Saturday, June 23, 2007

Amanah Kepemimpinan

Setelah menunggu berminggu-minggu, dengan hari-hari terakhir yang menegangkan, ternyata Presiden SBY pada awal Mei lalu hanya mengumumkan hasil reshuffle yang begitu-gitu saja. Rakyat ternyata hanya menunggu pepesan kosong. Karena itu, perlu dipertanyakan, sebenarnya untuk siapa rezim ini bekerja? Betulkah untuk rakyat yang mayoritas Muslim ini?

Kalau kita jeli, kita bisa melihat realitas yang sesungguhnya. Dalam APBN tahun ini tercatat bahwa pos pembayaran bunga utang adalah Rp 85 triliun dan cicilan pokoknya Rp 54 triliun. Padahal negara bisa menolak membayar bunga. Apalagi MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah riba yang haram diambil maupun dibayar. Cicilan pokok utang juga bisa ditunda dengan alasan krisis, bahkan kita bisa minta potongan ala Argentina. Bahkan menurut ekonom Revrison Baswier, kita sudah tidak punya kewajiban lagi membayar utang, karena yang dibayarkan Pemerintah sudah melebihi utang yang diambil. Jika uang sebesar itu yang mayoritas diperoleh dari memeras keringat rakyat melalui berbagai pungutan pajak tersebut dipindahkan ke pos pendidikan, akan banyak program pencerdasan rakyat secara gratis bisa dilakukan. Kalau dipakai untuk memodali petani atau pedagang dan membangun industri, sektor-sektor real tersebut akan bergerak dan akan terjadi pertumbuhan ekonomi.

Namun, alih-alih menolak membayar bunga dan pokok utang yang sia-sia (belum lagi dosanya, na‘udzubillâh) dan memindahkan ke pos pembiayaan sektor real, rezim ini justru mengagendakan utang baru. Pada saat yang sama, sambil melupakan adanya duit nganggur di BI sebesar RP 210 triliun, rezim ini membuka investasi asing tanpa batas melalui UU Penanaman Modal yang baru saja disahkan DPR. Walhasil, dominasi ekonomi asing di negeri ini akan semakin menjadi-jadi.

Privatisasi BUMN akan dituntaskan oleh menteri BUMN yang baru. Kabarnya, menteri yang lama dicopot karena berani membangkang; enggan meneruskan privatisasi. Padahal privatisasi hakikatnya adalah perampokan aset-aset rakyat yang selama ini dikuasai negara. Pemerintah seolah-olah menjadi pemilik sah dari seluruh aset rakyat tersebut dan dengan begitu mudahnya menyerahkannya kepada pihak asing. Kekayaan alam yang luar biasa banyaknya yang telah Allah Swt. karuniakan kepada rakyat penghuni negeri Muslim terbesar di dunia hari ini berada dalam cengkeraman kaum neolib alias kafir imperialis.

Hari ini kalau kita mandi atau menggunakan air untuk memasak dengan air PDAM di Jakarta, berarti kita telah membelinya dari perusahan multinasional Thames Inggris atau Lionnez Prancis. Sangat mungkin, seluruh penggunaan jaringan telepon pun, di dalam maupun kontak keluar negeri yang menggunakan jaringan Indosat, baik oleh pribadi maupun lembaga negara, disadap oleh kaum kapitalis di Singapura. Akibatnya, mereka begitu mudah membaca lalu-lintas pembicaraan bisnis dan kebijakan masing-masing departemen rezim ini.

Pemberian Blok Cepu kepada Exxon Mobil hakikatnya adalah perampasan cadangan gas senilai 140 miliar USD milik rakyat dengan legalisasi oleh negara. Belum lagi Freeport, Newmont, dan berbagai operasi perusahaan asing di negeri ini. Inilah penjajahan yang nyata! Diakui atau tidak, fungsi rezim ini hanyalah menjadi komprador imperialis.

Untuk menilai apakah rezim ini betul-betul bekerja demi rakyat yang mayoritas Muslim, maka perlu dilihat implementasi dari makna jabatan sebagai amanah yang disabdakan oleh Baginda Rasulullah saw. Apa saja amanah jabatan itu?

Pertama: amanah untuk mengurus urusan umat. Rasulullah saw. bersabda:

«اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Seorang pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bakal dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Seorang pemimpin bertanggung jawab atas kebutuhan dasar rakyat, baik perindividu (seperti sandang, pangan, dan papan) maupun kolektif (seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan atau keselamatan masyarakat). Pejabat harus memastikan bahwa tidak ada rakyatnya yang kelaparan, telanjang, dan menjadi gelandangan. Pejabat harus memfasilitasi agar para pria memiliki pekerjaan supaya bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam hal kebutuhan kolektif rakyat, pejabat negara harus berpikir keras untuk bisa memenuhi kebutuhan itu sehingga rakyat tercukupi kebutuhannya secara gratis. Penguasa yang demikian disebut penguasa yang mengurusi rakyat (sulthân ri‘âyah). Sebaliknya, jika penguasa hanya memikirkan bagaimana menarik pajak dari rakyat, itu namanya penguasa tukang palak (sulthân jibâyah).

Kedua: amanah menjaga terjaminnya kebutuhan rakyat, mengatasi konflik-konflik yang terjadi di tengah masyarakat tatkala mereka menjalani kehidupan dalam memenuhi kebutuhan mereka dengan cara yang adil, dan berhukum kepada hukum Allah Swt. Dengan kata lain, ia menjalankan kekuasaan dengan menerapkan syariah Allah secara kâffah. (Lihat: QS al-Maidah [5]: 48). Dulu para khalifah dibaiat untuk menjalankan pemerintahan dengan al-Quran dan as-Sunnah.

Ketiga: amanah untuk menasihati rakyat agar taat kepada Allah Swt. dalam menjalani kehidupan. Biasanya, dulu para pejabatlah yang menjadi khatib-khatib Jumat untuk menyampaikan wasiat takwa kepada para jamaah. Rasulullah saw. bersabda:

«مَنْ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً فَلَمْ يُحِطْهُمْ بِنَصِيحَةٍ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ»

Siapa saja yang diangkat menjadi pejabat untuk mengurusi kepentingan rakyat, lalu tidak memberikan nasihat kepada mereka, dia tidak akan mencium harumnya surga. (HR Ahmad).

Keempat: amanah untuk melindungi mereka dan tidak menipu mereka. Pejabat harus melindungi seluruh kepentingan rakyat. Mereka harus menjaga rakyat dari serangan pihak luar yang membahayakan seluruh kepentingan rakyat. Dalam suatu hadis dikatakan bahwa imam atau pemimpin itu laksana perisai; mereka harus betul-betul melindungi rakyat. Mereka tidak menipu rakyat demi kepentingan pribadi, kelompok, atau bahkan kepentingan asing. Rasulullah saw. bersabda:

«مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ«

Tidaklah seorang pemimpin memimpin rakyat dari kalangan kaum Muslim, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya masuk surga. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. D

No comments: