“The term Islam may be used in three sense: originally a religion, Islam later became a state, and finally a culture.” (Philip K. Hitti, History of Arab).
Ideologi transnasional kembali dipersoalkan. Kali ini yang dimaksud adalah ideologi yang berasal dari Timur Tengah seperti yang diemban Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Mujahidin dan Al-Qaeda. Ideologi transnasional dipersoalkan antara lain karena: (1) tidak bersumber dari akar budaya Indonesia sehingga berbahaya bagi keutuhan bangsa; (2) menggunakan Islam sebagai ideologi politik, bukan sebagai way of life (jalan hidup); (3) Islam adalah gerakan politik, bukan gerakan keagamaan; (4) mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pernyataan pertama perlu dipertanyakan. Akar budaya
Masuknya Islam ke
Organisasi Islam di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari ciri ’transnasional’-nya. Sebagian pendiri organisasi Islam di Indonesia belajar Islam dari Timur Tengah. Pendiri NU KH Hasyim Ash‘ary dan KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah sama-sama belajar di Timur Tengah. Bisa dipahami, sebab pusatnya Islam sejak kelahirannya hingga zaman keemasan Islam memang ada di Timur Tengah. Jadi, menolak pemikiran Islam hanya karena berasal dari luar, apalagi Timur Tengah, adalah ahistoris.
Pertanyaan berikutnya, apakah budaya
Tudingan bahwa gerakan Islam menjadikan agama sebagai ideologi bukan way of life, juga penting untuk dikritik. Bukankah ideologi itu adalah way of life? Justru fungsi terpenting ideologi itu adalah way of life (jalan hidup). Memang, ada wacana yang berkembang, apakah Islam itu sekadar agama ritual atau ideologi. Kalau yang dimaksud dengan agama itu hanya berisi ajaran tentang ketuhanan, ibadah ritual, dan moralitas, jelas Islam tidak seperti itu. Ajaran Islam berisi berbagai aspek kehidupan; dari hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung (akidah dan ibadah ritual/mahdhah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (akhlak, berpakaian, minuman, makanan) hingga hubungan manusia dengan sesamanya (politik, ekonomi, pendidikan, sosial, negara ).
Di dalam al-Quran, di samping ada perintah shalat, juga ada perintah untuk menaati ulil amri/penguasa yang merupakan aspek politik; di samping kewajiban shaum Ramadhan, ada kewajiban jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah); di samping kewajiban zakat, ada juga keharaman riba yang jelas berhubungan dengan aspek ekonomi. Islam juga mengenal secara jelas dan rinci hukum qishash bagi pembunuh, cambuk/rajam bagi pezina, dan potong tangan bagi pencuri. Demikian seterusnya. Karena itu, kalau yang dimaksud ideologi itu adalah sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan dengan berbasis pada pandangan hidup tertentu, maka Islam adalah ideologi.
Pengakuan Islam bukan sekadar sebagai agama ritual juga muncul dari pemikir dan sejarahwan Barat. Philip K. Hitti menyebut Islam sebagai agama, negara, dan budaya. “The term Islam may be used in three sense: originally a religion, Islam later became a state, and finally a culture.” (Philip K. Hitti, History of Arab). Hal yang sama disebut oleh Joseph Schact, bahwa ajaran Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Dia menulis, “The ideal of Islam is the rule of religion over all of life; as a religion as at the same time the Weltanschauung and way of life its believers.” (Joseph Schact; Encylopedia of Social Sciences).
Pemisahan secara mutlak gerakan keagamaan dan politik, apalagi kemudian membenturkan keduanya, adalah cara pandang sekular dan tidak pas dinisbatkan pada Islam. Kalau aktivitas mengoreksi penguasa yang zalim merupakan aktvitas politik, jelas Islam merupakan gerakan politik. Islam bahkan mewajibkan umatnya untuk mengoreksi penguasa yang zalim. Kalau aktivitas Rasulullah saw. mendirikan sistem Islam di Madinah dan menumbangkan sistem Jahiliah yang ada merupakan aktivitas politik, maka Islam juga merupakan gerakan politik. Karena itu, politik adalah bagian dari ajaran agama Islam itu sendiri. Dengan demikian, gerakan Islam transnasional lebih tepat disebut sebagai gerakan politik yang berdasarkan pada agama (Islam).
No comments:
Post a Comment