Monday, May 21, 2007

Menerapkan Islam dan Mengemban Dakwah

Menerapkan Islam dan Mengemban Dakwah

Partai politik Islam harus memiliki pemahaman yang jernih tentang sistem Islam dan juga bagaimana cara negara mengemban dakwah. Bahkan, partai politik Islam itu harus mengadopsi sejumlah permasalahan, seperti bagaimana sistem pemerintahan, struktur dan fungsinya, bagaimana pemerintahan menerapkan hukum syara’, pemahaman yang terperinci akan sistem peradilan, dan bagaimana penguasa menjalankan fungsi-fungsi pokoknya. Di samping itu, parpol tersebut memahami sistem dan prinsip-prinsip ekonomi serta anggaran negara, cara-cara mengatur masalah ekonomi, sumber daya alam, sistem perpajakan, serta hubungan negara dan perusahaan-perusahaan swasta, termasuk status kepemilikan negara dan keuangan negara. Semua itu dimaksudkan agar dapat dibuat kebijakan ekonomi yang efektif sesuai dengan syariat dan agar penggunaan anggaran benar-benar disusun berdasarkan keperluan dan prioritas. Perlu pula ada pemahaman tentang status warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Bagaimana aturan diterapkan kepada muslim maupun nonmuslim. Juga, masalah-masalah lain. Untuk itu, diperlukan suatu rancangan undang-undang dasar untuk memberikan gambaran perihal negara Khilafah dan juga agar dapat diajukan untuk diterapkan segera setelah Khilafah berdiri.
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, Hizbut Tahrir telah mengadopsi sebuah undang-undang dasar yang terperinci dan juga telah mengelaborasi dalil-dalil atas undang-undang dasar tersebut dan penerapannya dalam buku Muqadimah al-Dustur aw asbab al-Muwajjabba. Buku tersebut juga mengelaborasi aspek-aspek penting dalam sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, dan pendidikan, serta kebijakan luar negeri yang telah disebutkan di dalam rancangan undang-undang dasar tersebut. Berikut adalah pasal pertama dari rancangan undang-undang dasar yang disusun oleh Hizbut Tahir yang berisi landasan negara Khilafah dan pentingnya penerapan Islam di dalam setiap aspek kehidupan, serta pentingnya mengemban dakwah.
Pasal 1. Landasan negara adalah Akidah Islam. Oleh karena itu, segala sesuatu yang menyangkut struktur negara, penguasa, pertanggungjawaban, atau aspek lain yang berhubungan dengan kenegaraan, harus dibangun berdasarkan Akidah Islam. Akidah Islam juga menjadi sumber asas undang-undang dasar dan perundang-undangan negara. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan perundang-undangan harus bersumberkan Akidah Islam.
Negara berdiri berdasarkan terbentuknya ide-ide baru yang menjadi landasan dan strukturnya. Artinya, kekuasaan dan kewenangan di dalam negara berubah seiring perubahan ide-ide tersebut. Jika ide-ide itu menjadi pemahaman dan dipahami dengan baik dan diyakini, maka pemahaman itu akan memengaruhi manusia. Manusia akan berperilaku dan menjalani hidup sesuai dengan pemahamannya itu. Tolok ukur kemaslahatan akan berubah seiring berubahnya cara pandang terhadap kehidupan, serta kekuasaan dan kewenangan berperan mengatur mekanisme yang mengawasi dan mengurusi kemaslahatan tersebut. Pemikiran yang khas akan melahirkan pandangan kehidupan yang juga khas, yang akan menjadi dasar negara serta melandasi seluruh kekuasaan, kewenangan, sistem, dan undang-undang dasarnya. Mengingat pemikiran khas tentang kehidupan itu terangkum dalam serangkaian pemahaman, standar, dan keyakinan, maka kumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan itu menjadi dasar negara. Adapun penguasa adalah pihak yang mengurusi kepentingan-kepentingan masyarakat, serta memantau pelaksanaan kepentingan-kepentingan masyarakat itu agar sesuai dengan pemahaman, standar, dan keyakinan tadi. Sekumpulan pemikiran itu menentukan keseluruhan pandangan hidup dan cara-cara penanganan kepentingan masyarakat, sedang penguasa berperan menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Dari pemahaman seperti ini, negara didefinisikan sebagai suatu lembaga atau entitas yang berfungsi untuk menerapkan sekumpulan pemahaman (mafahim), standar (maqayis), dan keyakinan (qana’ah) yang diterima oleh masyarakat.
Kumpulan pemikiran yang menjadi landasan suatu negara itu bisa berasal dari pemikiran yang mendasar dan khas, bisa juga berasal dari pemikiran yang tidak khas. Jika kumpulan pemikiran itu lahir dari pemikiran yang mendasar, maka negara akan memiliki landasan yang kuat dan kokoh. Dalam hal ini, negara akan tegak di atas pemikiran yang khas yang akan menjadi sumber dari segala pemikiran, perasaan, undang-undang dasar, dan sistemnya. Apabila negara tidak berdiri di atas pemikiran yang mendasar, maka negara akan memiliki landasan yang rapuh, sehingga mudah digoyang atau dijajah oleh negara asing. Lemahnya landasan negara akan membuat negara tersebut mudah tunduk kepada pemikiran dan konsep-konsep asing, yang pada gilirannya akan mengundang kekuatan asing untuk menguasai atau menghancurkan negara.
Negara Islam berdiri di atas Akidah Islam karena kumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan yang diterima umat berasal dari Akidah Islam sebagai qaidah fikriyyah. Umat Islam menerima akidah itu dan meyakininya sebagai qaidah fikriyyah berdasarkan bukti-bukti yang qath’i dan meyakinkan. Berdasarkan keyakinan itulah, kaum muslim wajib tunduk sepenuhnya terhadap Akidah Islam dan menjadikan Akidah Islam sebagai landasan hidupnya, serta sebagai standar perbuatan, pemikiran, dan perasaannya. Akidah tersebut selanjutnya akan membentuk seluruh cara pandang umat terhadap kehidupan ini dan menjadi landasan bagi cara pandang kehidupannya. Umat juga akan memandang kemaslahatan berdasarkan akidah tersebut. Dari akidah yang sama, umat juga akan mengambil sekumpulan pemahaman, standar, dan keyakinan. Dengan demikian, akidah Islam adalah dasar Negara Islam.
Negara Islam yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. berdiri di atas landasan yang khas. Karena itu, landasan tersebut harus menjadi dasar negara Islam di mana pun dan kapan pun. Ketika Nabi saw. mengambil alih kekuasaan dan mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, beliau mendirikannya di atas Akidah Islam, meskipun ayat-ayat yang berkenaan dengan legislasi hukum belum turun seluruhnya. Nabi saw. menjadikan landasan kehidupan kaum muslim, penilaian, interaksi, dan urusan masyarakat, serta kekuasaan, kewenangan dan pemerintahan, berdasarkan prinsip Laa ilaaha illa Allah, Muhammad al-Rasul Allah.
Nabi saw. juga memerintahkan jihad dan mewajibkan kaum muslim untuk mengemban Akidah Islam ke seluruh umat. Dengan mekanisme ini, Negara Islam mampu mempropagandakan Islam ke seluruh dunia dan memperluas wilayahnya sambil menjaga perbatasan-perbatasan dan berjaga-jaga dari setiap upaya yang akan merongrong landasan negara. Dalam sebuah hadis, Nabi saw. bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaaha illa Allah, Muhammad ar-Rasul Allah. Jika mereka mengatakan hal itu, maka darah dan harta mereka terlindungi, serta aman dariku kecuali secara hak”.
Islam memberikan kekuasaan kepada kaum muslim untuk menerapkan hukum-hukum syariat. Umat menunjuk penguasa sebagai wakil untuk menjalankan tanggung jawab tersebut. Allah Swt. mewajibkan kaum muslim untuk memastikan bahwa Islam diterapkan secara keseluruhan dengan melakukan kontrol terhadap penguasa, mengawal Negara dan para pejabatnya untuk senantiasa terikat pada hukum Islam, serta memelihara qiyadah fikriyyah dan pemikiran Islam di antara umat. Allah Swt. menyebutkan wajibnya kaum muslim mendirikan partai atau kelompok untuk menjalankan fungsi-fungsi berikut.
Untuk menjaga agar ketaatan dan loyalitas hanya diberikan kepada Islam, Allah Swt. memerintahkan kaum muslim untuk menaati penguasa selama penguasa itu melakukan tugasnya dalam menerapkan hukum-hukum Islam dan menjadikan hukum syara’ sebagai rujukan dalam menghadapi segala masalah dan situasi. Banyak hadis yang menjelaskan tentang Islam sebagai satu-satunya kriteria untuk ketaatan terhadap penguasa, sekaligus menginstruksikan kaum muslim untuk menarik diri dari ketaatan itu apabila penguasa tidak menerapkan Islam.
Auf bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakannya. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian”. Kami bertanya, “Ya, Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka?” Beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat” (HR Muslim). Dalam hadis ini, kata shalat berarti menjalankan kekuasaan pemerintahan berdasarkan hukum Islam.
Semua ini menjadi dalil bahwa landasan negara adalah Akidah Islam. Nabi saw. mendirikan negara di atas Akidah Islam. Rasulullah saw. memerintahkan kaum muslim untuk menjaga Akidah Islam itu dengan melakukan jihad, dan mewajibkan kaum muslim untuk siap berjuang demi mempertahankannya sebagai landasan negara. Inilah dalil-dalil yang melandasi isi pasal satu di atas.
Seluruh masalah, besar atau kecil, penting atau tidak penting, bernilai atau tidak bernilai, harus didekati, ditelaah, dan diselesaikan berdasarkan Akidah Islam. Setiap ide, pemikiran, pemahaman, atau undang-undang yang bersumber dari akal manusia, penilaian manusia, atau setiap sumber selain Akidah Islam dan tidak digali dari hukum-hukum syara’, tidak dapat diterima. Konsep-konsep seperti pragmatisme, realisme, atau yang sejenisnya yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum, tidak memiliki landasan sama sekali.
Islam adalah sistem yang sempurna yang harus diterapkan secara paripurna. Allah Swt. melarang penerapan Islam secara parsial. Karena Negara Islam berdiri di atas landasan Akidah Islam, maka konsep-konsep penerapan Islam secara gradual dan parsial tidak dapat diterima. Menerapkan 20% sistem Islam berarti menerapkan 80% sistem kufur, dan Islam menolak keras hal itu. Selain itu, konsep demokrasi tidak boleh diadopsi oleh negara karena demokrasi bertentangan dengan konsep yang lahir dari Akidah Islam. Terlebih lagi, demokrasi tidak bersumber dari Akidah Islam. Demokrasi adalah demos kratos, yang berarti kedaulatan rakyat.
Konsep-konsep seperti nasionalisme, patriotisme, atau segala bentuk ashabiyyah (kecintaan terhadap keluarga, suku, atau asal muasal) tidak memiliki tempat di dalam Islam karena semua itu tidak berasal dari Akidah Islam, bahkan bertentangan dengan Akidah Islam. Dalam banyak hadis, Nabi saw. secara tegas melarang segala bentuk ashabiyyah.
Sehubungan dengan bagian kedua dari pasal satu di atas, alasannya ialah bahwa konstitusi adalah undang-undang dasar negara. Dalil bahwa Allah Swt. memerintahkan penguasa untuk menerapkan hukum-hukum Islam tertuang dalam al-Quran dan Sunnah. Allah Swt. berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasakan suatu keberatan di hati mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati” (QS al-Nisaa’ [4]: 65).
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka. Dan, berhati-hatilah kamu terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” (QS al-Maa-idah [5]: 49).
Demikian pula, Allah Swt. telah memerintahkan agar legislasi hukum negara dilakukan dengan berdasarkan wahyu yang Allah turunkan dan melarang pemerintahan yang dijalankan selain dengan Islam.
“Siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu termasuk orang-orang yang kafir” (QS al-Maai-dah [5]: 44).
Nabi saw. menyebutkan bahwa segala sesuatu yang tidak berasal dari Islam, meskipun mirip dengan Islam, tidak akan diterima. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan (baik) yang tidak kami perintahkan (kepada siapa pun) untuk melakukannya (atau tidak sesuai dengan Islam), maka perbuatan itu tidak akan diterima” (HR Bukhari).
Semua ini menjadi dalil bahwa legislasi hukum negara terikat dengan segala apa yang muncul dari Akidah Islam dan hanya dapat dilakukan dengan cara menggali hukum syara’.

No comments: