Thursday, April 26, 2007

IKATAN KEKELUARGAAN

Ketika Muhammad saw. diangkat menjadi nabi oleh Allah Swt., masyarakat Makkah dan masyarakat Arab pada umumnya hidup dalam sistem sosial yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Mereka terbiasa mengubur bayi perempuan hidup-hidup, tidak memberikan waris kepada perempuan, dan membiarkan perzinahan merajalela. Selain itu, sebagian kaum laki-lakinya suka mengirimkan istri mereka kepada laki-laki pemuka sukunya, sehingga sang istri akan melahirkan anak laki-laki yang keturunan pemuka suku itu. Lebih parah lagi, ketika seorang ayah meninggal dan meninggalkan istri dan anak laki-laki, sang anak akan mewarisi istri dari ayahnya itu dan menjadikannya sebagai istrinya sendiri, sehingga mengakibatkan kerusakan nasab dan menghancurkan ikatan kekerabatan.
Dengan mengkaji Sirah Rasulullah saw., kita bisa melihat bahwa beliau tidak berjuang sekadar untuk memperbaiki kebiasaan buruk itu, tetapi beliau membasmi seluruh fondasi sistem sosial masyarakat, dan menggantinya dengan ideologi Islam secara keseluruhan. Ketika Rasulullah saw. telah menanamkan ideologi Islam di benak orang-orang dan telah meneguhkan kekuasaan politiknya, beliau mulai membangun sistem sosial yang baru yang berdasarkan wahyu Allah Swt. Jika kita lihat Sirah Rasulullah saw. dalam kerangka seperti itu, akan dipahami dinamika perjuangan beliau untuk mengubah masyarakatnya. Di sinilah kita akan menyoroti usaha-usaha beliau dalam membangun kembali sistem sosial itu.
Saat Muhammad saw. berada di Makkah, beliau berjuang menentang kaum musyrikin Quraisy seraya berupaya menyadarkan tentang salahnya cara hidup mereka, dan bahwa risalah yang dibawa beliau akan membebaskan mereka dari kerusakan sistem hidupnya. Salah satu aspek dari perjuangan itu adalah ketika Nabi Muhammad saw. menentang kebiasaan yang telah mengakar di masyarakat. Misalnya, Allah Swt. berfirman:
Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh? (QS at-Takwiir [81: 8-9)
Ayat ini benar-benar menghantam kebiasaan orang Arab mengubur bayi perempuan mereka hidup-hidup (karena mereka ‘malu’ kalau punya bayi perempuan). Loyalitas terhadap keluarga, baik atau buruk, sangat dijunjung oleh orang-orang Arab. Islam sangat menentang loyalitas semacam itu, mengingat ada anggota keluarga yang masuk Islam, ada juga yang tidak. Karena itu, orang-orang Arab penyembah berhala itu langsung menuding Nabi Muhammad saw. telah merongrong kehidupan mereka dan telah menimbulkan keretakan dalam hubungan keluarga mereka.
Sebelum datangnya Islam, masyarakat berkelompok menurut ikatan-ikatan semu. Pengelompokan tersebut begitu kuatnya dan menjadi pangkal permusuhan antarbangsa atau antarsuku dalam satu bangsa, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat mencairkan hubungan itu. Di Jazirah Arab, orang-orang Arab bersekutu menurut kesukuan dan garis keturunan. Di Timur dan Barat, nasionalisme dan religiositas sempit menjadi basis Kekaisaran Persia dan Bizantium. Islam menghapuskan seluruh ikatan itu, dan menggantinya dengan ikatan ideologi yang kuat yang tidak terbatas pada kelompok tertentu atau daerah asalnya, tapi menyatukan seluruh manusia tanpa melihat ras, warna kulit, atau keyakinannya.
Sebelum Islam datang, orang Arab memandang rendah seseorang yang berkulit hitam semata-mata karena warna kulitnya, dan suku-suku rela berperang dan saling bantai bertahun-tahun hanya demi kebanggaan keluarga. Islam menghunjam begitu kuat di hati setiap insan, sehingga ketika seseorang telah menyatakan dirinya Muslim, dia rela melepaskan seluruh ikatan-ikatan rusak itu dan mengikatkan diri dalam persaudaraan Islam. Bagi seorang Muslim, warna kulit, silsilah keluarga, daerah asal, atau kekayaan seseorang bukanlah suatu hal penting. Ketika Rasulullah saw. memulai dakwahnya, beliau membangun pusat kepemimpinan yang terdiri atas orang Persia, Romawi, Afrika, penduduk dari orang Yahudi dan Nasrani, dan pribumi Arab, dan tidak ada sesuatu yang mengikat mereka semua selain pemikiran yang satu.
Demikianlah persaudaraan yang timbul dari pemikiran Islam itu sanggup mendorong mereka untuk berperang melawan keluarga mereka sendiri demi melindungi saudaranya seiman. Abu Ubaidah bertempur melawan ayahnya sendiri, yang saat itu musyrik, lalu membunuhnya di Perang Badar, serta dia sama sekali tidak peduli ketika mayat ayahnya diseret dan dibuang ke sumur al-Qabil di Badar.
Generasi pertama pemeluk Islam menerima Islam secara komprehensif dan dengan keyakinan yang kuat. Mereka mengakui Allah Swt. sebagai Rabb dan satu-satunya Zat yang layak disembah dan ditaati. Dengan pemahaman dan penyerahan diri seperti itu, mereka menerima sepenuh hati seluruh konsekuensi dari keyakinan itu. Para sahabat r.a. dengan mudahnya melepaskan segala macam ikatan semu dan menggantinya dengan ketaatan kepada Allah Swt. ketika Allah Swt. berfirman:
Orang-orang Mukmin itu sesungguhnya bersaudara. Karena itu, damaikanlah di antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS al-Hujuraat [49]: 10)
Kasus Mush’ab bin Umair kiranya dapat menjadi contoh pengaruh Islam terhadap hubungan keluarga di Makkah. Mush’ab bin Umair r.a. sangat dicintai oleh ibunya dan dia pun mencintai ibunya. Mush’ab adalah seorang yang kaya raya, terhormat, dan dikagumi oleh banyak wanita di masyarakatnya. Ketika Mush’ab masuk Islam, ibunya sangat marah dan melakukan aksi mogok makan menuntut Mush’ab untuk keluar dari Islam. Sebelum masuk Islam, Mush’ab bin Umair tidak pernah membiarkan siapa pun atau apa pun mengganggu ibunya. Setelah Islam memasuki pemikiran dan perasaannya, Mush’ab berkata kepada ibunya bahwa bahkan seandainya ibunya punya banyak nyawa dan dia melihat setiap nyawa ibunya itu lepas satu per satu akibat mati kelaparan, dia tidak akan pernah melepaskan keislamannya! Sikap ini merefleksikan dampak dari dakwah Rasulullah saw. terhadap struktur sosial masyarakat Makkah.
Ibnu Ishaq menuturkan, “Ibnu Wahb, seorang kaki tangan Bani Abd ad-Dar bercerita kepada saya bahwa ketika Nabi saw. menerima para tawanan Perang Badar, beliau menyerahkan mereka kepada para sahabatnya sambil berkata, ‘Perlakukan mereka dengan baik!’ Salah seorang di antara tawanan itu ialah Abu Aziz bin Umair bin Hasyim, saudara kandung Mush’ab bin Umair. Abu Aziz berkata, ‘Saudaraku Mush’ab melewatiku, dan berkata kepada orang Anshar yang menangkapku, ‘Jangan lepaskan dia. Ibunya kaya; kemungkinan ibunya akan menebusnya.”
Ibnu Hisyam juga menuturkan, “Abu Aziz adalah pembawa bendera kaum musyrik setelah an-Nadr bin al-Harits tewas. Saat melihat saudaranya (Mush’ab) berbicara kepada Abu al-Yusr yang telah menangkap dirinya, Abu Aziz berkata kepada Mush’ab, ‘Wahai Saudaraku, inikah yang kauinginkan?’ Mush’ab menjawab, ‘Dialah (sambil menunjuk Abu al-Yusr) saudaraku, bukan kau.” Mush’ab rela melepaskan ikatan dengan saudara kandungnya sendiri dan menunjuk seorang Muslim yang lain, yang tidak ada hubungan keluarga dengan dirinya, sebagai saudaranya melebihi keluarganya sendiri. Mush’ab sadar bahwa ketaatannya tidak lagi kepada garis keluarga, keturunan, atau daerah asalnya, tetapi kepada Allah Swt., serta Allah telah menentukan siapa yang menjadi ‘keluarganya’ dan menentukan kriteria persaudaraannya.
At-Tirmidzi meriwayatkan, “Ibnu Abu Umar bercerita kepada kami bahwa Sufyan memberitahunya dari Amr bin Dinar yang mendengar Jabir bin Abdullah berkata, ‘Kami sedang dalam perang’, dan Sufyan berkata, ‘Mereka pikir itu perang melawan Bani al-Mustaliq,’ ketika salah seorang Muhajirin mendorong salah seorang Anshar… .’Abdullah bin Ubay bin Salul mendengar hal itu dan berkata, ‘Kenapa bisa terjadi seperti ini? Demi Allah, saat kita kembali ke Madinah, yang lebih kuat akan melemparkan yang lebih lemah.’ Anaknya, Abdullah bin Abdullah, berkata kepadanya, ‘Demi Allah, kau tidak akan kembali sampai kauakui bahwa kaulah yang lebih lemah dan Rasulullah saw. lebih kuat,’ lalu ayahnya mengakui.” Abdullah bin Abdullah bin Ubay senantiasa memperlakukan ayahnya secara baik dan penuh hormat, tapi ketika harus memilih antara ayahnya atau Allah Swt. dan Rasulullah saw., loyalitas dia berikan pada keimanannya, serta dia menawarkan diri kepada Rasulullah saw. untuk membunuh ayahnya sendiri dan membawa kepalanya kepada beliau karena telah menghina kaum Muslim.
Ketika Rasulullah saw. akhirnya mampu meneguhkan kekuatan ideologi Islam dengan adanya nushrah (pertolongan) dari orang-orang Madinah, Allah Swt. mulai menurunkan hukum-hukum yang menjadi fondasi sistem sosial yang benar-benar baru. Tidak seperti keumuman manusia yang membuat hukum berdasarkan akalnya sendiri dan menerapkannya kepada siapa saja kecuali dirinya sendiri, Rasulullah saw. adalah orang pertama yang bertindak sesuai dengan perintah yang telah Allah turunkan.
Pada masa pra-Islam, laki-laki Arab punya kebiasaan mengadopsi anak, mengubah nama anak itu sehingga dinasabkan kepada dirinya, dan menganggap istri dari anak yang diadopsi tadi sebagaimana istri dari anak kandung mereka sendiri. Konsekuensinya, dia akan menganggap istri dari anak angkatnya itu sebagai anaknya dan menganggapnya haram dinikahi, meskipun sudah bercerai dengan anak angkatnya itu. Islam datang dan menghapus tradisi ini melalui firman-Nya:
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu dzihar itu sebagai ibumu dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya serta Dialah yang menunjukkan jalan (yang benar). (QS al-Ahzab [33]: 4)
Pengaruh ayat ini terhadap sistem sosial adalah bahwa pengadopsian anak tidak diperbolehkan (dalam kasus nasab anak itu diganti dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya), istri dari anak angkat itu--ketika bercerai--halal dinikahi oleh bapak angkat, dan anak angkat tidak mendapat hak warisan.
Ketika hukum ini diturunkan, Nabi Muhammad saw. adalah orang pertama yang menerapkannya. Beliau melakukan hal yang dianggap tabu oleh masyarakat ketika itu, yaitu dengan menikahi Zainab, setelah Zainab bercerai dari anak angkat Rasulullah saw., Zaid. Perbuatan Nabi Muhammad saw. tidak saja menunjukkan kualitas kepemimpinan yang beliau miliki, tapi juga menghapuskan kebiasaan jahiliah yang mungkin saja akan terus dianut oleh kaum Muslim.
Dalam peristiwa lain, sehubungan dengan hukum potong tangan bagi pencuri, Nabi Muhammad saw. menegaskan bahwa andaikata Fatimah, anaknya sendiri, mencuri, maka beliau akan memotong tangan Fatimah. Ini menunjukkan bahwa ikatan kekeluargaan tidak kebal dari keadilan hukum Islam. Hukum Islam justru hadir untuk merestrukturisasi hubungan keluarga. Sebelum Islam datang, loyalitas keluarga mendapat kedudukan yang sangat tinggi. Turunlah syariat menata ulang loyalitas kekeluargaan itu. Allah Swt. berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka itu, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika kamu memutarbalikkan atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS an-Nisaa’ [4]: 135)
Dengan demikian, Allah Swt. menjadikan ikatan kekeluargaan harus dijalin pertama-tama berdasarkan keyakinan kepada-Nya, sehingga menegasikan loyalitas seseorang terhadap keluarganya atau sukunya dan menggantinya dengan loyalitas terhadap Allah Swt. Islam membatasi persaudaraan dan persahabatan hanya di kalangan orang-orang Mukmin, sesuai firman-Nya:
Orang-orang Mukmin itu sesungguhnya bersaudara. Karena itu, damaikanlah di antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS al-Hujuraat [49]: 10)
Selain itu, Islam juga melarang Wala’a (perwalian) antara orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir dari kalangan musyrikin, Yahudi, atau Nasrani, meskipun mereka adalah ayah, saudara atau anak orang-orang Mukmin itu. Setiap orang Mukmin yang melakukan hal itu dianggap berdosa, sebagaimana al-Quran menyebutkan:
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS at-Taubah [9]: 23)
Islam menempatkan seluruh kepentingan duniawi dan pertalian hubungan seorang Muslim di bawah kecintaan terhadap Allah Swt. dan Rasulullah saw. Islam memperingatkan kaum Mukmin untuk tidak mendahulukan kepentingan sosial dan pertalian hubungan mereka di atas kewajiban selaku Muslim. Allah Swt. dengan tegas menyatakan:
Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS at-Taubah [9]: 24)
Islam meneguhkan suatu masyarakat di Madinah berdasarkan kecintaan dan sikap tolong-menolong, sebagaimana diungkapkan hadis:
Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal berkasih sayang dan saling mencintai laksana satu tubuh. Tatkala salah satu bagian menderita sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakannya dengan menggigil dan demam. (HR Muslim)
Kepedulian, kasih sayang, dan silaturahmi menjadi basis hubungan antara warga negara dalam masyarakat Islam, dengan tidak melihat usia, status sosial, atau kekayaan.
Ajaran Islam mendukung konsep menyebarkan cinta di masyarakat, dan Nabi Muhammad saw., dalam banyak kesempatan, menggambarkan eratnya hubungan di antara kaum Muslim. Misalnya, beliau bersabda, “Tidaklah salah seorang di antara kalian dikatakan beriman, kecuali dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri” (HR Bukhari dan Muslim); “Barangsiapa yang menolong saudaranya, Allah akan menolongnya” (HR Tirmidzi dan Imam Ahmad); “Allah akan menolong hamba-Nya selama dia menolong saudaranya” (HR Tirmidzi dan Abu Dawud); “Adalah kejahatan bagi seorang Muslim untuk mengungkapkan aib saudaranya sesama Muslim” (HR Muslim); dan “Seorang Muslim tidak diperbolehkan mengabaikan saudaranya lebih dari tiga hari” (HR Bukhari dan Muslim).
Tidak ada yang lebih indah selain perumpamaan yang dikemukakan oleh Nabi saw. berikut.
Ingat, setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap orang bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang Imam (kepala negara) yang telah diangkat oleh rakyat adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya. Setiap laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab atas keluarganya. Setiap wanita adalah pemimpin atas rumah tangga suami dan anak-anaknya dan dia bertanggung jawab atas hal itu. Seorang pembantu adalah pemimpin atas harta benda majikannya, dan dia bertanggung jawab atas harta benda itu. Ingat, setiap diri kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. (HR Bukhari dan Muslim)
Setelah kematian Ja’far bin Abu Thalib dalam perang Mu’tah, Rasulullah saw. menunjukkan rasa simpatinya terhadap istri dan anak-anak Ja’far, “Apakah kalian takut mereka menjadi miskin, padahal akulah pelindung mereka di dunia dan akhirat kelak?” (HR Ahmad)
Sirah Rasulullah saw. juga menjadi sumber hukum tentang bagaimana kehidupan keluarga seharusnya dibentuk. Nabi Muhammad saw. terbiasa memperhatikan perasaan istri-istrinya dan beliau menjaganya. Beliau memperlakukan mereka dengan adil, membantu meringankan pekerjaan mereka, dan memenuhi kebutuhan mereka dengan jerih payahnya sendiri.
Ini sangat kontras dengan status keluarga Muslim saat ini, ketika ideologi Islam, sebagai sistem hidup yang komprehensif, telah hilang dari benak umat. Insya Allah, jika kita berkomitmen untuk mempelajari Sirah Rasulullah saw. sebagai sesuatu yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan, kita akan mampu mengembalikan kemuliaan keluarga kaum Muslim, sekaligus membangkitkan umat Islam secara keseluruhan.

No comments: