ADAKAH PERADILAN BANDING DAN KASASI
DALAM ISLAM?
Soal:
Apakah di dalam sistem peradilan Islam dikenal peradilan banding dan peradilan kasasi? Kapan keputusan seorang qâdhî (hakim) dipandang menjadi keputusan yang bersifat tetap?
Jawab:
Di dalam sistem peradilan sekular dikenal peradilan banding dan kasasi. Bahkan, sebelum disidangkan oleh peradilan, seorang terdakwa dapat meminta sidang pra-peradilan untuk membuktikan sah tidaknya penahanan dirinya sebagai terdakwa. Mekanisme hukum semacam ini berujung pada simpang-siurnya keputusan hukum; ‘kepastian hukum’ yang didambakan masyarakat pun semakin lama diperoleh karena harus melalui rantai peradilan yang sangat panjang. Fenomena ini dengan cepat disergap oleh para pelaku mafia peradilan—entah para jaksa, hakim, maupun pengacara—yang menjadikannya sebagai ‘bisnis basah’.
Jika seseorang dinyatakan bersalah di tingkat peradilan biasa dan di tingkat banding, belum tentu keputusan atas dirinya itu sudah baku. Di tingkat kasasi ia bisa bebas. Keputusan di tingkat kasasi ini secara otomatis menggugurkan keputusan-keputusan peradilan di tingkat bawahnya. Wajar jika sistem hukum sekular melahirkan ketidakpastian hukum, pertentangan/ perselisihan, serta bertumpuknya dan bertele-telenya berkas-berkas perkara peradilan.
Ini berbeda dengan peradilan Islam. Di dalam sistem peradilan Islam tidak dikenal istilah pra-peradilan, peradilan banding, maupun kasasi. Sistem peradilan Islam hanya satu. Keputusan seorang qâdhî (hakim) pada suatu perkara bersifat tetap. Keputusannya tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dibatalkan, meski oleh khalifah (kepala negara) sekalipun.
Peradilan Islam adalah institusi yang bertugas untuk menyampaikan keputusan hukum dan keputusannya bersifat mengikat. Perlu diketahui, bahwa setiap keputusan hukum (yang ditetapkan oleh qâdhî) di dalam ruang sidang peradilan merupakan hukum Allah atas perkara tersebut bagi si terdakwa. Hukum Allah bagi dirinya—dilihat dari sisi pelaksanaannya—tidaklah berbilang, tetapi hanya satu. Memang, bisa saja pemahaman seorang qâdhî dengan qâdhî lainnya atas suatu perkara berbeda sehingga memungkinkan dihasilkannya keputusan atau pendapat yang berbeda pula. Namun demikian, dalam hal ini, harus dibedakan antara memahami suatu perkara dan melaksanakan keputusan peradilan atas perkara tersebut.
Penetapan hukum di dalam sidang peradilan Islam (selain perkara hudûd) dilakukan melalui metode istinbâth (ijtihad) dengan memahami fakta atas suatu perkara secermat-cermatnya. Seorang qâdhî bisa saja berbeda dalam memahami suatu fakta dengan qâdhî lainnya sehingga hasil ijtihad masing-masing juga berbeda. Meskipun demikian, syariat Islam menjamin bahwa walaupun terdapat pemahaman yang berbeda pada masing-masing qâdhî (selama bukan dalam perkara hudûd), keputusan apapun yang ditetapkan oleh mereka di ruang sidang peradilan tidak akan meruntuhkan sistem hukum maupun menzalimi manusia. Bahkan, jika seorang qâdhî menghasilkan ijtihad yang tidak tepat, Allah Swt. tetap mengganjarnya dengan satu pahala. Rasulullah saw. bersabda:
»إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ«
Apabila seorang hakim (qâdhî) berijtihad lalu ijtihadnya benar maka ia beroleh dua pahala; jika ia berijtihad lalu ijtihadnya salah maka ia beroleh satu pahala. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Lain lagi dari sisi pelaksanaan hukum. Memang, bisa saja qâdhî A menghasilkan ijtihad yang berbeda dengan ijtihad qâdhî B pada perkara yang sama. Akan tetapi, harus dipahami, bahwa perkara tersebut menuntut penetapan hukum berupa hukum Allah Swt. yang dikeluarkan oleh qâdhî melalui ijtihadnya, sementara hukum Allah Swt. dalam perkara tersebut atas terdakwa si fulan—misalnya—hanya satu (yang harus dijalankannya). Sebagai contoh (dalam perkara lain yang semisal) adalah perkara qunût di dalam shalat. Terdapat dua pemahaman (sebagai hasil dari ijtihad para mujtahid) yang memberikan alternatif dua pilihan pemahaman. Dua pendapat tersebut adalah sah. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, tidak mungkin seorang Muslim menjalankan kedua pendapat tersebut dengan—misalnya—melakukan shalat subuh dua kali; sekali menggunakan qunût dan sekali lagi tidak. Tindakannya ini malah menyalahi hukum. Sebab, hukum Allah Swt. atasnya (dari sisi pelaksanaannya) hanya satu. Begitu pula halnya di dalam keputusan peradilan yang ditetapkan qâdhî.
Di samping itu, beberapa perkara yang termasuk perkara hudûd seperti minum khamar, perzinaan, pencurian, tuduhan zina (qadzaf), pembegalan disertai pembunuhan atau pencurian atau perusakan (hirâbah), pembangkangan terhadap negara (bughât), dan murtad adalah perkara yang putusan hukumnya telah jelas dan pasti (qath‘î) berasal dari Allah Swt. dan Rasul-Nya. Di dalamnya tidak diperkenankan adanya ijtihad seorang qâdhî, apalagi pembatalan hukuman. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, “Tidak ada ampunan (pembatalan hukum) dalam perkara had atas tindak kejahatan yang telah diajukan ke peradilan. Sebab, pelaksanaan hukuman had bersumber dari Sunnah.” (Ibn Hazm, al-Muhallâ, jld. XIII/287). Hal ini tentu tidak berlaku di dalam sistem hukum dan peradilan sekular.
Berdasarkan pemaparan di atas, akan tampak jelas bahwa di dalam sistem peradilan Islam, meskipun ruang sidang peradilan dipimpin oleh seorang qâdhî dan didampingi qâdhî lain sebagai anggota (hal ini dibolehkan sebatas memberikan usulan kepada qâdhî ketua), keputusan tetap berada di tangan qâdhî ketua berdasarkan ijtihadnya. Hasil ijtihadnya yang berupa keputusan peradilan merupakan hukum syariat atas si terdakwa di dalam perkara tersebut dan bersifat mengikat (yaitu harus dilaksanakan). Dalam hal ini, terdapat kaidah ushul yang terkenal:
]اَلإِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِمِثْلِهِ[
Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain yang serupa.
Oleh karena itu, dalam peradilan Islam tidak dikenal adanya voting untuk menentukan keputusan hukum di antara para hakim (karena munculnya perbedaan pendapat antara hakim ketua dan para hakim anggota) sebagaimana yang terjadi pada berbagai kasus dalam sistem peradilan sekular. Islam juga tidak mengenal peradilan banding maupun kasasi.
Keputusan qâdhî tidak berlaku dan dinyatakan tidak sah jika tidak merujuk dan berlandaskan pada al-Quran dan as-Sunnah. Artinya, Khalifah atau institusi peradilan dapat membatalkan keputusan atas suatu perkara yang tidak merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah saw. bersabda:
»مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ«
Siapa saja yang melakukan aktivitas (termasuk keputusan peradilan-pen.) yang tidak aku perintahkan, maka perkara tersebut tertolak. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, seluruh sistem peradilan sekular—mulai dari mekanisme, sistem peradilan, hingga keputusan yang dihasilkan di dalamnya—adalah batil, tertolak dan tidak sah. Allah Swt. dan Rasul-Nya mengharamkan kaum Muslim untuk merujuk dan bersandar pada sistem hukum kufur atau hukum thaghut. Lebih dari itu, Allah Swt. telah mencap orang-orang yang ridha dan menganggap sistem peradilan sekular sebagai sistem yang layak dan cocok untuk kaum Muslim saat ini seraya mencampakkan sistem hukum Islam sebagai orang-orang yang kafir. Allah Swt. berfirman:
]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ[
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara (peradilan) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS al-Maidah [5]: 44).
Na‘ûdzu billâhi min dzâlik. [AF]
No comments:
Post a Comment