-hak wanita, memberikan komentar, “Hukum itu digunakan untuk menghukum wanita dewasa akibat hubungan seks yang suka sama suka.”

Parlemen Eropa juga mengajukan kecaman terhadap penerapan hukum Islam atas Safiya Hussaini Tunggar Tudu yang dihukum rajam karena berzina oleh pengadilan di Gwadabawa (Negara Bagian Skoto).

Ironisnya, Barat hanya berdiam diri terhadap kemiskinan rakyat Nigeria—yang lebih dari 45 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan—akibat penjajahan kapitalisme mereka. Barat tidak melakukan apa-apa saat krimininalitas dan pertikaian antar etnis meningkat di negeri itu. Barat juga tidak mempunyai solusi untuk menghentikan perkembangan penyakit AIDS di negeri itu—tentu saja akibat seks bebas yang ditularkan oleh peradaban mereka ke Nigeria. Padahal, lebih dari 2,7 juta rakyat Nigeria mengidap penyakit AIDS; 250.000 orang di antaranya meninggal akibat penyakit tersebut. Yang dilakukan oleh Barat hanyalah mengeruk kekayaan alam Nigeria. Saat kaum Muslim kembali kepada hukum Allah, mereka mengatakan hukum Allah tersebut barbar dan kejam. Padahal, syariat Islam akan menyelesaikan seluruh persoalan manusia.

Pentingnya Kesadaran Politik

Tampaknya, upaya penyadaran syariat Islam di tengah-tengah masyarakat, termasuk non-Muslim, harus lebih dikampanyekan di Nigeria. Gampangnya terjadi provokasi berkaitan dengan syariat Islam menunjukkan belum utuhnya pemahaman rakyat Nigeria tentang syariat Islam. Misalnya, penerapan sebagian syariat Islam dalam masalah kriminal jelas tidak akan menyelesaikan persoalan Nigeria secara keseluruhan. Demikian juga syariat Islam yang dibatasi hanya untuk negara bagian tertentu dan bagi kaum Muslim saja.

Karena itu, perlu penyadaran tentang dua perkara: (1) kewajiban penerapan syariat Islam secara kaffah (termasuk bagi non-Muslim); (2) keniscayaann bahwa syariat Islam akan menyelesaikan masalah Nigeria secara total—termasuk memberikan kebaikan kepada non-Muslim—harus semakin digencarkan. Sebab, memang hanya syariat Islamlah yang akan menyelamatkan negeri Afrika tersebut.

Islam adalah solusi yang sesuai untuk Nigeria dan juga negeri-negeri lain, termasuk bagi non-Muslim. Allah Swt. juga telah menyatakan bahwa penerapan Islam akan memberikan rahmat bagi seluruh alam, termasuk orang-orang non-Muslim (QS al-Anbiya [21]: 107). Orang-orang non-Muslim yang menjadi ahlul dzimmah memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata Islam. Sebab, mereka dianggap sama-sama merupakan warga negara Daulah Khilafah Islamiyah. Orang-orang non-Muslim akan diberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan), kesehatan, keamanan, dan pendidikan oleh negara. Mereka juga tidak dipaksa untuk masuk Islam (QS al-Baqarah [2]: 256). Kehidupan mereka akan sejahtera sebagaimana kaum Muslim. Tidak mengherankan kalau T.W Arnold, dalam bukunya, The Preaching of Islam, menggambarkan bagaimana pihak pendeta Nasrani dan Yahudi bisa menjalankan ibadah ritual mereka tanpa diganggu oleh Negara Islam. Masih banyaknya pemeluk Kristen di Timur Tengah hingga saat ini merupakan bukti teloransi yang diberikan oleh Islam kepada orang-orang non-Muslim.

Islam juga memberikan solusi bagi krisis kesukuan yang terjadi di Nigeria saat ini. Demikianlah sebagaimana Rasulullah berhasil menyelesaikan problem kesukuan masyarakat Arab 1400 tahun yang lalu. Krisis ekonomi akibat keserakahan kapitalisme juga akan dapat diselesaikan dengan Islam, antara lain dengan pengaturan masalah kepemilikan. Minyak bumi dan gas yang berlimpah-ruah di Nigeria sesungguhnya adalah milik umum (milkiyah ‘âmah) yang hasilnya harus diserahkan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk perusahaan-perusahaan kapitalis Barat dan para jenderal serakah seperti sekarang ini. []

1 comment:

verdische said...

hukum islam jelas ditentang oleh kaum non moslim, itu justru menimbulkan masalah baru.

Hukum islam menurut saya sudah kono, ketinggalan zaman dan basi.. kenapa harus di pake ???

Demokrasi adalah hukum yg paling adil bagi semua. Masalahnya org yg menjalankannya yg korup & tdk benar.