Wednesday, June 27, 2007

MENGUBUR EKONOMI NON-REAL

MENGUBUR EKONOMI NON-REAL

(Mengembalikan Ekonomi Islam)
Oleh Abu Fuad


Indeks utama saham-saham industri Dow Jones pada Senin (22/7) jatuh ke level 7.784,44 yang merupakan titik terendah sejak Oktober 1998. Pada saat yang sama, indeks saham-saham teknologi Nasdaq mencapai titik 1.282,65 menembus batas psikologis 1.300. Jatuhnya harga saham di Wall Street, terutama setelah Worldcom—perusahaan telekomunikasi kedua terbesar di AS—mengajukan proteksi kepailitan ke pengadilan agar tetap beroperasi sambil melakukan pembenahan atas utang-utangnya yang mencapai USD 41 miliar. Aset Worldcom sendiri mencapai USD 107 miliar sehingga kebangkrutan perusahaan ini berarti merupakan kebangkrutan yang terbesar di dunia; mengalahkan kebangkrutan perusahaan energi, Enron, Desember 2001. Gara-garanya mungkin terlihat sepele, yaitu karena penempatan yang salah di dalam laporan akuntansi: angka sebesar USD 3.8 miliar yang mestinya ditaruh di pos biaya dicatat sebagai investasi (capital expenditur). Jadi, perusahaan kelihatannya untung padahal buntung.

Skandal Worldcom ini secara beruntun menjadi serial dramatis krisis keuangan dan akuntansi yang menimpa pasar saham dan pasar uang AS. Selain skandal Enron dan Worldcom, ada skandal Global Crossing, American Online yang setelah mengakuisisi Time Warner lalu mencatat kerugian hingga USD 54 miliar, perusahaan Xerox yang keliru membukukan pos laba-rugi sampai USD 2 miliar, atau perusahaan obat-obatan Tyco Int, Merck, hingga Adelthin. Gempuran bertubi-tubi ini membuat kalangan investor merasa khawatir akan terjungkirnya bursa saham AS, seperti pengalaman crash pada 19 Oktober 1987 yang dikenal dengan peristiwa Black Monday. Saat itu, pasar saham kehilangan 22 persen nilainya dalam waktu 6 jam saja.

Peristiwa ini membuat para fund manager segera menarik dananya dari saham maupun dolar AS. Dana itu kemudian dialihkan untuk membeli surat-surat utang pemerintah yang dianggapnya lebih aman dan prospektif. Sebagian mengalihkannya ke dalam mata uang asing yang masih kuat dan aman, seperti Euro. Sisanya yang lain berburu untuk menyimpannya dalam bentuk emas, yang kemudian memicu melonjaknya harga emas hingga lebih dari USD 320 per-troy ounce. Para investor merasa risih memegang dolar AS karena dianggap memiliki tingkat risiko yang sangat tinggi saat ini. Hal itu sangat tampak dalam defisit neraca berjalannya AS yang makin membesar, pasca serangan 11 September, dengan membengkaknya secara luar biasa anggaran militer AS.

Di luar perdebatan banyak analis yang meragukan ‘kehebatan’ standar keuangan dan akuntansi AS—yang selama ini digembar gemborkan paling hebat, apalagi lembaga-lembaga akuntansi tersohor berasal dari AS dan menjadi panutan akuntansi di dunia (seperti Standard and Poors, Arthur Andersen, Ernst and Young, dan lain-lain)—muncul pertanyaan-pertanyaan pesimis, apa yang salah dalam sistem keuangan dan akuntansi kapitalis? Apakah ini menandai keruntuhan ekonomi kapitalis? Sampai kapan pasar-pasar derivative (pasar saham dan pasar uang dengan berbagai jenisnya) yang booming pada dekade ini mampu ditahan oleh sektor real?


Ekonomi Berbasis Real atau Non-Real?

Pada penghujung abad ke-20, yang paling menonjol dalam ekonomi adalah perkembangan sistem keuangan dunia. Yang spektakular adalah pertumbuhan bond market dan money market, tentu diikuti dengan secondary market yang sangat fantastis. Pertumbuhannya melibas pertumbuhan perdagangan di sektor real. Ini berakibat pada adanya ketidakseimbangan ekonomi, terutama pasar uang dan pasar saham (yang bersifat non-real) dengan pasar barang atau jasa (yang bersifat real).

Bayangkan saja, berdasarkan data yang dimiliki sebuah NGO (Non-Government Organization) ekonomi di AS, volume transaksi yang terjadi di pasar uang atau yang tercakup dalam currency speculation and derivative market adalah berjumlah USD 1,5 triliun perhari. Pada saat yang sama, volume transaksi pada perdagangan sektor real dunia hanya sekitar USD 6 triliun pertahun. Peningkatan perputaran volume perdagangan uang dan saham terus menanjak sesuai dengan deret ukur. Ini berarti, sektor real sudah sangat over loaded, bahkan sudah tidak mampu lagi menopang percepatan sektor non-real. Modal yang diinvestasikan dalam bentuk kertas-kertas saham atau kertas-kertas berharga dan uang kertas jumlahnya sudah sangat menggunung dan melebihi nilai real dari aset kekayaan yang ada; baik berbentuk tanah, pabrik, toko, komoditas perdagangan, maupun jasa.

Tampaknya animo dan keyakinan masyarakat, khususnya masyarakat Barat, terhadap sektor non-real yang diperdagangkan di pasar saham dan pasar uang yang penuh dengan spekulasi sangatlah besar. Sebab, mereka ingin memperoleh keuntungan dalam waktu singkat dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Mereka enggan melakukan investasi di sektor real yang memerlukan waktu dan pengorbanan yang besar tetapi dengan perolehan keuntungan yang sangat sedikit. Fenomena ini dikomentari oleh Robin Hahnel dalam artikelnya, “Capitalist Globalism in Crisis: Understanding the Global Economic Crisis (2002),” dengan mengatakan bahwa financial market hanya membuat pemegang aset makin melipatgandakan jumlah kekayaannya tanpa melakukan apa-apa. Mereka memanfaatkan sarana yang ada di pasar uang untuk melakukan spekulasi guna menumpuk kekayaan mereka.

Peraih Hadiah Nobel untuk ekonomi tahun 1970, Paul A Samuelson, mengomentari fenomena di pasar bursa dan pasar uang dengan mengatakan, satu hal yang paling menakjubkan dalam kegiatan spekulatif ini adalah bahwa harapan akan terpenuhi dengan sendirinya. Apabila orang membeli saham dengan harapan nilai saham akan meningkat, maka tindakan pembelian ini akan meningkatkan harga-harga saham. Ini makin membuat orang semakin terdorong untuk melakukan pembelian lagi. Demikian seterusnya. Namun, tidak seperti permainan kartu atau dadu, di sini tidak ada yang menderita rugi sebesar keuntungan pemenang. Setiap orang memperoleh hadiahnya masing-masing. Tentu saja hadiah tersebut semuanya berupa kertas dan akan hilang begitu orang mulai menguangkannya (Samuelson PA dan Nordhaus WD, Macro Economics, 14 th edition, Mc Graw Hill).

Dalam ekonomi kapitalis, dasar-dasar pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan perdagangannya ditopang oleh ekonomi non-real. Meski hal ini dipastikan akan bertemu dengan ‘monster’ bencana ekonomi, aktivitas-aktivitas sektor non-real justru dilindungi, dipelihara, dan ditumbuhkembangkan. Unsur-unsur non-real yang sangat dominan pada sistem ekonomi kapitalis antara lain:


  1. Pencetakan dan penerbitan uang kertas.

Hingga awal abad ke-20, hampir seluruh negara yang ada di dunia menggunakan uang ‘real’ sebagai alat tukar dan pembayarannya. Saat itu, uang disandarkan pada sistem logam emas atau perak. Tidak jarang bentuk fisik mata uangnya juga tersusun dari logam emas atau perak. Bentuk uang seperti ini dikatakan mempunyai nilai intrinsik yang nilainya sama dengan nilai (angka) nominal yang tertera pada mata uang tersebut. Karena uang mempunyai nilai intrinsik yang sama dengan nilai nominalnya, pemerintah tidak perlu menjamin nilai uang tersebut. Jumlah uang ditentukan oleh pasar melalui mekanisme penawaran dan permintaan emas dan perak.

Dewasa ini, uang yang kita bawa, yang kita simpan, yang kita bayarkan untuk membeli barang atau membayar karyawan, dan yang kita terima sebagai gaji adalah uang kertas yang dicetak oleh pemerintah dengan nilai nominal tertentu. Uang kertas ini tidak memiliki nilai intrinsik seperti halnya mata uang emas atau perak. Nilai intrinsiknya hanyalah sehelai kertas biasa, sama dengan kertas-kertas lainnya. Sebab, pemerintah tidak menjaminnya dengan menyediakan cadangan uang berupa emas dan perak di dalam cadangan devisanya yang disimpan di bank-bank sentral. Uang kertas jenis ini dinamakan dengan fiat money. Kertas uang tersebut oleh pemerintah dijadikan ‘uang’ hanya berdasarkan undang-undang. Masyarakat kemudian ‘dipaksa’ dengan undang-undang ini supaya ‘mempercayai’ bahwa kertas itu benar-benar berharga sesuai dengan nilai nominalnya, padahal itu hanyalah kertas biasa yang tidak dijamin oleh pemerintah dengan jaminan apapun!

Pemerintah AS, misalnya, cukup mencantumkan di dalam mata uang dolarnya kata-kata, ‘legal tender for all debts, public and private’. Jadilah kertas bergambar mantan-mantan presiden AS itu berharga USD 1, USD 5, hingga pecahan USD 1.000.

Lalu berdasarklan logika apa seonggok kertas biasa bergambar mantan presiden AS (yang tidak dijamin oleh pemerintah AS) bisa ditukar untuk membeli atau mendapatkan tanah, rumah, mobil, motor, komputer, dan lain-lain (yang benda dan nilainya bersifat real)?! Ini sama saja dengan bermain ‘monopoli-monopolian’. Menganggap sesuatu yang tidak real, tidak berharga, dan tidak ada nilainya tiba-tiba menjadi berharga, bernilai, dan seakan-akan real hanya dengan undang-undang. Lebih parah lagi, umat manusia di seluruh dunia terlibat dalam permainan ‘uang-uangan’ ini. Pantas saja ekonom Malaysia, Abdurrazak Lubis, mengatakan, bahwa uang kertas riba adalah satu-satunya ‘ciptaan’ manusia yang membawa bencana, celaka, kezaliman dan malapetaka bagi seisi bumi. Mencipta artinya menjadikan, dari tidak ada menjadi ada. Ciptaan ini menggunakan kertas, mencetak angka, dan memberi nilai padanya (Abdurrazak Lubis, Tidak Islamnya Bank Islam, Paid Network).


  1. Bunga bank dan transaksi derivative.

Istilah bunga bank (interest) atau lebih dikenal dengan riba didefinisikan lebih komprehensif oleh Syaikh Abdurrahman Taj sebagai, “setiap tambahan yang berlangsung pada salah satu pihak di dalam akad mu‘âwwadhah tanpa memperoleh imbalan atau tambahan tersebut diperoleh karena penangguhan (Majalah al-Liwa al-Islam, edisi II, tahun 1952). Karena itu, bunga bank termasuk riba, begitu pula transaksi di pasar-pasar saham dan pasar yang menyelenggarakan transaksi derivative. Di dalam sistem ekonomi, transaksi-transaksi tersebut digolongkan ke dalam ekonomi non-real. Bahkan, dalam pandangan Keynes sendiri, bunga uang itu adalah pengaruh dari angan-angan manusia; setiap tingkat suku bunga uang terpaksa diterima masyarakat yang di dalam pandangan orang-orang terlihat sebagai sesuatu yang menyenangkan. Lebih lanjut, Keynes berpendapat bahwa suku bunga di dalam suatu komunitas masyarakat yang normal akan sama dengan nol (tidak ada bunga). Ia meyakini bahwa manusia dapat memperoleh uang melalui jalan usaha (Keynes dalam Haberler, Prosperity and Depression, hlm. 351-352).

Kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan bunga bank dan transaksi-transaksi derivative di lantai bursa adalah angan-angan manusia dengan menggelembungkan ‘harta kekayaan’ yang dimilikinya. Padahal, kekayaannya yang sebenarnya hanya sebatas angka-angka numerik pada transkrip kekayaan mereka; kekayaan maya.

Investasi yang ditanamkan di lantai bursa dengan menjualbelikan saham-saham perusahaan hakikatnya dibeli oleh para investor bukan untuk dimiliki. Mereka sama sekali tidak terlibat dalam aktivitas real, seperti turut mengelola perusahaan yang sahamnya baru dibeli. Malahan mereka tidak bermaksud untuk memperoleh deviden perusahaan pada akhir tahun buku. Tujuan mereka adalah untuk memperoleh keuntungan (capital gains) yang besar secara cepat disebabkan lonjakan-lonjakan harga saham yang telah mereka beli sebelumnya. Para investor merekayasa pasar modal sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan dengan cara mempengaruhi harga-harga saham di berbagai negara, terutama negara-negara miskin. Sebab, pasar saham di negara-negara miskin dengan mudah dapat dipermainkan oleh para investor asing yang memiliki modal kuat. Akibatnya, terjadi pelarian modal ke luar negeri (capital flight) yang semakin menyengsarakan dan memiskinkan negara-negara yang sudah miskin itu.


  1. Transaksi jual-beli yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan tergolong non-real.

Yaang dimaksud adalah jual-beli yang dilakukan sebelum barangnya sempurna dimiliki oleh si penjual. Belum sempurnanya barang dimiliki oleh salah satu pihak bisa karena memang benar-benar barang tersebut belum dimilikinya tetapi ia sudah menjualnya kepada pihak ketiga atau bisa juga ia menjual barang tersebut setelah dibelinya, hanya saja untuk jenis komoditi itu disyaratkan adanya serah-terima sebagai syarat sempurnanya pemilikan. Dalam sistem perdagangan moderen, banyak jenis-jenis transaksi dilakukan oleh si penjual kepada pihak lain meskipun komoditasnya belum sempurna dimiliki oleh yang bersangkutan. Future trading dengan derivasinya yang sangat banyak adalah contoh nyata dari maraknya perdagangan sektor non-real di dalam aspek ekonomi.

Di samping itu, dalam khazanah Islam dikenal pula penipuan dalam perdagangan yang disebut dengan istilah ghubn al-fâhisy dan tadlîs. Kelebihan dari ‘harga wajar’ atas suatu barang yang sengaja direkayasa oleh si penjual dapat dimasukkan pada aspek ekonomi non-real.


Semua hal di atas menjadi pilar-pilar dari sistem ekonomi kapitalis. Dengan demikian, kita dapat membayangkan rapuhnya jaringan keuangan dan perdagangan sistem kapitalisme yang saat ini telah menggurita di seluruh dunia. Dasar-dasar sistem keuangan dan perdagangannya lebih banyak dipenuhi oleh angan-angan dan khayalan. Ini terbukti dengan makin menggelembungnya sektor non-real ratusan kali lipat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor real. Sayangnya, mereka tidak mengambil pelajaran dari peristiwa crash-nya pasar saham dan keuangan mereka pada tahun 1929, 1987, 1997. Terakhir adalah terjungkalnya pasar saham dan keuangan AS setelah Peristiwa 11 September dengan munculnya kasus-kasus akuntansi perusahaan-perusahaan raksasa AS. Jaringan keuangan dan perdagangan mereka bagaikan jaring laba-laba; sangat rapuh dan kehancurannya adalah sesuatu yang niscaya—tinggal menunggu waktu.


Sistem Ekonomi Islam: Hanya Berbasis pada Sektor Real

Dalam kehidupan ekonomi Islam, setiap transaksi perdagangan harus dijauhkan dari unsur-unsur spekulatif, riba, gharar, majhûl, dharar, mengandung penipuan, dan yang sejenisnya. Unsur-unsur tersebut di atas sebagian besarnya tergolong aktivitas-aktivitas non-real. Sebagian lainnya mengandung ketidakjelasan pemilikan. Sisanya mengandung kemungkinan munculnya perselisihan.

Islam telah meletakkan transaksi antar dua pihak sebagai sesuatu yang menguntungkan keduanya; memperoleh manfaat yang real dengan memberikan kompensasi yang juga bersifat real. Transaksinya bersifat jelas, transparan, dan bermanfaat. Jika salah satu pihak atau keduanya dirugikan, hal itu adalah kedzaliman, dan harta ataupun keuntungan yang diperoleh di atas penderitaan pihak lain adalah harta dan keuntungan yang batil. Allah Swt. berfirman:

وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil. (QS al-Baqarah [2]: 188).


ِArtinya, janganlah kalian memakan harta pihak lain dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat. Karena itu, dalam transaksi perdagangan dan keuangan, apapun bentuknya, aspek-aspek non-real dicela dan dicampakkan; sedangkan sektor real memperoleh dorongan, perlindungan, dan pujian. Hal itu tampak dalam instrumen-instrumen ekonomi maupun transaksi-transaksi berikut:


  1. Islam telah menjadikan standar mata uang berbasis pada sistem dua logam, yaitu emas dan perak. Sejak masa pemerintahan Khalifah ‘Abdul Malik ibn Marwan, mata uang Islam telah dicetak dan diterbitkan (tahun 77 H). 1 dinar emas nilainya setara dengan 4,25 gram emas dan 1 dirham perak setara dengan 2,975 gram perak. Dengan standardisasi pada sistem dua logam tersebut, berarti Islam telah menjadikan mata uang sebagai alat tukar, memiliki nilai intrinsik (zatnya) dan nominal yang sama. Artinya, nilai nominal yang tercantum pada mata uang benar-benar secara real dijamin dengan zat uang tersebut (nilai intrinsiknya); bukan ‘uang-uangan’ di mana masyarakat dipaksa dengan undang-undang supaya menganggap bahwa mata uangnya sebagai mata uang ‘betulan’ sebagaimana yang terjadi saat ini.

  2. Islam telah mengharamkan aktivitas riba, apapun jenisnya; melaknat/mencela para pelakunya; dan memaklumkan perang terhadap pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Allah Swt. berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(278)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِن اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. (QS al-Baqarah [2]: 278-279).


Berdasarkan hal ini, transaksi riba yang tampak dalam sistem keuangan dan perbankan modern (dengan adanya bunga bank), seluruhnya diharamkan secara pasti; termasuk transaksi-trasnsaksi derivative yang biasa terjadi di pasar-pasar uang maupun pasar-pasar bursa. Penggelembungan harga saham maupun uang—sehingga tidak sesuai dengan harganya yang ‘wajar’ dan benar-benar memiliki nilai intrinsik yang sama dengan nilai nominal yang tercantum di dalamnya—adalah tindakan riba. Rasulullah saw.:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَاْلفِضَّةُ بِاْلفِضَّةِ وَاْلبُرُّ بِاْلبُرِّ والشَّعِيْرِ بِالشَّعِيْرِ وّالتَّمَرُ بِالتَّمَرِ وَاْلمَلَحُ بِاْلمَلَحِ مَثَلاً بِمَثَلٍ وَيَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ اَوْ اْستَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى

(Boleh ditukar) Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam yang setaras (sama nilai dan kualitasnya) dan diserahterimakan langsung (dari tangan ke tangan). Siapa saja yang menambahkan (suatu nilai) atau meminta tambahan sesungguhnya ia telah berbuat riba. (HR al-Bukhari dan Ahmad).


  1. Transaksi spekulatif, kotor, dan menjijikkan nyata-nyata diharamkan oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minum khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Karena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. (QS al-Maidah [5]: 90).


  1. Transaksi perdagangan maupun keuangan yang mengandung dharar (mengandung kemadaratan), baik bagi individu maupun bagi masyarakat, harus dihentikan dan dibuang jauh-jauh. Kami di sini beranggapan bahwa semua transaksi yang diharamkan Allah Swt dan Rasul-Nya adalah transaksi dharar. Sebaliknya, semua transaksi yang dibolehkan Allah Swt dan Rasul-Nya adalah transaksi yang benar dan bermanfaat. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh mencelakakan dan tidak boleh membawa celaka. (Imam Malik, al-Muwaththa, jld. II/745).


  1. Al-Ghasy, yaitu transaksi yang mengandung penipuan, pengkhianatan, rekayasa, dan manipulasi; termasuk di dalamnya transaksi ghubn al-fâhisy, menyembunyikan cacat/kekurangan, tidak sesuai antara penjelasan (keterangan tertulis) dengan zatnya, dan sejenisnya. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَحِلُّ ِلإِمْرِئِ مُسْلِمٍ بَيْعَ سِلْعَةٍ يَعْلَمُ أَنَّ بِهَا دَاءً إِلاَّ أَخْبَرَهُ بِهِ

Tidak halal seorang Muslim menjual barang yang diketahuinya mengandung cacat, kecuali ia memberitahukannya. (HR al-Bukhari).


  1. Transaksi perdagangan maupun keuangan yang belum memenuhi syarat-syarat sempurnanya kepemilikan seperti yang biasa dilakukan dalam future trading. Rasulullah saw. bersabda:


وَلاَ بَيْعَ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

(Tidak halal) jual-beli barang yang tidak tidak dimiliki olehmu. (HR Abu Dawud).


Seluruh jenis transaksi yang dilarang oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya ini tergolong ke dalam transaksi-transaksi non-real atau zalim yang dapat mengakibatkan dharar bagi masyarakat dan negara, memunculkan high cost dalam ekonomi, serta bermuara pada bencana dan kesengsaraan pada umat manusia. Sifat-sifat tersebut melekat dalam sistem ekonomi kapitalis dengan berbagai jenis transaksinya. Konsekuensi bagi negara dan masyarakat yang menganut atau tunduk dan membebek pada sistem ekonomi kapitalis yang dipaksakan oleh negara-negara Barat kafir adalah kehancuran ekonomi dan kesengsaraan hidup.

Sayangnya, para penguasa negeri-negeri Muslim saat ini lebih suka mengekor di belakang sistem kapitalis Barat yang terbukti menyengsarakan dan rusak. Karena itu, sistem ekonomi Islam yang berbasis pada sektor real hanya mampu dilakukan oleh negara yang berani menghadapi kekuatan sistem ekonomi kapitalis. Hal itu dapat dijalankan hanya dengan mewujudkan terlebih dulu Negara Khilafah Islamiyah. Lain tidak! []


Abu Fuad, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia.


Daftar Pustaka:


  1. An-Nabhani T, Nizhâm al-Iqtishâd fî al-Islâm, cet. 4, Dar al-Ummah, 1990.

  2. An-Nabhani T, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah jld. II, cet. 3, Dar al-Ummah, 1994.

  3. Zallum AQ, al-Amwâl fî ad-Dawlah al-Khilâfah, cet. II, Dar al-‘Ilmi al-Malayin, 1988.

  4. At-Tahrir H, Hazât al-Aswâq al-Mâliyah, tahun 1997.

  5. Qal’aji MR, Mabâhits fî al-Iqtishâd al-Islâmî min Ushûl al-Fiqhiyah, cet. I, Dar an-Nafais, 1991.

  6. Samuelson PA dan Nordhaus WD, Macro Economics, cet. 14. Mc Graw Hill, 1992.

  7. Hahnel R, “Capitalist Globalism in Crisis,” tahun 2000.

  8. Lubis AR, Tidak Islamnya Bank Islam, Paid Network, tanpa tahun.

  9. Artikel lain dari Harian Kompas.

No comments: