Friday, April 27, 2007

ISHROF DAN TABDZIR

Read More..

Allah SWT berfirman:

"Dan berikan kepada keluarga-keluarga terdekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang berada dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan harta-hartamu secara boros. Sesunggunya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan." (QS : Al Isro': 26-27).
Dan firman Allah :

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berle­bih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah : "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk ham­bah-hambah-Nya dan siapa pulakah yang mengharamkan rizki yang baik?" (Al A'raf: 31 - 32).
Sebagian orang menjadikan ayat-ayat di atas sebagai dalil untuk mangharamkan infaq dalam jumlah banyak sekalipun untuk persoalan-persoalan mubah. Mereka menyatakan, bahwa israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (penghambur-hamburan) dalam segala hal hukumnya haram. Sampai-sampai saat seseo­rang berwudhu dengan air yang berlebihan adalah perbuatan haram, karena dijumpai larangannya. Kekeliruan pendapat ini hingga mengharamkan hal-hal yang halal disebabkan ketidak­mampuan untuk membedakan antara kata israf dan tabdzir menurut makna bahasa dengan makna syara'. Perlu diketahui bahwa kedua kata yaitu israf dan tabdzir memiliki makna bahasa dan syara'. Adapun makna kata saraf dan israf terse­but menurut makna bahasa adalah melampaui batas serta i'ti­dal lawan dari kata qashdu. Sedangkan kata tabdzir dipergu­nakan dalam kalimat: Badzara Al Mal Tabdziran (Menghambur­kan-hamburkan harta) satu akar kata maknanya dengan israfan dan badzratan. Keduanya, kata israf dan tabdzir menurut makna syara' berarti menafkahkan harta untuk hal-hal yang telah dilarang Allah. Sedangkan untuk hal-hal yang diperin­tahkan, baik sedikit maupun banyak bukan termasuk israf maupun bukan tabdzir. Setiap bentuk nafkah (pengeluaran) untuk hal-hal yang dilarang Allah, baik sedikit maupun banyak adalah israf dan tabdzir (menurut makna syara').
Imam Az Zuhri meriwayatkan bahwa tatkala beliau menya­takan firman Allah:
"Dan janganlah kamu menjadikan tanganmu terbelenggu di atas lehermu, dan janganlah membukanya lebar-lebar". (Al Isro': 29) Beliau berkomentar: "Janganlah kamu mencegah tanganmu dari kebajikan, serta jangan dipergunakan memberi­kan nafkah untuk kebatilan.
Kata isrof termaktub dalam Al Qur'an:

"Dan orang-orang yang apa bila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan) itu di tengah-tengah antara yang demikian". ( Al furqon: 67)
Isrof yang dimaksud dalam ayat ini semata-mata menaf­kahkan harta untuk kema'siyatan. Adapun untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka tidak tergolong israf. Ayat tersebut artinya: "Janganlah kalian menafkahkan harta-harta kalian untuk kemaksiatan, dan jangalah kalian bakhil (bakhil) terhadap sesuatu yang mubah. Bahkan nafkahkanlah harta tersebut dalam perkara mubah yaitu keta'atan sebanyak-bany­aknya.
Dengan demikian menafkahkan (harta) untuk selain perka­ra mubah adalah tindakan tercela, dan bakhil (kikir) dalam perkara mubah juga tercela. Yang terpuji adalah memberikan nafah untuk perkara mubah dan keta'atan. Allah berfirman:

"Dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" ( Al An'am: 141)
Dalam ayat ini Allah mencela tindakan isrof, yaitu infaq untuk kema'siatan. Kata isrof dalam ayat-ayat tersebut maknanya adalah infaq (memberikan harta) untuk hal-hal maksiyat. Kata isrof dan musrifin disebutkan dalam Al Qur'an dalam banyak arti. Namun apabila kata israf disebut bersa­maan dengan kata infaq, maknanya adalah memberikan harta untuk tindakan maksiat. Al Qur'an menyatakan kata musrifin dengan makna mu'ridhin 'an dzikrillah (melalaikan dzikir kepada Allah). Allah berfirman:
"Begitulah orang-orang yang lalai (kepada Allah) itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan" (Yunus : 12)
Kata musrifin bermakna kadang-kadang berarti orang yang keburukannya melebihi kebaikannya. Allah berfirman:

"Dan sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas, mereka itulah penghuni neraka." (Al Mu'min: 43)
Kata musrifin juga diartikan dengan mufsidin (yang membuat kerusakan), sebagaimana firman Allah:

"Dan janganlah kamu perintah orang-orang yang melampaui batas, yang membuat kerusakan di muka bumi." (Asy Syu'aro: 151 -152)
Jadi kata israf dan musrifin memiliki beberapa makna syara'. Oleh karena itu, penafsiran menurut makna bahasa tidak diperbolehkan. Bahkan, harus dibatasi hanya dengan makan syara' saja. Dengan meneliti kata musrifin, israf, mubadzirin dan tabdzir dalam Al Qur'an yang ada semata-mata hanya satu makna yaitu menafkahkan harta dalam perkara yang haram.
Israf dalam praktek wudhu, maknanya adalah melebihi tiga kali (guyuran air), karena hal ini telah melampaui apa yang telah diperintahkan oleh syara'. Praktek tersebut jelas-jelas tergolong israf, jadi maknanya bukan israf (berlebih-lebihan) dalam pemakaian air. Seperti halnya menjadikan sholat sunah subuh lebih dari dua rakaat, padahal sunnahnya dua rakaat. Sama halnya menjadikan bacaan tasbih sebanyak tiga puluh lima kali, padahal sunahnya tiga puluh tiga kali.
Berdasarkan hal itu, sebenarnya seorang muslim bisa saja menafkahkan hartanya untuk perkara mubah dan keta'atan sekehendak hatinya, tanpa syarat-syarat mengikat apapun. Baik karena ia butuhkah, ataupun karena semata-mata pemberi­an saja, semuanya adalah mubah. Dan bukan dianggap israf. Penyataan yang menyatakan bahwa hal itu tergolong israf yang diharamkan adalah tidak benar, sebab itu berarti mengharam­kan sesuatu yang dimubahkan. Sedangkan menyatakan sesuatu yang tidak dinyatakan oleh syara' termasuk perbuatan dusta atas nama Allah.
Ayat-ayat yang menyatakan tentang israf dan tabdzir amat jelas. Bahwa kesemuanya memiliki arti membelanjakan harta untuk perbuatan (perkara) yang haram. Padahal, disamp­ing itu Allah juga tidak mengharamkan idha'atul mal (mele­nyapkan harta kekayaan) tanpa ada sebab apapun. Lalu bagai­mana mungkin infaq dalam jumlah banyak untuk perkara yang tergolong mubah diharamkan?
Rasulullah saw. bersabda:

"Kalian diharamkan berbuat durhaka kepada ibu-ibu kalian, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan dilarang menghimpit 9di tanah), serta makruh bagi kalian mengatakan 'begini' dan 'begitu' serta banyak bertanya dan melenyapkan harta".
Idha'atul mal adalah makruh, dan bukan haram. Makruh di sini berarti, tidak ada dosa di hadapan. Disamping itu, makna kata israf menurut arti bahasa adalah melampaui batas. Maka, bila seseorang ingin menafsirkan ayat-ayat dengan makna tersebut, pertanyaannya adalah apa batasannya sehingga dianggap hal itu melampaui batas? Apakah menurut batas kebutuhan hidup masyarakat Yaman, atau masyarakat Syam, atau para fukara' (fakir), atau orang-orang kaya atau orang-orang yang sederhana hidupnya?
Jadi melampaui batas harus memiliki batasan tertentu. Sedangkan yang dapat menentukan batasan tersebut adalah syara', bukan akal, adat, kebiasaan, begitu juga bukan kesederhanaan yang menjadi standar hidup. Syara' sebenarnya telah menjelaskan bahwa batasannya adalah sesuatu yang dihalalkan Allah. Maka, disebut melampaui batas, apabila ia melakukan sesuatu yang tidak dihalalkan Allah atau yang diharamkannya.
Seandainya seseorang ingin mengatakan dan menetapkan batas-batas (ukuran) tersebut maka untuk menafsirkan kata israf menurut arto bahasa tadi dalam ayat-ayat Al Qur'an; jelas hal-hal ini tidak mungkin, karena harus kembali kepada makna syara'. Walhasil penafsiran israf dan tabdzir, menurut makna bahasa tidak dapat dibenarkan. Dan haram bagi siapun untuk menafsirkan dengan konteks tersebut. Sebab, hal itu tidak termaktub di dalamnya. Bahkan harus ditafsirkan berda­sarkan makna syara' yang ada dalam nas-nas Al Qu'an.

Read More..

INTERAKSI DAKWAH

Read More..

Benturan kafir Quraisy dengan dakwah Islam merupakan sesuatu yang alami. Karena Rasulullah saw. membawa dakwah dan menampakkan kutlah yang bersama beliau mengemban dakwah secara dinamis dan mengundang tantangan. Di samping itu, esensi dakwah ini mengandung perlawanan terhadap kafir Quraisy dan masyarakat Makkah karena memang dakwah Rasul mengajak mengesakan Allah, menyembah Allah semata, meninggalkan penyembahan berhala-berhala, dan melepaskan diri dari semua sistem rusak yang mereka hidup di dalamnya.
Karena itu, dakwah Rasul berbenturan dengan kafir Quraisy secara total. Bagaimana mungkin Rasulullah saw. tidak berbenturan dengan kafir Quraisy, sementara beliau selalu membodohkan mimpi-mimpi mereka, merendahkan tuhan-tuhan mereka, menyebarkan cacat-cacat kehidupan mereka yang murah, dan mencela cara-cara kehidupan mereka yang sesat. Al-Qur'an pun turun pada Rasul yang sebagian isinya menyerang mereka dan mengatakan kepada mereka dengan lantang [yang artinya]: "Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah umpan jahannam." (QS. al-Anbiya': 98). Kemudian Al-Qur'an menyerang praktek riba yang mereka hidup di atas prinsipnya. Serangannya sangat keras dan menghantam dari arah pondasinya. Dalam surat al-Ruum: 39, Allah menyatakan [yang artinya]: "Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah dari sisi Allah." Kepada orang-orang yang curang dalam takaran dan timbangan, Al-Qur'an mengancamnya dengan mengatakan [yang artinya]: "Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (QS al-Muthaffifin: 1-3).
Karena itu, kafir Quraisy mengambil sikap menghadapi, menyerang, dan menganiaya Rasul dan para sahabatnya. Terkadang dengan siksaan, sesekali dengan pemboikotan, dan di lain waktu dengan berbagai propaganda yang menentang Rasul dan agamanya. Dalam kondisi demikian, tidak ada pilihan bagi Rasul kecuali terus menyerang mereka, melangsungkan perlawanan terhadap pemikiran-pemikiran yang salah, menghantam akidah-akidah yang rusak, dan berjuang di jalan penyebaran dakwah. Beliau menyerukan Islam dengan segala keterus-terangan, tidak dengan kiasan, tidak dengan isyarat, tidak dengan lemah lembut, tidak dengan merendah, tidak dengan belas kasihan, dan tidak dengan bermanis muka, meski apa yang didapatkan dari kafir Quraisy hanyalah penganiayaan dan kesulitan. Padahal ketika itu beliau seorang diri tanpa pembantu, tanpa penolong, tanpa orang-orang yang bersamanya, dan tanpa senjata. Beliau datang sebagai seorang musafir yang selalu menantang dan mengajak pada agama Allah dengan kekuatan iman. Tidak ada kelemahan apapun yang menyisip ke dalam dirinya dalam mengemban beban-beban dakwah. Beliau selau siap menanggung beban-beban yang berat demi dakwah. Karena itu semua, daya pengaruh Rasul sangat kuat dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang diletakkan oleh kafir Quraisy di hadapan beliau yang tujuannya untuk mengubah hubungan antara beliau dan manusia. Akan tetapi, Rasulullah mampu berhubungan dengan manusia dan menyampaikan dakwah kepada mereka. Maka orang-orang pun menerima agama Allah dan menjadikan kekuatan kebenaran di atas kebatilan, menjadikan cahaya Islam kian hari semakin menyebar di kalangan bangsa Arab. Maka banyak para penyembah berhala dan orang-orang nasrani memeluk Islam. Bahkan, para pemimpin Quraisy sering mendengarkan al-Qur'an dan hati mereka berdebar karenanya.
Al-Thufail bin 'Amru al-Dausiy datang ke Makkah. Dia adalah seorang laki-laki mulia yang ahli syair dan cerdas. Lalu kaum Quraisy meniupkan fitnah kepadanya agar berhati-hati pada Muhammad. Mereka mengisukan kepadanya bahwa ucapan Muhammad seperti sihir yang bisa memisahkan antara seseorang dengan keluarganya. Mereka juga menakut-nakuti Thufail dan kaumnya seperti apa yang menimpa orang-orang Makkah. Sikap yang terbaik bagi Thufail adalah tidak berbicara dengan Muhammad dan tidak mendengarkannya. Suatu hari Thufail pergi ke Ka'bah dan Rasulullah ada di sana. Tanpa sengaja Thufail mendengar sebagian sabda Rasul. Tiba-tiba dia merasakan bahwa itu adalah ucapan yang baik. Dia bersumpah dalam hatinya, "Demi Allah dan kematian ibuku, sesungguhnya aku seorang penyair yang cerdas yang tidak satu pun keindahan dan keburukan tersembunyi dariku! Lantas apa yang mencegahku untuk mendengarkan apa yang dikatakan laki-laki ini. Jika dia datang dengan kebaikan maka pasti saya menerimanya, dan jika dia datang dengan keburukan maka saya meninggalkannya." Kemudian Thufail mengikuti Rasul sampai ke rumahnya. Dia memaparkan persoalannya dan apa yang berkecamuk dalam dirinya pada Rasul, lalu beliau menjelaskan dan membacakan al-Qur'an kepadanya. Dan akhirnya Thufail masuk Islam, mempersaksikan kesaksian yang hak, dan kembali kepada kaumnya untuk mengajak mereka memeluk Islam.
Kemudian Thufail datang kepada Rasul di Makkah dengan dua puluh laki-laki Nasrani, setelah Thufail menyampaikan kabar tentang Rasul kepada mereka. Lalu mereka duduk di hadapan beliau, bertanya kepada beliau, dan mendengarkan beliau. Kemudian mereka memenuhi (ajakan beliau), beriman, dan membenarkan beliau. Hal itu menyebabkan kafir Quraisy marah hingga mereka mengumpat Thufail dan rombongannya dengan mengatakan, "Semoga Allah menggagalkan (menjatuhkan) kalian dari unta (rakbin). Di belakang kalian, seseorang dari para pemeluk agama kalian telah mengutus kalian, lalu kalian murtad dan mendatangi mereka (kaum Thufail dan teman-temannya) dengan kabar laki-laki itu. Di sisinya, majelis kalian tidak akan tenang hingga kalian meninggalkan agama kalian dan membenarkan laki-laki itu (Muhammad) dengan apa yang dikatakannya."
Ucapan orang-orang Quraisy ini tidak mampu memalingkan mereka dari tetap mengikuti Nabi, juga tidak mampu memurtadkan mereka dari Islam. Bahkan, iman mereka pada Allah semakin bertambah. Karena itu, perihal Nabi semakin tampak dan kerinduan mereka untuk mendengar Al-Qur'an semakin bertambah. Hingga orang Quraisy yang paling memusuhi Islam mulai bertanya pada diri mereka. "Benarkah bahwa dia (Muhammad) mengajak pada agama yang lurus? Benarkah pula bahwa apa yang dijanjikan dan diancamkan pada mereka adalah benar?"
Pertanyaan-pertanyaan ini membawa mereka berangkat sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan Al-Qur'an. Adalah Abu Sufyan bin Harb, Abu Jahal, 'Amru bin Hisyam, dan al-Akhnas bin Syariq keluar secara sembunyi-sembunyi di malam hari untuk mendengarkan Muhammad saw. di rumahnya. Masing-masing dari mereka mengambil tempat untuk mendengarkan apa yang dibaca Muhammad dan masing-masing di antara mereka saling tidak mengetahui tempatnya. Ketika itu Muhammad sedang salat dan membaca Al-Qur'an dengan tartil. Mereka mendengarkan ayat-ayat Allah. Hati dan jiwa mereka tertawan. Mereka terus mendengarkannya dengan diam hingga waktu fajar, lalu mereka berpisah kembali ke rumah mereka masing-masing. Namun, di tengah jalan, mereka saling berpapasan, kemudian saling mencela. Antara satu dengan lainnya saling mengumpat dan menghardik seraya berkata, "Janganlah kamu kembali lagi. Seandainya sebagian orang-orang bodoh pengikutmu mengetahui apa yang baru kamu lakukan, niscaya hal itu akan melemahkan urusanmu dan Muhammad pasti dapat mengalahkanmu!"
Ketika malam berikutnya tiba, masing-masing dari mereka kembali merasakan seperti apa yang telah mereka rasakan kemarin. Seakan-akan dua kaki mereka membawa mereka melangkah tanpa mampu dicegah. Mereka ingin memenuhi malam kedua seperti malam kemarin dan mendengarkan Muhammad saw. membaca Kitab Tuhannya. Namun, ketika hendak pulang di ujung waktu fajar, mereka kembali berpapasan dan saling mencela, dan akhirnya berjanji untuk tidak kembali di malam yang ketiga. Ketika mereka mengetahui apa yang terjadi pada diri mereka terhadap dakwah Muhammad, yaitu semangat yang melemah, maka mereka berjanji untuk tidak mengulangi seperti yang pernah dilakukan di malam-malam sebelumnya. Mereka pun mencabut niat untuk pergi mendengarkan Muhammad. Akan tetapi, apa yang mereka dengar di malam ketiga meninggalkan pengaruh sangat kuat yang membuat mereka saling bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada diri mereka dan bagaimana pendapat mereka tentang apa yang telah mereka dengar. Masing-masing dari mereka hatinya bergetar dan takut dirinya melemah, padahal dia adalah pemimpin kaumnya. Masing-masing dibayangi ketakutan bahwa kaumnya melemah, lalu mengikuti Muhammad saw.
Seperti demikianlah, dakwah berjalan di semua tempat meski di hadapannya berbagai halangan yang diletakkan kafir Quraisy terus menghadang. Demikian itu membuat kafir Quraisy semakin jahat. Ketakutan mereka terhadap penyebaran dakwah di antara kabilah-kabilah Arab setelah dakwah tersebar di Makkah sangat besar. Karena itu, mereka lebih meningkatkan penganiayaannya terhadap para sahabatnya dan menambah penyaniayaan pada Nabi. Banyak kejahatan mereka diarahkan kepada Nabi hingga beliau merasa sempit dan tidak mampu mengatasi perkara itu. Lalu beliau keluar ke Thaif mencari pertolongan dan perlindungan. Beliau mengharapkan keislaman mereka. Akan tetapi, mereka menjawabnya dengan jawaban yang sangat buruk. Mereka justru menggoda Nabi dengan anak-anak dan orang-orang bodoh mereka. Mereka mencaci, menghardik, dan melempari Nabi saw. dengan batu hingga telapak kaki beliau berdarah. Beliau lari dari mereka dan kembali hingga duduk di perkebunan anggur milik 'Utbah dan Syaibah, dua anak Rabi'ah. Di tempat itu beliau berpikir tentang dirinya dan dakwahnya. Beliau tidak bisa masuk ke Makkah kecuali dalam perlindungan salah seorang pemimpin Makkah yang musyrik. Beliau juga tidak bisa pergi ke Thaif setelah menghadapi penganiayaan. Beliau juga tidak mungkin tetap di kebun anggur tersebut karena perkebunan itu milik dua laki-laki musyrik. Kesedihan yang dirundung kegundahan yang teramat sangat membayangi Nabi. Laki-laki agung itu mengangkat kepalanya ke langit dan mengadu pada Allah atas keadaannya yang sangat tersiksa. Beliau berusaha membesarkan kepercayaannya pada Allah dan mencari ridha-Nya dengan berdoa, "Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku dan sedikitnya upayaku dan tidak berdayanya aku menghadapi manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara hamba-hamba yang pengasih, Engkau adalah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhanku. Kepada Dzat Yang membebaniku, kepada kejauhan yang menerimaku dengan muka masam, ataukah kepada musuh, Engkau menguasakan perkaraku? Jika saja kemurkaan-Mu tidak menimpaku, tentu aku tidak peduli. Akan tetapi, ampunan-Mu lebih luas untukku daripada kemurkaan-Mu yang akan Engkau timpakan kepadaku atau Engkau dudukkan aku dalam kemurkaan-Mu. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang Engkau hapus kegelapan-kegelapan dengan terbitnya dan urusan dunia dan akhirat Engkau selaraskan dengan baik di atasnya. Hanya untuk-Mu segala kerelaan hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali bersama-Mu."
Kemudian beliau kembali ke Makkah dalam penjagaan Muth'im bin 'Adiy. Kafir Quraisy mengetahui apa yang terjadi pada diri Muhammad di Thaif. Karena itu, mereka menambah penganiayaan kepadanya dan mengeraskan kesulitan kepadanya. Mereka mencegah manusia untuk mendengarkannya. Demikian itu tidak mengalihkan Nabi saw. dari dakwah pada agama Allah. Beliau memperlihatkan dirinya dalam musim-musim keramaian (bulan-bulan yang dimuliakan bangsa Arab yang dijadikan bulan perayaan, yaitu sebanyak 4 bulan) kepada kabilah-kabilah Arab dengan mengajak mereka masuk Islam dan mengabarkan pada mereka bahwa dirinya adalah Nabi yang diutus. Kemudian beliau meminta mereka untuk membenarkannya. Hanya saja pamannya, 'Abd al-'Uzza bin 'Abd al-Muththallib Abu Lahab, tidak pernah membiarkannya. Bahkan, dia selalu mengikutinya ke manapun Nabi saw. pergi. Dia juga mengajak orang-orang secara agitasi untuk tidak mendengarkan Nabi. Demikian itu berpengaruh pada mereka dan mereka berpaling dari mendengarnya. Maka dari itu, Rasulullah saw. mendatangi kabilah-kabilah di rumah-rumah mereka. Beliau mendatangi bani Hanifah dan bani 'Amir bin Sha'sha'ah. Namun, tidak seorang pun dari mereka yang mendengarkannya, bahkan mereka semua menolak beliau dengan penolakan yang tidak simpatik. Bani Hanifah menolak beliau dengan penolakan yang buruk. Adapun bani 'Amir, mereka sangat berambisi untuk memiliki perkara (kepemimpinan Arab) setelah Nabi ketika beliau berhasil mengalahkan mereka. Ketika Nabi berkata pada mereka bahwa sesungguhnya semua perkara kembali kepada Allah Yang Dia meletakkannya menurut kehendak-Nya, maka mereka memalingkan muka dari Nabi dan menolak beliau sebagaimana penolakan kaum yang lain.
Seperti demikianlah Makkah berpaling dari Islam dan penduduk Tha'if berpaling dari Nabi serta kabilah-kabilah Arab menolak dakwah Rasul. Kabilah-kabilah yang datang berhaji ke Makkah melihat apa yang menjadikan Nabi beruzlah dan apa yang menyebabkan orang-orang Quraisy mengepungnya dengan permusuhan. Kabilah-kabilah itu menjadikan setiap penolong Nabi sebagai musuhnya. Dan pertolongannya menjadi permusuhannya. Oleh sebab itu, mereka semakin berpaling dari beliau, dan demikian itu semakin menambah Nabi untuk beruzlah dari manusia. Maka dakwah di Makkah dan sekitarnya menjadi sulit. Masyarakat Makkah yang tampak dalam kekerasan kekufuran dan penentangan yang kejam menjadikan cita-cita dalam dakwah melemah.

Read More..

(Insya Allah) Khilafah Sudah Dekat

Read More..

“Masa kenabian akan terjadi di tengah-tengah kalian seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya jika memang menghendaki. Setelah itu, akan ada Khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian, lalu Khilafah itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya jika menghendaki. Setelah itu akan ada kerajaan yang memegang teguh Islam, lalu kerajaan itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya sesuai kehendaknya. Setelah itu, akan ada kerajaan para diktator, lalu kerajaan itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya sesuai kehendaknya. Setelah itu, Khilafah akan kembali tegak dengan berjalan di atas manhaj kenabian”. Setelah itu, Nabi saw. terdiam. (HR Ahmad dalam Musnad-nya, Jilid 4/273).

Khilafah Pasti Kembali

Imam Ahmad dalam Musnad-nya (Jilid 4, hlm. 273) meriwayatkan dari Nu’man bin Bashir r.a. yang mengatakan bahwa Nabi saw. menyatakan, “Masa kenabian akan terjadi di tengah-tengah kalian seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya jika memang menghendaki. Setelah itu, akan ada Khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian, lalu Khilafah itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya jika menghendaki. Setelah itu, akan ada kerajaan yang memegang teguh Islam, lalu kerajaan itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya sesuai kehendaknya. Setelah itu, akan ada kerajaan para diktator, lalu kerajaan itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya sesuai kehendaknya. Setelah itu, Khilafah akan kembali tegak dengan berjalan di atas manhaj kenabian”. Setelah itu, Nabi saw. terdiam.
Rasulullah saw. telah memprediksi tentang akan kembalinya Khilafah setelah sempat musnah dan hancur. Saat ini kita dapat menyaksikan pemerintahan yang lalim sebagaimana yang Rasulullah saw. sampaikan. Di sisi lain, hal itu merupakan pertanda bahwa Khilafah yang berjalan di atas manhaj kenabian sebagaimana yang beliau prediksikan itu sudah kian dekat.
Patut kita sadari bahwa meningkatnya penindasan yang dihadapi oleh para pengemban dakwah Islam dan mereka yang berjuang demi tegaknya Khilafah merupakan pertanda akan kembalinya Khilafah dan para penguasa lalim tahu akan hal itu. Kita harus semakin percaya diri dan meningkatkan ketabahan, kesabaran, dan keteguhan melawan para penguasa tiran itu. Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Maqal bin Yasar yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Tidak lama setelah aku pergi, akan muncul para tiran. Pada saat para tiran muncul, keadilan akan hilang, sampai orang-orang dilahirkan di bawah kekuasaan tiran itu tidak tahu apa-apa. Lalu, Allah akan menurunkan keadilan, dan ketika keadilan datang, para tiran akan pergi, sampai orang-orang yang lahir di bawah keadilan itu tidak tahu apa-apa”.
Saat ini kembalinya Khilafah sudah semakin dekat. Ada banyak riwayat dan ramalan tentang kembalinya Khilafah tersebut. Rasulullah saw. mengabarkan bahwa kekuasaan Islam akan kembali dan tempat kembali itu adalah al-Quds, yang menjadi pusat kedudukan Khilafah. Dalam buku Ibnu Asakir bertajuk Great History of Damascus, Yunis bin Maysara bin Halbas mengatakan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Kekuasaan ini (maksudnya Khilafah) akan ada setelahku di Madinah, lalu di Syam, di Jazirah Arab, di Irak, di Madinah, lalu di Baitul Maqdis (al-Quds). Lalu, ketika kekuasaan itu berada di al-Quds, itulah tempatnya yang terakhir karena setelah itu tidak ada seorang pun yang akan menggusurnya”. Telah sama-sama kita ketahui bagaimana kekhilafahan berpindah dari Madinah, Syam, Irak, dan Madinah kembali pada masa awal kekhilafahan. Insya Allah, Khilafah akan kembali tegak dengan al-Quds sebagai ibukotanya!
Ibnu Sad dan penulis Kanzul Ummal 14/252 keduanya meriwayatkan bahwa Abu Umairah al-Mazani mengatakan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Akan ada baiat di Baitul Maqdis”. Ahmad dalam Musnad-nya (5/288), Abu Dawud dalam Sunan no. 2535 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak mengeluarkan hadis berikut yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. mengatakan, “Ketika Khilafah datang ke tanah suci, maka gempa bumi, bencana, dan peristiwa-peristiwa besar sudah dekat, dan Hari Kiamat akan lebih dekat dibandingkan jarak tanganku ke kepalamu”.
Al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/468, Ahmad dalam Musnad 2/84, dan Abu Dawud dalam Sunan no. 2482, melaporkan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Akan terjadi dua hijrah, dan hijrah terakhir akan terjadi ke tempat bapakmu, Ibrahim a.s., berhijrah”. Hijrah pertama adalah hijrahnya Rasulullah saw. pada saat mendirikan Negara Islam yang kemudian tegak selama 1342 tahun. Insya Allah kita akan segera menyongsong kembalinya Khilafah. Kita boleh merasa yakin dengan kembalinya Khilafah. Bahkan, kita yakin Khilafah akan menjadi negara yang sejahtera dan berkuasa sehingga mampu menyatukan negeri-negeri Islam dan mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia.
Al-Nawawi dalam Syarah Muslim (18/38-39) dan dalam Musnad Imam Ahmad 3/317, tercantum sebuah hadis dari Jabir bahwa Rasulullah saw. berkata, “Pada saat generasi terakhir dari umatku, akan ada seorang khalifah yang membagi-bagikan uang tanpa menghitungnya”. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Ketika dunia ini akan berakhir, akan ada seorang khalifah yang membagi-bagikan uang tanpa menghitungnya”.
Hadis berikut dikeluarkan oleh Muslim dalam Sahih-nya menurut Syarah an-Nawawi (bab 18 hlm. 13), Abu Dawud dalam Sunan hadis no. 4252, at-Tirmidzi bab 2 hlm. 27, Ibnu Majah 2952, dan Musnad Ahmad bab 5 hal 278 dan 284, al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/479, dari Thawban yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Allah telah menyatukan seluruh bumi untukku, sehingga aku dapat melihat bagian timur dan barat sekaligus. Adapun kekuasaan umatku akan mencapai bagian bumi yang pernah ditunjukkan kepadaku”.
Dalam Musnad Imam Ahmad 2/176, Musnad ad-Darimi bab 1 hlm. 126, al-Mustadrak-nya al-Hakim 3/422, diriwayatkan sebuah hadis dari Abu Qabil yang berkata, “Kami berada di rumah Abdullah bin Amr bin al-‘Ash, dan ia ditanya: ‘Mana yang akan lebih dulu ditaklukkan, Konstantinopel atau Roma?’ Abdullah meminta sebuah kotak, dari kotak itu ia mengeluarkan sebuah buku, lalu berkata: Kami pernah berkumpul bersama Rasulullah saw. yang sedang menulis, lalu beliau ditanya: ‘Kota mana yang akan lebih dulu ditaklukkan, Konstantinopel atau Roma?’ Rasulullah saw. menjawab: ‘Kotanya Heraklius (yaitu Konstantinopel) akan ditaklukkan lebih dulu”. Penaklukan pertama yang disebutkan di dalam hadis itu telah terjadi dalam sejarah. Yaitu, penaklukan Konstantinopel di bawah pimpinan Khalifah Muhammad al-Fatih, dan itu terjadi 800 tahun setelah Rasulullah saw. mengabarkannya. Dengan pertolongan Allah Swt., penaklukan kedua, yaitu penaklukan kota Roma, akan segera terwujud!
Wahai kaum muslim! Allah Swt. telah menjanjikan kemenangan bagi mereka yang memiliki iman yang kokoh serta berjuang demi agamanya untuk meninggikan Raya (Panji) Laa ilaaha illa Allah.
Dalam al-Quran surat an-Nur ayat 55, Allah Swt. menjanjikan kepada orang-orang beriman:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh di antara kamu bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dia benar-benar akan mengubah mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku. Barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS al-Nur [24]: 55).
Imam al-Qurtubi mengomentari ayat di atas dalam bukunya al-Jami’i li Ahkam al-Qur'an dengan mengatakan, “Memang benar bahwa ayat itu berlaku bagi umat Muhammad secara umum karena kekhususan tidak berlaku, kecuali penyampainya (yakni Nabi saw.) memberitahukan tentang kekhususan itu; dan sebagaimana yang telah diketahui, yang berlaku adalah keumuman lafal”. Masih tentang ayat di atas, Imam asy-Syaukani menulis dalam bukunya Fath al-Qadir bab 4 halaman 74, “Ini adalah janji dari Allah Swt. kepada mereka yang meyakini Allah dan melakukan kebaikan, bahwa Allah akan memberikan kekuasaan di dunia kepada mereka, sebagaimana Dia berikan kepada umat sebelumnya. Janji ini berlaku bagi umat secara keseluruhan. Ada anggapan bahwa janji ini hanya berlaku bagi generasi sahabat, tapi tidak ada bukti untuk mendukung asumsi tersebut, karena memiliki keyakinan dan melakukan kebaikan tidak dibatasi berlaku bagi para sahabat, tapi terbuka bagi setiap individu yang menjadi bagian dari umat.”
Begitulah, Rasulullah saw. telah mengabarkan tentang akan kembali tegaknya Khilafah dan tentang akan kembali jayanya agama Islam, serta tentang kemenangan yang Allah Swt. janjikan. Allah Swt. telah mengaruniakan syariat Islam kepada kita untuk membimbing kita mengembalikan Khilafah.
Lebih dari itu semua, Rasulullah saw. telah mengabarkan tentang adanya orang-orang yang berkelompok, sebuah partai yang terikat oleh Akidah Islam, yang berdiri tegak melawan penguasa tiran, tidak menyimpang dari agama Islam, dan tetap berada di jalan kebenaran tanpa memedulikan orang-orang yang berbeda dengan mereka, ataupun orang-orang yang mengabaikan mereka. Partai itu mengalami berbagai macam penyiksaan dan kesengsaraan dari penguasa tiran, tapi mereka tetap teguh dengan ajaran Islam. Mereka akan memperoleh kemenangan dan menegakkan perintah Allah Swt. dan menegakkan agama-Nya di muka bumi.
Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Abu Dawud dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Syauban bahwa Rasulullah saw. berkata, “Di antara umatku akan selalu ada sebuah kelompok (thaifah) yang tetap berada dalam kebenaran, kemenangan, dan tidak akan dikalahkan oleh orang-orang yang berbeda dengan mereka sampai datang ketetapan dari Allah”. Dalam riwayat lain, Imam Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi menambahkan, “Orang-orang yang mengabaikan mereka tidak akan mengganggu mereka”.
Muslim dan Bukhari telah meriwayatkan dari Muawiyah yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. berkata, ‘Sebuah kelompok dari umatku akan berdiri di atas ketetapan Allah, mereka tidak akan diganggu oleh orang-orang yang mengabaikan mereka atau yang berbeda dengan mereka, hingga datang ketetapan Allah memenangkan mereka atas orang-orang lain”.
Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya juga meriwayatkan bahwa Nabi saw. berkata, “Dari umatku akan ada segolongan umat yang berdiri di atas ketetapan Allah, orang-orang yang berbeda dengan mereka atau yang mengabaikan mereka tidak akan sanggup mengganggu mereka hingga datang ketetapan dari Allah dan mereka berada di atasnya”. Muadz bin Jabal r.a. mengatakan, “Mereka berada di Syam”.
Imam Ahmad dan Thabrani meriwayatkan melalui sanad yang terpercaya dari Abu Umamah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Akan ada sebuah kelompok dari umatku yang akan mendapat kemenangan dalam agama ini, dan mereka akan mengalahkan musuh-musuh mereka. Mereka tidak akan diganggu oleh orang-orang yang berbeda dengan mereka, kecuali sekadar penyiksaan dan kesengsaraan sampai datang ketetapan dari Allah dan mereka berada di atasnya”. Orang yang bercerita lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, di manakah mereka berada?” Beliau menjawab, “Mereka berada di Baitul Maqdis dan sekitarnya”. Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi saw., “Akan ada sebuah kelompok dari umatku yang berdiri di atas ketetapan Allah dan mereka tidak akan diganggu oleh orang-orang yang berbeda dengan mereka”.
Imam al-Hakim dalam Mustadrak meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad yang sahih dari Umar bin Khaththab r.a., “Akan ada sebuah kelompok dari umatku yang akan terus mendapat kemenangan di atas kebenaran hingga datang Hari Kiamat”. Diriwayatkan oleh ad-Darimi dari Mughirah bin Syu’bah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Akan ada sekelompok orang dari umat ini yang akan berbeda dari orang-orang, sampai datang ketetapan Allah dan mereka memperoleh kemenangan”.
Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/114) meriwayatkan dari Ubay bin Abi Ka’ab yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Bawalah kabar gembira kepada umat ini, bahwa umat ini akan memiliki kekuasaan, kebanggaan, agama, kemenangan, dan kekuasaan di muka bumi. Jadi, barang siapa yang lebih menginginkan pahala di dunia ketimbang di akhirat, ia tidak akan mendapatkan apa pun di Akhirat kelak”.

Read More..

Ingin Berjuang Tanpa Resiko?

Read More..

Ada sebuah hadits yang menyatakan:
"Tidaklah patut seorang mukmin itu menghinakan dirinya". Para shahabat bertanya: 'Bagaimana dia menghinakan dirinya?' Rasulullah saw menjawab:
"Dia melibatkan diri pada permasalahan yang ia tidak mampu menghadapinya".

Sebagian kaum muslimin menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa seorang muslim seyogyanya menjauhkan diri dari permasalahan-permasalahan yang berat. Lebih jauh, mereka mengambil hadits ini sebagai rukhshah (keringanan syara') untuk meninggalkan sebagian kewajiban dan mengerjakan sebagian dari hal-hal yang diharamkan --demi menjauhkan diri, agar tidak terlibat dalam permasalahan yang penuh resiko. Misalnya, perjuangan politik untuk menegakkan daulah Islam, tentu akan membawa pelakunya kepada ancaman para penguasa; mulai dari penjara, dipecat dari pekerjaan, sampai penyiksaan secara fisik. Pertanyaannya, apa benar bahwa di dalam hadits tersebut, ada rukhshah untuk meninggalkan usaha da'wah dalam keadaan seperti ini dan berdiam diri terhadap sistem yang sedang berlaku di seluruh dunia Islam sekarang?

Sebelum membicarakan fiqh hadits tersebut di atas, terlebih dahulu akan kita bicarakan sanadnya; untuk mengetahui apakah benar hadits tersebut telah diucapkan Rasulullah saw? Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa Hadits ini adalah hadits Hasan-gharib. Tentang hadits tersebut, Ibnu Abi Hatim berkata bahwa ini adalah hadits munkar (tertolak)'. Sedangkan menurut Al Albani, "Itu adalah hadits munqathi' (terputus sanadnya)". Lebih lanjut beliau menambahkan: "Ada hadits marfu' dari Ibnu 'Umar yang mirip dengan hadits ini, yang di dalam sanadnya ada Zakaria bin Yahya Al Madaîni".

Tentang orang ini, Al Albani berkomentar bahwa jika yang dimaksud adalah Abu Yahya Al Lu`lu`i (Abu Yahya AlMadaini), berarti hadits tersebut adalah shahih. Dengan kata lain, beliau menggantungkan keshahihan hadits tersebut dengan syarat ini1).

Tentang putusnya sanad pada alasan pertama, cukup kuat diterima. Sedangkan pada alasan kedua, didalam sanadnya terdapat perawi majhul (tidak diketahui). Sehingga tidak boleh menjadikan hadits seperti ini sebagai dalil, karena memang belum mencapai tingkatan riwayat yang shahih atau hasan. Walaupun sebagian Perawi hadits mengatakannya hasan, tentulah karena mereka tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dalam hadits ini.

Ini dari segi sanad. Adapun dari segi makna (mafhum hadits), kita harus memahaminya melalui konteks hadits-hadits yang shahih serta ayat-ayat suci yang menjelaskan masalah ini. Tentang ungkapan Rasul pada ujung hadits tersebut:
"melibatkan diri pada permasalahan yang ia tidak mampu menghadapinya". Harus difahami secara syar'i untuk menentukan apa sebenarnya batas kemampuan, dan tindakan apa yang dianggap oleh syara' "di luar kemampuan".

Adapun hal-hal yang di luar kemampuan manusia, itu jelas tidak diwajibkan syara' atasnya. Sesuai dengan apa yang tertera dalam surat Al Baqarah ayat 286:

"Allah tidak membebani (sesuatu) pada seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya".


-------------------
1) Lihat Nashiruddin Al Albani, "Silsilatul Ash Shahihah" II/172.

Oleh karena itu, tidak boleh membiarkan setiap individu menentukan sendiri batas kemampuan atau batas kesanggupan sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Tetapi yang menentukannya adalah syara' semata. Untuk pemahaman yang lebih lanjut, marilah kita menelaah kembali tafsir ayat 106 dari surat An Nahl yang berbunyi:

"Siapa saja yang kufur kepada Allah setelah ia beriman, kecuali seseorang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap teguh dengan iman".

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan2): ["Orang-orang Musyrik Quraisy menangkap 'Ammar bin Yasir, lalu mereka menyiksanya sampai ia hampir-hampir menuruti sebagian keinginan mereka. Kemudian ia adukan hal tersebut kepada Nabi saw. "Bagaimana kau mendapati hatimu?", tanya beliau. "Tetap teguh dengan Iman", jawabnya. Lalu Rasulullah bersabda: "Kalau mereka mengulangi lagi perbuatannya, maka ulangilah sikapmu itu".]

Ibnu Katsir kemudian menambahkan: ["Oleh karena itu, para Ulama telah sepakat bahwa seseorang yang dipaksa kufur, dibolehkan baginya menuruti keinginan pihak yang memaksanya, demi keselamatannya. Boleh juga ia menolak, seperti yang dilakukan Bilal ra, yang mengabaikan mengucapkan kata-kata kufur, walaupun mereka melakukan berbagai penyiksaan terhadapnya. Bilal hanya mengucapkan "Ahad" berkali-kali, sambil mengatakan: "Kalau aku tahu ada satu kata lain, yang akan menyebabkan kalian lebih marah, tentulah akan aku katakan!" Radliallahu Anhu. Demikian juga yang dilakukan oleh Habib bin Zaid Al Anshari terhadap pertanyaan Musailamah Al Kadzdzab kepadanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu Rasulullah?" "Ya, benar", jawabnya. Kemudian Musailamah bertanya lagi: "Apakah engkau juga bersaksi bahwa Aku ini Rasulullah? Dia menjawab: "Itu tidak pernah kudengar". Lalu Musailamah menyiksanya dengan cara memotong-motong tubuhnya hidup-hidup (dicincang), sedangkan Habib bin Zaid tetap teguh dengan sikapnya itu.]

Ibnu Katsir menambahkan: ["Lebih utama dan lebih baik bagi seorang Muslim tetap teguh memegang agamanya, sekalipun akhirnya ia dibunuh, seperti yang dikatakan juga oleh Al Hafidz ibnu 'Asakir dalam menulis catatan biografi Abdullah ibn hudzafah As Sahmi"].

-------------------
2) Lihat Tafsir Ibnu Katsir, jilid II, halaman 588-589.

Bertolak dari penjelasan tersebut di atas, maka seorang Muslim tidak boleh meninggalkan fardlu atau melakukan perbuatan haram/maksiyat, kecuali apabila dihadapkan kepada suatu cobaan yang sungguh-sungguh tidak sanggup ditanggungnya. Batas kemampuan dan kesanggupan itu adalah apa yang disebut oleh syari'at Islam dengan istilah "Al Ikraahul Mulji'", yaitu paksaan yang mendorong seorang muslim untuk melanggar ketentuan hukum syara', yang ia benar-benar disiksa/disakiti. Atau, ia mengira dengan pasti bahwa ia akan disiksa dengan siksaan yang sangat mengkhawatirkan kematiannya atau menyebabkan kelumpuhan, misalnya patah tulang-tulangnya, tubuhnya dicincang dan sebagainya. Siksaan semacam itu yang dapat menimpa seseorang akan memberinya rukhshah untuk mengerjakan sebagian perbuatan haram/maksiyat dan bukan setiap perbuatan maksiyat yang diharamkan. Itupun dengan syarat: tidak mendorongnya untuk melakukan perbuatan haram lainnya yang lebih besar atau yang serupa dengannya. Misalnya, ia dipaksa menjadi mata-mata, disuruh membunuh orang, atau melakukan homoseks dengan nara pidana, atau membocorkan rahasia gerakan yang ia menjadi anggotanya, dan lain lain.

Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh meninggalkan fardlu atau mengerjakan hal-hal yang haram, hanya karena rasa takut dihina, dipenjara, atau setelah disiksa dengan siksaan yang ringan, atau karena ingin mempertahankan pekerjaannya, menyelamatkan hartanya, dan sebagainya. Sebab, semua ini masih termasuk dalam batas kemampuan manusia dan bukan di luar kemampuannya. Juga, hal seperti itu belum sampai kepada batas "al Ikraahul Mulji'", seperti yang telah dijelaskan di atas.
Kalau saja setiap masalah yang memberatkan diri seorang Muslim terdapat rukhshah baginya untuk meninggalkan semua fardlu /kewajiban dan mengerjakan perbuatan-perbuatan haram /maksiyat, tentulah Islam tidak dapat tegak di bumi ini. Bahkan, tidak akan pernah muncul suatu ummat yang berjuang secara terus menerus. Cobalah simak sejarah kaum Muslimin yang memperjuangkan Islam dengan susah payah di masa Rasulallah saw, sebagaimana yang diceritakan Al Qurâan sendiri, yaitu:

"Sesungguhnya Allah berkenan menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi (dalam perang Tabuk), di saat (mereka) menghadapi kesusahan" (QS At Taubah 117). Tentang kejadian ini, Imam Ibnu katsir berkata3): ["Mereka telah keluar ke perbatasan Syam pada tahun terjadinyaa perang Tabuk, di saat panas membara, dalam keadaan susah-payah yang hanya Allahlah yang mengetahuinya. Mereka sangat menderita, sehingga telah sampai kepada kita bahwa kadang-kadang dua orang laki-laki membelah satu buah korma untuk dimakan bersama. Kadang-kadang ada sekelompok orang yang mengambil satu buah korma, lalu masing-masing mengunyamnya dan meneguk airnya, lantas digilirkannya kepada yang lain"].

Pada saat itu, keluarnya Kaum Muslimin ke medan pertempuran (perang Tabuk) diwajibkan atas setiap muslim. Oleh karena itu, terhadap tiga orang dari kalangan shahabat Anshar, yang tidak ikut berangkat bersama Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Kaab bin Malik, Hilal bin Umayah dan Mararah bin Rabi'ah dijatuhkan hukuman pemboikotan total atas mereka, sebagaimana yang diterangkan oleh ayat berikutnya. Kemudian Allah menjelaskan keutamaan kesabaran dan pengorbanan mereka dengan firmanNya:

"Tidaklah sepatutnya penduduk Madinah dan orang-orang Arab badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang). Dan tidak patut pula bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (Orang-orang yang demikian itu tidak mendapatkan imbalan sebagai mujahidin), yang mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan di jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat (peperangan) yang membangkitkan amarah orang-orang kafir. Dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskan bagi mereka dengan yang demikian itu sebagai suatu amal shaleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan orang-orang yang berbuat baik. Juga, mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil maupun yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal yang shaleh pula). Karena itu, Allah akan memberikan balasan yang lebih baik kepada mereka daripada apa yang telah mereka kerjakan" (At Taubah: 120-121).

-------------------
3) Lihat Tafsir Ibnu Katsir, jilid II, halaman 397.

Seorang muslim diwajibkan berjihad/berperang fi sabilillah sesuai dengan perintah Allah SWT:

"Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu adalah suatu hal yang kalian benci" (Al Baqarah: 216).

Jihad itu diwajibkan, walaupun menyebabkan dirinya terbunuh, terluka, ditawan musuh, atau meninggalkan harta dan orang-orang yang dicintainya. Melibatkan diri dalam jihad, tidak diserahkan pada semangat individu. Tidak diperhatikan apakah ia bersedia mengorbankan sesuatu atau tidak, melainkan ia dipaksa untuk melakukannya. Sebab, Allah SWT berfirman:

"Katakanlah: 'Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, Isteri-isteri kalian, keluarga kalian, dan harta benda yang kalian dapatkan, serta perdagangan yang kalian takutkan kerugiannya, juga tempat-tempat tinggal yang kamu sukai lebih kalian cintai daripada mencintai Allah dan RasulNya, serta jihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan azhab dengan perintahnya. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk bagi orang-orang yang fasik" (At Taubah: 24).

Lagi pula Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin itu diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka. Maka, hendaklah mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qurâan. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka, bergembiralah kalian dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu. Dan itulah kemenangan yang besar" (At Taubah: 111).

Oleh karena itu, jika seorang Muslim dibebani sikap pengorbanan dalam urusan jihad fi sabilillah, maka tidak aneh lagi apabila dalam hal mengerjakan amar ma'ruf dan nahi munkar, ia mempunyai sikap yang sama atau yang mirip dengannya, seperti mengorbankan semua atau sebagian hartanya, mengorbankan jiwanya atau menerima siksaan yang menyebabkan tubuhnya terluka atau cacat selamanya, dan lain sebagainya.

Masalah ini berkaitan dengan nash syara' yang berupa taklif syar'i (kewajiban) dan tidak dikaitkan dengan keinginan individu untuk menentukan kemampuan dan kesanggupan sesuai dengan hawa nafsunya. Misalnya dalam hal mengerjakan amar ma'ruf dan nahi mungkar, atau berjuang untuk meruntuhkan sistem komunis/sosialis maupun sekularisme yang kufur, atau berjuang untuk menegakkan negara khilafah Islam yang akan menjalankan urusan pemerintahannya berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah SWT [Islam]; maka Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk mengorbankan harta dan diri mereka; di samping menahan diri dalam menerima cobaan, siksaan, kehinaan, dan kesulitan, serta senantiasa bersabar dalam menghadapi tantangan tersebut. Sebagaimana sikapnya dalam melakukan jihad, walaupun hukum-hukum jihad berbeda dengan hukum-hukum yang menyangkut amar ma'ruf nahi munkar atau hukum-hukum yang menyangkut tegaknya khilafah Islam.

Tentang sikap pengorbanan dalam melakukan mar ma'ruf dan nahi munkar, serta dalam usaha menegakkan khilafah Islam, terdapat banyak hadits dari Rasulullah saw yang mengharuskan adanya sikap yang demikian itu, antara lain sabdanya4):

"Pemimpin para syuhada' itu ialah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim, lalu ia menyuruhnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat munkar, kemudian ia dibunuhnya".

"Jadilah seperti para shahabat 'Isa, yang telah digergaji dan disalib. Demi Allah, mati dalam keadaan mentaati Allah itu, lebih baik dari pada hidup dalam maksiyat kepadaNya".

"Janganlah seseorang di antara kalian dihalangi rasa takut kepada masyarakat untuk tidak menyampaikan kata-kata yang haq, bila ia sudah mengetahuinya"6).

"Siapa saja yang melihat (suatu) kemunkaran, maka hendaklah ia berusaha mengubahnya dengan tangannya. Apabila ia tidak mampu (dengan tangannya), hendaklah ia berusaha dengan lisannya. Dan apabila ia tidak mampu juga, hendaklah ia berusaha mengngkari dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah Iman"7).

-------------------
4) Lihat Al Mustadrak, Al Hakim An Naisaburi, III/195; Al Mu'jam Ash Shaghir, Imam Ath Thabrani, I/264)
6) Shahih Ibnu Hibban, hadits no 278; dan Sunan Ibnu Majah, hadits no. 4007.
7) Shahih Muslim, no. 49; Sunan Abu Dawud, no. 1140, 4340; Sunan Tirmidzi hadits no. 2173; Sunan An Nasa'i VIII/111; dan Sunan Ibnu Majah No. 4013.

Imam Nawawi menjelaskan hadits ini sebagai berikut8):
["Adapun sabda beliau: "Hendaklah kalian mengubahnya", itu merupakan perintah wajib yang telah disepkati oleh seluruh umat tanpa kecuali. Perintah amar ma'ruf dan nahi munkar ini telah ditetapkan dalam Al Qurâan, As Sunnah dan Ijma' ummat. Juga, dapat dikategorikan dalam penyampaian nasehat, yang tidak lain adalah pangkal agama". Dalam sebuah hadits Qudsi, Rasulullah saw bersabda9): "Allah SWT pada hari Kiamat akan bertanya kepada orang (yang tidak berani menyampaikan kebenaran):

"Apakah yang membuatmu tidak mau mengucapkan (kebenaran) terhadap keadaan ini dan itu?' Orang tersebut menjawab: 'Karena takut (kemarahan) masyarakat!' Maka [Dia] berfirman: 'Akulah Yang lebih baik kamu takuti'"].

Sistem pemerintahan kufur [sekuler] yang sedang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin saat ini adalah kemunkaran yang terbesar di dunia. Bahkan, itulah pangkal
kejahatan yang senantiasa menghalangi pelaksanaan perbuatan ma'ruf (kebaikan), dan selalu mengembangkan dan melindungi kemunkaran. Oleh karena itu, pangkal kemungkaran ini harus dilenyapkan. Ketetapan ini telah diketahui dengan pasti sebagai sesuatu yang Ma'lumun minad Diini bidldlarurah, yakni hukum yang telah ditentukan oleh Islam dengan pasti, bahwa sistem pemerintahan seperti itu merupakan puncak kemunkaran. Tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak tahu kenyataan ini, betapa pun rendah pengetahuannya.

Setiap muslim, khususnya penguasa yang ada sekarang, walaupun ia menerapkan sebagian kecil saja dari sistem Islam, bisa saja ia melakukan upaya untuk menghilangkan kemungkaran /kekufuran ini, dan menegakkan kekuasaan Islam di negeri-negeri kaum Muslimin yang menjalankan urusan pemerintahannya sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah SWT semata (Islam), bukan apa yang sering diekspor oleh Barat maupun Rusia ke negeri-negeri kaum Muslimin.

-------------------
8) Lihat Syarah Shahih Muslim, jilid II, halaman 21.
9) Lihat Sunan Ibnu Majah, hadits no. 4008.

Orang Islam yang tidak mengupayakan hal ini, telah berdosa dan telah melalaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Dosa itu akan berlipat ganda bagi para penguasa yang masih mempercayai Islam, tetapi takut oleh ancaman oleh negara-negara adidaya bila melaksanakan seluruh hukum dan peraturan Islam, politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, maupun hukum dan perdata. Tidak ada rukhshah apapun bagi seorang Muslim untuk tetap berdiam diri terhadap pelaksanaan kewajiban ini, dengan alasan hadits yang disebut dalam pertanyaan di atas, ataupun bertolak dari alasan-alasan lain.

Orang-orang yang mencari-cari rukhshah untuk melepaskan tanggung jawab dan tetap berdiam diri terhadap kondisi yang ada, dosanya semakin bertambah, khususnya apabila ia ikut pula menyebarkan rasa pesimis, rela menerima kehinaan, dan atau merasa bahwa umat ini sudah tidak berdaya lagi setelah dikalahkan oleh musuh-musuhnya. Lebih-lebih lagi bila ia mengajak umat untuk tunduk kepada penguasa-penguasa kafir, zhalim ataupun fasik, serta mengajaknya berkompromi dengan mereka, padahal para penguasa tersebut belum mengubah sikapnya atau tetap menolak agama dan sistem Islam yang dapat melestarikan kehidupan negara dan masyarakat.

Mudah-mudahan para penguasa Muslim maupun umat Islam menyadari kewajibannya terhadap tegaknya Islam di muka bumi ini sebagai suatu kekuatan ideologis yang prima.

Read More..

INDUSTRI

Read More..

Industri, dilihat dari segi industri itu sendiri, merupakan hak milik pribadi (private propherty). Sebab, industri merupakan barang yang bisa dimiliki secara pribadi. Telah diriwayatkan, bahwa banyak individu telah memiliki industri di masa Rasulullah SAW, semisal industri sepatu, pakaian, pedang, dan sebagainya. Rasul pun mengakui kebolehannya, dimana mereka juga pernah membuat mimbar, maka semuanya itu menunjukkan kemubahan industri tersebut menjadi hak milik individu (private propherty).
Hanya saja, barang-barang yang diproduksi oleh industri itulah yang merubah status industri tersebut mengikuti hukum barang-barang ini. Dalilnya, orang Islam haram untuk terlibat di dalam industri minuman keras, karena adanya nash hadits yang menyatakan, bahwa Allah telah melaknat pemeras khamer dan orang mendapat perasannya. Larangan memeras khamer tersebut, bukan berarti larangan memerasnya itu sendiri, tetapi larangan untuk memeras khamer. Sebab hukum memeras itu sendiri tidak haram, namun kalau memeras khamer baru haram. Jadi, keharaman industri minuman keras tersebut terletak pada keharaman zat yang diproduksinya. Dengan begitu, nampak jelaslah bahwa industri tersebut mengambil hukum barang-barang yang diproduksi.
Atas dasar inilah, industri tersebut harus diteliti terlebih dahulu: Apabila barang-barang yang diproduksi di sana tidak termasuk dalam katagori hak milik umum (colective propherty), maka industri tersebut adalah industri milik pribadi, semisal pabrik kue, pabrik tekstil, industri mebel, dan sebagainya. Apabila industri tersebut untuk memproduksi barang-barang yang termasuk dalam katagori hak milik umum (colective propherty), semisal industri pertambangan, yang mengeksploitasi tambang-tambang yang tidak terbatas jumlahnya, maka industri tersebut boleh dimiliki dengan pemilikan secara umum, mengikuti barang yang dieksploitasinya, seperti emas, perak, besi, tembaga, timah, sebagaimana hukum industri khamer mengikuti keharaman khamer. Industri tersebut juga boleh dimiliki oleh negara, dimana negaralah yang wajib melakukan eksploitasi terhadap tambang-tambang ini, sebagai wakil kaum muslimin, serta untuk mencukupi kebutuhan mereka, sebagaimana industri-industri ini boleh dimiliki secara pribadi oleh seseorang yang dikontrak oleh negara untuk mengeksploitasi tambang-tambang tersebut dengan nilai kontrak yang telah disepakati.
Hanya saja, hak milik individu (private propherty) atas alat-alat dan industri-industri ini, tidak membolehkan mereka untuk sibuk mengeksploitasi tambang-tambang yang tidak terbatas ini untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebab, tambang-tambang yang tidak terbatas ini menjadi hak milik umum (colective propherty) bagi seluruh kaum muslimin, dan tidak diperbolehkan untuk dikhususkan menjadi milik salah seorang di antara mereka. Namun, mereka boleh dikontrak oleh negara dengan nilai kontrak tertentu dan terbatas, karena dipekerjakan oelh negara untuk mengeksploitasi tambang-tambang tersebut.
Adapun industri pemotongan dan penempaan besi serta industri automotif, dan sebagainya adalah barang-barang yang termasuk dalam katagori hak milik individu (private propherty), maka barang-barang tersebut boleh dimiliki oleh pribadi. Sebab, barang-barang yang diproduksi bukan barang-barang yang termasuk dalam katagori hak milik umum (colective propherty). Atas dasar inilah, maka tiap industri yang menghasilkan barang yang termasuk dalam katagori hak milik umum, maka boleh dimiliki secara umum, atau dimiliki oleh negara, sebagaimana boleh dimiliki secara pribadi oleh individu yang di antara mereka dikontrak oleh negara. Tiap industri yang barang produksinya termasuk dalam katagori hak milik pribadi (private propherty), maka boleh dimiliki oleh pribadi, sebab barang tersebut merupakan salah satu bentuk hak milik pribadi (private propherty).


Read More..

Individualisme

Read More..

Konsep lain yang juga sama berbahayanya, kalau tidak bisa dibilang lebih berbahaya, ialah ide bahwa kita harus berusaha memperbaiki diri sendiri dan hal ini pada gilirannya akan mengakibatkan perubahan radikal dalam sistem yang diterapkan oleh negara. Pemikiran seperti ini tentu saja bertentangan dengan seruan untuk menegakkan Khilafah dan jelas-jelas melanggar aturan syariat. Selain itu, juga bertentangan dengan hakikat risalah Islam dan tujuan diturunkannya Islam kepada Muhammad saw., yaitu untuk mengungguli sistem hidup yang lain.
Islam diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw. dan beliau menyampaikannya kepada umat manusia. Beliau tidak punya sifat egois sedikit pun dalam dirinya dan justru mengorbankan segalanya demi mengemban dakwah Islam kepada manusia. Tidak satu pun dari kita yang akan mengecap manisnya Islam tanpa adanya dakwah dari orang-orang sebelum kita. Para sahabat r.a. memiliki guru terbaik yang membina mereka dengan pemahaman yang benar tentang Islam. Para sahabat pun mengemban Islam ke seluruh umat manusia dengan cara mengorbankan segalanya demi dakwah. Islam yang kita nikmati sekarang adalah buah dari perjuangan dan pengorbanan mereka.
Di antara pemikiran-pemikiran berbahaya yang menjangkiti kaum muslim dan membuat mereka enggan mengemban dakwah, ialah sikap memandang rendah orang-orang yang berusaha menyingkirkan kemungkaran dari masyarakat. Sebaliknya, umat malah meninggikan mereka yang tidak mempedulikan masalah lain selain penyempurnaan ‘iman’ mereka. Padahal, bagaimana mungkin iman seorang muslim bisa sempurna kalau dia hanya mengimani sebagian dari yang Allah Swt. turunkan. Bisakah dikatakan seseorang memiliki iman yang sempurna dengan hanya meyakini shalat dan termotivasi olehnya, tapi tidak meyakini zakat dan karena itu tidak membayarnya? Allah Swt. mengutuk keras sikap pilih-pilih dalam urusan agama. Allah Swt. berfirman:
“Apakah kamu mengimani sebagian isi al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat seperti itu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka diberi siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” (QS al-Baqarah [2]: 85).
Lalu, kok bisa-bisanya mereka hanya menekankan sebagian aspek syariat Islam dan mengemukakan dalih untuk mengabaikan aspek lain dari agama Allah Swt. ini, khususnya setiap aspek selain masalah ibadah ritus individual.
Klaim bahwa kaum muslim dapat memperbaiki situasi dengan mengisolasi diri mereka dari urusan sosial kemasyarakatan adalah klaim yang salah. Demikian pula dengan pandangan bahwa kaum muslim cukup dengan saling menasihati untuk menyempurnakan kualitas aktivitas diri masing-masing sebelum mulai mendiskusikan urusan-urusan masyarakat. Pandangan seperti ini malah membantu orang-orang kafir menguasai kaum muslim, karena dengan demikian kaum muslim kian lemah, tidak pernah mampu mengurusi urusannya, sebab kita sendiri tidak peduli bagaimana caranya mengalahkan konspirasi orang-orang kafir yang melawan kita.
“Peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antaramu, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya” (QS al-Anfal [8]: 25).
Pandangan bahwa kaum muslim harus mengabaikan seruan penerapan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat dan lebih baik berkonsentrasi pada ibadah ritual, diperingatkan oleh hadis berikut, karena orang-orang egois-individualis tidak melakukan apa pun untuk mencegah kebatilan, selain hanya berkonsentrasi pada kesalehan pribadi mereka. Rasulullah saw. ditanya, “Apakah kita akan hancur padahal ada orang-orang alim di antara kita?” Beliau menjawab, “Ya, ketika kebatilan merajalela”. Nabi saw. bersabda, “Setiap orang yang melihat ketidaktaatan muncul dan ia tidak mengubahnya, tidaklah lebih terhormat dan lebih aman dibandingkan pendosa dari hukuman Allah yang menimpa mereka”.
Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dari Udai bin Umairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak menghukum suatu kaum secara keseluruhan disebabkan kesalahan yang dilakukan oleh sebagian dari mereka, kecuali jika mereka melihat kebatilan yang dilakukan itu tapi tidak menghentikannya, padahal mereka mampu. Jika memang itu yang mereka lakukan, Allah akan menghukum para pelaku kebatilan itu dan orang-orang selainnya secara keseluruhan”.
Abu Dawud meriwayatkan dari Qais bin Abi Hazm, “Setelah memuji dan memuja Allah Swt., Abu Bakar r.a. berkata, ‘Hai orang-orang! Kalian membaca ayat berikut, tapi kalian tidak memahaminya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; orang-orang yang sesat itu tidak akan memberi mudharat bagimu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua akan kembali, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa saja yang telah kamu kerjakan” (QS al-Maa-idah [5]: 105).
Aku mendengar Rasulullah saw. berkata, ‘Jika orang-orang melihat penguasa lalim dan mereka tidak mengoreksinya, maka Allah akan menghukum mereka semuanya’. Lalu, aku mendengar Rasulullah saw. berkata, ‘Setiap orang yang melihat dilakukannya suatu perbuatan dosa, dan mereka tidak mengubahnya, padahal mereka mampu melakukannya, maka Allah akan menimpakan azab yang menimpa mereka secara keseluruhan” (HR Abu Dawud).
Begitulah, bagaimana seorang Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. memahami betul pentingnya menaati Allah Swt. dalam perkara penguasa yang merusak masyarakat. Juga, bukankah Nabi Muhammad saw. mengatakan bahwa kita harus meneladani perbuatan sahabat karena merekalah generasi terbaik? Nabi Muhammad saw. berkata, “Perumpamaan antara orang-orang yang menjaga hukum Allah dan yang melanggarnya seperti rombongan yang naik sebuah kapal. Mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan ada yang di bagian bawah kapal. Bila ada orang di bagian bawah yang hendak mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di atasnya. Lalu, orang yang di bagian bawah tadi berkata, ‘Seandainya aku melubangi tempat dudukku sendiri agar mendapat air, tentu aku tidak akan mengganggu orang yang ada di atas’. Apabila para penumpang lain membiarkannya, tentu mereka semua akan tenggelam” (HR Bukhari).
Perumpamaan ini menunjukkan bagaimana Islam seharusnya diterapkan di tengah masyarakat dan itulah cara terbaik untuk melindungi diri sekaligus memastikan keberlangsungan agama itu sendiri. Karena itu, sikap politis adalah sesuatu yang hendaknya dimiliki oleh kaum muslim dan harus disadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang sama dalam memelihara urusan kaum mukmin. Pemahaman ini jelas bertentangan dengan pandangan perubahan individu semata sebagai cara untuk melahirkan kebangkitan umat Islam.
Rasulullah saw. berkata, “Akan ada para pemimpin di antara kalian, yang akan melakukan hal-hal yang kalian kenali sebagai bagian dari agama, dan hal-hal yang tidak kalian kenali. Siapa pun yang mengenalinya, ia akan bebas dari dosa, dan siapa pun yang mengingkari yang salah, ia akan selamat.”
Ahmad meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa Rasulullah saw. berkata, “Apabila orang-orang melihat suatu kemungkaran dan mereka tidak mengubahnya, Allah akan menghukum mereka” (HR Imam Ahmad).
Masihkah kita menganggap diri kita lebih baik berdiam diri setelah kita menyimak riwayat al-Bazzar dan Thabrani dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkata, “Kalian harus menyeru kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar, atau Allah akan menimpakan azab atas kalian, lalu orang-orang alim di antara kalian berdoa kepada Allah dan Allah tidak mengabulkannya” (HR al-Bazzar dan Thabrani).
Hadis tersebut justru menyalahkan orang-orang paling alim yang melalaikan aktivitas amar makruf nahi mungkar dan mengubah masyarakat.
Ibnu Majah dari Abu Said, Ahmad, Ibnu Majah, dan Thabrani dan Baihaki dari Abu Umamah, Ahmad dan Nasa’i dari Tabi’, serta Tariq bin Shihab, semua meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Jihad yang paling utama adalah kata-kata yang haq di hadapan penguasa yang lalim”.
Imam al-Khatib mengatakan dalam Tarikh, dan Imam al-Khattabi meriwayatkan bahwa Umar bin al-Khaththab r.a. berkata, “Demi Allah, apa yang Allah lindungi dan cegah dengan adanya penguasa adalah lebih besar (pengaruhnya) daripada apa yang dilindungi dan dicegah oleh al-Quran semata”. Semoga Allah Swt. meridhainya. (Hadis al-Khatib adalah riwayat nomor 14284, dalam Kanzul Ummal oleh al-Muttaqi al-Hindi). Di samping itu, al-Baihaki meriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah bahwa ia berkata, “Umat tidak akan menjadi baik kecuali oleh imam (khalifah), terlepas apakah dia imam yang baik atau buruk” (Kanzul Ummal riwayat no. 14286).
Bukhari meriwayatkan dari Qais bin Abi Hazim bahwa Abu Bakar r.a. ditanya oleh seorang wanita dari Ahmas bernama Zainab, “Sampai kapan kita akan berada dalam perkara yang baik ini (Islam) yang telah Allah turunkan setelah sekian lama kita dilalaikan?” Abu Bakar r.a. menjawab, “Selama kalian meluruskan penguasa”. Semoga Allah Swt. meridhainya. (Hadis no. 2068 dalam Jami’u al-Ushul oleh Ibnu al-Athir). Juga, al-Darmi meriwayatkan dari Hayya bin Abi Hayya. Ia berkata, “Wahai hamba Allah (Abu Bakar), sampai kapan Islam akan seperti ini?” Abu Bakar menjawab, “Selama penguasa kalian luruskan”. Ibnu Katsir menyatakan sanad hadis ini hasan dan sahih.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam Hulyat al-Awaliya dari Abdullah bin Umar yang berkata, “Umat tidak akan menderita, meskipun mereka ditindas dan penuh dosa, jika penguasa mereka diberi petunjuk dan bersifat mengayomi. Namun, umat akan menderita, meskipun mereka diberi petunjuk, jika penguasanya penindas dan pendosa”. Semoga Allah Swt meridhainya.
Dengan demikian, kaum muslim harus mengetahui bahwa mereka adalah penjaga umat ini dan itu adalah cara untuk melindungi diri mereka juga. Individualisme bukanlah ciri Islam. Bahkan, kecenderungan itu merupakan hal yang asing bagi umat Islam. Individualisme hanya akan membuat umat tidak menyadari bahwa masalah penegakan Khilafah adalah masalah utama mereka. Individualisme membuat mereka lebih terfokus pada masalah perbaikan diri mereka semata. Konsepsi ini jelas sangat berbahaya yang pada kenyataannya akan menjadi hambatan bagi upaya mengembalikan tegaknya Khilafah dan akan menunda perjuangan umat.
Ringkasnya, bagaimana kita bisa melakukan perubahan politik tanpa memperjuangkannya? Bagaimana bisa kita mengabaikan hukum syara’ yang berkaitan dengan menghilangkan kemungkaran dan hukum syara’ tentang tanggung jawab penguasa? Bagaimana bisa kita mengabaikan perjuangan menegakkan Khilafah dan mengabaikan sebagian aturan syariat?
Karena itulah, kita harus memahami metode Islam untuk mendirikan Khilafah. Yaitu, apa yang telah hukum syara’ tetapkan bagi umat Islam untuk diikuti dalam upaya menegakkan kembali Khilafah dan mengembalikan Islam ke dalam kancah kehidupan.

Read More..

Thursday, April 26, 2007

IMPERIALISME

Read More..

Imperialisme adalah metode ideologi Kapitalisme untuk menyebarkan dan mewujudkan idenya dalam realitas kehidupan. Imperialisme adalah upaya memperluas hegemoni dalam bidang militer, politik, ekonomi, pemikiran dan kebudayaan. Sebagaimana imperialisme merupakan metode dalam menyebarkan dan mewujudkan ideologi kapitalime dalam realitas kehidupan, ideologi tersebut juga mempunyai cara untuk mengeruk harta benda negeri-negeri lain, merampas kekayaannya dan ‘menghisap darah’ anak-anak negeri tersebut. Itulah metode yang bersifat prinsip untuk menyebarkan ideologi kapitalisme tersebut. Itu pula metode yang digunakan untuk menyebarkan idelogi tersebut di negeri-negeri Islam. Maka, ideologi tersebut kemudian membentuk pasukan tentara, menetapkan perjanjian, menundukkan para antek dan orang-orang rakus dari kalangan anak-anak umat dan memproklamirkan perang yang mereka namai Perang Dunia Pertama. Seluruh negara-negara kafir telah bersepakat kecuali Jerman untuk meruntuhkan khilafah dan menghancurkan kekuasaan kaum muslimin. Ketika hal itu sudah dapat diselesaikan maka dilakukan upaya perluasan hegemoni di bidang militer terhadap wilayah-wilayah kaum muslimin. Wilayah-wilayah tersebut dipecah-pecah terlebih dahulu hingga kehilangan kekuatannya untuk melawan ketika mereka sadar atas bahaya yang menimpa mereka dan penderitaan yang mereka alami atau tidak dapat berbuat apa-apa atas hal itu. Kemudian, ideologi tersebut melanjutkan hegemoninya di bidang politik dengan cara mengangkat para kaki tangan dan anteknya sebagai penguasa untuk mengawasi kaum muslimin, menjalankan kekuasaan berdasarkan perintahnya dan menjalankan politik yang diinginkannya. Ideologi tersebut mencengkramkan tangannya atas kekayaan dan harta milik negeri-negeri Islam tersebut, memaksakan sistem ekonomi yang dia inginkan, membuat kesepakatan ekonomi dengan para anteknya yang memungkin ideologi itu mengeruk harta kekayaan negeri-negeri Islam tersebut. Misalnya, kesepakatan pengeboran minyak. Ideologi itu juga melakukan upaya perluasan hegemoni di bidang pemikiran dan tsaqafah serta menjaganya dengan cara menerapkan sistem yang dia inginkan sehingga dia dapat menghancurkan bangunan masyarakat dan mengokohkan ideologinya di negeri-negeri tersebut dengan mantap sesuai bentuk yang dia inginkan dan sesuai ketentuan yang dia kehendaki.
Hal itu terjadi karena tsaqafah memiliki pengaruh yang yang sangat besar atas pemikiran manusia dan memiliki pengaruh terhadap arah kehidupan. Ideologi itu memaksakan tsaqafahnya kepada masyarakat dengan cara menetapkan kurikulum pendidikan dan kebudayaan berdasarkan falsafahnya –pemisahan agama dari kehidupan- yang juga merupakan sudut pandangnya terhadap kehidupan. Untuk mempercepat penanaman dan penyebaran ideologinya maka dibuatlah sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga ilmiyah di setiap kota atau desa. Hal itu dipermudah karena tidak adanya sekolah di kota-kota dan desa-desa tersebut akibat buruknya kinerja para penguasa dalam menangani urusan-urusan masyarakat pada masa kemunduran. Hal itu merupakan salah satu faktor yang menjadikan masyarakat merasa senang dengan aktivitas yang dilakukan oleh ideologi tersebut sehingga mereka tidak menyadari apa yang tersembunyi di balik aktivitas yang dilakukan ideologi tersebut.
Ideologi Kapitalisme mengharuskan serta mewajibkan sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan tersebut untuk menjalankan kurikulum-kurikulum yang telah disiapkan. Dia tidak membiarkan satu bagian pun keluar dari kurikulum yang telah dia siapkan itu dan juga mewajibkan program-programnya. Dengan melakukan pengamatan yang cermat terhadap kurikulum yang berkaitan dengan tsaqafah maka kita masih akan menemukan materi pelajaran agama. Para imperialis tidak melarang pelajaran agama Islam bahkan sebaliknya menjadikan pelajaran agama tersebut sebagai materi pokok di sekolah-sekolah tetapi dengan tata cara yang mereka kehendaki sehingga agama tidak boleh masuk dalam pembahasan politik dan urusan-urusan kehidupan. Agama hanya merupakan urusan akherat saja dan hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Kurikulum agama hanya terbatas pada akidah, ibadah dan akhlak. Kurikulum itu tidak boleh memasukkan hal-hal yang berkaitan dengan sistem pemerintahan atau sistem ekonomi atau materi-materi yang bersifat politik. Agama harus dipisahkan dari politik dan dijauhkan dari negara (Berikan hak kaisar kepada kaisar dan berikan hak Allah kepada Allah). Memasukkan agama dalam politik dan pemerintahan dianggap akan menimbulkan bencana dan peperangan serta menyebabkan musibah dan kebinasaan! Dulu Eropa telah membantu orang-orang yang memasukkan agama ke dalam urusan politik dan mendorongnya untuk terjun dalam peperangan. Hal itu berlangsung selam ratusan tahun tetapi Eropa tidak berhasil meraih kebangkitan dan tidak mengalami kemajuan kecuali setelah menjauhkan agama dari politik dan negara. Itulah yang wajib dijalankan dalam kurikulum pelajaran agama. Para penguasa diharuskan untuk menetapkan rincian kurikulum tersebut berdasarkan kaidah itu. Irulah yang telah dipaksakan ideologi kapitalisme kepada masyarakat.
Adapun materi sejarah, maka kaidah yang bersifat prinsipnya telah menjadikan sejarah Eropa sebagai contoh yang harus ditiru dan menjadikan kpribadian Barat sebagai contoh ideal yang wajib diikuti. “Dalam diri orang-orang Barat terdapat suri teladan bagi kalian” sambil jari tangannya menunjuk ke arah negara-negara yang bangkit dan maju. Ada dua kaidah prinsip dalam materi sejarah. Pertama adalah gambaran kemajuan Eropa, kebangkitannya, sejarahnya, kepribadian tokoh-tokoh dan para pemikirnya. Adapun yang kedua adalah berkaitan dengan sejarah umat Islam sebagaimana yang telah ditulis oleh para orientalis seperti Philip K. Hitti dan yang lainnya. Mereka tidak pernah membiarkan sebuah kekacauan atau pertentangan atau peperangan terjadi dalam pemerintahan kecuali mereka tonjolkan keburukannya sehingga menjadikan para pemuda muslim merasa malu dengan sejarahnya. Digambarkanlah mengenai perang Jamal, perang Shiffin, perang Marju Dabiq dan sebagainya. Digambarkan pula tentang perseteruan para khalifah, pembunuhan terhadap Utsman, pembunuhan terhadap Umar, pembunuhan terhadap Ali dan sebagainya yang berkaitan dengan gambaran buruk yang membuat seorang muslim merasa enggan untuk hanya mendengarkannya sekalipun. Maka dia tidak akan memandang sejarahnya kecuali sebagaimana gambaran yang diberikan para orientalis kepadanya.
Adapun berkaitan dengan pelajaran bahasa Arab, mereka telah membungkusnya dengan kemasan kebangsaan sehingga membangkitkan perasaan nasionalisme, kebanggaan terhadap bangsa Arab dan Eropa serta memuji para penguasanya. Dibuatlah kitab-kitab, makalah-makalah dan simbol-simbol yang berkaitan dengan hal itu sehingga akibat kebodohan mereka, mereka memandang bahwa orang-orang Arab dan kearabannya memiliki kedudukan yang lebih utama dalam Islam karena tanpa keberadaan orang-orang Arab dan kearabannya itu Islam tidak akan tersebar dan tidak akan eksis di tengah-tengah kehidupan.
Itulah beberapa materi dasar dalam kurikulum-kurikulum tsaqafah, yang merupakan materi-materi yang berpengaruh terhadap pembentukan akliyah seseorang dan pembentukan kepribadiannya. Materi-materi yang disampaikan itu merupakan salah satu faktor yang menjadikan para mahasiswa merasa benci terhadap agama mereka akibat kepribadian dan perilaku dosennya. Para mahasiswa di jurusan bahasa Arab keluar bahkan menolak kurikulum mereka sehingga mereka pergi ke luar negeri. Mereka menggabungkan antara dua hal yaitu kerusakan kurikulum dan kerusakan para pelaksananya. Di samping itu, terdapat perkara lainnya yang menyebabkan terjadinya keadaan yang kita simpulkan sebagai akibat dari pendudukan Barat terhadap pemikiran-pemikiran masyarakat dan opini umum, yaitu:
a. Adanya sekelompok orang yang mempelajari tsaqafah Barat, mengimani akidahnya serta beraktivitas sesuai dengan sudut pandangnya dan falsafahnya.
b. Semakin jauhnya upaya pengembalian Islam pada realitas kehidupan dan pengembalian kekuasaan kaum muslimin sehingga dakwah kepada hal itu dianggap sebagai utopia atau sejenis perasaan defresi. Dakwah kepada Islam dianggap sebagai kaum reaksioner dan terbelakang.
c. Semakin tertanamnya pemikiran yang bersifat kebangsaan atau regional serta tersebarnya kedengkian dan kebencian di antara anak-anak umat.
d. Terjadinya dominasi demokrasi sehingga menjadi tujuan yang didambakan dan cita-cita yang harus direalisasikan.
e. Tersebarnya pemikiran kebebasan dan kebebasan umum yaitu kebebasan, keadilan dan persamaan.
f. Tesebarnya pemikiran sosialisme dengan berbagai jenisnya serta berbagai pengertian dan tafsirnya yang dikaitkan dengan ideologi sosialisme tersebut.
g. Terjadinya upaya untuk mengarahkan dan menyesatkan kaum muslimin sehingga memperkuat sudut pandang mereka dalam memahami masyarakat bahwa masyarakat itu terdiri dari individu-individu. Maka, tersebarlah di tengah-tengah kaum muslimin dakwah untuk kembali kepada Allah dengan cara memperbaiki individu itu sendiri (Perbaikilah individu maka masyarakat pun akan menjadi baik). Juga dakwah menuju Allah dengan cara melakukan ibadah, ketaatan dan akhlak yang terpuji. Berdasarkan hal itu berdirilah sejumlah organisasi sosial keagamaan, ‘bengkel akhlak’ dan sebagainya.
h. Pengharaman aktivitas politik kepada seorang muslim dengan anggapan bahwa politik itu penuh tipu daya dan kemunafikan sedangkan Islam itu lurus dan benar. Oleh karena itu tidak diperbolehkan mencampurkan Islam dengan politik. Mereka menjauhkan benak-benak kaum muslimin dari pemahaman bahwa politik itu merupakan penanganan urusan-urusan masyarakat baik di dalam negeri maupun luar negeri.
i. Timbulnya ketergantungan kepada pihak asing dalam upaya meraih tujuan dan mewujudkan cita-citanya.
Di samping itu, tersebar pula pemikiran-pemikiran yang terbelakang dan pandangan-pandangan yang rendah. Di antara perkataan mereka yang menyesatkan adalah sebagai berikut:
1. {“Wahai oang-orang yang beriman, jagalah dirimu.”}(Q. S. Al-Maidah: 105) dijadikan sebagai dalil tidak perlunya mengurusi kehidupan umum.
2. “Tangan yang tidak mau menerima pemberian akan merasa tenang dengan sesuatu yang sedikit.” Kata-kata manis yang mencelakakan dan munafik.
3. “Bulan dimana kamu tidak memperoleh upah, maka jangan kamu hitung-hari-harinya.” Sikap apatis terhadap kehidupan umum.
4. “Telapak tangan tidak akan mampu melawan alat bor.” Menunjukkan sikap pasrah dan pengecut.
5. “Seoramg muslim tidak boleh menghinakan dirinya dan menentang seorang penguasa adalah kehinaan.” Perkataaan ini dijadikan dalih untuk mengharamkan aktivitas politik.
6. ‘Aku akan mencium mulut anjing hingga aku dapat mengambil apa yang aku butuhkan dari anjing tersebut.” Menunjukkan sifat munafik.
7. “Terimalah fakta yang terjadi walaupun tidak sesuai dengan yang kamu inginkan. Maka terimalah apa yang ada.” Menunjukkan sikap pragmatis dan rendah diri.
8. “Ambillah dan tuntutlah!” Menunjukkan pemecahan yang bersifat parsial.
9. Prinsip “jalan tengah”. Merupakan cara-cara Barat dalam menyelesaikan masalah mereka, yang lahir dari akidah mereka (kapitalisme).
Dan pandangan-pandangan serta pemikiran-pemikiran lainnya yang telah meracuni masyarakat dan mencemari akal-akal mereka sehingga mereka mengambil pandangan-pandangan tersebut sebagai standar bagi perbuatan mereka dan sebagai kaidah bagi pemikiran mereka. Hal itu mengharuskan orang yang menginginkan adanya kebangkitan untuk berupaya menghilangkan pengaruh pandangan dan pemikiran tersebut, mencuci otak mereka dan membersihkan noda yang ditimbulkannya sehingga umat kembali bersih dan meraih kesempurnaan akliyahnya berdasarkan idologi yang benar.
Adapun pengaruh pendudukan asing terhadap perasaan masyarakat adalah sebagai berikut:
Pendudukan tersebut telah meyebabkan semakin tertanamnya benih-benih nasionalisme, rasa kebangsaan, fanatisme golongan, fanatisme kesukuan, primordialisme, fanatisme madzhab dan kelompok. Hal itu mendapatkan ‘tanah yang subur’ sehingga mempercepat pertumbuhan dan perkembangannya. Maka jiwa-jiwa umat dipenuhi oleh rasa permusuhan dan kebencian. Hal itu merupakan media yang mampu mendominasi masyarakat dan menguasai seluruh penjuru wilayah. Hal itu berdasarkan pada kaidah yang sangat terkenal “farriq tasuddu” (devide at impera = pecah belah dan jajahlah, pen.). Umat Islam pun menjadi umat yang tercerai berai. Bangsa yang tadinya satu menjadi bangsa yang banyak jumlahnya. Sebuah masyarakat yang tadinya satu menjadi masyarakat yang banyak jumlahnya yang dibentuk berdasarkan ambisi hawa nafsu. Perasaan masyarakat tidak terbangkitkan kecuali berdasarkan keadaan tersebut. Itu dari satu sisi. Dari sisi yang lain, ketika penjajah telah menjadikan kepribadiannya –yakni kepribadian penjajah tersebut- sebagai kepribadian yang ideal bagi masyarakat maka negeri-negeri penjajah dan sejarah penjajah tersebut adalah gambaran yang diagung-agungkan dan didambakan oleh masyarakat. Hal itu terjadi hingga pada golongan intelektual yang telah mempelajari tsaqafah penjajah tersebut, menganut akidahnya, berjalan berdasarkan metodenya dan tersilaukan oleh pemikiran-pemikirannya. Maka mereka pun menjadi orang-orang yang asing di tengah-tengah masyarakat mereka sendiri, memandang rendah terhadap keluarga mereka, melecehkan umat mereka dan merasa malu dengan sejarah mereka sendiri. Berkaitan dengan hal ini, saya akan ungkapkan sebuah kisah yang terjadi pada sebuah rombongan diplomat yang terdiri dari para intelektual yang sudah benar-benar terpengaruh oleh tsaqafah asing. Rombongan diplomat itu berkunjung ke negeri Cina. Mereka diterima dengan penuh kehangatan, disambut dengan meriah dan dijamu dengan penuh kemuliaan dan kehormatan. Penghormatan terhadap mereka semakin bertambah melebihi batas-batas seremonial maka mereka pun tenggelam dalam pesta-pesta. Dalam salah satu pesta, mereka ditemani oleh menteri luar negeri Cina dengan penuh keramahtamahan. Menteri luar negeri Cina itu berbincang-bincang dengan mereka mengenai Pahlawan Asturiy yang usianya belum mencapai dua puluh tahun. Dialah pemimpin muslim yang berhasil melewati India sebagai orang yang melakukan futuhat hingga sampai ke perbatasan negeri Cina. Menteri itu memaparkan dialog yang terjadi antara raja Cina dengan Pemimpin Muda tersebut. Pemimpin muda yang bernama Muhammad bin Al-Qasim itu berkata,”Sesungguhnya Pemimpin kami telah bersumpah untuk menaklukan negeri Cina dalam masa kepemimpinannya.” Raja Cina berkata,”Sampaikan salamku untuknya.” Dia juga menerima hadiah-hadiah yang beharga dan sekantong tanah yang dia tebarkan di bawah talapak kakinya dan dia injak tanah tersebut untuk menegaskan sumpahnya. Itulah yang diceritakan oleh pejabat tinggi Cina itu. Akan tetapi, para dipilomat tersebut justru wajahnya memerah karena merasa malu mendengar kisah itu. Maka mulailah diplomat itu mencaci Muhammad bin Al-Qasim. Dia katakan bahwa yang dilakukan oleh Muhammad bin Al-Qaim itu adalah tindakan barbar dan penjajahan. Mengapa harus menyerang negeri Cina? Apa gunanya bagi dia dan bagi negeri Cina? Mengapa orang-orang Arab keluar dari negeri mereka (untuk menaklukan Cina)? Sesungguhnya hal itu merupakan logika, arogansi dan cara-cara penjajahan. Itulah yang dikatakan oleh diplomat tersebut. Mendengar hal itu, pejabat tinggi Cina tesebut sangat marah dan berdiri serta berkata kepada para diplomat tersebut dengan pandangan kebencian dan merendahkan serta mengarahkan telunjuknya kepada pemimpin rombongan diplomat yang telah mengecam tindakan Muhammad bin Al-Qaim,”Dengar! Sesungguhnya sebuah umat yang merasa malu atas sejarahnya sendiri adalah umat yang tidak layak untuk hidup.” Pejabat tinggi Cina itu pergi meninggalkan para diplomat tersebut. Hari berikutnya para diplomat tersebut meninggalkan Cina. Itulah peristiwa yang telah diceritakan oleh orang yang hadir sebagai delegasi mewakili negerinya untuk pergi ke sana.
Itulah perasaan yang telah ditinggalkan para penjajah asing dalam jiwa-jiwa kaum muslimin.
Adapun pengaruh pendudukan asing terhadap sistem peraturan tercermin dalam konstitusi dan perundang-undangan serta struktur aparat pelaksana yang menjalankan sistem peraturan tersebut di tengah-tengah masyarakat yaitu penguasa. Orang-orang kafir tidak akan pernah berhenti menghalangi jalan kaum muslimin kecuali setelah mereka merasa tenang dengan adanya penjaga yang menjaga ‘ladangnya’. Maksudnya, orang kafir tidak akan pernah menyerahkan pemerintahan kepada para anteknya dari kalangan kaum muslimin kecuali setelah dia merasa yakin bahwa para antek mereka itu orang-orang terbaik yang dapat menjaga eksistensi orang kafir itu, dapat mengamankan kepentingannya dan dapat menjalankan politiknya. Dia juga harus yakin bahwa para enteknya itu adalah orang-orang yang terbaik yang menjadi penguasa masyarakat. Orang kafir telah menyetir para anteknya itu sesuai dengan pandangan hidup dan tsaqafah orang-orang Barat. Orang kafir juga harus yakin bahwa para antek mereka itu adalah orang-orang terbaik yang dapat mengubah masyarakat secara keseluruhan menjadi masyarakat Kapitalis baik secara sistem peraturan, pemikiran maupun perasaan.
Yang dijadikan sebagai asas dalam aktivitas politik di negeri-negeri mulim tersebut adalah pergolakan dalam pemerintahan di antara para anteknya itu, bukan perubahan pemeritahannya itu sendiri melainkan perubahan dan penggantian penguasanya. Bukti paling kuat atas hal itu adalah apa yang kita saksikan dalam beberapa tahun terakhir yaitu terjadinya pergolakan politik, revolusi dan kudeta yang hanya berkisar pada pergantian penguasa semata. Hal itu sudah banyak terjadi. Penguasa berganti sementara sistem peraturannya tetap seperti semula. Bahkan, sistem peraturan dan sebagian besar perundang-undangan yang dijalankan sejak terjadinya pendudukan asing hingga sekarang tidak pernah mengalami perubahan sedikitpun kecuali pada beberapa bagiannya saja tetapi tetap tidak keluar dari prinsip dasar dan garis kebijakan asing tersebut. Walaupun pergantian penguasa sudah sering terjadi tetapi kita tetap belum menyaksikan munculnya kelompok dan partai politik di tengah-tengah masyarakat yang terjun dalam pergolakan politik yang keras yang kadang-kadang berlangsung secara terus menerus. Walaupun ada, kelompok dan partai politik tersebut tidak memiliki metode, tujuan dan tsaqafah. Tidak ada satupun dari kelompok dan partai politik tersebut yang tidak mencantumkan program atau metodenya dengan kata-kata demokrasi, kebebasan, sosialisme, republik, kebangsaan, modernisasi dan sebagainya yang berupa slogan-slogan yang digunakan untuk menjilat kepada tuan-tuan mereka dan digunakan untuk memperdayai masyarakat. Sesungguhnya sistem peraturan apapun yang dipaksakan kepada masyarakat, bertentangan dengan akidah mereka atau bertolak belakang dengan pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan mereka, pasti akan menghadapi kemarahan dan kebencian masyarakat. Apabila mampu masyarakat akan menghancurkannya. Oleh karena itu, harus digunakan politik ‘stick and carrot’ (tongkat dan wortel). Politik tersebut merupakan politik yang bersifat pengendalian dan pemaksaan. Politik tersebut merupakan hukum yang bersifat militeristik dan spionase, pengamanan kepentingan-kepentingan, meraih dominasi perdagangan, memberikan ‘bantuan’ dan pinjaman serta pemberian surat ijin impor. Dengan demikian, terdapat tongkat di tangan yang satu sedangkan di tangan lainya terdapat wortel. Hal yang membuat keadaan itu semakin parah adalah terjadinya persaingan di antara negara-negara kafir untuk memperebutkan negeri-negeri muslim dan kompetisi untuk memperluas kekuasaannya, memperluas hegemoninya dan merealisasikan kepentingan-kepentingannya. Oleh karena itu, setelah Perang Dunia Kedua Amerika memutuskan untuk keluar dari isolasinya setelah menanggung kerugian besar akibat peperangan. Amerika memandang bahwa dialah yang telah memenangkan peperangan tersebut sehingga menganggap dirinya sebagai pewaris yang sah dari imperialisme Inggris dan Perancis bahkan Barat secara keseluruhan, yang telah menguasai negeri-negeri Islam sebelum terjadinya peperangan. Hanya saja, Inggris dan Perancis telah memutuskan untuk mempertahankan eksistensinya serta menjaga kepentingan-kepentingan dan dominasinya. Dari sana, dimulailah pergolakan di antara mereka akan tetapi berlangsung secara tersembunyi. Amerika menggunakan kekuatan internasional, tekanan ekonomi dan para antek barunya sedangkan Inggris dan Perancis menggunakan para anteknya yaitu para penguasa dan kroninya. Maka terjadilah pergolakan yang berlangsung terus menerus dengan memperalat putra-putri umat Islam, mengeruk kekayaannya dan menyulut umat dengan api kekacauan dan peperangan yang bersifat internal. Hal itu merupakan realisasi dari ambisi orang-orang kafir dan kekufurannya dengan dalih kemerdekaan dan kebebasan.
Seperti itulah keadaan masyarakat kita dan umat kita. Itu pula yang merupakan masalah besar yang harus dihadapi oleh orang-orang yang beraktivitas untuk mewujudkan kebangkitan umat. Itulah yang kami maksud dengan pemahaman terhadap fakta dan upaya untuk memperdalamnya sebelum melakukan upaya perbaikan masyarakat dan menetapkan hukum terhadapnya. Tidak lah cukup hanya dengan adanya ideologi yang jelas dalam benak orang-orang yang menginginkan kebangkitan umat berdasarkan ideologi tersebut dan memimpin mayarakat dengan aturan-aturan ideologi tersebut. Juga tidak cukup hanya dengan ideologi yang ada dalam benak orang-orang yang menginginkan perubahan menuju kedudukan yang layak, melainkan mereka harus memahami apa yang terdapat dalam masyarakat dan penyakit yang dideritanya baik yang penyakit utama maupun penyakit sampingannya. Bagaimana mereka dapat menciptakan perubahan apabila mereka tidak memahami ideologi kecuali namanya saja, tidak memahami Al-Quran kecuali tulisan dan cara melagukannya semata, tidak mengetahui tujuan dari aktivitas yang mereka lakukan kecuali pernyataan bahwa mereka menginginkan daulah Islam dan menginginkan kemuliaan kaum muslimin. Akan tetapi, bagaimana caranya? Katakanlah,”Ilmunya ada di sisi Tuhanku. Tidak akan ada yang dapat menjelaskan waktunya kecuali Dia.”

Read More..

IKATAN KEKELUARGAAN

Read More..

Ketika Muhammad saw. diangkat menjadi nabi oleh Allah Swt., masyarakat Makkah dan masyarakat Arab pada umumnya hidup dalam sistem sosial yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Mereka terbiasa mengubur bayi perempuan hidup-hidup, tidak memberikan waris kepada perempuan, dan membiarkan perzinahan merajalela. Selain itu, sebagian kaum laki-lakinya suka mengirimkan istri mereka kepada laki-laki pemuka sukunya, sehingga sang istri akan melahirkan anak laki-laki yang keturunan pemuka suku itu. Lebih parah lagi, ketika seorang ayah meninggal dan meninggalkan istri dan anak laki-laki, sang anak akan mewarisi istri dari ayahnya itu dan menjadikannya sebagai istrinya sendiri, sehingga mengakibatkan kerusakan nasab dan menghancurkan ikatan kekerabatan.
Dengan mengkaji Sirah Rasulullah saw., kita bisa melihat bahwa beliau tidak berjuang sekadar untuk memperbaiki kebiasaan buruk itu, tetapi beliau membasmi seluruh fondasi sistem sosial masyarakat, dan menggantinya dengan ideologi Islam secara keseluruhan. Ketika Rasulullah saw. telah menanamkan ideologi Islam di benak orang-orang dan telah meneguhkan kekuasaan politiknya, beliau mulai membangun sistem sosial yang baru yang berdasarkan wahyu Allah Swt. Jika kita lihat Sirah Rasulullah saw. dalam kerangka seperti itu, akan dipahami dinamika perjuangan beliau untuk mengubah masyarakatnya. Di sinilah kita akan menyoroti usaha-usaha beliau dalam membangun kembali sistem sosial itu.
Saat Muhammad saw. berada di Makkah, beliau berjuang menentang kaum musyrikin Quraisy seraya berupaya menyadarkan tentang salahnya cara hidup mereka, dan bahwa risalah yang dibawa beliau akan membebaskan mereka dari kerusakan sistem hidupnya. Salah satu aspek dari perjuangan itu adalah ketika Nabi Muhammad saw. menentang kebiasaan yang telah mengakar di masyarakat. Misalnya, Allah Swt. berfirman:
Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh? (QS at-Takwiir [81: 8-9)
Ayat ini benar-benar menghantam kebiasaan orang Arab mengubur bayi perempuan mereka hidup-hidup (karena mereka ‘malu’ kalau punya bayi perempuan). Loyalitas terhadap keluarga, baik atau buruk, sangat dijunjung oleh orang-orang Arab. Islam sangat menentang loyalitas semacam itu, mengingat ada anggota keluarga yang masuk Islam, ada juga yang tidak. Karena itu, orang-orang Arab penyembah berhala itu langsung menuding Nabi Muhammad saw. telah merongrong kehidupan mereka dan telah menimbulkan keretakan dalam hubungan keluarga mereka.
Sebelum datangnya Islam, masyarakat berkelompok menurut ikatan-ikatan semu. Pengelompokan tersebut begitu kuatnya dan menjadi pangkal permusuhan antarbangsa atau antarsuku dalam satu bangsa, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat mencairkan hubungan itu. Di Jazirah Arab, orang-orang Arab bersekutu menurut kesukuan dan garis keturunan. Di Timur dan Barat, nasionalisme dan religiositas sempit menjadi basis Kekaisaran Persia dan Bizantium. Islam menghapuskan seluruh ikatan itu, dan menggantinya dengan ikatan ideologi yang kuat yang tidak terbatas pada kelompok tertentu atau daerah asalnya, tapi menyatukan seluruh manusia tanpa melihat ras, warna kulit, atau keyakinannya.
Sebelum Islam datang, orang Arab memandang rendah seseorang yang berkulit hitam semata-mata karena warna kulitnya, dan suku-suku rela berperang dan saling bantai bertahun-tahun hanya demi kebanggaan keluarga. Islam menghunjam begitu kuat di hati setiap insan, sehingga ketika seseorang telah menyatakan dirinya Muslim, dia rela melepaskan seluruh ikatan-ikatan rusak itu dan mengikatkan diri dalam persaudaraan Islam. Bagi seorang Muslim, warna kulit, silsilah keluarga, daerah asal, atau kekayaan seseorang bukanlah suatu hal penting. Ketika Rasulullah saw. memulai dakwahnya, beliau membangun pusat kepemimpinan yang terdiri atas orang Persia, Romawi, Afrika, penduduk dari orang Yahudi dan Nasrani, dan pribumi Arab, dan tidak ada sesuatu yang mengikat mereka semua selain pemikiran yang satu.
Demikianlah persaudaraan yang timbul dari pemikiran Islam itu sanggup mendorong mereka untuk berperang melawan keluarga mereka sendiri demi melindungi saudaranya seiman. Abu Ubaidah bertempur melawan ayahnya sendiri, yang saat itu musyrik, lalu membunuhnya di Perang Badar, serta dia sama sekali tidak peduli ketika mayat ayahnya diseret dan dibuang ke sumur al-Qabil di Badar.
Generasi pertama pemeluk Islam menerima Islam secara komprehensif dan dengan keyakinan yang kuat. Mereka mengakui Allah Swt. sebagai Rabb dan satu-satunya Zat yang layak disembah dan ditaati. Dengan pemahaman dan penyerahan diri seperti itu, mereka menerima sepenuh hati seluruh konsekuensi dari keyakinan itu. Para sahabat r.a. dengan mudahnya melepaskan segala macam ikatan semu dan menggantinya dengan ketaatan kepada Allah Swt. ketika Allah Swt. berfirman:
Orang-orang Mukmin itu sesungguhnya bersaudara. Karena itu, damaikanlah di antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS al-Hujuraat [49]: 10)
Kasus Mush’ab bin Umair kiranya dapat menjadi contoh pengaruh Islam terhadap hubungan keluarga di Makkah. Mush’ab bin Umair r.a. sangat dicintai oleh ibunya dan dia pun mencintai ibunya. Mush’ab adalah seorang yang kaya raya, terhormat, dan dikagumi oleh banyak wanita di masyarakatnya. Ketika Mush’ab masuk Islam, ibunya sangat marah dan melakukan aksi mogok makan menuntut Mush’ab untuk keluar dari Islam. Sebelum masuk Islam, Mush’ab bin Umair tidak pernah membiarkan siapa pun atau apa pun mengganggu ibunya. Setelah Islam memasuki pemikiran dan perasaannya, Mush’ab berkata kepada ibunya bahwa bahkan seandainya ibunya punya banyak nyawa dan dia melihat setiap nyawa ibunya itu lepas satu per satu akibat mati kelaparan, dia tidak akan pernah melepaskan keislamannya! Sikap ini merefleksikan dampak dari dakwah Rasulullah saw. terhadap struktur sosial masyarakat Makkah.
Ibnu Ishaq menuturkan, “Ibnu Wahb, seorang kaki tangan Bani Abd ad-Dar bercerita kepada saya bahwa ketika Nabi saw. menerima para tawanan Perang Badar, beliau menyerahkan mereka kepada para sahabatnya sambil berkata, ‘Perlakukan mereka dengan baik!’ Salah seorang di antara tawanan itu ialah Abu Aziz bin Umair bin Hasyim, saudara kandung Mush’ab bin Umair. Abu Aziz berkata, ‘Saudaraku Mush’ab melewatiku, dan berkata kepada orang Anshar yang menangkapku, ‘Jangan lepaskan dia. Ibunya kaya; kemungkinan ibunya akan menebusnya.”
Ibnu Hisyam juga menuturkan, “Abu Aziz adalah pembawa bendera kaum musyrik setelah an-Nadr bin al-Harits tewas. Saat melihat saudaranya (Mush’ab) berbicara kepada Abu al-Yusr yang telah menangkap dirinya, Abu Aziz berkata kepada Mush’ab, ‘Wahai Saudaraku, inikah yang kauinginkan?’ Mush’ab menjawab, ‘Dialah (sambil menunjuk Abu al-Yusr) saudaraku, bukan kau.” Mush’ab rela melepaskan ikatan dengan saudara kandungnya sendiri dan menunjuk seorang Muslim yang lain, yang tidak ada hubungan keluarga dengan dirinya, sebagai saudaranya melebihi keluarganya sendiri. Mush’ab sadar bahwa ketaatannya tidak lagi kepada garis keluarga, keturunan, atau daerah asalnya, tetapi kepada Allah Swt., serta Allah telah menentukan siapa yang menjadi ‘keluarganya’ dan menentukan kriteria persaudaraannya.
At-Tirmidzi meriwayatkan, “Ibnu Abu Umar bercerita kepada kami bahwa Sufyan memberitahunya dari Amr bin Dinar yang mendengar Jabir bin Abdullah berkata, ‘Kami sedang dalam perang’, dan Sufyan berkata, ‘Mereka pikir itu perang melawan Bani al-Mustaliq,’ ketika salah seorang Muhajirin mendorong salah seorang Anshar… .’Abdullah bin Ubay bin Salul mendengar hal itu dan berkata, ‘Kenapa bisa terjadi seperti ini? Demi Allah, saat kita kembali ke Madinah, yang lebih kuat akan melemparkan yang lebih lemah.’ Anaknya, Abdullah bin Abdullah, berkata kepadanya, ‘Demi Allah, kau tidak akan kembali sampai kauakui bahwa kaulah yang lebih lemah dan Rasulullah saw. lebih kuat,’ lalu ayahnya mengakui.” Abdullah bin Abdullah bin Ubay senantiasa memperlakukan ayahnya secara baik dan penuh hormat, tapi ketika harus memilih antara ayahnya atau Allah Swt. dan Rasulullah saw., loyalitas dia berikan pada keimanannya, serta dia menawarkan diri kepada Rasulullah saw. untuk membunuh ayahnya sendiri dan membawa kepalanya kepada beliau karena telah menghina kaum Muslim.
Ketika Rasulullah saw. akhirnya mampu meneguhkan kekuatan ideologi Islam dengan adanya nushrah (pertolongan) dari orang-orang Madinah, Allah Swt. mulai menurunkan hukum-hukum yang menjadi fondasi sistem sosial yang benar-benar baru. Tidak seperti keumuman manusia yang membuat hukum berdasarkan akalnya sendiri dan menerapkannya kepada siapa saja kecuali dirinya sendiri, Rasulullah saw. adalah orang pertama yang bertindak sesuai dengan perintah yang telah Allah turunkan.
Pada masa pra-Islam, laki-laki Arab punya kebiasaan mengadopsi anak, mengubah nama anak itu sehingga dinasabkan kepada dirinya, dan menganggap istri dari anak yang diadopsi tadi sebagaimana istri dari anak kandung mereka sendiri. Konsekuensinya, dia akan menganggap istri dari anak angkatnya itu sebagai anaknya dan menganggapnya haram dinikahi, meskipun sudah bercerai dengan anak angkatnya itu. Islam datang dan menghapus tradisi ini melalui firman-Nya:
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu dzihar itu sebagai ibumu dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya serta Dialah yang menunjukkan jalan (yang benar). (QS al-Ahzab [33]: 4)
Pengaruh ayat ini terhadap sistem sosial adalah bahwa pengadopsian anak tidak diperbolehkan (dalam kasus nasab anak itu diganti dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya), istri dari anak angkat itu--ketika bercerai--halal dinikahi oleh bapak angkat, dan anak angkat tidak mendapat hak warisan.
Ketika hukum ini diturunkan, Nabi Muhammad saw. adalah orang pertama yang menerapkannya. Beliau melakukan hal yang dianggap tabu oleh masyarakat ketika itu, yaitu dengan menikahi Zainab, setelah Zainab bercerai dari anak angkat Rasulullah saw., Zaid. Perbuatan Nabi Muhammad saw. tidak saja menunjukkan kualitas kepemimpinan yang beliau miliki, tapi juga menghapuskan kebiasaan jahiliah yang mungkin saja akan terus dianut oleh kaum Muslim.
Dalam peristiwa lain, sehubungan dengan hukum potong tangan bagi pencuri, Nabi Muhammad saw. menegaskan bahwa andaikata Fatimah, anaknya sendiri, mencuri, maka beliau akan memotong tangan Fatimah. Ini menunjukkan bahwa ikatan kekeluargaan tidak kebal dari keadilan hukum Islam. Hukum Islam justru hadir untuk merestrukturisasi hubungan keluarga. Sebelum Islam datang, loyalitas keluarga mendapat kedudukan yang sangat tinggi. Turunlah syariat menata ulang loyalitas kekeluargaan itu. Allah Swt. berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka itu, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika kamu memutarbalikkan atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS an-Nisaa’ [4]: 135)
Dengan demikian, Allah Swt. menjadikan ikatan kekeluargaan harus dijalin pertama-tama berdasarkan keyakinan kepada-Nya, sehingga menegasikan loyalitas seseorang terhadap keluarganya atau sukunya dan menggantinya dengan loyalitas terhadap Allah Swt. Islam membatasi persaudaraan dan persahabatan hanya di kalangan orang-orang Mukmin, sesuai firman-Nya:
Orang-orang Mukmin itu sesungguhnya bersaudara. Karena itu, damaikanlah di antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS al-Hujuraat [49]: 10)
Selain itu, Islam juga melarang Wala’a (perwalian) antara orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir dari kalangan musyrikin, Yahudi, atau Nasrani, meskipun mereka adalah ayah, saudara atau anak orang-orang Mukmin itu. Setiap orang Mukmin yang melakukan hal itu dianggap berdosa, sebagaimana al-Quran menyebutkan:
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS at-Taubah [9]: 23)
Islam menempatkan seluruh kepentingan duniawi dan pertalian hubungan seorang Muslim di bawah kecintaan terhadap Allah Swt. dan Rasulullah saw. Islam memperingatkan kaum Mukmin untuk tidak mendahulukan kepentingan sosial dan pertalian hubungan mereka di atas kewajiban selaku Muslim. Allah Swt. dengan tegas menyatakan:
Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS at-Taubah [9]: 24)
Islam meneguhkan suatu masyarakat di Madinah berdasarkan kecintaan dan sikap tolong-menolong, sebagaimana diungkapkan hadis:
Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal berkasih sayang dan saling mencintai laksana satu tubuh. Tatkala salah satu bagian menderita sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakannya dengan menggigil dan demam. (HR Muslim)
Kepedulian, kasih sayang, dan silaturahmi menjadi basis hubungan antara warga negara dalam masyarakat Islam, dengan tidak melihat usia, status sosial, atau kekayaan.
Ajaran Islam mendukung konsep menyebarkan cinta di masyarakat, dan Nabi Muhammad saw., dalam banyak kesempatan, menggambarkan eratnya hubungan di antara kaum Muslim. Misalnya, beliau bersabda, “Tidaklah salah seorang di antara kalian dikatakan beriman, kecuali dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri” (HR Bukhari dan Muslim); “Barangsiapa yang menolong saudaranya, Allah akan menolongnya” (HR Tirmidzi dan Imam Ahmad); “Allah akan menolong hamba-Nya selama dia menolong saudaranya” (HR Tirmidzi dan Abu Dawud); “Adalah kejahatan bagi seorang Muslim untuk mengungkapkan aib saudaranya sesama Muslim” (HR Muslim); dan “Seorang Muslim tidak diperbolehkan mengabaikan saudaranya lebih dari tiga hari” (HR Bukhari dan Muslim).
Tidak ada yang lebih indah selain perumpamaan yang dikemukakan oleh Nabi saw. berikut.
Ingat, setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap orang bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang Imam (kepala negara) yang telah diangkat oleh rakyat adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya. Setiap laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab atas keluarganya. Setiap wanita adalah pemimpin atas rumah tangga suami dan anak-anaknya dan dia bertanggung jawab atas hal itu. Seorang pembantu adalah pemimpin atas harta benda majikannya, dan dia bertanggung jawab atas harta benda itu. Ingat, setiap diri kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. (HR Bukhari dan Muslim)
Setelah kematian Ja’far bin Abu Thalib dalam perang Mu’tah, Rasulullah saw. menunjukkan rasa simpatinya terhadap istri dan anak-anak Ja’far, “Apakah kalian takut mereka menjadi miskin, padahal akulah pelindung mereka di dunia dan akhirat kelak?” (HR Ahmad)
Sirah Rasulullah saw. juga menjadi sumber hukum tentang bagaimana kehidupan keluarga seharusnya dibentuk. Nabi Muhammad saw. terbiasa memperhatikan perasaan istri-istrinya dan beliau menjaganya. Beliau memperlakukan mereka dengan adil, membantu meringankan pekerjaan mereka, dan memenuhi kebutuhan mereka dengan jerih payahnya sendiri.
Ini sangat kontras dengan status keluarga Muslim saat ini, ketika ideologi Islam, sebagai sistem hidup yang komprehensif, telah hilang dari benak umat. Insya Allah, jika kita berkomitmen untuk mempelajari Sirah Rasulullah saw. sebagai sesuatu yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan, kita akan mampu mengembalikan kemuliaan keluarga kaum Muslim, sekaligus membangkitkan umat Islam secara keseluruhan.

Read More..