Monday, May 21, 2007

Meneladani Rasulullah saw.

Meneladani Rasulullah saw.

Aktivitas Rasulullah saw. menjadi contoh metode sejati penegakan Khilafah dan pendirian Negara Islam, atau dengan kata lain mengubah Darul Kufur menjadi Darul Islam. Untuk itu, kita perlu memahami bagaimana rukun-rukun dari metode yang dilakukan Rasulullah saw. Setelah itu, kita terapkan ke dalam situasi kita untuk meniti jalan menuju kembalinya Khilafah.
Prinsip ta’asi atau meneladani perbuatan Rasulullah saw. senantiasa mendapat bagian tersendiri dalam buku-buku yang membahas masalah Ushul ketika memahami Sunnah Nabi saw. Adapun yang jadi soal dalam hal ini adalah bagaimana cara kita meneladani perbuatan Rasulullah saw. dan apa hukumnya. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik” (QS al-Ahzab [33]: 21).
Allah Swt. juga memerintahkan kepada Nabi saw. untuk berkata kepada orang-orang beriman:
Katakanlah: “Apabila kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran [3]: 31).
Dengan demikian, kaum muslim wajib meneladani dan mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. jika mereka mengharapkan ampunan Allah Swt. dan surga yang dijanjikan-Nya. Oleh karena itu, meneladani dan mengikuti perbuatan Rasulullah saw. adalah wajib. Akan tetapi, kaum muslim harus meneladani beliau dengan benar dan dalam hal-hal yang memang Allah perintahkan. Berikut adalah klasifikasi perbuatan Rasulullah saw.

Perbuatan Jibiliyyah

Perbuatan jibiliyyah adalah perbuatan yang dilakukan Nabi saw. sebagai bagian dari karakter kemanusiaannya. Misalnya, Bukhari meriwayatkan bagaimana merahnya wajah beliau ketika marah. Menurut Imam Tirmidzi dalam Syama’il, beliau saw. berjalan begitu cepatnya seolah-olah sedang menuruni bukit. Hal-hal seperti ini boleh-boleh saja kita tiru demi menunjukkan kecintaan kita terhadap Rasulullah saw, karena itu memang perbuatan beliau. Namun, perbuatan semacam itu tidak memiliki konsekuensi hukum, sehingga status hukum perbuatan-perbuatan seperti itu adalah mubah.

Perbuatan Khas

Perbuatan khas adalah perbuatan yang memang khusus dan dikhususkan bagi Nabi saw. Misalnya, di dalam al-Quran dinyatakan bahwa istri-istri beliau dilarang menikah lagi setelah menjanda, sedangkan wanita-wanita beriman dapat menikah lagi setelah suami mereka meninggal atau setelah bercerai. Nabi saw. juga dibolehkan menikahi lebih dari dari empat wanita, sementara itu lelaki muslim dilarang. Rasulullah saw. berpuasa siang dan malam non-stop, tapi beliau melarang kaum muslim melakukan hal yang sama. Status hukum shalat tahajud itu wajib bagi Nabi saw, tapi bagi kaum muslim sunnah nafilah (Syakhshiyyah Islamiyyah, Jilid 3). Kaum muslim dilarang mengikuti Rasulullah saw. dalam perbuatan-perbuatan semacam ini. Jadi, kita tidak boleh melakukan tahajud sebagai sebuah kewajiban. Kita pun tidak boleh melarang seorang muslimah menikah kembali setelah mereka bercerai atau menjanda. Demikian pula laki-laki muslim tidak boleh memiliki lebih dari empat istri. Mengikuti Rasulullah saw. dalam perbuatan-perbuatan semacam ini adalah haram.

Perbuatan Umum (Tasyri’)

Perbuatan tasyri’ adalah perbuatan, perkataan, atau persetujuan Rasulullah saw. yang mengandung konsekuensi hukum. Perbuatan itu bisa jadi berstatus wajib, mandub, atau mubah. Apabila perbuatan yang Rasulullah saw. lakukan adalah penjelasan atas suatu kewajiban, maka perbuatan itu adalah wajib. Misalnya, Allah Swt. menyatakan dalam banyak ayat al-Quran tentang wajibnya menegakkan shalat lima waktu. Dalam hadis masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw. bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat”. Jadi, fakta bahwa Nabi saw shalat dalam urutan yang sama (tartib) dan berulang-ulang (ta’addud) merupakan penjelasan atas kewajiban shalat lima waktu tadi, karena itu cara shalat kita pun wajib mengikuti shalatnya Rasulullah saw.
Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
“Siapa saja yang melihat bulan, berpuasalah” (QS al-Baqarah [2]: 184).
Lalu, dalam sebuah hadis yang masyhur kita dapati Nabi saw bersabda, “Berpuasalah kalian manakala melihat bulan dan berbukalah tatkala melihat bulan. Adapun jika bulan tertutup awan, maka genapkanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari” (Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Bulugh al-Maram). Riwayat ini menjelaskan kapan mulai berpuasa dan kapan berhenti berpuasa. Artinya, hadis ini merupakan penjelasan atas perintah Allah Swt. dalam al-Quran tadi. Hukum perbuatan yang dijelaskan dalam hadis ini sama dengan perbuatan yang diperintahkan dalam al-Quran, yaitu wajib. Selin itu, yang juga termasuk wajib adalah melihat hilal atau menggenapkannya menjadi tiga puluh hari ketika mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan.
Contoh lain ialah firman Allah Swt. dalam al-Quran:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (QS al-Maa-idah [5]: 38).
Dalam sebuah hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Jami’u ash-Shahih dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Pemotongan tangan dilakukan dalam pencurian yang mencapai seperempat dinar”. Hadis ini menjelaskan hukum sebelumnya, yaitu tentang kewajiban memotong tangan seorang pencuri.
Demikian pula dalam masalah dakwah. Rasulullah saw. wajib melakukan aktivitas dakwah dan beliau diwajibkan untuk menegakkan agama ini. Hal ini dapat kita tinjau dari fakta bahwa beliau siap mengorbankan hidupnya demi melaksanakan kewajiban tersebut. Rasulullah saw. berkata kepada pamannya, “Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku berhenti dari perkara ini, niscaya aku tidak akan berhenti darinya hingga Allah memenangkan perkara ini atau aku mati karenanya” (Imam Thabari, Sirah, Jilid 6, par. 1179).
Dengan demikian, setiap perbuatan dan pernyataan yang menjelaskan metode itu harus dipandang sebagai bagian kewajiban dari metode untuk melangsungkan kehidupan Islam.
Aktivitas Qurbah (Mendekatkan Diri kepada Allah Swt.)

Mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan memperoleh ridha-Nya adalah tujuan orang-orang beriman dan menjadi landasan dasar dari seluruh perbuatannya. Setiap perbuatan yang jika dilakukan akan mendatangkan ridha Allah Swt. dan jika ditinggalkan akan mengundang azab-Nya dikategorikan sebagai wajib. Perbuatan yang mendekatkan seorang muslim kepada Allah Swt., tapi jika tidak dilakukan tidak mengundang hukuman dipandang sebagai perbuatan yang mandub. Perbuatan Rasulullah saw. yang mengindikasikan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. (taqarrub illa Allah) juga berstatus mandub. Misalnya, aktivitas zikir dan doa dapat mendatangkan ridha Allah Swt., sehingga keduanya berstatus hukum mandub. Dalam Syama’il, Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis bahwa Nabi saw. terbiasa membaca basmallah sebelum makan. Aktivitas seperti ini mengingatkan diri kepada Allah Swt. dan menunjukkan rasa syukur. Oleh karena itu, membaca doa sebelum makan adalah mandub.


Mubah

Perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung indikator qurbah atau tidak menunjukkan pahala atau siksa, berstatus hukum mubah. Kaum muslim boleh melakukannya sesuai dengan kehendak mereka. Misalnya, Nabi saw. terbiasa meminta juru tulis untuk menuliskan al-Quran di pelepah daun kurma. Cara ini tidak mengandung konsekuensi pahala atau siksa, karena itu status hukumnya adalah mubah. Dalam konteks ini, menggunakan cara lain, seperti CD dan mencetaknya juga mubah-mubah saja.
Relevansi dari semua ini dengan topik yang kita bahas adalah, kita harus dapat memilah-milah perbuatan-perbuatan yang Rasulullah saw. lakukan. Aktivitas mana yang beliau lakukan semata-mata sebagai manusia sehingga tak wajib diikuti dan aktivitas mana yang memang wajib diikuti, yang memang beliau lakukan sebagai sebuah kewajiban dan bagian dari metode beliau dalam menegakkan Diinullah.

No comments: