Saturday, August 25, 2007

Memahami POLITIK LUAR NEGERI Daulah Islamiyah

Read More..

Oleh Iyad Hilal, MA


Daulah Islamiyah wajib menerapkan hukum Allah secara sempurna di dalam negeri, mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia, dan mengadopsi seluruh hubungannya dengan negara-negara lain atas dasar hukum Islam. Pengembangan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia tidak akan sempurna kecuali dengan metode (tharîqah) yang datang dari wahyu. Wahyu telah memerintahkan jihad fi sabilillah sebagai metode untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk menerapkan Islam atas seluruh umat manusia sekaligus agar mereka melihat dan merasakan bagaimana Islam benar-benar hidup di dalam realitas kehidupan, bukan sekadar kata-kata ataupun topik yang diseminarkan.

Sikap Daulah Islamiyah seperti ini membawanya terjun ke dalam dua jenis pergulatan, yaitu ash-shirâ‘ al-fikrî dan ash-shirâ‘ as-siyasî (pergulatan pemikiran dan politik) dengan seluruh negara-negara yang ada di dunia, di samping ash-shirâ‘ al mâdî ad-dumuwwî (pergulatan fisik dan darah) dengan negara-negara yang berperang dengannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa kondisi ini mengharuskan diumumkannya perang secara sekaligus atau serentak kepada seluruh dunia, karena hal itu tidak mungkin dilakukan secara praktis. Pergulatan dengan seluruh negara-negara di dunia akan mengakibatkan negara-negara tersebut berkumpul dalam satu aliansi yang sangat kuat untuk melawan Daulah Islamiyah. Hal ini tidak akan memberi kebaikan bagi Daulah Islamiyah sedikitpun.

Pergulatan politik merupakan perkara yang harus dilakukan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi karena sudah menjadi tabiat Islam yang berseberangan dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia seluruhnya. Konsekuensinya, Daulah Islamiyah harus terjun dalam pergulatan politik dengan seluruh negara yang ada.

Pergulatan politik sangat berbeda dengan pergulatan fisik (militer) yang amat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Pergulatan fisik merupakan cara paling akhir yang dipakai jika cara-cara lain telah gagal. Simpul itu wajib dipecahkan dengan ‘pedang’ ketika sulit diuraikan dengan cara lain.

Rasulullah saw. telah melakukan langkah-langkah strategis dan taktis, yakni membuat perjanjian dengan sebagian kabilah dan memerangi sebagian lainnya. Itu dilakukan tatkala beliau menandatangani Perjanjian Hudaibiyah agar dapat berkonsentrasi untuk memukul kekuatan Yahudi yang masih bercokol di Khaibar serta senantiasa mengancam eksistensi dan kepentingan Daulah Islamiyah. Demikian juga ketika beliau mengikat perjanjian dengan kabilah-kabilah yang berada di seputar wilayah Quraisy agar dapat terfokus menyerang Quraisy. Orang yang mengikuti sirah Rasulullah saw. akan melihat bahwa beliau pertama-tama mengikat perjanjian gencatan senjata dengan kabilah-kabilah di sekitar Quraisy untuk memukul Quraisy. Setelah itu, beliau membuat perjanjian dengan Quraisy untuk memukul Khaibar. Setelah Quraisy dapat dikunci posisinya, beliau mempersiapkan serangannya untuk memukul Romawi yang merupakan negara adidaya di dunia saat itu. Semua ini terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Dengan itu, Rasulullah saw. mampu mengangkat pamor Daulah Islamiyah; dari negara yang bersifat lokal menjadi negara yang menyaingi negara-negara besar. Semua itu dilakukan dalam rangka mengemban dakwah Islam yang memang wajib beliau kembangkan.

Politik Luar Negeri (Polugri) Daulah Islamiyah

Daulah Islamiyah wajib mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan metoda yang telah dijalankan oleh Rasulullah saw., yaitu jihad fi sabilillaah. Perkara ini sama sekali tidak boleh dilalaikan. Melalaikannya sama saja dengan melalaikan dakwah Islam dan berlepas diri dari kewajiban mengemban dakwah.

Dakwah Islam ke luar negeri yang dilakukan Daulah Islamiyah melalui jihad menunjukkan bahwa asal dari hubungan luar negeri Daulah Islamiyah dengan darul kufur (negara-negara kafir) adalah al-harb (perang). Kondisi perang—baik muhâriban hukman atau muhâriban fi‘lan—ini menjadi basis hubungan luar negeri sampai darul kufur tunduk pada pemerintahan Islam dan sampai umat manusia dibiarkan menganut apa yang mereka yakini tanpa ada paksaan atau tekanan. Pemahaman ini adalah pemahaman para fukaha dan kaum Muslim terdahulu (Lihat: al-Mughni, jld. 8/345; al-Mabsûth, jld. 10/2; al-Umm, jld. 3/160; Bidâyah al-Mujtahid, jld. I/308).

Islam telah membagi dunia ini menjadi dua, yaitu darul Islam (Daulah Islamiyah) dan darul kufur. Daulah Islamiyah (negara Islam) adalah negara yang satu, yang wajib mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Pengembanan dakwah Islam adalah asas politik luar negeri bagi Daulah Islamiyah. Inilah yang menjadi landasan dibangunnya hubungan Daulah Islamiyah dengan negara-negara lain.

Titik-tolak Daulah Islamiyah untuk mengemban risalah Islam ke seluruh dunia melalui jihad bermaknan bahwa negara menjadikan peperangan (al-harb) sebagai asal dalam (menjalin) hubungannya dengan negara lain. Meskipun demikian, bukan berarti Daulah Islamiyah harus selalu menyulut api peperangan secara terus-menerus dengan seluruh negara yang ada di dunia meskipun negara-negara tersebut memusuhi Islam dan melakukan konspirasi melawannya. Sebab, kadangkala negara Islam tidak memiliki kemampuan untuk berperang karena sebab-sebab tertentu, seperti tidak adanya kondisi yang tepat untuk berperang, atau karena negara sedang memfokuskan peperangan di medan (perang) lain. Bahkan, kadangkala negara terpaksa menghentikan peperangan karena satu keadaan atau beberapa keadaan. Meskipun demikian, aktivitas jihad fi sabilillah yang dilakukan Daulah Islamiyah tetap melalui prosedur syariat, sebagaimana yang dikandung di dalam Hadis Nabi saw. berikut:

أَدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ أَدْعُهُمْ إِلَىالتَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَاعَلَى اْلمُهَاجِرِيْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَّتَحَوَّلُوْا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَأَعْرَابِ اْلمُسْلِمِيْنَ يَجْرِيْ عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِيْ يَجْرِيْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ فِيْ الفَيْءِ وَالْغَنِيْمَةِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوْا مَعَ اْلمُسْلِمِيْنَ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ اْلجِزْيَةَ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، وَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ

Ajaklah mereka ke jalan Islam. Apabila mereka menerima seruanmu itu maka terimalah hal itu dari mereka dan hentikanlah peperangan. Kemudian, ajaklah mereka untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Muhajirin. Beritahukan kepada mereka, bahwa jika mereka menerima hal itu maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang Muhajirin. Jika mereka menolak untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Islam maka beritahukan kepada mereka, bahwa kedudukan mereka seperti orang-orang Arab Badwi dari kaum Muslim, yaitu diterapkan hukum Allah atas mereka sebagaimana diterapkan atas kaum Muslim, dan mereka tidak mendapatkan sedikitpun dari fai’ dan ghanîmah, kecuali jika mereka turut berjihad dengan kaum Muslim. Apabila mereka menolaknya maka pungutlah atas mereka jizyah. Jika mereka menerima hal itu maka janganlah engkau memerangi mereka. Namun, apabila mereka menolak maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. (HR Muslim dan Ahmad, dengan lafal Muslim).

Dengan kata lain, sebelum melakukan perang (jihad fi sabilillah), Daulah Islamiyah terlebih dahulu menawarkan beberapa alternatif: (1) Memeluk Islam; (2) Bergabung dan tunduk terhadap Daulah Islamiyah serta bagi ahl adz-dzimmah diberi kebebasan untuk menganut agamanya masing-masing dengan membayar jizyah; (3) Jika dua pilihan tersebut ditolak, berarti secara syar‘î, Daulah Islamiyah berhak memerangi mereka dengan jihad fi sabilillah.

Itulah yang Rasulullah saw. tunjukkan kepada kita melalui aktivitas beliau dengan mengirimkan belasan utusan kepada para raja maupun kaisar di darul kufur. Isi surat yang disampaikan kepada para raja tersebut menunjukkan ajakan Rasulullah saw. untuk memeluk Islam atau—jika mereka menolak— bersedia tunduk di bawah kekuasaan Islam dengan membayar jizyah (sebagai tanda ketundukan mereka terhadap Daulah Islamiyah). Jika dua pilihan tersebut mereka tolak, Daulah Islamiyah secara syar‘î berhak melakukan futuhat (invansi terbuka) untuk menghancurkan penghalang-penghalang fisik bagi sampainya Islam kepada penduduk darul kufur tersebut. Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa futuhat Islam ke negara Persia (wilayah Iran dan Irak), Romawi (wilayah Syam), maupun Mesir didahului oleh ajakan untuk memenuhi dua alternatif tersebut.

Pengakuan Daulah Islamiyah atas Darul Kufur

Secara syar‘î, Daulah Islamiyah tidak mengakui keberadaan darul kufur. Pengakuan atas keberadaan darul kufur hanya didasarkan pada realitas politik yang memang ada. Berdasarkan asas (pengakuan) ini, Daulah Islamiyah mengadopsi hubungan-hubungannya dengan negara-negara lain dan bergaul dengan mereka. Rasulullah saw. mengadakan hubungan dengan negara-negara kufur yang mengelilinginya dan mengakui keberadaannya sebagai suatu realitas politik, namun tidak sebagai realitas syar‘î.

Karena Daulah Islamiyah tidak mengakui secara syar‘î keberadaan negara-negara lain (yang termasuk darul kufur), maka asas yang menjadi dasar berdirinya Daulah Islamiyah juga bertentangan dengan asas berdirinya negara-negara lain. Akidah Islam adalah asas Daulah Islamiyah, asas konstitusi dan perundang-undangannya, serta asas di dalam melakukan muhâsabah (pengawasan, koreksi) terhadap negara. Sebaliknya, negara-negara lain ada yang menggunakan ideologi komunis (yang mengingkari adanya Pencipta) atau mengambil ideologi kapitalis (yang memisahkan agama dari kehidupan) sebagai asasnya. Ada juga negara yang tidak mengambil akidah apapun sehingga negara tersebut tidak berdiri di atas landasan yang bersifat akidah. Semua ini sangat berbeda dengan Daulah Islamiyah.

Berdasarkan hal ini maka seluruh struktur yang tidak Islami merupakan struktur yang batil dan tidak diakui oleh negara Islam (‘Abdul Karim Zaidan, Majmû‘ât al-Buhûts al-Fiqhiyyah, hlm. 52-54). Sebab, adanya pengakuan atas semua itu berarti sama saja dengan penerimaan total atas keberadaannya. Padahal, Islam tidak menerima keberadaan kekufuran secara mutlak.

Meskipun Daulah Islamiyah tidak mengakui darul kufur secara syar‘î, bukan berarti peperangan selalu terjadi antara negara Islam secara terus-menerus. Daulah Islamiyah kadang-kadang terikat perjanjian dengan sebagian negara dan berperang dengan sebagian yang lain. Kadang-kadang ada negara yang tidak mengikat perjanjian dengan negara Islam dan tidak pula berperang dengan dengan negara Islam.

Rasulullah saw. membuat berbagai perjanjian sebagai cara untuk memecah-belah kekuatan musuh, seperti yang terjadi pada Perang Ahzab. Rasulullah saw. telah bersiap-siap untuk memerangi mereka seluruhnya. Setelah pengepungan atas Madinah berlarut-larut, beliau berniat untuk mengikat perjanjian dengan sebagian kabilah. Akan tetapi, sikap Sa‘ad bin ‘Ubadah dan Sa‘ad bin Mu‘adz membuat Rasulullah saw. mengurungkan perjanjian tersebut. Beliau kemudian bersiap untuk memerangi seluruh kabilah sekaligus sampai Allah memenangkan beliau dengan kemenangan yang didukung oleh-Nya.

Semua ini memperlihatkan kepada kita bahwa memerangi suatu negara dan mengikat perjanjian dengan negara lainnya, memecah-belah persatuan musuh, atau menghadapi musuh yang bersatu merupakan perkara-perkara yang mubah yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Berbagai perjanjian yang dibuat oleh negara dapat dimanfaatkan oleh negara pada saat melakukan pergulatan politik maupun fisik sekaligus. Negara dapat menggunakannya ketika melakukan aktivitas politik maupaun militer. Perjanjian di bidang perdagangan dengan negara tertentu tiada lain sesuai dengan kepentingan dakwah. Bahkan, aktivitas-aktivitas politik semacam ini jauh lebih penting dari aktivitas-aktivitas militer yang digunakan sebagai alternatif terakhir. Rasulullah saw. telah meminta kepada tentara yang beliau kirim untuk menawarkan Islam, jizyah, atau perang. Lebih dari itu, Rasulullah saw. melakukan sendiri kontak-kontak dengan para raja yang ada di sekitarnya. Penawaran dan kontak ini merupakan aktivitas politik yang tidak bisa dilalaikan sama sekali dan tidak boleh diremehkan.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dalam hubungannya dengan Daulah Islamiyah, kita dapat membagi negara-negara lain menjadi tiga:

(1) Negara-negara muhâribah fi‘lan (secara de facto dalam kondisi perang), seperti Israel. Artinya, perang pada dasarnya sedang berlangsung antara kum Muslim dengan institusi tersebut.

(2) Negara-negara muhâribah hukman (secara de jure dalam kondisi perang), seperti negara imperialis Inggris atau negara-negara yang sangat berambisi menguasai kita seperti Rusia dan Amerika.

(3) Negara-negara yang terikat dengan kita melalui sejumlah perjanjian dan kesepakatan tertentu.

Perlu diingat bahwa negara apapun dapat berubah statusnya sesuai dengan situasi dan kondisi. Misalnya saja AS. Sebelum melakukan ekspansi terhadap Kuwait dan sebagian wilayah Irak pada Perang Teluk, AS tergolong negara-negara yang muhâribah hukman. Akan tetapi, setelah negara ini memerangi Irak, statusnya berubah menjadi negara muhâribah fi‘lan. Apalagi AS secara biadab melakukan invasi terhadap Afganistan dan membantai ribuan kaum Muslim melalui pemboman yang dahsyat dan membabi buta. Hal ini tergolong perkara yang bisa berubah sesuai dengan perubahan fakta.

Oleh karena itu, kaum Muslim wajib untuk mengubah negeri-negeri mereka dari darul kufur menjadi darul Islam dengan cara melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui pendirian Daulah Islamiyah atau mengembalikan lagi Khilafah Islamiyah setelah diruntuhkan pada tahun 1924 M. Kekhilafahan inilah yang akan menyatukan negeri-negeri Islam dan berusaha untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia dan mengembannya dengan tharîqah (metode) yang dikehendaki oleh Islam.

Sesungguhnya hal ini merupakan perkara utama yang dihadapi kaum Muslim, yang karenanya tidak boleh diremehkan. Mengecilkan perkara ini akan mengakibatkan kehinaan di dunia serta kesengsaraan dan azab yang amat pedih di akhirat. []

Iyad Hilal, MA, pengamat Politik Islam Internasional, alumnus Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh.

Read More..

TUJUAN HIDUP MUSLIM

Read More..

(Bagian-1)

Oleh Mahmud ‘Abdul Karim

Hakikat terpenting setelah keimanan adalah hendaknya seorang Muslim menyadari tujuan hakiki dari penciptaannya, yakni ubudiah; sesuatu yang wajib diwujudkan. Allah Swt. berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah. (QS adz-Dzariyat [51]: 56).

Beribadah dilakukan dengan jalan beriman dan taat kepada Allah. Taat berarti berpegang teguh pada seluruh hukum-hukum-Nya yang tidak hanya terbatas dalam masalah ibadah, akhlak, dan muamalah saja, tetapi mencakup semua yang diperintahkan dan yang dilarang. Kenyataan ini meniscayakan bahwa tidak ada yang boleh disembah, kecuali Allah, serta tidak ada perintah dan larangan (yang harus di taati) melainkan yang berasal dari-Nya.


Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa meriwayatkan ‘Adi bin Hatim pernah datang ke hadapan Rasulullah saw. Beliau kemudian membaca ayat berikut:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan para pembesar dan para pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan al-Masih bin Maryam (sebagai Tuhan), padahal mereka tidaklah diperintah kecuali untuk menyembah Tuhan yang Satu; tiada Tuhan kecuali Allah Yang Mahasuci dari apa saja yang mereka persekutukan itu. (QS at-Taubah [9]: 31).

‘Adi bin Hatim berkata, “Mereka tidaklah menyembah para pembesar dan para pendeta mereka.”

Akan tetapi, Rasulullah saw. berkata, “Benar. Akan tetapi, mereka (para pembesar dan para pendeta itu) mengharamkan atas mereka sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram untuk mereka, lalu mereka mengikuti para pembesar dan para pendeta itu. Itulah bukti penyembahan mereka kepada para pembesar dan para pendeta itu.”

Demikian sebagaimana dituturkan oleh Muslim dan at-Turmudzi.

Dengan demikian, pemberian hak menghalalkan dan mengharamkan (hak menentukan hukum) serta hak ketaatan kepada seseorang pada hakikatnya sema dengan penyembahan kepada orang itu. Allah Swt. berfirman:

مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلاَّ أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ

Apa saja yang kalian sembah itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian sematkan, sedangkan Allah tiada menurunkan keterangan sedikitpun tentang hal itu. Sesungguhnya hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah, Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya. Yang demikian itu adalah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS Yusuf [12]: 40).

Memang, ada hak oleh penguasa, amir, kedua orangtua, atau suami untuk ditaati. Akan tetapi, Allah-lah sebenarnya yang memberikan hak itu kepada mereka.

Ibadah kepada Allah sebetulnya mencakup upaya untuk menjadikan manusia lain beribadah kepada-Nya. Artinya, ibadah kepada Allah juga mencakup upaya untuk menundukkan manusia pada syariat–Nya dan memerangi manusia jika mereka menyimpang dari hukum Allah, apalagi jika sampai mereka menerapkan hukum selain-Nya. Banyak nash yang memerintahkan kaum Muslim untuk beramar makruf nahi mungkar; membantah kebatilan dan menjelaskan kebenaran; berdakwah; menerapkan hukum cambuk dan potong tangan; berperang serta berjihad untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi dan meninggikan kalimat Allah.

Rasulullah saw. mengutus para utusan kepada para raja untuk menyeru mereka kepada Islam. Hal itu dilakukan setelah beliau mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah dan menancapkan tiang-tiang negara. Para khalifah sesudah beliau juga mengirimkan para pengemban dakwah, para mujahid, dan pasukan untuk menyeru manusia kepada iman dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Mereka memerangi berbagai negeri dan para penduduknya agar mereka tunduk pada kekuasaan Islam. Dengan begitu, tidak ada lagi yang disembah selain Allah dan tidak ada hak penetapan hukum kecuali milik Allah. Tujuan ini merupakan fikrah (pemikiran) Islam yang harus diraih oleh seorang Muslim dalam hidupnya.

Gambaran semacam ini tampak pada diri Sahabat Rib’i bin ‘Amir tatkala ditanya oleh Jenderal Rustum, “Untuk apa kalian diutus?”

Ia menjawab, “Sesungguhnya Allah Swt. mengutus kami untuk mengeluarkan para hamba dari penghambaan kepada seorang hamba menuju penghambaan kepada Tuhannya hamba; dari kelaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam; dan dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akhirat.”

Banyak nash al-Quran dan as-Sunnah yang menjelaskan hal itu. Sebagian di antaranya adalah sebagai berikut:

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah Rasul (utusan) Allah kepada kalian semua.” (QS al-A’raf [7]: 158).

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا

Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk seluruh manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (QS Saba’ [34]: 28).

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Dialah Yang telah mengutus utusan-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan atas seluruh agama lain sekalipun orang-orang musyrik membencinya. (QS at-Taubah [9]: 33).

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah oleh kalian orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula pada Hari akhir, tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar—di antara orang-orang yang telah didatangkan kepada mereka al-Kitab— hingga mereka memberikan jizyah dari tangan-tangan mereka dan mereka dalam keadaan tunduk. (QS at-Taubah [9]: 29).

Rasulullah saw. juga bersabda:

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةَ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ

Siapa saja yang berperang untuk menjadikan kalimat Allah menjadi yang tertinggi berarti ia berperang di jalan Allah. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, orang-orang kafir sekalipun dipaksa untuk tunduk pada kekuasaan Islam dan kedaulatan syariat Islam meskipun mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam karena Allah Swt. berfirman:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan dalam agama. (QS al-Baqarah [2]: 256).

Tujuan yang harus diwujudkan adalah agar tidak ada undang-undang yang ditaati dan tidak ada hukum yang diambil atau diterapkan kecuali undang-undang dan syariat Allah; juga agar tidak ada pembuat hukum selain Allah semata.

Allah Swt. menjelaskan salah satu tujuan penciptaan manusia di dalam salah satu ayat-Nya:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Demikianlah, Kami menjadikan kalian sebagai umat yang terpilih agar kalian menjadi saksi atas manusia dan Rasul pun menjadi saksi atas kalian. (QS al-Baqarah [2]: 143).

Ayat ini merupakan seruan dan pembebanan atas umat Islam untuk mengemban risalah Islam kepada seluruh manusia. Hal ini telah disampaikan oleh Nabi saw. setelah beliau menyampaikan risalah, menunaikan amanat, dan berjihad di jalan Allah dengan jihad yang sesungguhnya. Rasul berdiri pada waktu Haji Wada’ dan berkhutbah kepada manusia, antara lain, sebagai berikut:

“Sungguh, aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat sedikit pun sesudahku jika kalian berpegang teguh padanya, yaitu Kitabullah, dan kalian dimintai pertanggungjawaban dariku. Lalu apa yang kalian katakan?”

Mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan (amanat), dan juga telah menyampaikan nasihat.”

Selanjutnya beliau berkata seraya mengangkat kedua tangan ke langit, “Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah....” (HR Abu Dawud).

Demikianlah, Nabi saw. telah bersaksi atas kita dengan menyampaikan dan mengemban amanat serta memohon kepada Allah agar Dia menyaksikannya. Kewajiban kita untuk bersaksi atas manusia melalui metode yang ditempuh oleh Rasul saw.—sebagai telah dijelaskan oleh Allah—merupakan tujuan penciptaan Adam as. Allah Swt. berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi.” Para malaikat berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan di muka bumi orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami selalu menyucikan dan memuji-Mu. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Malaikat adalah hamba Allah yang tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Tatkala Allah SWT berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya aku akan menjadikan khalifah di muka bumi,” para malaikat mengetahui bahwa Allah akan menjadikan di bumi orang yang akan bermaksiat. Kata khalîfah berarti orang yang diangkat oleh Allah sebagai wakil-Nya untuk melakukan aktivitas pengaturan dan pemeliharaan bumi serta aktivitas lainnya yang tercakup dalam apa yang harus dilakukannya sesuai dengan ketentuan-Nya. Jika di sana terdapat tahap pada diri seseorang ketika ia tidak melakukan pengaturan dan pemeliharaan berarti ia telah menyimpang dari ketentuan Allah. Hal itu akan mengantarkan dirinya pada kesengsaraan, kesempitan, dan kekacauan. Karena itu, para malaikat berkata (yang artinya), “Apakah Engkau akan menjadikan orang yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi?” Dengan ungkapan lain, jika di muka bumi tidak terdapat seseorang atau sesuatu yang bermaksiat maka segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan ketentuan Allah. Jika Allah berkehendak menciptakan orang yang melakukan aktivitas pengurusan dan pengarahan maka hal itu berarti bahwa akan ada di muka bumi orang yang akan memilih kesesatan dan bermaksiat kepada-Nya.

Oleh karena itu, sesungguhnya tujuan (cita-cita) dalam kehidupan manusia, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah sebelum penciptaan Adam, adalah agar manusia menjadi hamba-Nya; juga agar manusia lain—yaitu orang yang sesat—mau memperhambakan dirinya kepada-Nya.

Dengan demikian, sesungguhnya kehidupan merupakan kancah perang pemikiran, keyakinan, dan politik antara iman dan kufur; perang keyakinan antara upaya untuk meninggikan kalimat Allah. Semua ini semata-mata agar seluruh agama hanya milik Allah, agar tidak ada hukum kecuali hukum Allah, agar tidak ada sekutu bagi-Nya, agar tidak ada yang disembah selain Diri-Nya, dan agar ketundukan pada syariat Allah menjadi sempurna. Dalam makna ini kehidupan merupakan perang politik tatkala diharuskan agar ri’ayah urusan manusia hanya menggunakan hukum dan undang-undang Allah dan terbebas dari undang-undang dan hukum selainnya.

Metode Meraih Tujuan Hidup Islami

Tatkala Allah menjelaskan bahwa risalah Islam merupakan risalah bagi seluruh manusia dan melarang berhukum kepada selain syariat Islam, Dia tidak hanya menjadikannya sekadar sebagai perintah semata; sebagai penjelasan bagi mereka yang ingin taat. Allah juga tidak mentoleransi orang yang hendak meraih tujuan tersebut dengan memilih cara sesuai dengan kehendaknya. Akan tetapi, Allah menjadikan suatu metode yang telah ditempuh oleh Nabi Muhammad saw. sebagai penjelasan (metode) yang wajib diikuti dalam rangka mewujudkan tujuan di atas. Kita diperintahkan untuk mengikutinya. Allah Swt. berfirman:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa saja yang diperintahkan oleh Rasul maka terimalah dan apa saja yang dilarangnya maka tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Islam tidak melalaikan penjelasan tentang solusi bagi realitas manusia, interaksi, dan problematikanya. Islam juga mendatangkan berbagai hukum yang harus diwujudkan secara praktis. Islam melarang mencuri, membunuh, dan zina. Sebaliknya, Islam memerintahkan iman, ibadah, taat, dsb. Islam tidak menjadikan semua itu sekadar perintah dan larangan semata dengan membiarkan seseorang berpegang teguh atau menyimpang sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi, Islam juga menjelaskan hukum-hukum tertentu yang arus dipatuhi manusia. Islam memerintahkan untuk memotong tangan pencuri, mencambuk atau merajam seorang pezina, membunuh seorang pembunuh, atau membunuh orang yang murtad, dsb. Allah Swt. berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا

Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan masing-masing dari keduanya. (QS al Mâidah [5]: 38).

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Pezina perempuan dan pezina laki-laki, cambuklah masing-masing seratus kali cambukan. (QS an-Nur [24]: 2).

Rasulullah saw. juga bersabda:

لا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِيْ وَ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَ التَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ الْجَمَاعَةِ

Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah kecuali karena satu di antara tiga hal: pezina yang sudah pernah menikah; jiwa dengan jiwa, sereta orang yang meninggalkan agamanya dan memecah-belah jamaah (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hukum-huum tersebut merupakan solusi Islami yang harus diterapkan secara real di tengah-tengah masyarakat. Siapa saja yang lemah imannya dipaksa oleh sanksi yang diterapkan oleh penguasa. Hukum-hukum tersebut merupakan hukum-hukum untuk menundukkan manusia pada kedaulatan syariat dan kekuasaan Allah. Hukum-hukum itulah yang menjadikan Islam diterapkan, bukan sebagai perintah dan larangan semata yang menyebabkan seseorang boleh terikat atau tidak sekehendak hati dan hawa nafsunya. Hukum-hukum itulah yang dinamakan sebagai tharîqah (metode), yakni tharîqah syar‘î yang wajib dipegang teguh—tidak boleh diganti dengan tharîqah lainnya—dalam rangka meraih tujuan yang telah diperintahkan. Contoh, hukum potong tangan tidak boleh diganti dengan hukuman penjara atau dibunuh untuk mencegah adanya pencurian. Demikian pula hukuman manti bagi orang murtad (yang tidak mau kembali) atau hukuman cambuk dan rajam bagi pezina. [bersambung]

Read More..