Wednesday, April 18, 2007

Thalaq (perceraian)

Sebagaimana Allah SWT telah mensyari’atkan pernikahan, disyari’atkan pula adanya perceraian (thalaq). Landasan disyari’atkannya thalaq tercantum dalam Al Qur'an, As-Sunnah dan ijma’ Shahabat. Di dalam Al Qur'an Allah SWT berfirman :

“thalaq (yang dapat dirujuk kembali) ada dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik.” (Al Baqarah: 229)

“Hai Nabi, apablia kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) (Ath-Thalaq: 1)

Adapun yang tercantum dalam As-Sunnah , telah diriwayatkan dari Ummar bin Khaththab :

“Bahwasanya Nabi saw pernah menthalaq Hafshah, kemudian meruju’nya.”
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar yang berkata:

“Bahwasanya aku mempunyai isteri yang kucintai sedang ayahku tidak menyukainya, lalu ia menyuruhku agar menceraikannya tetapi aku menolak, kemudian ia (ayahku) menyampaikan hal itu kepada Nabi saw, maka beliau saw bersabda: ‘hai Abdullah bin Umar, ceraikanlah isterimu.’”
Begitu pula Ijma’ Shahabat telah menetapkan adanya thalaq.
Thalaq akan melepaskan tali ikatan pernikahan, dengan kata lin melepasakan simpul perkawinan. Bukan berarti bolehnya thalaq itu merupakan pertanda adanya ‘illat syar’i, karena nash-nash yang mencantumkan masalah thalaq tidak mengandung 'illat apapun, baik nash Al Qur'an maupun Hadits . Thalaq tergolong perkara yang halal, sebab telah disyari’atkan kehalalannya dan tidak dikaitkan dengan sebab-sebab lainnya.
Thalaq yang sesuai dengan syara’ sebanyak tiga kali. Apabila jatuh perseraian maka berlaku thalaq ke satu, dan bagi suami boleh merujuk isterinya kembali pada masa 'iddah tanpa perlu aqad baru. Apabila jatuh perceraian kedua kalinya, maka berlaku thalaq kedua, dan bagi suami boleh merujuk isterinya kembali pada masa ‘iddah tanpa perlu aqad yang baru. Dan jika masa ‘iddahnya dalam dua keadaan di atas telah usai sedang sang suami tidak merujuk isterinya, maka isterinya menjadi baainah, atau disebut dengan istilah thalaq bain sughra. Tidak dihalalkan bagi suami merujuk kembali dengan isterinya kecuali dengan aqad dan mahar yang baru.
Dan apabila jatuh thalaq untuk ketiga kalinya, maka berlaku talak yang disebut sebagai talak bain kubra. Tidak diperbolehkan bagi suami merujuk isterinya kecuali setelah bekas isterinya itu kawin dengan laki-laki lain dan pernah berkumpul serta telah berakhir masa iddahnya.
Allah SWT berfirman :

“Thalaq yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh dirujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka janganlah kanu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum mereka itulah orang-orang zhalim. Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua) meka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami lain. Kemudian jika si suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat aakan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang mau mengetahui.” (Al Baqarah : 229-230)

Allah SWT memberi tahu kepada kaum muslimin dalam ayat ini bagaimana mereka melakukan talak, dengan firmannya: Thalaq itu dua kali.” kemdudian memberikan pilihan kepada mereka setelah pemberitahuan tersebut agar mereka tetap bergaul dengan isterinya degan pergaulan yang baik dengan melakukan kewajiban-kewajibannya, atau melepaskan isterinya dengan cara yang baik. Kemudian Allah SWT berfirman:
“Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah talaq yang kedua) maka perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” Dengan kata lain jika sang suami mentalak isterinya untuk ketiga kalinya, maka tidak halal lagi bagi sang suami atas isterinya itu hingga bekas isterinya itu kawin dengan laki-laki lain. Kemudian Allah SWT berfirman:
: “Kemudian jika si suami yang lain itu menceraikannya, meka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali.” Yaitu apabila diceraikan oleh suami yang kedua, maka boleh bagi suami yang pertama merujuknya kembali dengan aqad dan mahar yang baru.
Pelaku dari kata ‘Thallaqaha’ yang kedua kembali kepada pengertian yang lebih dekat sebagaimana tercantum dalam ayat ‘zaujan ghairahu’ yaitu suami yang kedua. Sedangkan pelaku yang merujuknya kembali kepada suami yang pertama, yaitu tidak adalarangan dari salah seorang keduanya untuk rujuk menjadi shahabat melalui perkawinan. Berdasarkan hal ini maka seorang suami memiliki hak atas isterinya sebayak tiga kali thalaq. Dua kali thalaq sebelumnya membolehkan sang suami langsung merujuk isterinya, sedangkan thalaq yang ketiga tidak membolehkannya langsung merujuk isterinya sampai bekas isterinya itu pernah menikah dengan laki-laki lain.
Thalaq itu berada di tangan pihak laki-laki bukan pihak wanita. Mengapa berada di tangan pihak laki-laki, karena memang Allah SWT telah menjadikan thalaq berada di tangan pihak laki-laki. Syara’ dalam hal ini tidak menurunkan 'illatnya, dan tidak boleh dicari-cari 'illatnya.
Memang jika kita lihat kenyataan mengenai perkawinan dan thalaq nampak bahwa perkawinan adalah awal kehidupan suami-isteri yang baru di mana pihak laki-laki dan wanita saling tolong-menolong dalam memilih satu dengan yang lain sebagai pasangannya sesuai dengan kehendaknya. Masing-masing dari keduanya menikah sesuai dengan orang yang dikehendakinya, atau tidak melakukan perkawinan dengan orang tersebut. Namun demikian apabila perkawinan telah berlangsung, dan kepemimpinan keluarga berada di tangan sang suami, begitu pula suami menjadi pemimpin atas isterinya, mak hal ini mengharuskan bahwa thalaq berada di tangan laki-laki (suami) dan menjadi haknya, sebab suami adalah kepada rumah tangga dan pemilik/pengatur keluarga. Atas dasar inilah hanya suami satu-satunya yang bertanggung jawab atas rumah dan dibebankan iakta perkawinan. Jadi wewenang ini sesuai ini sesuai dengan tanggungjawab. Pemisahan antara suami-isteri berada di tangan orang yang memimpin atas yang lainnya. Tetapi ini dilihat dari aspek fakta yang ada, bukan mencari-cari 'illat terhadap hukum syara’, sebabi hukum syara’ tidak diterima kecuali 'illat yang syar’i yang tercantum dalam teks nash syara’.
Namun demikian bukan berarti bahwa bila perceraian itu berada di tangan suami saja satu-satunya lalu tidak boleh bagi sang isteri untuk bercerai dan memisahkan dirinya dengan suaminya. Tetapi yang dimaksudkan di sini adalah bahwasanya wewenang thalaq itu hukum asalnya berada di tangan suami secara mutlak, tidak terikat dengan situasi dan kondisi, bahkan ia bisa kapan saja menjatuhkan thalaq merskipun tanpa sebab. Namun wanita 9isteri) boleh meminta cerai atas dirinya sendiri dan berpisah antara dia dengan suaminya dalam keadaan tertentu yang telah disebutkan dalam nash syara’. Syara’ telah membolehkan bagi wanita melakukan fasakh (pembatalan) aqad perkawinan dalam kondisi sebagai berikut:

1. Apabila suami menjadikan perkara thalaq ini di tangan isteri. Maka di tangannyalaj ia menceraikan dirinya sesuai dengan pemberian wewenang tersebut dari suaminya. Misalnya dengan mengatakan ‘Aku ceraikan diriku sendiri dari suamiku yang bernama fulan’, atau dengan kalimat yang pendek ‘aku ceraikan diriku darinya’. Jadi tidak dengan kata-kata ‘aku dceraikan kamu, atau kamu kuceraikan, sebab perceraian itu dijatuhkan atas wanita (isteri) bukan terhadap suami, meskipun (dalam hal ini) thalaq berasal dari isteri. Dengan demikian dibolehkan sang suami menjadikan perkara thalaq itu berada di tangan isteri, karena Rasulullah saw telah memberikan pilihan kepada isterinya (untuk melakukan thalaq atau tidak) disamping berlandasakan pada ijma’ shahabat.

2. Apabila sang isteri mengetahui bahwa suaminya memiliki cacat sehingga tidak dapat melakukan hubungan suami-isteri, seperti penyakit impotensi, telah dikebiri, sedangkan pihak isteri tidak memiliki penyakit-penyakit sejenis itu. Maka dalam keadaan seperti ini sang isteri dapat meminta faskh atas pernikahannya dengan suaminya. Apbila seorang penguasa menjumpai ‘aib tersebut maka diundur hingga tempo satu tahun, tetapi jika suaminya tidak menggauli sang isteri maka sang isteri dapat meminta fasakh atas pernikahannya. Telah diriwayatkan bahwasanya Ibnu Mundzir telah menikah dengan salah seorang wanita sedangkan ia sendiri telah dikebiri, kemudian Umar berkata kepadanya ‘apakah kamu sudah memberi tahu isterimu’ ia menjawab: ‘belum’, lalu Umar berkata ‘beritahu isterimu kemudian biarkan ia melakukan pilihan.’ Diriwayatkan pula bahwa Umar telah memberikan tempo terhadap masalah impotensi ini satu tahun lamanya. Apabila sang isteri menjumpai bahwa kemaluan suaminya terpotong atau tidak dapat ereksi maka saat itu juga sang isteri berhak melakukan khiar. tidak dibiarkan menunda-nunda waktu lagi, karena (keinginan) melakukan hubungan suami-isteri tidak dapat ditunda dan tidak ada artinya menunggu.

3. Apabila sang isteri melihat baik sebelum maupun sesudah dukhul bahwa suaminya mengidap suatu penyakit yang tidak memungkinkan tinggal bersamanya tanpa bahaya, seperti penyakit kulit, lumpuh, atau terkena penyakit sejenis itu. Maka bagi sang isteri dapat mengadukannya kepada hakim dan meinta untuk berpisah dengan suaminya. Tuntutannya dapat diterima apabila (suaminya) memang emngidap penyakit tersebut, dan tidak ada peluang untuk sembuh dalam jangka waktu tertentu. Khiar (bagi) sang isteri bersifat tetap bukan sementara, sebagaimana yang tercantum dalam kitab Muwaththa, karangan Imam Malik yang memperoleh berita dari Said bin Musayyab yang berkata :

“Laki-laki manapun yang telah menikahi seorang wanita , sedangkan (laki-laki tersebut) mengidap suatu penyakit gila atau berbahaya maka isterinya berhak melakukan khiar, boleh tetap tinggal bersama jika ia menghendakinya, boleh juga berpisah jika ia menghendakinya.”

4. Apabila seorang suami setelah aqad nikah dilakukan terkena penyakit gila, maka bagi sang isteri dapat mengadukan hal itu kepada Qadli dan menuntut untuk berpisah dari sang suami. Qadli dapat menunda berpisahnya mereka sampai satu tahun, jika penyakit gila suami tidak sembuh dalam jangka waktu tersebut, sementara sang isteri tetap dalam tuntutannya maka qadli memutuskan untuk memisahkan mereka sesuai dengan apa yang tercantum dalam kitab Muwaththa tersebut diatas.

5. Apabila sang suami melakukan perjalanan ke suatu tempat, baik dekat maupun jauh, kemudian menghilang dan terputus kabar beritanya serta isteri terhalang mendapatkan nafkahnya, maka isteri berhak menutut berpisah dari suaminya setelah diusahakan secara sunguh-ssungguh untuk mencari dan menemukannya, sebagaimana sabda Rasulullah saw berkenaan dengan sang isteri yang berkata kepada suaminya :

“Berilah aku makan jika tidak maka tinggalkanlah (aku).”
Tidak diberinya makan merupakan illat untuk berpisah.

6. Apabila sang suami tidak memberi isterinya nafkah padahal ia berada dalam keadaan lapang, dan sang isteri terhalang memperoleh harta suaminya untuk keperluan nafkah dilihat dari berbagai sudut, Maka sang isteri dapat menuntut perseraian, dan qadli dapat memutuskan untuk menceraikan dari suaminya saat itu juga tanpa ditunda-tunda, sebab Rasulullah saw bersabda :

“Isterimu merupakan tanggungan engkau yang memiliki harta, (sehingga mereka mengatakan) berilah aku makan, jika tidak, maka tinggalkanlah (aku).”

Begitu pula Umar ra pernah menulis surat kepada seorang laki-laki yang menghilang dari isteri-isterinya, kemudian memerintahkan laki-laki tersebut untuk memberi isteri-isterinya nafkah atau menceraikan mereka. Sementara para shahabat mengetahui peristiwa itu dan tidak satupun yang menyanggahnya, maka hal ini menunjukkan ijma’ mereka.

7. Apabila diantara suamiisteri itu nampak pertentangan dan perselisihan maka sang isteri dapat meminta untuk berpisah. Qadli dapat menentukan juru damai dari ihak isteri dan suami. Dewan keluarga inilah yang akan mendegarkan keluahan/pengaduan kedua belah pihak, kemudian berusaha dengan sungguh-sungguh melakukan suatu perbaikan. Bila tidak memungkinkan bagi keduanya untuk sepakat (kembali) maka dewan keluarga ini akan memisahkan keduanya sesuai dengan pandangannya dan mudah dilaksanakan. Allah SWT berfirman :

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-isteri itu.” (An-Nisaa: 35)

Dalam keadaan seperti ini syara’ memberikan kepada sang isteri hak untuk menceraikan dirinya dalam situasi pertama, berhak meminta berpisah dengan suaminya dalam situasi yang lain. Kenyataan mengenai keadaan tersebut memperlihatkan bahwasanya Syari’ (Allah SWT) memandandang seorang isteri itu sebagai shahabat bagi suaminya dalam kehidupan suami-isteri, dan setiap ketidak-bahagiaan dan kebencian yang terjadi di rumah tangga akan menimpa suami pasti juga akan menmpa isteri. Maka suatu keharusan untuk menjamin sang isteri agar terlepas dari kesengsaraan yang mungkin menimpakanya di rumah dengan memberi hak (isteri) untuk melepaskan ikatan perkawinan. Oleh karena itu Syari’ tidak membiarkan sang isteri terpaksa tetap tinggal bersama suaminya jika tidak didapati ketenangan hidup suami-isteri. Syara’ membolehkan sang isteri tidak mendapatkan kesempatan hidup berumah tangga atau tidak diperolehnya kebahagiaan hidup sebagai suami-isteri.
Berdasarkan hal ini jelas bahwasanya Allah SWT telah mejadikan thalaq berada di tangan suami, karena ia pemimpin atas isterinya, penanggungjawab rumah-tangga, dan memberikan kepada isteri hak untuk melakukan faskh terhadap perkawinan sehingga tidak menyengsarakan suaminya, serta tidak menjadikan rumah yang ditempatinya yang seharusnya menjadi sumber ketenteraman dan ketenangan menjadi tempat kesengsaraan dan kegelisahan bagi sang isteri.
Adapun apa yang menjadi 'illat dalam pensyariatan thalaq telah kami katakan bahwasanya nash-nash syara’ tidak memiliki 'illat dan tidak perlu dicari-cari 'illatnya, akan tetapi dalam perkara ini memungkinkan untuk menjelaskan fakta mengenai pensyariatan thalaq, dan mejelaskan tata-cara yang telah disebutkan dan disyari’atkan dalam perkawinan, serta perkara-perkara yang menyertainya. Sesungguhnya fakta mengenai perkawinan menunjukkan bahwa perkawinan merupakan sarana untuk membentuk keluarga serta terwujudnya ketenangan dalam keluarga tersebut. Apabila terjadi peristiwa dalam kehidupan suami pada suatu batas yang tidak memungkinkan kehidupan suami-isteri berlangsung (dengan tenteram), maka mau tidak mau harus ada dalam keadaan seperti ini jalan keluar bagi kedua belah pihak untuk berpisah satu sama lain, serta tidak boleh kedua belah pihak atau salah satu pihak memaksa agar tetap terikat pada tali perkawinan meskipun yang lain tidak menyukainya. Maka Allah SWT mensyari’atkan thalaq. Allah SWT berfirman :

“Thalaq yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al Baqarah : 229)

Dengan demikian kesengsaraan di dalam rumah tidak berlanjut dan berlarut-larut, serta kebahagiaan kehidupan suami-isteri tetap dapat berdiri di tengah-tengah masyarakat. Dan senugguhnya kelalaian menegakkannnya diantara kedua belah pihak (suami dan isteri) karena tidak adanya kesesuaian lagi diantara keduanya, maka terhadap keduanya harus diberikan kesempatan agar masing-masing berusaha mewujudkan ketenangan (kehidupan) suami-isteri.
Namun demikian Islam tidak menjadikan hanya kemarahan dan kebencian sebagai sebab untuk melakukan thalaq, malah Islam memeritahkan kepada suami isteri agar bergaul dengan cara yang baik serta mendorong agar bersabar dalam kebencian itu karena mungkin saja di dalamnya terdapat kebaikan. Allah SWT berfirman :

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa: 19)

Islam memerintahkan sang suai untuk melakukan berbagai langkah bila dikhawatirkan terjadi nusyus dari isterinya. Allah SWT berfirman :

“Wanita-wanita yang khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka.” (An-Nisaa: 34)
Demikianlah Islam memerintahkan menempuh segala cara baik yang lembut maupun yang tidak untuk menyelesaikan problematika yang terjadi antara suami isteri, penyelesaian yang dapat menghindarkan dari thalaq. Sehingga meskipun bergaul denga baik itu tidak menghasilkan apa-apaa, begitu pula dengan menempuh berbagai cara yang tegas tetap tidak membawa manfaat serta perkaranya telah sampai pada kebencian, permusuhan dan pertentangan hingga mencapai perselisihan dan sengketa. maka Islam tidak menjadikan thalaq sebagai langkah kedua merskipun krisis telah mencapai puncaknyam tetapi diperintahkan kepada kedua belah pihak menghadirkan wakil dari keluarganya untuk mengatasi masalah tersebut untuk kedua kalinya dengan upaya perbaikan sebagai firman Allah SWT :

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An-Nisaa: 35)

dan apabila kedua hakam ini tidak mampu mendamaikan antara suami-isteri karena tidak ada keinginan lagi untuk mempertahankan kehidupan suami-isteri dan segala upaya telah dilakukan, dan jiwa kedua belah pihak (suami-isteri) tidak dapat menerima penyelesaian kecuali dengan perceraian, maka pada saat itu harus dilakukan thalaq agar keduanya memperoleh ketenangan atau supaya ikatan ini terlepas dengan perceraian, Allah SWT berfirman :

“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunianya) lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa: 130)

Kendati demikian, thalaq ini tetap memberikan kepada kedua belah pihak hak suatu kesempatan, jadi bukan perpisahan yang bersifat tetap, malahan diberikan hak terhadap keduanya untuk rujuk (kembali) pertama dan kedua kali. Kadang-kadang muncul setelah thalaq yang pertama atau yang kedua keinginan baru untuk mengembalikan kehidupan suami-isteri untuk yang kedua kalinya setelah thalaq yang pertama, atau yang ketiga kalinya setelah thalaq yang kedua. Dari sinilah maka syara’ menjadikan thalaq itu sebanyak tiga kali. Allah SWT berfirman :

“Thalaq yang dapat dirujuk) ada dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang ma’ruf.” (Al Baqarah: 229)

Agar kedua suami-isteri itu kembali mengevaluasi dirinya masing-masing, dan kembali bertaqwa kepada Allah SWT yang terpusat di dada, mudah-mudahan keduanya berupaya mengembalikan kehidupan suami-isteri, ketentraman dan kesejahteraa yang belum pernah diraih sebelumnya. Atas dasara inilah Islam membolehkan seorang suami rujuk kembali dengan isterinya setelah thalaq yang pertama dan kedua. Begitu pula halnya telah dijadikan berbagai cara untuk emmbantu suami-isteri mengevaluasi masing-masing, kembali dapat memikirkan perkara tersebut, serta memandang dengan pandangan yang baru yang lebih luas yang dapat dipandang. Oleh kedua belah pihak mengenai perkara (thalaq) ini.
Islam menjadikan periode masa ‘iddah setelah thalaq tiga kali haidh, kurang lebih tiga bulan, atau setelah tampak kehamilannya. Syara’ mengharuskan sang suami untuk meberi nafkah dan tempat tinggal terhadap isterinya selama masa ‘iddah, melarang suami untuk mengeluarkan isterinya selama masa ‘iddah, hal ini akan melapangkan jalan diantara keduanya untuk kembali sekaligus awal babak kehidupan yang baru. Dan dalam aspek ini telah diwasiatkan dengan jelas di dalam al Qur’an al Kariim. Allah SWT berfirman :

“Apabila kema menthalaq isteri-isterimu, lalu mendekati akhir ‘iddahnya maka rujukilah mereka dengan cara yang ma/ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma/ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi mudharat, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barang siapa bersabda :buat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri.” (Al Baqarah: 231)

Apabila langkah ini tidak menghasilkan apa-apa, atau baru berhasil setelah thalaq yang pertama dan kedua hingga yang ketiga, meski semuanya telah dilakukan, namun sesungguhnya jika masalahnya makin mendalam dan mengakar, makin rumit dan makin bertambah permusuhan sehingga rujuk tidak lagi berguna maka hal itu lebih baik dari pada tetap mempertahankan perkawinan.
Merupakan suatu keharusan untuk berpisah secara total dan melangsungkan kehidupan daam babak baru, tanpa kembali melakukan percobaan yang gagal dngan jenis pergaulan yang sama, sebelum bergaul dengan (jenis) yang lain. Oleh karena itu kedudukan thalaq tiga benar-benar kokoh. Allah SWT berfirman :

“Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (Al Baqarah: 230)

Larangan untuk rujuk dari suami terhadap isteri secara mutlak setelah thalaq yang ketiga sampai sang isteri pernah berkumpul dengan laki-laki lain dan berhubungan suami-isteri (sampai kedua belah pihak saling menikmati manis madunya) sebagai aktivitas kehidupan suami isteri secara sempurna. Maka apabila sang isteri mendapatkan pengalaman baru dari kehidupan suami isteri (dari suami) yang lain secara alamiyah, dan tidak diperoleh dalam kehidupan keluarga yang kedua ini ketentraman dan ketenangan, serta berakhir dengan perpisahan dengan suaminya yang kedua meka dalam keadaan seperti ini diberi kesempatan untuk kembali kepada kehidupan suami-isteri bersama suaminya yang pertama. . Sesungguhnya ia telah melalui babak (percobaan) kehidupan rumah tangga yang kedua bersama suaminya yang kedua dan membandingkan keduanya. Jadi bila ia lalu memilih rujuk dengan suaminya yang pertama yang telah menthalaqnya dengan thalaq tiga dan seetelah ia kawin dengan laki-laki lain. Allah SWT berfirman :

“Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halallagi baginya sehingga dia kawin dengan suami yang lain.” (Al Baqarah: 230)

Kemudian Allah SWT melanjutkan firman-Nya dalam ayat yang sama secara langsung: “Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya.”, yaitu suaminya yang kedua bukan yang pertama “tidak ada dosa bagi keduanya” yaitu suami yang pertama dan dithalaq dua “untuk kawin kembali” yaitu masing-masing kembali menjadi sahabat (pasangan) melalui perkawinan.
Inilah tuntunan syari’at mengenai tata cara perceraian, di dalamnya dapat dilihat pensyari’atan thalaq, metoda pensyariatannya dan tata caranya mennjukkan hikmah yang utuh, diperhatikan pula pandangan yang teliti terhadap kehidupan masyarakat untuk mejamin kehidupan yang tenang. Apabila ketenangan ini lenyap dan tidak ada harapan lagi untuk mengembalikannya maka suatu keharusan untuk memisahkan suami-isteri itu. Berdasarkan hal ini Allah SWT telah mensyari’atkan thalaq sebagaimana yang telah diuraikan
.
selesai.
KETURUNAN
Telah menjadi hikmah ilahiah bahwa wanita menjadi tempat bagi kandungan dan kelahiran. Oleh karena itu, seorang wanita harus kawin dengan seorang laki-laki saja, melarang untuk melakukan perkawinan dengan banyak laki-laki. Larangan tersebtu bagi wanita agar setiap orang dikenal ranji silsilahnya terhadap laki-laki (bapaknya). Islam amat besar memperhatikan kepastian mengenai keturun­an, dan menjelaskan hukum tentang keturunan dengan penje­lasan yang amat sempurna.
Usia kehamialn yang paling singkat enam bulan, meski­pun pada umumnya berlangsung hingga sembilan bulan, namun palling lama dua tahun. Dan seroang suami apabila istrin­ya melahirkan anak dan kemungkinan anak itu berasal dari suaminya kalau hal itu terjadi enam bulan atau lebih dari tanggal perkawinannya. Sabda Rasulullah saw.:

"Anak itu haknya orang yang setempat tidur".
Ringkasnya selama istri dari seorang lelaki (suamin­ya) yang melahirkan anak setelah masa enam bulan perkawa­ninannya tau lebih, maka berarti anak yang dilahirkannya itu adlah anak suaminya secara mutlak.
Hanya saja, seorang suami apabila istrinya melahirkan seorang anak dalam jangka waktu minimal enam bulan atau lebih dan telah jelas bahwa anak itu bukan berasal dari dirinya maka bagi suami itu boleh mengingkarinya dengan syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Apabila syarat-syarat ini tidak dipenuhi maka penolakannya tidak diteri­ma, bahkan tetap dianggap sebagai anaknya baik rela maupun terpaksa. Syarat-syarat itu antara lain:

Pertama, anak yang disanghkalnya itu dilahirkan dalam keadaan hidup. Apabila nak yang dilahirkan itu dalam keadaan mati maka tidak boleh disangkal nasab anak terse­but terhadap dirinya, karena pengingkarannya tidak sesuai menurut hukum syara'.

Kedua, belum ada pengakuan secara jelas mauupun indikasi bahwa anak itu adalah anaknya. Apabila pengakuannya telah jelas atau ada indikasi bahwa anak itu adalah anknya, maka setelah itu tidak diterima lagi penolakan terhadap nasabn­ya.

Ketiga, pengingkaran terhadap anak hendaknya dilakukan pada waktu-waktu ataupun keadaan tertentu (khusus), yaitu saat kelahiran, atau waktu istrinya melahirkan diketahui ia tidak berada di tempat. Selain waktu-waktu atau kea­daan di atas tidak boleh mengingkari seorang aanak terha­dap nasabnya. Apabila istrinya melahirkan seorang anak, lalu ia tidak menginkarinya meskipun terbuka kesempatan untuk itu, maka anak itu harus bernasab kepadanya, dan pengingkarannya setelah itu tidak diterima.
Pilihannya itu diukur (ditetapkan) dalam suatu maje­lis yang diketahui olehnya dan memiliki kesempatan untuk mengingkarinya. Apabila ia mengetaahui anak itu dan mempunyai kesempaatan untuk mengingkarinya tetapi tidak disangkal, maka anak itu dinaasabkan secara pasti kepadan­ya. Sebab Rasulullah saw. bersabda: "Anak itu hak (orang yang setempat tidur".
Apabila ia mengaku bahwa ia tidak mengetahui kelahir­an itu, dan pengaukuannya dapat dipercaya karena ia berada di tempat yang menyebabkan ia tidak mengetahui, seperti berada di tempat lain yang berbeda dengan tempat kelahiran anaknya, atau di negeri lain. Maka cukup pengakuannya disertai dengan sumpah, karana pada dasarnya disebabkan ketidaktahuan. Jika tidak bisa dipercaya, seperti misaln­ya ia berada di lingkungan (kelurahan) yang sama, sehingga pengakuannya tidak diterima karena hal itu tidak mungkin tersembunyi darinya.

Dan itu tidak diketahui sebagaimana orang lain maka pengakuannya itu diterima karena dalam perkara ini hukumn­ya adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh orang.



Keempat, hendaknya pengingkarannya terhadap anaknya itu disertai dengan li'an(saling melaknat) dan pengingkarannya terhadap anak harus dengan lian yang sempurna.
Apabila keempat syarat ini terpenuhi maka pengingkaran terhadap anak itu diterima, sehingga anak menjadi hak sang isteri. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwasanya seorang laki-laki telah melaknat istrinya di masa Nabi saw., maka ia terhalang atas anaknya, kemudian Rasulullah saw. memisahkan keduanya, serta anak itu menjadi hak sng istri. Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pen­gingkarannya terhadap anak tadi tidak dapa diterima se­hingga anak itu ditetapkan nasabnya kepada bapaknya, dan atasnya diberlakukan hukum-hukum tentang anak. Ini adalah keterangan jika terdapat perselisihan mengenai kelahiran dari pihak suami. Adapun apabila perselisihan antara keduanya mengenai kelahiran berasal dari sang istri mis­alnya ia mengaku bahwa saat melakukan hubungan suami istri ia melahirkan anak itu yang berasal dari suaminya semen­tara sang suami mengingkarinya. Maka pihak istri berhak menegaskan tuduhannya dengan saksi seorang wanita musli­mah. Dalam kasus ini cukup dengan kesaksian seorang wanita muslimah . Sebab perkara nasab cukup ditegaskan dengan adanya orang yang setempat tidur. Kelahiran sah penetapannya melalui kesaksian seorang wanita yang memenu­hi syarat-syarat persaksian.





No comments: