Wednesday, April 18, 2007

LI’AN

Lian merupakan akar kata dari la’ana, karena masing-masing suami dan isteri saling melaknat atas dirinya pada ucapan yang kelima kalinya, apabila berdusta. Dasar dari hukum li’an terdapat dalam firman Allah SWT :

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empak kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nuur: 6-9)

Diriwayatkan oleh Imam Abu daud dengan sanad melalui Ibnu ‘Abbas ra yang berkata:

“Telah datang Hilal bin Umayah --dia adalah salah satu dari tiga orang yang diampuni taubatnya oleh Allah-- saat waktu ‘isya’ (di rumahnya) namun dijumpai olehnya seorang laki-laki, kemudian ia mnyaksikan dengan matanya sendiri, begitu pula mendengarkan dengan telinganya sendiri, dan tidak bergeming hingga saat subuh. Esoknya ia datang kepada Rasulullah saw seraya berkata : ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku mendatang keluargaku tetapi kujumpai seorang laki-laki, dan aku menyaksikan sengan mataku sendiri serta mendengar dengan telingaku sendiri.’ namun Rasul menolak apa yang disampaikan oleh Hilal. Maka turunlah ayat yang menegaskan hal ini :
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain mereka sendiri, maka persaksian orang itu ..
Maka Rasulullah saw berkata: ‘Bergembiralah wahai Hilal, sesungguhnya Allah telah memberimu jalan keluar! Hilal lalu berkata: ‘Aku memang mengharapkan hal itu dari Rabbku.’ Rasulullah saw kemudian bersabda : ‘Kirimkanlah oleh kalian utusan kepada(isteri)-nya/’ Maka dikirimkanlah utusan itu. Kemudian diceritakannya lalu Rasulullah saw mengingatkan mereka berdua sekaligus memberitahu bahwa azab akhirat lebih pedih dari azab dunia. Hilal lalu berkata, Demi Allah aku berkata benar mengenai dia. Akan tetapi isterinya mendustakan. Maka Rasulullah saw bersabda:
“Saling melaknatlah diantara kalian berdua.” kemudian dikatakan kepada Hilal: ‘Bersaksilah.’ maka ia bersaksi atas nama Allah sebanyak empat kali bahwasanya ia tergolong orang-orang yang benar. Untuk sumpah yang kelima kalinya (beliau saw) berkata kepada Hilal : ‘Wahai Hilal bertaqwalah kepada Allah karena sesungguhnya azab dunia itu lebih ringan dibandingkan azab akhirat, dan seungguhnya kewajiban ini yang ditimpakan atasmu merupakan azab. Maka Hilal pun berkata: ‘Demi Allah, Allah tidak akanmengazabku karena hal ini sebagaimana juga tidak akan memberikan hukum cambuk atas perkara ini.’ lalu ia bersaksi pada ucapan seumpahnya yang kelima bahwasanya laknat Allah akan menimpanya jika ia tergolong orang-orang yang dusta. Setelah itu beliau saw berkata kepada isteri Hilal, bersaksilah, maka iapun bersaksi atas nama Allah sebanyak empat kali bahwasanya suaminya itu tergolong orang-orang yang dusta. Tatkala untuk yang kelima kalinya maka dikatakan kepadanya, bertaqwalah kepada Allah karena sesungguhnya azab dunia itu lebih ringan dibandingkan azab akhirat, dan sesungguhnya kewajiban ini yang ditimpakan kepadamu merupakan azab. Kemudian ia /isteri Hilal tampak kketakutan beberapa saat, lalu berkata, demi Alah aku tidak mau mencreng arang di wajah kaumku. Maka iapun nersaksi untuk kali yang kelima bahwasanya murka Allah atas dirinya jika memang ia tergolong orang-orang yang benar . Dan Rasulullah saw pun memisahkan keduanya serta diputuskan bahwa terhadap isterinya itu ia tidak berhak lagi (nafkah) tempat tinggal maupun makanan.
Apabila seorang laki-laki (suami) menuduh isterinya berzina, misalnya dengan mengatakan kepada isterinya itu sebagai pezina, atau kata-kata wahai pezina, atau bahwa aku telah melihat engkau berzina, sementara ia tidak dapat mendatangkan bukti maka atasnya dikenakan had (qadzaf) apabila menolak melakukan li’an. Dan jika sang suami bersedia melakukan li’an sedangkan sang isteri menolak melakukan i’an, maka atas sang isteri dikenakan hukum had, sebagaimana firman Allah SWT :
“Iaterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali.” (An-Nuur: 8)
bentuk azab yang dihindarkan atasnya adalah azab sebagaimana yang disebut dalam firman Allah SWT :

“dan henaklah (pelakasanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (An-Nuur: 2)

karena Hilal bin Umayah tatkala menuduh istereinya dan mendatangi Nabi saw, maka diberitahukan kepadanya agar dikirim utusan kepada isterinya dan keduanya kemudian saling melaknat. Keadaan ini bersifat khusus, tidak sama dengan keadaan-keadaan yang telah ditetapkan dalam perkara zina, yaitu keadaan yang apabila sang suami menuduh isterinya berzina maka tetaplah ia dengan laknatnya itu dan sang isteri tidak melaknatnya.
Apabila sang isteri juga melakukan li’an, maka tidak ditetapkan (had). Dan jika li’an itu terbukti (atas isterinya) maka diputuskan atasnya hukum zina sehingga wajib atasnya dijatuhkan hukuman had karena li’an suaminya itu.
Apabila keduanya saling melaknat, maka halim harus memisahkan keduanya dan tidak boleh dikumpulkan selama-lamanya, karena Nabi saw telah memisahkan kedua orang yang saling melaknat. Diriwayatkan dari Malik melalui Nafi’ dari Ibnu Umar :

“Bahwasanya seorang laki-laki telah melaknat isterinya pada masa Nabi saw dan disingkirkannya dari anak (isteri) nya. Lalu Rasul memisahkan keduanya dan anak turut bersama Ibunya.”
Diriwayatkan pula dari Sahal bin Sa’ad yang berkata:

“Kemudian berlangsunglah sunnah tersebut. setelah itu bagi kedua pelah pihak yang saling melaknat harus dipisahkan dan tidak boleh dikumpulkan selama-lamanya.”

Pemisahan (suami-isteri) karena sebab li’an merupakan faskh (pembatalan perkawinan), sebab sang isteri diharamkan (bagi suaminya selama-lamanya. dan tidak halal atas sang duami meskipun berdusta terhadap dirinya sendiri, kecuali jika sang suami (ingin) kembali dan mengakui kedustaannya, maka sang isteri berhak menjatuhkan had atas suaminya itu, dan nasab anaknya m erujuk kepada bapaknya, baik ia mengakui kedustaannya itu sebelum melakukan li’an terhadap isterinya atau sesudahnya.
Li’an yang menyebabkan sang suami bebas dari hukuman had dan hukuman had itu diharuskan atas isterinya apabila ia membatalkan li’annya itu dan di depan hakim ia mengatakan atas nama Allah bahwa isterinya telah berzina sambil menunjuk ke arah isterinya. Jika isterinya tidak hadir di majlis itu maka cukuplah disebut nama dan keturunanannyasampai ucapannya itu disempurnakan empat kali, kemudian tatkala hendak mengucapkan sumpahnya yang kelima hendaknya dikatakan kepada sang suami, bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya hal ini diwajibkan atasnya, sedangkan azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat. Belum diterima (sumpahnya) kecuali sempurna perkataannya, dan laknat Allah atasnya jika ia tergolong orang-orang yang dusta terhadap apa yang dituduhkan pada isterinya dengan tuduhan zina. Dan sang isteri berkata: aku bersaksi atas nama Allah bahwa ia telah berdista, sebanyak empat kali, sebelum diucapkan sumpahnya yang kelima ia berhenti seraya diperingatkan (dengan azab Allah) sebagaimana yang dilakukan pada suaminya. Belum diterima (sumpahnya) kecuali sempurna perkataannya dengan, murka Allah akan menimpanya (isteri) jika ia (suami) tergolong orang-orang yang benar terhadap apa yang dituduhkan dengan tuduhan zina. Apabila keduanya mempunyai anak, maka anak itu disebutkan dalam li’an. Maka apabila ia berkata, aku bersaksi atas nama Allah bahwa ia telah berzina , dan berkata dan aku tidak mengakui anak ini sebagai anakku. Sementara sang isteri berkata, aku bersaksi atas nama Allah bahwa ia berdusta, dan anak ini adalah anaknya.
Demikianlah tata-cara bagi orang yang melakukan li’an. Begitu pula dijelaskan kalimatnya secara redaksional. Oleh karena itu apabila seorang wanita melahirkan dan suaminya mengatakan bahwa anak ini bukan anaknya, atau berkata bahwa ini bukan anaknya, atas sang suami tidak dienakan hukuman had karena ini bukanlah tuduhan berzina, melainkan mempertanyakan saja. Berbeda jika dikatakan ia telah berzina dan melahirkan anak perzihannya itu, maka ini termasuk qadzaf yang mengharuskan li’an. Jika berkata bahwa aku kira ia (sang anak) bentuknya tidak menyerupaiku atau kata-kata yang menggauli isterinya merip dengannya, atau kata-kata yang serupa, maka hal itu tidak dikenakan hukuman had, dan sang anak berhak menggunakan nasabnya, disebabkan perkara ini tidak tergolong qadzaf, juga tidak termasuk perkara li’an. Karena syarat li’an mengharuskan adanya qadzaf.



KEKUASAAN BAPAK
Oleh karena kedudukan Bapak sebagai kepala rumah tangga, panglima dan pemimpin rumah tangga sudah semestinya jika ia memiliki wewenang (kekuasaan) atas rumah tangga. Ia adalah wali bagi anak-anaknya, baik anak-anaknya itu masih kecil ataupun yang sudah besar dan belum baligh, laki-laki ataupun wanita, dalam perkara jiwa maupun harta, meskipun anaknya yang masih kecil itu berada dalam pengasuhan ibunya ataupun kerabatnya.
Seseorang baik ia masih kecil ataupun sudah besar, dan yang sudah besar sudah berakal atau tidak berakal. Apabila seorang anak telah besar dan berakal tidak ada seorang pun yang memiliki wewenang atas jiwa maupun hartanya, malah ia sendirilah yang memiliki wewenang atas perkara-perkara yang menyangkut dirinya. Dan apabila seorang anak itu masih kecil atau sudah besar tetapi tidak berakal seperti gila atau kurang waras, maka mereka tidak memiliki wewenang atas diri mereka sendiri disebabkan adanya kelemahan pada mereka, oleh karena itu wewenangnya berada di tangan sang Bapak. Dan wewenangini tetap berlaku selama anak-anaknya itu memiliki predikat masih kecil atau tidak berakal. Akan tetapi jika sang anak yang kecil tadi sudah mencapai baligh atau anaknya yang besar tetapi gila tadi telah sembuh dari penyakit gila atau idiotnya, maka wewenang bapaknya tadi atas mereka terputus. Jadi merekalah yang menjadi wali atas urusan mereka sendiri. Sementara wewenang bapaknya terhadap mereka mencakup perkara-perkara sunnah dan perbuatan terpuji, sebab seorang bapak tetap selama memiliki wewenang tersebut.

PEMELIHARAAN ANAK

Pemeliharaan anak merupakan suatu kewajiban karena apabila ditinggalkan anak akan binasa/celaka. Perkara ini menyangkut pemeliharaan jiwa yang elah diwajibkan oleh Allah SWT, oleh karena itu wajib memeliharanya dari kebinasaan dan menyelamatkan dari sesuatu yang membinasakan. Namun demikian meski pemeliharaan anak itu merupakan suatu kewajiban tetapi hal ini terkait dengan hak yang dimiliki oleh kerabatnya, sebab merekapun dalam pemeliharaan anak mempunyai hak. Pemeliharaan merupakan hal setiap anak (bayi), dan segala sesuatu diwajibkan Allah SWT atas mereka untuk memiliharanya. Sedangkan hak pemeliharaan sebagaimana yang telah diwajibkan Allah SWT untuk melakukannya maka hal ini khusus bagi yang berhak atas pemeliharaan tersebut, tidak bersifat umum. Maka pemeliharaan anak tidak diserahkan kepada orang yang tidak memiliki anak karena dengan sendirinya akan membahayakan. Berdasarkan hal ini tidak dibolehkan dengan tegak pengasuhan diserahkan kepadaanak kecil atau anak cacat mental, karena keduanya tidak mampu mengurusnya, sedangkan mereka sendiri membutuhkan orang untuk memliharanya lalu bagaimana mungkin akan memlihara orang lain.
Dengan demikian urusan pemeliharaan tidak diserahkan kepada orang yang dapat melantarkan karena kelengahannya atau kesibukannya dengan aktivitas lain sehingga tidak memungkinkan mngasuhnya, atau memiliki sifat-sifat fasik misalnya, akibatnya anak kelak akan berkembang dengan sifat-sifat yang rusak, sebab kerusakan itu dianggap suatu kebinasaan. Adapun orang yang kafir tidak dapat dibaangkan bahwa seorang anak yang bapaknya kafir sedangkan ibunya seorang muslimah, karena tidak diperbolehkan seorang wahita muslimah menikah dengan laki-laki kafir. Jika demikian halnya maka yang berhak memelihara anak adalah ibu anak itu atau selain dia. Dalam keadaan seperti ini perlu diperhatikan: apabila anak itu usianya mulai meningkat, mulai berakal sehingga dapat membedakan antara perlakuan ibunya dengan perlakuan bapaknya, serta usianya sudah lewat masa disapih, maka ia diharuskan memilih diantara kedua orang tuanya tadi, yang mana yang dipilih dan ia akan turut bersamanya. telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Abdul Hamid bin Ja’far dari bapaknya dari kakeknya Rafi’ bin Sinan:
“Bahwa sesungguhnya ia telah masuk islam sedangkan isterinya menolak masuk islam, lalu si isteri datang kepada Nabi saw, kemudian ia berkata: ‘Ini adalah anak perempuanku, dan ia telah disapih atau serupa dengan itu.’ Rafi’ kemudian berakata: ‘Ini adalah anak permpuanku.’ Lalu Nabi saw bersabda kepada Rafi’ : ‘Duduklah di sebelah sana.’ dan beliau bersabda kepada isteri Rafi’ : ‘Duduklah di sebelah sana.’ Kemudian beliau meletakkan si anak di tengah-tengah antara keduanya, lalu bersabda (kepada keduanya) : ‘panggillah dia.’ Maka si anak condong kepada ibunya, kemudian Nabi saw berdo’a: ‘Ya Allah, berilah anak itu petunjuk.’ Si anakpun kemudian condong kepada bapakny, kemudian diambillah ia oleh bapaknya.”

Hadits ini telah diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Nasa’i dengan redaksi lain tetapi maknanya sama sebagaimana riwayat di atas.

Jika anak itu masuh kecil dan saat itu usianya belum mengerti tentang sesuatu, belum dapat embedakan pergaulan ibunya atau bapaknya, baik anak itu pada usia sapihan, lebih rendah atau lebih tinggi tetapi anak itu lebih dekat kepada ibunya, maka ia tidak diberi pilihan, sehingga anak itu diikutkan kepada ibunya. Hal ini sejalan dengan dengan pemahaman dalam hadits riwayat Rafi’ bin Sinan sebelumnya. Sebab yang pasti bahwa ibu lebih berhak dalam perkara pemeliharaan anak, dan tidak ada nash yang melarang seorang ibu memelihara anaknya. Disini tidak dapat dikatakan bahwasanya pemeliharaan anak merupakan suatu wewenang (kekuasaan), sehingga orang yang kafir tidak boleh menguasai orang muslim, sebab fakta menunjukkan bahwa perkara ini merupakan pengasuhan dan pelayanan, bukan termasuk suatu wewenang (kekuasaan) serta tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum mengenai wewenang (kekuasaan).
Seorang ibu lebih berhak dalam urusan pemeliharaan anak dananak yang kurang berkembang akalnya jika ia bercerai. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash:

“Sesungguhnya seorang perempuan pernah bertanya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang menjadi tempatnya, puting susukulah yang menjadi tempat air minumnya, pangkuankulah yang menjadi tempat bernaung, sedangkan bapaknya menceraikanku dan menginginkan mengambil (anak)nya dari sisiku.’ Maka Rasulullah saw bersabda: ‘Engkau lebih berhak (memelihara)nya sebelum engkau menikah lagi.”

dan diriwayatkan darai Ibnu Abi Syaibah dari Umar, bahwasanya ia (Umar) telah menceraikan Ummu ‘Ashim. Maka Umarpun beruaha mengambil anak itu dari ibunya, sehingga terjadi tarik menarik diantara keduanya sampai anak itu menangis. Keduanya lalu mendatangi Abu Bakar Ash-Shidiq, seraya berkata:

“Kandungan, oangkuan dan asuhannya lebih baik baginya dari padamu (Umar) hingga ia beranjak dewasa dan dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.”

Jika seorang ibu kurang baik dalam pengasuhan anak sehingga syarat-syarat yang disebutkan di atas tidak dipenuhi, atau sebagian syarat tidak terpenuhi, misalnya ia telah kawin atau akalnya terganggu, atau yang semisal dengan itu maka sang ibu boleh melepaskan anaknya dan menyerahkan kepada yang berhak. Apabila kedua orang tua sama-sama kurang baik dalam pengasuhan maka anak itu berpindah lagi pada yang lebih berhak, karena keduanya tidak sanggup. Seorang ibu lebih pantas dalam pengasuhan anak, kemudian neneknya terus berlanjut silsilahnya ke atas dari kalangan keluarga yang terdekat , sebab mereka adalah wanita yang melahirkan. Inilah makna seorang ibu, kemudian baru bapaknya, lalu neneknya, kakeknya, lalu nenek dari bapaknya, kemudian kakek dari bapaknya, kemudian neneknya, meskipun mereka tidak mewarisi, karena mereka (yang wanita) menunjukkan garis siapa yang berhak atas pengasuhan anak. Apabila kaum laki-laki dan wanita (sebagaimana yang sisebut di atas) tidak mampu meka pengasuhan ini berpindah kepada saudara-saudara perempuan mereka, didahulukan saudara perempuan dari kedua orang suami-isteri itu, kemudian saudara perempuan dari bapaknya, lalu saudara perempuan dari ibu isteri. Didahulukan yang wanita daripada laki-laki, karena wanita lebih layak dalam hal pengasuhan anak, maka wanita itu didahulukan daripada laki-laki yang derajatnya sama. Jika yang wanita tidak ada maka saudara laki-laki dari pasangan itu didahulukan, kemudian saudara laki-laki dari pihak bapak, lalu anak-anak dari bapak dan ibu, dan tidak boleh pemeliharaan anak dari saudara laki-laki oihak ibu. Apabila mereka tidak ada maka pengasuhan anak diserahkan kepada para bibi dari pihak ibu, jika tidak didapati berpindah kepada pada bibi dari pihak bapak. Apabila tidak ada maka pengasuhan anak diserahkan kepada para paman, yang pertama kepada para paman dari kedua suami-isteri itu, jika tidak ada berpindah kepada paman dari pihak bapak dan pengasuhan tidak boleh diserahkan kepada paman dari pihak ibu. Jika mereka semua tidak ada, maka pengasuhan anak diserahkan kepada bibi dari pihak ibu, lalu bibi dari pihak bapak, kemudian paman dari pihak bapak, dan tidak diserahkan kepada paman dari pihak ibu, sebab mereka semua mengalir dari pihak ibu, serta tidak berhak mengasuh anak.
Hak pengasuhan anak tidak berpindah kepad aselain orang-orang yang berhak kecuali memang mereka tidak ada atau tidak mampu (sanggup). Adapun apabila ia meninggalkan orang yang berhak mengasuh anak, maka hal itu tidak diserahkan (berpindah) melainkan kepada orang sesudahnya yang berhak memelihara anak dan mampu, sebab pengasuhan anak itu walaupun hak atasnyaakan tetapi dalam waktu yang sama merupakan kewajiban baginya. Dan hak bagi orang yang dipelihara tidak boleh ditinggalkan kecuali dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan dalam pengasuhan anak. Pada saat itu pengasuhan anak berpindah kepada orang yang sesudahnya sebagaimana urutan yang telah dijelaskan sebelumya.

Jika orang yang telah melepaskan kewajibannya itu kembali ingin menunaikan kewajibannya serta mampu memlihara anak, maka hal itu boleh dilakukannya, dan anak yang dipelihara itu kembali kepadanya. Demikian pula apabila ibunya telah menikah lagi sehingga hak pengasuhannya hilang, lalu diceraikan oleh suaminya yang kedua, maka hak pemeliharaan anak itu kembali kepadanya. Begitu pula setiap kerabat yang memiliki hak dalam pengasuhan jika hilang hak itu karena suatu halangan, kemudian halangan itu lenyap maka hak pengasuhan itu kembali kepadanya karena sebabnya telah muncul kembali.
Apabila terdapat suatu jama’ah yang berselisih mengenai anak, siapa yang lebih berhak (pada urutan berikutnya) mengenai pengasuhan. Dari Barra’ bin ‘Azib bahwa anak perempuannya Hamzah diperselisihkan antara Ali Ja’far dan zaid. Maka Ali berkata, aku lebih berhak atas anak pamanku, sementara Ja’far mengatakan ia anak pamanku dan bibinya adalah isteriku, sedangkan Zaid berkata : ia anak saudaraku. Maka Rasulullah saw memutuskan untuk diserahkan kepada bibinya seraya bersabda :
“Bibi kedudukannya sama seoerti Ibu.”

Semua ini adalah pembahasan yang membutuhkan pemeliharaan dilihat dari aspek bahwa ia harus dijaga dari kebinasaan. Adapun anak yang mampu tanpa pemeliharaan, maka dengan kemampuannya itu 'illat kafalah (pemeliharaan anak) menjadi hilang dan bersama dengan tidak adanya 'illat hilang pula hukumnya, yaitu kewajiban memeliharanya dan bagi kerabat dalam pemeliharaan. dalam keadaan seperti ini perlu diperhatikan, apabila ia termasuk orang yang berhak memeliharanya seperti ibu misalnya tetapi berada dalam kekafiran, maka di anak diambil dan diserahkan kepada orang yang memiliki wewenang atas anak tersebut, sebab faktanya menunjukkan (anak yang mampu tanpa pemeliharaan) masalah wilayah (wewenang) bukan kafalah (pemeliharaan). dalam perkara wilayah tidak boleh diserahakn kepada orang kafir, karena Allah SWT berfirman :

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang berima.” (An-Nisaa: 141)

Rasulullah saw bersabda :

“Islam itu tinggi dan tidak akan pernah terkalahkan (tingginya).”
Nash-nash ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Sedangkan hadits mengenai pengasuhan anak tidak sesuai dengan onteks perbindangan di atas, yaitu dalam keadaan sang anak tidak memerlukan pengasuhan. Adapun mengenai siapa yang (berhak) memelihara dan siapa yang memiliki wewenang (wilayah) seperti bapak atau ibu yang muslim, maka pemuda atau pemudi, yaitu anak laki-laki atau memilih apakah turut bersana bapak atau ibunya. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah serta Tirmidzi :

“Dari Abu Harairah bahwasanya Nabi saw (menyuruh) memilih seorang anak laki-laki antara (mengikuti) bapaknya atau ibunya.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud :

“Sesungguhnya seorang wanita telah datang (kepada Rasulullah saw) seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya seuamiku pergi membawa serta anakku, padahal anakku telah mengambilkan air minumku dari sumur anabah dan ia benar-benar bermanfaat bagiku. Kemudian Nabi saw bersabda : ‘undilah dia’ Suaminya lalu berkata: ‘Siapa yang berani berkata macam-macam tentang anakku ? Lalu Nabi saw bersabda (kepada anak itu) : Ini ayahmu dan ini ibumu, ambillah tangan salah satunya mana yang engkau sukai.” Kemudian anak itu mengambil tangan ibunya, lalu perempuan itu pergi dengan membawa anak tersebut.”

Dan telah dikeluarkan oleh I,a, Baihaqi dari Umar bahwasanya ia telah (menyuruh) seorang laki-laki memilih antar mengikuti (turut) bersama bapak atau ibunya. Dikeluarkan pula dari Ali bahwasanya ia (menyuruh) memilih kepada Amarah al Judzami antara ibu dan bibinya, sedangkan usianya saat itu tujuh atau delapan tahun. Hadits-haidts ini jelas dan menjadi dalil bahwa apabila terdapat perselisihan antara bapak dan ibu mengenai anaknya maka harus dilakukan pilihan terhadap anak, siapa yang akan diikutinya.

Adapun keraguan terhadap riwayat Abu Daud, maka hal itu tidak disebutkan dalam riwayat An-Nasai, begitu pula dalam riwayat-riwayat lainnya, yaitu keadaan dimana tidak adanya pilihan terhadap anak kepada kedua orang tuanya.
Dan pilihan itu tidak terikat dengan umur tertentu, melainkan hal itu dikembalikan kepada hakim sesuai dengan pandangannya untuk menentukannya berdasarkan pengalaman, Jika mereka mengatakan bahwa ia tidak lagi membutuhkan pemeliharaan atau pengasuhan, lalu hakim menerima pendapat tersebut, maka diberikan (terhadap anak itu) pilihan, dan bila tidak diserahkan kepada orang yang berhak memeliharanya. Dan penetuan kondisi itu memang mungkin berbeda-beda keadaannya. Mungkin seorang anak yang berusia lima tahun tidak agi memerlukan pemeliharaan, atau usianya sudah tujuh tahun tetapi masih memerlukan pemeliharaan, atau usianya sudah tujuh tahun tetapi masih memerlukan pemeliharaan. Maka yang diambil disini tergantung dari fakta anak tersebut, apakah masih memerlukan pemeliharaan ataukah tidak memerlukan lagi.

SILATURRAHMI

Sesungguhnya Allah SWT telah melarang fanatisme jahiliyah, melarang fanatisme kesukuan sebagai pengikat antara ummat Islam, dan melarang penerapan fanatisme ini dalam hubungan antar kaum muslimin. Namun demikian Allah SWT memerintahkan agar senantiasa melakukan hubungan dengan kerabat serta berbuat baik terhadap mereka. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw, siapa yang paling berhak menerima perbuatan baik yang kulakukan, maka beliau menjawab:

“Ibumu, kemudian bapakmu, lalu saudara perempuanmu, baru saudara laki-lakimu.”
dalam versi lain disebut dengan lafadz:

“Dan tuanmu yang lebih dekat kepadamu, hak dan kewajiban serta kasih sayang tetap tidak terputus.”
dari Asma’ binti Abubakar ra yang berkata:

“Ibuku (biasa) datang kepadaku, sedangkan ia seorang musyrik pada masa Rasulullah saw, maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah saw. Aku berkata, Ibuku (biasa) datang kepadaku (untuk mendapatkan pertolonganku) sedangkan ia amat benci (terhadap Islam), bolehkah aku berhubungan dengan ibuku? beliau saw menjawab: Ya, hubungilah ibumu.”

Islam telah menjadikan kerabat itu ada macam, yang pertama yaitu kerabat yang mewariskan terhadap seseorang jika ia meninggal, sedangkan yang kedua yaitu yang memiliki hubungan silaturrahmi. Adapun orang-orang yang berhak mendapatkan warisan adalah orang-orang yang tercantum dalam daftar penerima warisan. sementara orang-orang yang memiliki hubungan silaturrahmi adalah selain mereka dan mereka yang tidak mendapatkan bagian dari waris, bukan pula para ashabah. Mereka itu adalah sepuluh orang, terdiri dari bibi dari bapak maupun ibu, kakek dari ibu, putera dari anak perempuan, putera dari saudara perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, puteri dari paman pihak bapak maupun pihak ibu, paman dari ibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan siapa saja yang memiliki hubungan dekat dengan mereka. Allah SWT mejadikan mereka tidak berhak mendapatkan warisan secara mutlak, dan tidak wajib seseorang memberikan nafkah kepada mereka. Meskipun demikian Allah SWT memerintahkan hubungan silaturrami dengan mereka serta eberbuat kebaikan terhadap kerabat secara keseluruhan. dari jabir ra bahwasanya Nabi saw bersabda :

“Apabila sesorang diantara kamu faqir, maka hendaklah dimulai dari dirimu, dan apabila ia masih memiliki kelebihan hendaknya diberikannya kepada keluarganya, dan jika masih memiliki kelebihan hendaknya diberikannya kepada kerabatnya.”
Diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al Anshari bahwasanya seorang laki-laki telah berkata:

“Wahai Rasulullah, beritahukanlahj kepadaku amal perbuatan yang dapat memasukkanku ke surga....

Bersabda Nabi saw, menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan dengan-Nya sesuatu apapun, mendrrikan shalat, menunaikan zakat dan melakukan silaturrahmi.”
hadits ini memerintahkan silaturrahmi, tetapi tidak dijelaskan baik dalam hadits ini maupun hadits-hadits lainnya yang berkaitan dengan silaturrahmi, apakah yang dimaksud kerabat (keluarga) dekat saja atau setiap orang yang memiliki hubungan silsilah dengan seseorang yang tergolong keluarga dekat tadi(?)

Yang jelas, hadits-hadits itu bersifat umum, tercakup di dalamnya setiap orang yang berhak mendapatkan silaturrahmi, baik muhrim maupun bukan muhrim, dari kalangan ahli waris maupun bukan. Semua itu dapat dibenarkan, karena tergolong dzawil arham. Terdapat banyak hadits berkenaan dengan silaturrahmi, misalnya Rasulullah saw bersabda :
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturrahmi.”
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rizqinya, ditunda umurnya hendaknya menghubungkan silaturrahmi (keluarganya)

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda :

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan makhluk dan tatkala selesai bangkitlah rahim (tali persaudaraan) dan berkata : Disnilah tempat berlindung kepadamu dari pemboikotan (putus hubungan) Jawab Allah : Ya, apakah kau belum puas bahwa aku akan menghubungi orang yang menghubungi engkau, dan memutus orang yang memutus engkau. Rahim menjawab : baiklah. Allah SWT melanjutkan : Itulah bagianmu. Kemudian Nabi saw bersabda : bacalah olehmu ayat :

“Apakah sekiranya kamu berkuasa, lalu mangacau di bumi dan memutuskan hubungan sanak saudara? (Muhammad : 22)

Rasulullah saw bersabda :

“Bukanlah yang disebut menghubungkan persaudaraan itu orang yang membalas hubungan baik, tetapi menghubungkan persaudaraan itu adalah jika keluarga sahabat itu memutuskan hubungan lalu menyumbungkan kembali hubungan itu.”
Semua ini menunjukkan dorongan untuk melakukan silaturrahmi. Dan silaturrahmi itu menunjukkan sejauh mana hubungan dan kasih sayang antara jama’ah islamiyah yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT, begitu juga dalam hubungan kekerabatan satu dengan yang lain, sekaligus saling bekerja sama diantara mereka. Dan sejauh mana perhatian syari’at Islam mengenai tata aturan pertemuan antara laki-laki dan wanita, dan pengaturan segala sesuatu yang muncul dari pertemuan hubungan tadi serta segala sesuatu yang menjadi bagian (furu’). Dengan demikian syari’at Islam dengan hukum-hukumnya dalam aspek sosial kemasyarakatan di tengah-tengah masyarakat merupakan peraturan sosial yang paling baik dan layak bagi ummat manusia.


Selesai

No comments: