Saturday, January 12, 2008

MEMAHAMI KRISIS EKONOMI(MELALUI PENDEKATAN MONETER)Bagian Kedua

Read More..


Pada bagian pertama, sebagaimana diketahui, telah dipaparkan bahwa sistem keuangan dan interaksi ekonomi yang berbasiskan emas terbukti mampu menciptakan perekonomian dunia yang relatif stabil dan mapan. Sebaliknya, manakala sistem pertukaran yang berbasiskan emas lenyap, kekacauan sistem keuangan mulai terjadi yang secara langsung ataupun tidak turut memberikan sumbangsih bagi krisis demi krisis ekonomi yang terjadi. Dalam konteks moneter, pasca lenyapnya sistem emas, krisis secara langsung dapat dirasakan pada: (1) sistem pertukaran emas; (2) sistem uang kertas (fiat money). Poin pertama telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, sementara poin kedua akan dipaparkan pada bagian ini. Berikut ini adalah penjelasnnya.



2. Krisis pada sistem uang kertas (fiat money).

Krisis yang terjadi pada sistem keuangan dunia ini semakin bertambah cepat karena masing-masing negara berlomba secara politik dan ekonomi serta saling mengguncangkan pasar khusus. Masing-masing negara merasa perlu untuk melepas atau mengekspor barang ke negara lain; juga karena adanya keperluan atas utang atau yang lainnya. Semua itu berpengaruh besar terhadap naik-turunnya nilai mata uang. Hal itu menjadikan kestabilan harga dan kesepakatan interaksi ekonomi menjadi sangat sulit, kalau tidak dikatakan nihil, sebagaimana yang terjadi sekarang dalam interaksi ekonomi regional maupun internasional.

Dalam sistem uang kertas (fiat money) ini, negara-negara di dunia harus menyandarkan cadangan devisanya pada mata uang negara yang berpengaruh secara ekonomi dan politik karena keperluannya atas negara besar tersebut. Perubahan politik dan ekonomi negara berpengaruh akan memperngaruhi bentuk krisis mata uang negara-negara lain dan ekonomi negara lain. Negara yang mengikatkan mata uangnya pada dolar AS, misalnya, akhirnya merasa penting untuk menjaga kestabilan dolar demi menjaga cadangan devisanya. Jika permintaan terhadap mata uang regional bertambah sehingga mengakibatkan naiknya nilai kurs mata uang tersebut terhadap dolar, negara tersebut akan melepaskan sejumlah mata uangnya ke pasar dan mempertukarkannya (menjualnya) dengan dolar. Jika terjadi sebaliknya, yaitu masyarakat tidak membutuhkan mata uang negara itu (kelebihan penawaran/over supply), negara tersebut akan menarik kelebihan penawaran mata uangnya dengan cara membeli mata uangnya itu dari pasar dengan dolar (melepas dolar dari cadangan devisanya ke pasar) atau membanjiri pasar dengan dolar yang berasal dari cadangannya sehingga cadangannya kembali diisi dengan mata uangnya sendiri. Dengan demikian, setiap negara yang mata uangnya terikat dengan dolar terbebani untuk menjaga mata uangnya dan menjaga nilai dolar. Negara melakukan kebodohan ini sampai pada tingkat yang lebih besar dan memberatkan dirinya. Sebaliknya, dengan itu, negara tersebut malah memberikan keuntungan pada negara pemilik mata uang dolar itu.

Negara mengerahkan kesungguhannya dan melakukan kebodohan ini demi menjaga cadangan devisanya yang berbentuk mata uang asing—biasanya dalam dolar AS—karena penurunannya dipengaruhi jumlah persediaannya di pasar. Contohnya adalah sebagai berikut:

  1. Kerugian pernah dialami Bank Sentral Kuwait sekitar 79,6 juta dinar dalam dua tahun, yaitu th. 71/72 dan th. 72/73 akibat terjadinya penurunan dolar yang pertama dan kedua yang mencapai batas 18 persen.
  2. Terjadinya penurunan nilai investasi kekayaan pada negara-negara Aubik sebanyak 61 persen dari nilai nominalnya pada awal 70-an, yaitu dari sekitar 78 biliun dolar menjadi 47 biliun dolar pada kurun 1974-1978.
  3. Pajak minyak negara-negara Arab selama dua tahun 79-80 setara 176 miliar dolar pertahun. Hal itu merupakan kerugian akibat perubahan harga dolar.
  4. Nilai cadangan uang negara-negara Arab adalah 35,44 biliun dolar sepanjang tahun 1976. Sekitar 87,8 persennya menggunakan mata uang asing yang sering berubah-ubah.


Berkaitan dengan pengaruh langsung mata uang asing terhadap uang negara yang di-back up dengan mata uang asing di kas cadangan negara, maka mata uang kertas (fiat money) mempunyai pengaruh yang cepat terhadap kondisi ekonomi regional maupun internasional. Dengan demikian, fiat money memicu inflasi lebih banyak dibandingkan dengan sistem-sistem sebelumnya.

Dalam sistem pertukaran uang berbasis emas, uang disandarkan pada emas dan uang kertas yang dijamin dengan emas terdapat kestabilan parsial nilai uang, kecuali jika cadangan emas lebih kecil daripada total uang yang beredar. Akibatnya, tidak semua uang yang dikeluarkan dapat dipertukarkan dengan emas, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya. Dalam kondisi demikian, tatkala nilai mata uang tersebut menurun, maka nilai mata uang asing juga menurun.

Ini berbeda jauh dengan sistem uang fiat money yang akan mendorong inflasi di antara sejumlah kondisi. Hal ini karena politik ekonomi negara, baik secara regional maupun internasional, yang menjamin (menentukan) nilainya. Politik ekonomi negara ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga kestabilan harga tukar (kurs) uang sulit dijaga. Atas dasar itu, penurunan nilai mata uang sangat mungkin terjadi pada tingkatan yang lebih besar dibandingkan pada dua sistem terdahulu.

Tidak perlu kupasan yang mendalam, bahwa nilai mata uang seluruh negara—tanpa kecuali, sekalipun negara yang perekonomiannya maju—sering berubah-ubah dan tidak stabil. Baik dolar (AS), mark (Jerman), yen (Jepang), (frank) maupun poundsterling (Inggris) sering menurun nilainya.

Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa kelebihan jumlah penerbitan uang akan mengakibatkan harga menjadi mahal karena menurunnya dayabeli uang. Hal ini akan berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi. Pengaruh ini akan besar dampaknya jika berlanjut dalam jangka waktu yang saling berdekatan.

Karena uang yang ada tidak disandarkan pada satuan yang tetap, sistem uang fiat money dapat dijadikan jalan persekongkolan ataupun pertentangan antar negara. Nilai uang mereka dapat menurun karena pertambahan penawaran uangnya. Hal itu dapat terjadi dengan cara meningkatkan suku bunga deposito mata uang. Peningkatan suku bunga deposito itu bertujuan untuk meningkatkan jumlah tabungan dan menarik pemodal (investor) asing.

Berubah-ubahnya nilai uang jelas akan mempengaruhi aktivitas perdagangan. Jika suku bunga mata uang tertentu meningkat atau kondisi ekonomi negara tersebut membaik, masyarakat tidak akan berpaling dari investasi perdagangan ke investai berupa tabungan dalam mata uang yang memiliki suku bunga yang kuat di bank sebagaimana terjadi tatkala lantai bursa Wall Street melemah pada tanggal 19 Oktober 1978 akibat melemahnya harga saham lebih dari 20 persen. Para pengamat ekonomi berbeda pendapat mengenai kejadian itu. Namun demikian, yang pasti, kejadian itu didorong oleh keinginan Amerika untuk menaikkan suku bunga dolar secara signifikan. Media-media Amerika menyiarkan berbagai berita mengenai perselisihan pandangan antara menteri keuangan Amerika dan menteri keuangan Jerman. Itu terjadi tatkala Amerika menaikkan suku bunga dolar AS karena menteri Jerman menaikkan suku bunga atas mark Jerman yang mendorong para pemilik saham bersegera menjual sahamnya sebagai upaya memperoleh laba yang lebih mudah dan lebih banyak dibandingkan dengan hasil investasi tabungan. Hal itu merupakan upaya memanfaatkan kesempatan yang ada sebelum kondisinya berubah. Inilah yang dijelaskan oleh menteri keuangan Prancis tentang sebab krisis.

Setelah krisis tersebut, muncul usulan di kalangan sebagian menteri keuangan negara-negara Barat untuk mengaitkan kurs pertukaran mata uang utama mereka dengan harga barang lepas di antara mereka dengan emas; sesuatu yang memungkinkan dilaksanakannya kembali sistem Breeton Wood.

Namun demikian, terjadinya semua itu tidak membuat dunia melepaskan interaksi menggunakan uang kertas (fiat money). Hal itu disebabkan oleh sikap beberapa negara besar yang diuntungkan dibandingkan dengan nasib sebagian besar negara yang dirugikan dengan sistem tersebut. Dengan sistem tersebut, mereka dapat melanggengkan pengaruh ekonomi dan politiknya terhadap negara-negara lain, karena mata uang mereka menjadi cadangan di bank-bank sentral negara-negara tersebut. Konsekuenasinya, kebijakan politik dan ekonomi mereka dapat mempengaruhi jalannya negara-negara tersebut.

Negara-negara terseebut pada akhirnya menghentikan pandangannya di seputar perlunya perubahan atas sistem fiat money karena mereka tidak memiliki cadangan (back up) emas yang mencukupi terhadap jumlah uang mereka yang beredar. Akibat terus berlangsungnya sistem fiat money ini, dunia akan tetap sengsara karena krisis tersebut akan berulang selama tidak diselesaikan dengan penyelesaian yang benar.


Solusi Jitu atas Krisis Ekonomi yang Terjadi

Setelah kami menjelaskan realitas terjadinya krisis ekonomi di atas, kami akan menjelaskan solusi jitu bagi krisis tersebut.


1. Solusi atas krisis akibat sistem mata uang.

Kami telah memaparkan di muka, sistem keuangan dan pertukaran uang kertas (fiat money) sangat rentan terhadap krisis. Sebagai solusinya, mau tidak mau, setiap negara harus merujuk kembali pada sistem keuangan dan pertukaran uang berbasis emas; baik dengan menggunakan mata uang logam emas itu sendiri maupun menggunakan mata uang kertas substitusi yang di-back up (dapat dipertukarkan) dengan emas di bank sentral tanpa persyaratan dan batasan. Sebetulnya sudah banyak ekonom yang memperhatikan hal itu. Akan tetapi, sejumlah negara besar di dunia yang saling berhubungan, khususnya Amerika, menentang upaya kembali pada sistem keuangan dan pertukaran berbasis emas. Pasalnya, mereka takut kehilangan hegemoni dan pengaruhnya, baik secara politik maupun ekonomi, atas negera-negara lain. Ketakutan mereka muncul karena sistem berbasis emas akan menjamin kestabilan, mengantarkan pada bersinarnya pertumbuhan ekonomi, serta menghilangkan hegemoni satu negara atas negara lain. Dalam sistem berbasis emas uang distandarkan pada satuan yang kestabilan dan ketetapan harganya dikenal luas. Dalam sistem ini, suatu negara tidak dapat memperbesar (menambah) jumlah uang dengan seenaknya. Sebab, untuk mengeluarkan atau mencetak uang dengan jumlah tertentu yang dikehendaki akan dibatasi oleh cadangan emas yang dimiliki. Hal itu berkebalikan dengan sistem uang kertas (fiat money) yang memungkinkan suatu negara dapat dengan mudah mengeluarkan (mencetak) sejumlah uang sesuai yang dikehendaki ketika dibutuhkan untuk memenuhi keuntungannya sendiri; sesuatu yang secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya kelebihan jumlah uang dan melemahnya kepercayaan terhadap satuan mata uang tertentu.

Penerapan sistem mata uang dan sistem pertukaran berbasis emas tersebut haruslah memenuhi beberapa syarat berikut:

  1. Adanya kebebasan mengekspor dan mengimpor emas bagi semua orang tanpa ada pembatasan atau syarat tertentu. Kebebasan atas keluar dan masuknya emas ini akan menjamin kestabilan harga tukar (kurs).
  2. Adanya kebebasan mempertukarkan uang kertas substitusi dengan emas secara sempurna (tanpa pengurangan/dengan nilai yang sama) dengan nilai yang tertulis atau tercetak.
  3. Adanya kebebasan untuk menempa dan melebur emas. Setiap orang yang memiliki mata uang emas dapat melebur dan membentuknya menjadi emas batangan tanpa ada pembatasan. Demikian juga jika ia memiliki emas batangan; ia dapat membawanya ke tempat peleburan dan pencetakan uang untuk dicetak menjadi mata uang emas (dengan memberikan kompensasi/ongkos pencetakan). Hal itu untuk menyetarakan harga emas tertulis (resmi) dengan harga pertukaran.


Hal ini jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi semata. Sementara itu, dari sudut pandang Islam, mata unag tidak boleh dibuat kecuali dari emas dan perak sesuai dengan dalil-dalil berikut:

Pertama, persetujuan Rasulullah saw. untuk menggunakan emas dan perak sebagai mata uang Daulah Islamiyah. Rasulullah saw. menyetujui timbangan Quraisy sebagai standar timbangan dinar dan dirham. Dalam riwayat Thawus yang bersumber dari Ibn 'Umar disebutkan bahwa:


Rasulullah saw. bersabda, imbangan itu adalah timbangan penduduk Makkah, yaitu berat sepuluh dirham sama dengan tujuh mitsqal, dan sesuai dengan timbangan kita sekarang, yaitu satu dinar sama dengan 4,25 gram emas dan satu dirham sama dengan 2,975 gram perak._ (HR).


Kedua, Islam menghubungkan beberapa hukum syariat dengan emas dan perak, di antaranya :

  1. Islam mengharamkan menimbun keduanya, yaitu menimbun emas dan perak. Allah Swt. berfirman:

)وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ(

Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah Swt. maka beritahukanlah kepada mereka azab yang pedih.
(QS at-Taubah [9]: 34).


  1. Islam mewajibkan dari emas dan perak agar dikeluarkan zakatnya karena keduanya dianggap sebagai mata uang dan sebagai standar harga barang dalam jual-beli dan upah-mengupah tenaga kerja. Aisyah r.a. bertutur:

»كَانَ يَأْخُذُ مِنْ كُلِّ عِشْرِينَ دِينَارًا فَصَاعِدًا نِصْفَ دِينَارٍ«


Rasulullah saw. memungut zakat untuk setiap 20 dinar atau lebih sebesar setengah dinar.
(HR Ibn Majah).


  1. Islam mewajibkan diy (denda) dengan kedua mata uang tersebut (dinar dan dirham). Rasulullah saw. bersabda:


»وَعَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَلْفُ دِينَارٍ«

Bagi penimbun emas (batas kena dendanya) adalah sebesar seribu dinar. (HR an-Nasa'i).


  1. Nishab (batas minimal) pencurian yang mengharuskan pelakunya dipotong tangannya adalah seperempat dinar atau lebih. Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak memotong tangan pencuri dalam kasus pencurian yang nilainya tiga dirham. Rasulullah saw. bersabda:


»تُقْطَعُ الْيَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا«

Tangan (yang mencuri) dipotong pada (kasus pencurian) seperempat dinar atau lebih. (HR al-Bukhari dan Muslim).


Ketiga, ketika Islam menetapkan hukum-hukum pertukaran dalam muamalah, emas dan perak dijadikan sebagai tolok-ukurnya. Rasulullah saw. melarang pertukaran perak dengan perak atau emas dengan emas kecuali sama nilainya. Beliau memerintahkan untuk memperjualbelikan emas dengan perak sesuai yang diinginkan.

Atas dasar semua itu, jelas bahwa sesungguhnya mata uang Daulah Islamiyah adalah emas dan perak.

Dengan demikian, untuk menyelesaikan krisis keuangan (mata uang) setiap negara harus merujuk kembali atau kembali pada sistem mata uang berbasis emas, baik emas saja atau emas dan perak. Hanya saja, hal itu tidak akan terlepas dari sejumlah problem akibat penimbunan internasional, adanya hambatan perbatasan (cukai), serta terkonsentrasinya emas dan perak dalam jumlah besar di kas-kas simpanan beberapa negara besar. Negara-negara tersebut rata-rata mempunyai kemampuan produksi yang besar, memiliki kemampuan yang baik dalam kompetisi perdagangan internasional, dan mempunyai keunggulan lainnya. Di samping itu, tentu saja adalah pengadopsian sistem mata uang kertas (fiat money) oleh sebagian negara-negara di dunia yang menggantikan sistem mata uang emas dan perak.

Untuk menyelesaikan hambatan itu, negara yang kembali ke sistem emas dan perak harus: melaksanakan politik swasembada; mengurangi (meminimkan) impor; menerapkan strategi substitusi terhadap barang-barang impor dengan barang-barang yang tersedia di dalam negeri; serta menggenjot ekspor atas komoditas yang diproduksi di dalam negeri dengan komoditas yang diperlukan di dalam negeri ataupun menjualnya dengan pembayaran dalam bentuk emas dan perak atau dengan mata uang asing yang diperlukan untuk mengimpor barang-barang dan jasa yang dibutuhkan.

Strategi tersebut dapat diterapkan oleh suatu negara. Sementara itu, berkaitan dengan Daulah Khilafah Islam—yang tidak lama lagi dengan izin Allah Swt. akan tegak kembali—maka perkara itu adalah perkara yang gampang, karena emas dan perak yang ada di negeri-negeri Islam dan yang ditimbun di bank-bank dan kas-kas yang ada jumlahnya mencukupi bagi kemungkinan Daulah untuk kembali pada sistem emas. Jumlah emas yang ada di negeri-negri Islam—yang akan menjadi satuan mata uang Daulah Khilafah Islamiyah bersama satuan emas, karena Daulah Khilafah Islamiyah akan menggunakan sistem emas dan perak dan menggunakan sistem dua logam (bimetal) dalam mata uangnya—juga tersedia dalam jumlah yang besar. Semua itu memudahkan Daulah Khilafah Islamiyah untuk kembali pada sistem emas dan perak.

Di negeri-negeri Islam melimpah berbagai komoditas pokok yang membuat umat tidak membutuhkan komoditas lain sebagai kebutuhan dasar atau kebutuhan pokoknya. Dengan begitu, Daulah Khilafah Islamiyah tidak perlu mengimpor barang dari luar negeri yang bisa mengakibatkan mengalirnya emas ke luar Daulah.

Lebih dari itu, negeri-negeri Islam memiliki barang-barang penting (strategis) seperti minyak yang dibutuhkan oleh seluruh negara di dunia sehingga Daulah Khilafah Islamiyah dapat menjualnya dengan pembayaran emas, atau dengan pembayaran berupa barang yang dibutuhkan di dalam negeri, atau dengan mata uang yang diperlukan untuk mengimpor barang dan jasa yang penting; sebagaimana negara juga dapat melarang mengekspornya kecuali jika dibayar dengan emas sehingga membuat cadangan emas yang dimiliki Daulah melimpah.

Dengan kembali pada sistem emas, niscaya akan terwujud kestabilan ekonomi, hilangnya krisis yang terjadi, dan lenyapnya hegemoni uang suatu negara atas negara lain. Semua hal di atas adalah solusi yang jitu, jernih, dan mencukupi atas krisis keuangan yang terjadi selama ini. Wallu a'lam bi ash-shaw. (Habis) []



Read More..

CITRA POLITIK DI INDONESIA

Read More..

Oleh : Lathifah Musa

Partisipasi Politik Masyarakat Indonesia

Berbicara soal politik, maka konotasi yang umum berkembang di masyarakat saat ini selalu berkaitan dengan kekuasaan atau atau dengan kata lain penentuan kebijakan dalam sebuah sistem. Suasana di masyarakat yang sering disebut sebagai suhu politik berubah, suhu politik menghangat, memanas dan lain-lain adalah ketika muncul suara-suara yang bersifat kritik terhadap kebijakan. Baik kritik tersebut hanya bersifat serangan-serangan saja sampai yang mulai menyodorkan solusi alternatif dalam rangka memperbaiki kondisi. Kacung Marijan, Staf Pengajar FISIP Unair, Surabaya, dalam artikelnya di Media Indonesia (05/08/96) menilai bahwa seiring denan meningkatnya kesejahteraan rakyat, mulai muncul kelompok masyarakat yang sering disebut ' the middle class'. Menurutnya, kelompok yang mulai mandiri secara ekonomi dan polotik ini tidak segan-segan melakukan tuntutan dan berpikiran kritis terhadap hal-hal yang menurut mereka menyimpang. Mereka tidak tahan untuk tetap diam terhadap berbagai kekurangan yang menyelimuti pemerintahan orde baru. Realitas macam ini konon kabarnya memaksa penguasa untuk melunakkan kebijakan-kebijakan politiknya. Hal ini terlihat, misalnya, dari mulai jarangnya penangkapan-penangkapan para aktivis politik yang bersebrangan dengan pemerintah, sebagaimana yang sering dilakukan sampai pada pertengahan tahun 1980-an. Menurut Kacung, kalau saja sikap pemerintah tidak mengalami perubahan, bisa dibayangkan betapa seringnya proses pengadilan politik, mengingat orang-orang yang bersebrangan dengan pemerintah kian vokal dan jelas.

Sekalipun belum bisa dikatakan bahwa kran politik sistem telah terbuka lebar, namun kita bisa melihat masyarakat mulai kreatif menyuarakan aspirasinya. Kreativitas dan partisipasi politik rakyat ini hendaknya tidak dimatikan, demikian komentar kalangan pakar politik di Indonesia dalam sebuah Dialog Nasional " Indonesia dalam Dinamika Perubahan: Kebebasan, Stabilitas dan Pembangunan " yang diselenggarakan oleh CIDES (Center for Information and Development Studies) di Auditorium YTKI. Jakarta 26 Agustus 1996. Hal ini akan mengakibatkan penurunan yang tajam dari partisipasi politik masyarakat.

Tampaknya kreativitas masyarakat ini belum mendapat dukungan. Menurut Arbi Sanit—seorang pengamat politik yang saat itu hadir sebagai pembicara—merosotnya partisipasi politik rakyat ini disebabkan oleh ketidakberdayaan kekuatan politik masyarakat. "Keberanian politik dari masyarakat sudah tidak ada lagi," tegas Arbi. Staf pengajar Fisip UI ini berpendapat, untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan reformasi politik secara menyeluruh dan secepat mungkin.

Dalam kesempatan lain – masih masalah kualitas partisipasi politik rakyat – Jendral (Purn) A.H. Nasution dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Kelompok Kerja Petisi 50 di Jakarta, menyetujui bila dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mengalami 'lesu politik'. Menurut Pak Nas, lesu politik ini disebabkan oleh sistem yang ada kini justru lebih 'membirokratisasikan politik'. Dalam mengomentari pendapat Pak Nas, Dr. Loekman Soetrisno dari UGM Yogyakarta dan Drs. Hotman Siahaan dari Universitas Airlangga Surabaya – seperti dikutip kompas—berpendapat, kelesuan politik disebabkan oleh hegemoni politik negara. Selain itu juga karena akumulasi krisis politik rakyat (Ummat, 10/06/96).

Di Indonesia, setiap menjelang pemilu, kegiatan-kegiatan politik disebutkan 'selalu meningkat'. Namun nilai peningkatan ini hanya dipandang bahwa saat itu rakyat mulai ambil bagian dengan keikutsertaannya dalam pemilu. Novel Ali, dosen FISIP Undip, Semarang, dalam artikelnya "Citra Politik Kita" (Media Indonesia, 06/06/96), mengemukakan bahwa latar belakang masyarakat Indonesia masih memiliki kecenderungan yang kuat dari lapisan menengah kebawah, untuk menyerahkan diri kepada lapisan atas. Partisipasi politik hanyalah dengan mempercayakan kepentingannya pada pimpinan organisasi yang diakui keberadaannya di era ini.

Potret masyarakat Indonesia mengenai partisipasinya dalam politik dalam sebuah jajak pendapat yang di lakukan oleh LP3ES atas 750 penduduk pria dan wanita di Jakarta (Ummat, 2/9/96) secara umum menunjukkan tingkat buta politik masyarakat masih tinggi. Sekalipun hasil survei ini belum bisa dijadikan standar untuk menilai tingkat kesadaran politik, namun menurut beberapa pengamat, setidaknya bisa dijadikan indikator awal untuk mulai mengungkap gambaran umum masyarakat. "Salah satu yang bisa dipetik dari sini adalah, mayoritas masyarakat masih kekurangan pendidikan politik", demikian komentar Rustam Ibrahim, direktuur LP3ES.

Dalam memandang partisipasi politik rakyat ini, kita pun perlu mempertanyakan tidak hanya dari sisi kenyataan yang dihadapi oleh para pengamat politik ini dilapangan, namun termasuk juga standar penilaian apa yang layak untuk digunakan. Bila dalam menilai bentuk partisipasi ini hanya dibatasi pada peran serta mereka dipemilu serta pandangan mereka terhadap peran tersebut, berupa hak atau kewajiban, maka penilaian ini belum bisa mewakili target kesadaran politik yang sesungguhnya. Dengan demikian perlu pula kita mengetahui lebih jelas lagi, bagaimana "Visi" kesadaran politik yang benar dari pihak rakyat, termasuk para pengamat politik saat ini.

Kesadaran Politik Rakyat Rendah

Benarkah kesadaran politik, rakyat Indonesia masih rendah? Mungkin saja! Sekalipun bisa dikatakan masyatakat mulai 'melek' politik, namun secara umum tingkat kesadarannya masih rendah. Sehingga masih muncul istilah 'secara umum masih buta' sebagaimana penelitian LP3ES di Jakarta.

Kenyataan apa yang dipahami oleh masyarakat saat ini tentang aktivitas politik sampai saat ini hanyalah sekedar arahan tentang keterlibatan mereka dalam pemilu. Bila dicermati lebih jauh lagi proses 'penyambungan suara' itu pun hanya berhenti pada sekedar memilih warna /gambar secara umum rakyat tidak bisa mengetahui, menyadari dan memahami siapa wakil mereka, sejauh mana konsistensi pelaksanaan tugasnya, bahkan lebih jauh lagi mereka tidak/belum pernah mengenal individunya. Ketika dalam prakteknya para wakil yang telah dipilih rakyat ini telah menyuarakan pendapatnya di parlemen, sebenarnya mereka tidaklah mewakili rakyat diparlemen lebih banyak mewakili pribadinya sendiri. Sampai disini, keberadaan 'wakil-wakil rakyat' bagi rakyat yang memilihnya bagaikan tak ada arti. Keberadaan partai yang seharusnya sebagai kontrol berjalannya kebijaksanaan sistem, kenyataannya di Indonesia tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Suara-suara vokal yang mengkritik kebijaksanaan hanyalah sebatas suara individu, termasuk bagi mereka yang berada di parlemen.

Kondisi pemilu di Indonesia tampaknya baru sampai pada target 'berjalannya aktivitas tersebut tanpa kendala yang berarti'. Sangat jauh bila kita fahami bahwa hakekat peran serta rakyat yang benar adalah 'mewujudkan agar urusan umat berjalan seperti yang seharusnya'.

Tidak salah bila secara umum kondisi ini mengakibatkan para pengamat menilai bahwa partisipasi politik masyarakat mengalami penurunan yang sangat 'tajam' (Media Indonesia, 27/08/96). Dari pihak rakyat lebih tepat lagi bila dikatakan 'kesadaran politik rakyat' masih rendah. Konsekuensinya makna politik pun difahami secara dangkal.

Bila kita mengamati gejolak politik yang kian memanas akhir-akhir ini di Indonesia, tampaknya masyarakat dalam mengungkapkan suara-suara proter terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak penguasa, mulai menjurus pada tindakan kebrutalan. Tercatat peristiwa kerusuhan di Purwakarta dan Pekalongan yang berbau rasial terhadap komunitas Cina, Peristiwa Situbondo ketika seorang tokoh agama dihina, Peristiwa Tasikmalaya yang diawali ketika sejumlah polisi menyiksa seorang ustadz dan santrinya serta beberapa catatan kerusuhan lain yang menambah suramnya agenda 1996.

Para pengamat politik mulai memperdebatkan mengapa semua ini bisa terjadi. Namun secara umum semua tidak mengelak bila dikatakan bahwa akar persoalannya adalah ketidakpuasan rakyat terhadap realita kehidupan yang mereka hadapi. Menurut Pak Nas (Republika, 6/01/97) penyebabnya sangat 'complicated'. Berbagai persoalan yang muncul, katanya, dipicu oleh adanya ketidak adilan di masyarakat, tidak tegaknya hukum, adanya arogansi kekuasaan dari oknum aparat, tersumbatnya aspirasi masyarakat, serta jurang antara si kaya dan si miskin yang semakin melebar. "Pokoknya peristiwa yang terjadi itu satu sama lain bertali temali ibarat benang kusut", katanya.

Dr. Afan Gaffar, dosen pasca sarjana UGM dan pengamat politik dalam Media Dakwah (Maret, 1996) berpendapat bahwa rakyat berada pada posisi yang sangat lemah bila berhadapan dengan pemerintah. Dalam pembentukan kebijakan publik, rakyat mengalami proses alienasi, karena kebijakan publik merupakan dominasi dari sekelompok elit politik yang berkuasa. Sementara itu rakyat diwajibkan untuk menyukseskan implementasi politik tanpa pernah terlibat merumuskannya. Kasus pembebasan tanah, penggusuran dan pada umumnya pembentukan kebijakan nasional merupakan sesuatu yang riil dalam kehidupan politik kita, yang memperlihatkan kebenaran dugaan bahwa rakyat mengalami alienasi. Bila dilihat dari proses sosialisasi politik, individu tidak terbiasa untuk membentuk jati dirinya yang bersifat mandiri. Menurut Hildred Greetz, anak-anak dalam keluarga Indonesia seringkali mengalami alienasi politik, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial setelah mereka dewasa.

Dalam kondisi seperti ini, wajar bila rakyat mudah diperalat untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok tanpa mereka memahami hakikat persoalanya . Meminjam komentar Amin Rais dalam Republika (6/01/97), bahwa masyarakat Indonesia itu seperti rumput kering yang mudah terbakar. Boleh pula kita katakan bahwa situasi di masyarakat bagaikan bara yang tertutupi sekam. Setiap saat bisa berkobar!

Menanggapi persoalan ini, yang harus kita perhatikan dalam rangka memperbaiki kesadaran politik rakyat antara lain : negara harus membiarkan rakyat mengenal dan memahami makna politik yang sebenarnya. Atau dengan arti lain rakyat memiliki kesempatan untuk menerima pendidikan politik. Terlebih lagi bila kita pandang dalam kapasitas mereka sebagai seorang muslim, karena mayoritas penduduk di Indonesia adalah kaum muslimin. Sehingga apabila muncul ketidakpuasan di kalangan rakyat, akan disertai pula dengan cara pandang ('visi') yang sebenarnya dalam rangka memperbaiki kondisi tersebut secara benar dan tepat. Dengan demikian peran aktif rakyat yang sesungguhnya dalam politik akan tergambar.



Politik dan Ideologi

AM. Saepudin, Ph.D, anggota komisi X FPP DPR-RI, anggota Dewan pakar ICMI Pusat, dalam Media Indonesia (23/08/96) Mengemukakan bahwa politik dianut oleh suatu bangsa sebagi suatu sistem kenegaraan dalam bentuk apapun, yang menyangkut hubungan kemanusiaan secara universal dengan bangsa lain .

Bila kita lihat dalam bangsa Indonesia , maka politik bisa berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, strategi, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara atau negara lain. Politik dalam bahasa Arab biasa disamakan dengan kata siyasah. Ahmad 'Athiyah dalam 'Kamus Politik'-nya halaman 320 menyatakan bahwa politik bermakna memelihara dan memperlihatkan urusan rakyat. Lebih tepat dan mendasar mengenai makna ini juga dikemukakan oleh Syeikh Taqiyudin An Nabahani dalam kitab "Mafaahim As-siyasah" . Beliau mendefinisikan politik (as siyaasah), yang menyangkut aspek umat dan negara sebagai :

Pemeliharaan
urusan umat dalam dan luar negeri

Dalam upaya mengatur dan memelihara urusan umat secara umum dii berbagai sistem manapun akan ada kebijakan-kebijakan atau aturan (rules).

Kebijakan atau aturan ini ditegakkan dalam rangka mengatur seluruh urusan masyarakat. Proses penetapan kebijakan bisa berlangsung berbeda-beda antar sistem politik. Bila dikatakan orientasi nilai adalah salah satu unsur dalam sistem politik (Samodra Wibawa, 1994). Maka perbedaan unsur ini akan melahirkan kebijakan politik yang tidak sama. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa sebuah ideologi secara pasti akan melahirkan warna kebijakan tertentu.

Dengan demikian wajar bila konsep politik yang muncul dari sistem dengan landasan ideologi Islam akan berbeda dengan konsep politik yang disampaikan oleh penganut ideologi lain. Kebijakan politik yang bersandarkan pada Islam, tidak akan sama dengan kebijakan kebijakan yang terlahir dari konsep politik sosialis ataupun kapitalis.

Salah satu hal yang bisa kita pelajari dalam rangka mencari akar sebuah strategi adalah konsep 'politik kontekstual' seperti yang dikemukakan oleh Ipong S. Azhar, dosen FISIP- USU, medan, dalam Media Indonesia (12/08/96). Sebagaimana teori-teori sosial (versi sosialis) yang difahaminya, berpolitik praktis juga perlu disesuaikan dengan konteks sistem politik yang berlaku dan permasalahan yang tengah dihadapi. Maka berpolitik yang efektif menurutnya adalah mengikuti irama sistem. Merujuk pada pendapat Max Weber, Ipong berpendapat bahwa dunia politik praktis adalah dunia profesi sebagaimana dunia kedokteran, kehakiman, perdagangan ataupun olah raga. Karena itu politisi menurutnya adalah seorang profesional sebagaimana hakim, pengacara, usahawan, atau pemain tinju. Bila masyarakat bertumpu pada aksioma yang mengatakan bahwa setiap profesi memiliki kode etik yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, maka seorang politisi tidak akan bisa berperilaku seperti rohaniawan atau hakim dan mereka juga tidak akan dapat dicela apabila perilakunya tidak sama dengan rohaniawan atau hakim. Perkembangan teori ini mengarah pada 'politisi memiliki kode etik dan rohaniawan serta hakim pun memiliki kode etik tersendiri'. Selanjutnya akan timbul pertanyaan bagaimana kode etik seorang politisi? Bagi Ipong, politik itu sendiri adalah segala hal yang berkenaan dengan kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk mengelola (mengendalikan, mengatur dan mendistribusikan) kebutuhan orang banyak agar semua bisa mendapat bagian dan merasa terpuaskan. Karena berkenaan dengan kepentingan orang banyak, maka kode etik yang berlaku di dunia politik adalah paradigma (yaitu cara berfikir, bersikap dan bertindak) yang berorientasi kepada kepentingan orang banyak,dengan jalan mendahulukan kepentingan orang banyak ini daripada kepentingan pribadinya. Berpijak pada teori ini tanpa adanya standar yang senantiasa tetap dan pasti dalam memandang persoalan umat maka kebijakan akan senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan dan pergeseran nilai yang ada ditengah masyarakat. Perspektif politik ini tidak layak diterapkan pada masyarakat yang senantiasa harus berpegang pada suatu standar yang baku, seperti kaum muslimin.

Islam sendiri adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk negara dan politik. Islam adalah aqidah ruhiyah (yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak dapat dilepaskan dari aturan yang diberlakukan untuk mengatur urusan masyarakat dan negara. Bagi kaum muslimin cara pandang inilah yang harus senantiasa digunakannya.

Sampai saat ini umat Islam (termasuk di Indonesia) masih teramat asing dengan aturannya sendiri. Maka politik pun berkembang sebagaimana kondisi yang mereka alami. Demikian pula dengan berbagai kebijakan, yang terlahir dari konsep politik dan nilai-nilai sesuai yang ditetapkan oleh penentu kebijakan (penguasa). Nilai-nilai ini bisa bersifat nilai pribadi, kepentingan kelompok tertentu, nilai moral, kebebasan, sosial dan lain-lain yang masih sangat mudah bergeser sesuai dengan pergeseran nilai-nilai tersebut di masyarakat.

Umat Islam Harus Sadar Politik

Untuk mengatur seluruh urusannya (baik sebagai individu, masyarakat ataupun negara), 'mau tidak mau' rakyat harus memahami strategi pengaturan urusan ini. Kesadaran ini haruslah dalam bentuk yang universal (mencakup dunia internasional) dengan suatu sudut pandang yang khas. Sudut pandang umat sebagai kaum muslimin adalah bagaimana mereka memandang dalam kerangka kesadaran Islam tentang kehidupan, dimana pun mereka berada. Sesuai dengan makna politik, maka kesadaran ini berarti memelihara dan mengatur urusan umat atas dasar kesadaran itu. (Muhamad Isma'il, 1995)

Dewasa ini istilah 'melek politik' yang berkembang di tengah masyarakat (Ummat, 02/09/96), baru diartikan dengan 'ketidaksudian' rakyat dijadikan sebatas sarana untuk kepentingan gemerlapnya kelompok dan golongan minoritas saja. Belum dalam pengertian kesadaran umat akan makna dan kepentingan politik yang sesungguhnya. Dalam kapasitas umat sebagai kaum muslimin, tampaknya kesadaran ini belum lagi tumbuh. Kaum muslimin di Indonesia masih merasa asing bila dikatakan bahwa Islam memiliki konsep politik yang dibangun diatas aqidah Islamiyah yang berbeda dengan konsep dari ideologi manapun. Bahwa Islam pun telah menetapkan peran dan tanggung jawab berpolitik pada seluruh kaum muslimin, itu pun belum mereka ketahui. Bahkan Islam mewajibkan berdirinya partai politik yang berjuang untuk Islam, dengan tugas menyebarkan dakwah Islam kepada orang-orang kafir di seluruh dunia, termasuk kepada penguasa, itu masih asing dalam benak mereka. Padahal telah jelas Firman Allah SWT :

"Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al khair (dinul Islam) menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar" (QS. Ali Imran :104).

Allah SWT dalam ayat tersebut telah menjelaskan metode yang semestinya dilakukan oleh kaum muslimin dalam mengemban dakwah Islam yaitu amar ma'ruf nahi mungkar.

Fakta lain yang banyak terjadi sekarang adalah masalah politik yang hanya menjadi obyek perbincangan kalangan tertentu, bukan kebanyakan orang. Selain masih ada yang menganggap bahwa Islam tidak mengatur persoalan politik, ada pula yang menganggap bahwa perbincangan masalah politik hanya akan mempersempit ruang gerak umat islam, lalu akan melalaikannya dari selain politik, seperti masalah ibadah, aqidah dan lain-lain. Kesalahfahaman tentang makna politik ini akan bisa disadari bila umat Islam (termasuk kaum muslimin di Indonesia) menengok kembali praktek kehidupan kaum muslimin terdahulu ( mulai dari tegaknya Daulah Khilafah di Madinah sampai masa berakhirnya Kekhilafahan Islamiyah di Turki Tahun 1024). Kurangnya kesadaran umat akan politik akan bisa diatasi bila kaum muslimin mau menerima konsep politik yang shahih, yang telah ditetapkan Islam. Bagaimana dengan kaum muslimin di Indonesia?

Read More..
Read More..

CARA PANDANG IDEALIS VERSUS AKOMODATIF

Cara Pandang Ideologis

Berbicara mengenai cara pandang manusia tentang kehidupan, sama artinya dengan membicarakan hakikat kehidupan ini, apa yang ada dibalik kehidupan ini, dari mana asal kehidupan ini, untuk apa kehidupan ini ada, dan akan kemana setelah kehidupan ini berakhir.

Di dunia tempat kita berdiam sekarang, dikenal ada tiga kategori cara pandang (yang populer) terhadap kehidupan ini, yaitu sosialisme, kapitalisme-sekularisme, dan Islam. Kelompok penganut cara pandang sosialisme menyandarkan anggapannya bahwa awal dan akhir kehidupan mereka adalah materi. Menurut mereka manusia bebas menentukan apapun kehendaknya. Orang-orang kapitalis-sekularis, sekali pun mereka mengakui bahwa kehidupan ini ada karena ada Tuhan yang menciptakan serta mengakui bahwa setelah kehidupan ini berakhir mereka akan kembali kepada Tuhan, namun mereka beranggapan bahwa Tuhan ibarat seorang pembuat jam yang hanya sekedar membuat, sementara membiarkan jam tersebut bergerak sendiri. Dalam hal ini cara pandang kapitalis-sekularis tidak berbeda jauh dengan cara pandang sosialis, yaitu sama-sama menganggap manusia bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya dalam kehidupan ini. Pada dasarnya apa yang mereka lakukan adalah untuk mengejar materi yang setinggi-tingginya.

Kesamaan pandangan keduanya dalam memandang kebebasan manusia mengantarkan kedua kelompok manusia ini menjadi kelompok yang meyakini kebebasan sekaligus menyerukannya di tengah-tengah kehidupan manusia.

Tidak demikian halnya dengan Islam. Islam adalah sebuah cara pandang yang disandarkan pada sebuah keyakinan bahwa hidup ini ada karena ada Pencipta yang menciptakannya. Sang Pencipta berperan mengatur kehidupan manusia di dunia ini serta berhak menghisap manusia dan menggolongkan mereka sebagai orang-orang yang taat dan orang-orang yang durhaka. Kepada kedua golongan manusia ini disediakan tempat kembali yang berbeda. Jannah yang penuh kenikmatan bagi orang-orang yang taat dan An-Naar yang penuh dengan adzab bagi orang-orang yang durhaka. Sang Pencipta tersebut adalah Allah SWT penguasa langit, bumi, serta tidak ada sekutu baginya.

Adanya cara pandang yang berbeda tadi menjadi penyebab berbedanya Islam dengan yang lain. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan dalam mengambil standar peraturan, tolak ukur perbuatan, tujuan hidup dan dalam menentukan strategi meraih tujuan hidup tersebut.

Perbedaan mendasar antara sosialis, kapitalis dan Islam terletak pada "sesuatu" yang menjadi sandaran bagi sumber peraturan, standar hidup, tujuan hidup dan strategi kehidupan yang diambil. Kelompok sosialis dan kapitalis-sekularis menjadikan manusia sebagai sumber peraturan, sebagai penentu tolak ukur perbuatan, sebagai penentu tujuan hidupnya sendiri serta membiarkan manusia menentukan strateginya dalam meraih tujuan hidup tersebut.

Berbeda-bahkan bisa dikatakan sangat bertentangan- dengan Islam yang menjadikan seluruh ketentuan tersebut bersandar hanya kepada Allah Ta'ala.

Cara Pandang Idealis Versus Akomodatif

Perbedaan cara pandang menyebabkan perbedaan metode, strategi, sekaligus cara memecahkan persoalan kehidupan. Ketika sebuah cara pandang mendasarkan idenya di atas asas manfaat (mashlahat), maka nilai inilah yang menjadi tolak ukur dalam menentukan sebuah metode, strategi ataupun cara. Segala bentuk-bentuk pertimbangan dikembalikan pada; apakah hal tersebut bermanfaat bagi manusia atau tidak, atau apakah manusia mampu, layak dan tepat mengambil strategi tersebut (dengan perhitungan menfaat) ataukah tidak.

Ketika seorang manusia memiliki cara pandang yang dibangun di atas asas manfaat, kemudian ia berhadapan dengan persoalan-persoalan ekonomi yang harus diselesaikannya, maka ia akan memperhitungan apakah cara-cara yang diambilnya dapat mendatangkan manfaat atau tidak, tanpa ada pertimbangan ataupun perhitungan lain. Kemudian, ketika ia menjalani kehidupan sosial dengan individu-individu yang lain, maka ia akan mempertimbangkan, apakah tatanan kehidupan sosial yang dipilihnya sesuai dan memberikan manfaat bagi dirinya baik secara individu atau bersama-sama individu lain. Demikian halnya dengan berbagai aspek kehidupannya yang lain. Sampai-sampai dalam urusan beragama pun ia akan memperhitungkan apakah urusan beragama yang diterjuninya bertentangan dengan ukuran kemanfaatan hidupnya atau tidak.

Cara pandang sosialis dan kapitalis-sekularis memungkinkan 'penganutnya' melakukan akomodasi terhadap berbagi macam nilai dengan alasan 'sesuai dengan nilai kemanfaatan', sekalipun masing-masing memiliki cara tersendiri dari sisi penerapannya. Para sosialis memfokuskannya pada kemanfaatan bagi komuni (kumpulan individu) melalui negara sedangkan kapitalis-sekularis mamfokuskannya pada individu. Contoh terdekat mengenai hal ini, adalah ketika sebuah negara kapitalis-sekularis melalui penguasanya menerapkan peraturan jaminan sosial,Upah Minumum Regional (UMR) dan lain-lain. Bila kita cermati, peraturan-peraturan ini merupakan bentuk campur tangan negara terhadap persoalan kesenjangan kepemilikan kapital akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Dengan demikian bebrapa praktek tersebut-yang pada awalnya adalah ide sosialisme- diadopsi oleh negara-negara penganut sistem kapitalisme guna menutupi kelemahannya. Apakah strategi tersebut melanggar ideologi kapitalis-sekularismenya ? Dalam hal ini tidak, karena akomodasi dilakukan atas alasan manfaat. Dalam sistem kapitalisme, kebebasan kepemilikan yang dianutnya telah menimbulkan kesenjangan yang besar dalam masyarakat antara orang-orang yang memiliki kapital dengan yang tidak. Kondisi ini mampu memicu konflik yang akan mengancam kepentingan manfaat dalam sisitem kapitalisme (yang dikuasai oleh para pemilik kapital) itu sendiri.

Akomodasi juga dilakukan oleh penganut sosialis baik dari sisi negara menetapkan sebagian konsep kapitalisme dalam perekonomiannya atau berbagai keterbukaan (kebebasan) lain bagi rakyatnya, sekalipun sosialisme tetap mejadi ide dasarnya.

Cara pandang adalah kerangka ketika seseorang berfikir. Mereka yang terpengaruh oleh cara pandang sosialisme dan kapitalisme dengan alasan manfaat akan mengakomodasi nilai-nilai sebuah agama, ketika dipandang hal tersebut memang perlu. Cara pandang kedua ideologi ini akan mewarnai perspektif yang digunakannya untuk menilai berbagai hal tentang persoalan-persoalan keagamaannya. Beberapa kaidah yang terkandung dalam kedua cara pandang tersebut akan menyusun kerangka berpikirnya, ketika ia menilai berbagai persoalan kehidupan. Perilakunya akan menjadi bukti cara pandang yang telah ia gunakan.

Sebagai contoh, seorang muslim yang mengaku menganut aqidah Islamiyah namun tidak menggunakan aqidah tersebut sebagai asas cara pandangnya sehingga seluruh perilakunya sesuai dengan nilai-nilai Islam, maka cara pandang seorang muslim ini akan mudah terwarnai oleh cara pandang lain ( di luar aqidah Islamiyah). Manfaat adalah asas yang paling dominan bagi cara pandang selain Islam. Muslim ini pun akan mangambil nilai-nilai Islam yang menurutnya sesuai kondisi (kemanfaatan) yang dialaminya, atau ia akan mengakomodasi nilai-nilai Islam sebagian saja tanpa mengambil keseluruhan nilai dan penerapannya.

Dalam masyarakat yang mayoritas menganut cara pandang sosialis dan kapitalis-sekularis, Isalm hanya diakomodasi sebagai aturan ruhiyah semata, sehingga naluri beragama seorang muslim seolah-olah terpelihara dengan baik. Dalam hal ini kebutuhan beragama seseorang seolah telah terpenuhi, maka tercapailah sebuah manfaat tanpa perlu menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi dan sistem kehidupan. Inilah yang bisa kita katakan sebagai seorang muslim yang memiliki cara pandang dan perilaku kapitalis-sekularis, karena dalam hal ini hanya nilai-nilai Islam yang mendatangkan manfaat saja yang akan diambilnya, sedangkan yang tidak, akan ditinggalkannya. Dengan demikian tolak ukur bagi seluruh aspek kehidupannya disandarkan pada nilai kemanfaatan. Terlalu dini untuk menilai apakah muslim ini akan terseret pada kekufuran atau tidak. Yang jelas bila ia menyadari sepenuhnya bahwa agama Islam baginya sekedar manfaat belaka, bukan tidak mungkin ke-Islamannya akan terlempar jauh ketika suatu saat nilai kemanfaatan ini hilang dari hadapannya. Peristiwa yang teramat tragis bagi seorang muslim.

Bagaimana dengan cara pandang Islam? Mungkinkah cara pandang ini mengakomodasi nilai-nilai ideologi lain?

Bila dipahami secara mendalam mengenai hakikat aqidah Islamiyah, maka cara pandang Islam adalah sebuah cara pandang yang khas, didasari oleh wahyu Allah SWT yang akan membentuk mode masyarakat yang bercorak khusus. Kehidupan masyarakat, sumber peraturan yang digunakan, standar hidup, tujuan hidup dan strategi yang digunakannya pun bersifat khas pula, sesuai tuntunan Al wahyu. Cara pandang Islam bersifat universal, dalam arti mampu memecahkan seluruh persoalan kehidupan manusia di seluruh waktu dan tempat, baik menyangkut peraturan perekonomian, pemerintahan, tata pergaulan (sosial), pendidikan, pidana, sangsi dan pelanggaran lain-lain. Dengan demikian Islam adalah sebuah cara pandang ideologis dan sistem hidup yang sempurna bagi manusia karena berasal dari pencipta manusia itu sendiri. Akomodasi terhadap nilai-nilai ideologi lain tidak perlu dilakukan, karena bukankah Islam telah sempurna? Terlebih lagi bentuk akomodasi itu sendiri bertentangan dengan cara pandang Islam.

Khatimah

Dari uraian ini, kita dapati bahwa cara pandang Islam bersifat idealis yang tidak akan pernah menerima bentuk akomodatoif terhadap cara pandang lain. Jelaslah bahwa Islam adalah cara pandang mendasar yang memilki konsep sistem kehidupan yang sempurna. Namun masalahnya, cara pandang dan konsep kehidupan ini masih dirasakan asing oleh mayoritas kaum muslimin. Sekiranya ada yang telah memahami cara panadang dan konsep ini, sifatnya masih terbatas pada individu-individu muslim. Bisa kita cermati hal ini dari kondisi mayoritas negeri-negeri muslim dengan mayoritas kaum musliminnya yang masih menerapkan sistem sosialis, kapitalis-sekularis atau keduanya sekaligus dalam bentuk kompromi nilai-nilai.

PUSTAKA

  1. An Nabhani. Syakhsiyah I. Darul Ummah. Cetakan ke-4 Beirut. Libanon.

Muhammad. Muhammad Isma'il. Al Fikrul al Islamiy. Maktabah Al Wa'iy. Cetakan ke-1. April 1992.

Read More..