Monday, May 21, 2007

Menegakkan Khilafah adalah Kewajiban bagi Seluruh Kaum Muslim

Menegakkan Khilafah adalah Kewajiban bagi Seluruh Kaum Muslim

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia. Khilafah berperan untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Istilah lain dari Khilafah adalah Imamah. Dua istilah tersebut memiliki pengertian yang sama. Sejumlah hadis sahih menyebutkan keduanya dengan pengertian yang sama. Tidak ada perbedaan di antara kedua istilah itu, baik dalam al-Quran maupun Sunnah Nabi saw. Penggunaan istilah Khilafah atau Imamah tidaklah wajib. Adapun yang wajib adalah menegakkan pengertian dari istilah itu sendiri.
Penegakan Khilafah adalah sebuah kewajiban bagi seluruh kaum muslim di dunia. Melaksanakan kewajiban ini, sama seperti melaksanakan kewajiban-kewajiban lain yang Allah Swt. tetapkan. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang bersifat urgen, tidak ada pilihan lain selain melaksanakannya. Sikap lalai terhadap pelaksanaan kewajiban ini merupakan dosa besar yang akan mendapat azab yang pedih dari Allah Swt.
Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penunjukan seorang khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslim dapat ditemukan dalam Sunnah dan Ijma sahabat.
Nafi’ meriwayatkan bahwa Umar berkata kepadanya bahwa ia mendengar Nabi saw. berkata, “Siapa saja yang melepaskan diri dari ketaatan terhadap Allah Swt., akan menemui Allah di Hari Kebangkitan tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati tanpa memiliki baiat (ketaatan terhadap seorang khalifah) di pundaknya, sesungguhnya ia mati seperti mati jahiliah.”
Demikianlah, Nabi saw. mewajibkan kaum muslim untuk memiliki baiat. Nabi saw. menegaskan bahwa orang yang mati tanpa memiliki baiat, maka matinya seperti mati jahiliah. Baiat tidak diberikan kepada siapa pun selain kepada seorang khalifah, dan Nabi saw. mewajibkan setiap muslim untuk memiliki baiat terhadap seorang khalifah di pundaknya masing-masing. Meskipun demikian, beliau tidak mewajibkan setiap muslim untuk melakukan baiat secara langsung kepada seorang khalifah. Adapun yang diwajibkan ialah adanya baiat pada pundak setiap muslim yang sudah balig, yaitu setiap muslim yang bisa memutuskan bahwa seseorang memang layak dipilih dan dibaiat menjadi khalifah. Jadi, yang wajib adalah adanya seorang khalifah yang menempatkan baiat di pundak setiap muslim, terlepas dari apakah setiap muslim memberikan baiatnya secara personal ataukah tidak.
Hadis Nabi saw. di atas menjadi dalil bahwa penunjukan seorang khalifah adalah sebuah kewajiban, tapi tidak menjadi dalil bahwa setiap muslim wajib memberikan baiat. Hal ini karena Nabi saw. tidak memperlakukan seorang muslim yang seumur-umur tidak memiliki baiat di pundaknya sebagai orang yang tidak memberikan baiat. Hisham bin Urwa dari Abu Salih dari Abu Hurairah, mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Kelak akan ada para pemimpin setelahku yang akan mengurusi kalian. Pemimpim yang alim akan memimpin dengan kealimannya, dan pemimpin yang zalim akan memimpin dengan kezalimannya. Dengarkan dan taatilah mereka dalam segala urusan yang makruf. Apabila mereka bertindak benar, maka itu menjadi hak kalian. Apabila mereka berbuat salah, maka kewajiban kalian untuk mengoreksi mereka”.
Imam Muslim meriwayatkan dari al-A’araj dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda, “Bersabarlah, seorang imam adalah perisai yang menjadi pelindung bagi umatnya. Umat berperang dan berlindung di belakangnya”. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hazim yang berkata, “Aku bersama-sama dengan Abu Hurairah selama lima tahun dan aku mendengar ia membicarakan sabda Nabi saw., ‘Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi. Apabila seorang nabi meninggal, maka segera diganti oleh nabi penerusnya. Namun, tak akan ada nabi setelahku. Kelak akan ada para khalifah dalam jumlah yang banyak’. Para sahabat bertanya, ‘Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Beliau menjawab, ‘Tepatilah baiat yang pertama dan hanya yang pertama. Berikan kepada mereka hak-haknya. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka perihal perkara yang telah Allah kuasakan kepada mereka”. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang melihat sesuatu yang tidak menyenangkan dari pemimpinnya, hendaknya ia bersabar, karena siapa saja yang melepaskan dari dari sulthan (kekuasaan Islam), meskipun hanya sejengkal dan ia mati dalam keadaan seperti itu, maka matinya seperti mati jahiliah.”
Dalam hadis-hadis di atas, Nabi saw. mengabarkan tentang bakal adanya para pemimpin yang menangani urusan kaum muslim. Dari hadis-hadis tersebut, juga diperoleh keterangan tentang peran khalifah sebagai perisai yang akan melindungi umat. Jadi, gambaran tentang fungsi imam sebagai perisai adalah informasi tentang kemaslahatan dari keberadaan imam. Informasi tersebut merupakan seruan untuk melakukan perbuatan. Jika seruan yang disampaikan oleh Allah Swt. dan Nabi saw. mengandung celaan, maka itu berarti perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Namun, jika seruan itu mengandung pujian, maka itu berarti sebuah perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Jika perbuatan yang diperintahkan itu penting bagi penerapan hukum syara’, atau jika ditinggalkannya perbuatan itu menyebabkan terabaikannya hukum syara’, berarti perintah itu bersifat tegas. Dalam hadis-hadis di atas ada kabar bahwa yang menjalankan urusan kaum muslim adalah para khalifah, yang mengindikasikan adanya perintah untuk mengangkat khalifah.
Dari hadis-hadis itu juga terdapat larangan bagi kaum muslim untuk memisahkan diri dari penguasa, yang berarti mengindikasikan wajibnya kaum muslim menunjuk seseorang menjadi penguasa untuk memerintah mereka. Selanjutnya, Nabi saw. memerintahkan kaum muslim untuk menaati khalifah dan memerangi orang-orang yang melawan kekuasaan sang khalifah. Ini mengindikasikan kewajiban untuk mengangkat seorang khalifah dan melindungi khalifah tersebut dengan cara memerangi siapa saja yang menentangnya. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang telah membaiat seorang imam, lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka taatilah ia semampunya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.” Jadi, perintah untuk menaati imam merupakan perintah untuk mengangkat imam. Juga, perintah untuk memerangi orang-orang yang menentang imam adalah indikasi bahwa perintah tersebut bersifat tegas (jazm) dalam rangka mempertahankan keberadaan satu orang khalifah.
Selain itu, para sahabat bersepakat dalam kewajiban menetapkan seorang khalifah setelah wafatnya Nabi saw. Mereka bersepakat menunjuk Abu Bakar r.a. sebagai khalifah pertama. Setelah Abu Bakar wafat, para sahabat memilih Umar r.a. dan setelah Umar, para sahabat mengangkat Utsman r.a. Ijma juga menunjukkan bagaimana para sahabat sampai menunda penguburan Nabi saw. demi mendahulukan penunjukan seorang khalifah. Padahal, mengubur orang yang meninggal adalah fardhu, dan orang-orang yang hendak mempersiapkan penguburan mayat diharamkan melakukan aktivitas lain sebelum penguburan itu tuntas. Artinya, pada saat itu para sahabat terkena kewajiban untuk mempersiapkan penguburan Nabi saw. Akan tetapi, sebagian sahabat malah sibuk memilih khalifah, sementara yang sebagian lagi mendiamkan sebagian sahabat yang sibuk memilih khalifah itu. Itu artinya, para sahabat yang mendiamkan itu telah turut berpartisipasi dalam menunda pengebumian Nabi saw. hingga dua malam, meskipun mereka mampu menolak penangguhan itu dan mereka mampu mengubur mayat Nabi saw. pada saat itu juga. Dengan demikian, hal ini merupakan Ijma untuk mendahulukan pemilihan seorang khalifah ketimbang mengubur mayat. Hal ini hanya bisa terjadi karena kewajiban memilih seorang khalifah dipandang lebih tinggi prioritasnya ketimbang kewajiban mengebumikan mayat. Para sahabat pun sepanjang hidupnya bersepakat tentang wajibnya memilih seorang khalifah. Meskipun terkadang mereka berselisih pendapat tentang siapa yang yang akan dipilih menjadi khalifah, tapi mereka tidak pernah bersilang pendapat ihwal penunjukan seorang khalifah, baik ketika Nabi saw. wafat maupun ketika setiap Khulafaur Rasyidin meninggal. Oleh karena itu, Ijma sahabat ini merupakan dalil yang jelas, kuat, dan meyakinkan perihal wajibnya mengangkat seorang khalifah.
Sejumlah dalil secara pasti menunjukkan bahwa penegakan Islam dan penerapan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan merupakan kewajiban atas seluruh kaum muslim. Kewajiban tersebut tidak akan pernah terlaksana secara sempurna kecuali ada penguasa yang memiliki kekuasaan untuk menerapkannya. Salah satu kaidah syara’ menyatakan bahwa ‘jika suatu kewajiban tidak bisa sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib’. Wajibnya penunjukan seorang khalifah sesuai dengan kaidah tersebut. Prinsip ini bisa direalisasi dengan contoh-contoh berikut.
Imam Baihaqi dalam Sunan-nya meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun yang berhak melaksanakan hudud tanpa Sulthan (otoritas Negara)”.
Imam Tahawi meriwayatkan sebuah hadis dari Muslim bin Yasar bahwa Nabi saw. bersabda, “(Pengumpulan) zakat, (pelaksanaan) hudud, (pendistribusian) ghanimah, dan (penunjukan) khatib Jumat adalah hak Sulthan”. (Riwayat yang sama juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaibah dalam Musanaf-nya dan juga oleh Imam Narghiyani. Semuanya dapat diterima.)
Dengan demikian, menegakkan Khilafah merupakan sebuah kewajiban yang menopang sejumlah banyak kewajiban yang lain, seperti hudud, pengumpulan dan pendistribusian zakat, pengaturan shalat Jumat dan para khatibnya, serta kewajiban-kewajiban yang lain. Penggusuran sistem kufur juga sangat bergantung pada keberadaan Khilafah. Menegakkan Islam pada hakikatnya adalah dengan cara menegakkan Khilafah karena itulah satu-satunya metode untuk menerapkan Islam secara sempurna. Dengan demikian, keseluruhan aspek Islam bergantung pada Khilafah karena Khilafahlah metode untuk merealisasi eksistensi Islam.
Situasi terkini dari umat Islam membuktikan pernyataan di atas. Hukum pidana Islam tidak diberlakukan dan malah diganti dengan hukum pidana yang berasal dari negara-negara Eropa. Sistem ekonomi Islam diganti oleh sistem ekonomi Kapitalisme. Saat ini sumber daya alam milik umat Islam menjadi ‘ghanimah’ yang didistribusikan oleh orang-orang kafir. Negeri-negeri Islam dikuasai oleh orang-orang kafir, meskipun kaum muslim memiliki kekuatan militer yang memadai. Ketiadaan cara hidup Islami membuat klab malam dan bar menjamur di tanah suci al-Quds, serta di banyak kota lain di dunia Islam. Rentetan fakta yang memilukan ini jelas-jelas menggambarkan akibat dari ketiadaan Islam dan betapa benarnya pernyataan Rasulullah saw.
Allah Swt. memerintahkan Nabi saw. untuk menangani urusan kaum muslim berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, yakni Islam, dan perintah itu merupakan perintah yang tegas. Allah Swt. menyeru Nabi saw. dengan firman-Nya:
“Maka putuskanlah perkara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan kepadamu, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS al-Maa-idah [5]: 48).
“Maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan kepadamu, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkanmu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu” (QS al-Maa-idah [5]: 49).
Perintah Allah Swt. kepada Nabi saw. merupakan perintah kepada umat Islam secara keseluruhan, kecuali ada indikasi yang membatasi bahwa perintah itu hanya ditujukan kepada Nabi saw. Dalam ayat-ayat di atas tidak ada indikasi semacam itu, sehingga perintah Allah kepada Nabi saw. yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut adalah juga perintah kepada seluruh kaum muslim untuk menerapkan hukum-hukum Allah. Penegakan Khilafah tidak lain adalah penegakan hukum dan kedaulatan Allah. Di sisi lain, Allah Swt. mewajibkan kaum muslim untuk menaati para penguasa. Artinya, keberadaan penguasa itu sendiri adalah perkara yang wajib. Allah Swt. berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul-Nya, dan para pemimpin di antara kalian” (QS al-Nisaa’ [4]: 59).
Allah swt tidak mewajibkan kita untuk menaati sesuatu yang tidak ada. Hal ini mengindikasikan bahwa eksistensi penguasa adalah wajib. Ketika Allah Swt. mewajibkan sikap taat terhadap penguasa, artinya Allah mewajibkan kita untuk mengangkat penguasa yang kelak akan ditaati. Implementasi Syariat Islam sangat bergantung pada eksistensi penguasa. Dengan demikian, keberadaan penguasa tersebut merupakan kewajiban karena tanpa penguasa tidak akan ada penerapan syariat yang paripurna.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut berikut penjelasannya, jelas bahwa kaum muslim diwajibkan mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi penguasa. Juga jelas bahwa pengangkatan seorang khalifah yang akan menjalankan pemerintahan merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan dilakukan demi penerapan hukum syara’, bukan sekadar demi kekuasaan. Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakannya. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian”. Lantas, Nabi saw ditanya, “Ya, Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka?” Beliau menjawab, “Jangan, selagi mereka masih menegakkan shalat”. Hadis ini dengan lugas menerangkan ihwal pemimpin yang baik dan yang buruk, dan melarang melakukan perlawanan terhadap penguasa selama penguasa itu masih menegakkan shalat, yang dalam konteks hadis tersebut berarti menegakkan hukum-hukum Islam.
Walhasil, mengangkat seorang khalifah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam merupakan kewajiban yang mendapat legitimasi yang pasti dan meyakinkan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Lebih jauh lagi, kewajiban ini lahir karena Allah Swt. mewajibkan kaum muslim untuk menegakkan Islam dan melindungi kemuliaan kaum muslim.
Meskipun demikian, kewajiban ini bersifat kolektif. Artinya, jika ada sebagian kaum muslim yang telah memenuhinya, maka kewajiban itu dianggap telah terpenuhi dan sebagian kaum muslim yang lain tidak lagi terkena kewajiban itu. Namun, jika sebagian kaum muslim yang sudah berupaya itu belum mampu menyempurnakan kewajiban tersebut, meskipun mereka telah berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikannya, maka tanggung jawab untuk menunaikan kewajiban itu tetap ada di pundak seluruh kaum muslim. Jadi, kewajiban itu tetap ada pada diri setiap muslim selama Khilafah belum tegak.
Berdiam dirinya seorang muslim dari perjuangan menegakkan Khilafah dianggap sebuah dosa besar karena hal itu berarti ia tidak melakukan kewajiban yang sangat penting dalam Islam. Padahal, keberadaan Khilafah menjadi tumpuan pelaksanaan hukum-hukum Allah Swt. Bahkan, eksistensi Islam dalam kehidupan pun amat ditentukan oleh ada-tidaknya Khilafah. Jadi, seluruh kaum muslim akan dianggap berdosa besar manakala mereka berdiam diri dari perjuangan menegakkan Khilafah. Lalu, jika kaum muslim bersepakat untuk hidup tanpa adanya Khilafah, maka seluruh kaum muslim di muka bumi ini berdosa.
Apabila ada sebagian kaum muslim yang memperjuangkan tegaknya Khilafah dan ada sebagian lain yang tidak ikut berjuang, maka dosa itu akan berguguran dari pundak mereka yang memperjuangkannya, meskipun kewajiban itu tetap ada pada mereka selama belum diangkatnya seorang khalifah. Hal ini karena keterlibatan dalam penunaian kewajiban itu akan menghilangkan dosa akibat tertangguhkannya pelaksanaan kewajiban itu yang seharusnya tepat pada waktunya, dan akibat dari tidak dipenuhinya kewajiban itu, terlepas dari bentuk keterlibatan seseorang dalam memperjuangkannya, dan terlepas dari kebenciannya terhadap sesuatu yang membuatnya tidak mampu memenuhi kewajiban itu.
Sementara itu, orang-orang yang tidak terlibat dalam penunaian kewajiban itu, tetap dianggap berdosa terhitung sejak lewat waktu (dua malam) tiga hari dari khalifah terakhir hingga terpilihnya khalifah yang baru nanti. Hal ini karena Allah Swt. telah memerintahkan suatu kewajiban kepada mereka, tapi mereka tidak melaksanakan kewajiban itu ataupun terlibat dalam usaha yang diperlukan demi sempurnanya kewajiban tersebut. Oleh karena itu, mereka akan dianggap berdosa dan layak memperoleh hukuman dan celaan dari Allah Swt. di dunia dan di akhirat kelak. Mereka berdosa akibat ketidakterlibatannya dalam perjuangan menegakkan Khilafah atau dalam usaha-usaha yang menurut syariat mengarah pada penegakan Khilafah. Tentu saja seorang muslim layak mendapat sanksi dari Allah Swt. tatkala ia mengabaikan kewajiban yang seharusnya dilakukannya, apalagi jika kewajiban itu menjadi fondasi bagi terlaksananya kewajiban-kewajiban lain, demi tegaknya hukum-hukum Allah, kembalinya kejayaan Islam, serta demi tingginya kalimat Allah di muka bumi ini.
Dengan demikian, tidak ada seorang muslim pun di mayapada ini yang memiliki dalih untuk mengabaikan aktivitas untuk menegakkan agama Islam sebagaimana yang telah Allah Swt. perintahkan, yaitu menegakkan Khilafah bagi seluruh kaum muslim. Ketiadaan Khilafah berarti tidak ada yang menerapkan hudud Allah untuk melindungi kesucian Allah Swt., tidak ada yang menerapkan hukum syara’, serta tidak ada yang menyatukan kaum muslim di bawah panji Laa ilaaha illa Allah, Muhammad ar-Rasul Allah. Islam tidak akan menolerir siapa pun yang mengabaikan kewajiban ini hingga terlaksana secara paripurna.

No comments: