Tuesday, April 24, 2007

Ijtihad untuk Menentukan Metode Penegakan Khilafah

Ijtihad untuk Menentukan Metode Penegakan Khilafah

Ijtihad diperlukan untuk mengetahui metode penegakan Khilafah karena masalah ini adalah realitas yang unik yang belum pernah terjadi dan tidak pernah dialami umat Islam di masa silam. Hal ini bisa terjadi karena selama tiga belas abad umat Islam hidup di bawah naungan Khilafah dan di bawah kekuasaan Islam. Jadi, wajar kalau dikatakan bahwa situasi yang kita hadapi saat ini benar-benar situasi yang baru yang menuntut kita menggali hukum syara’ berkaitan dengan masalah ini dari dalil-dalil al-Quran dan Sunnah yang terperinci melalui proses ijtihad. Ijtihad itu harus menjelaskan secara detail mengenai langkah-langkah untuk menegakkan kembali Khilafah, yang praktis akan menjawab masalah utama yang telah Islam tetapkan.
Dalam hubungan ini, kita perlu betul-betul memahami masalah ijtihad ini. Misalnya, shalat sudah jelas wajib, tapi perincian tata cara shalat digali melalui ijtihad. Kita tetap perlu memahami aturan-aturan shalat itu, karena jika tidak, mustahil kita tahu bagaimana cara melakukan hal-hal yang menjadi syarat dan rukun shalat, misalnya wudhu, niat, ruku, dan sebagainya. Demikian pula kita perlu memahami secara utuh metode penegakan Khilafah, karena jika tidak, kita tidak akan mengetahui hukum syara’ dalam masalah itu. Akibatnya, kita tidak akan dapat mengembalikan kehidupan Islam dengan cara memberikan baiat kepada seorang khalifah untuk memerintah kaum muslim berdasarkan Islam.
Apabila seorang muslim tidak mengetahui hukum-hukum seputar puasa, maka besar kemungkinan ia tidak akan berpuasa secara benar. Jika ia tidak mengetahui hukum-hukum seputar zakat, maka mustahil ia melaksanakan kewajiban berzakat itu. Demikian pula ia tidak akan dapat memenuhi seruan Allah Swt. untuk menegakkan Khilafah kecuali ia telah mengetahui hukum syara’ seputar masalah itu. Adapun hal itu tidak cukup dengan slogan-slogan yang samar dan sekadar retorika, seperti kembali pada al-Quran dan Sunnah.
Kesamaran itu telah demikian mewabah. Walaupun begitu, realitas terkini menunjukkan bahwa umat Islam telah dapat melihat masalah ini dengan lebih cermat. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa jalan kebangkitan umat ialah dengan cara berjihad di internet karena di sanalah sarangnya kekuasaan!? Pandangan ini selain membingungkan juga sangat berbahaya karena dapat mengaburkan konsep jihad dalam Islam. Jihad adalah metode untuk menyingkirkan hambatan-hambatan fisik, seperti negara dan militernya, sebagai bagian dari upaya menyeru orang kepada Islam. Jihad bukanlah hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah penegakan Khilafah. Di samping itu, jihad bukanlah berperang dalam dunia maya, melainkan berperang dalam dunia nyata.
Ada sebagian kaum muslim yang melihat sekilas satu atau dua ayat al-Quran, lalu mengeluarkan pendapat berdasarkan pemahaman yang sekilas itu. Hal ini, misalnya, terjadi pada ayat Allah Swt. yang sering disalahpahami:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu mengubah keadaan mereka sendiri” (QS ar-Ra’d [13]: 11).
Dengan berdasarkan ayat di atas, sebagian kalangan muslim berpendapat bahwa situasi yang dihadapi umat Islam saat ini hanya akan berubah jika kaum muslim mulai memperbaiki diri mereka masing-masing, secara individual, dan tidak mengaitkannya dengan realitas politik.
Pendapat di atas keliru berdasarkan dua alasan. Pertama, pemahaman atas ayat itu sendiri sudah salah. Allah Swt. menjelaskan kondisi suatu kaum dan jika kaum itu tetap berada di jalan yang benar, maka kaum itu akan tetap dalam pertolongan-Nya. Akan tetapi, jika kaum itu melalaikan jalan hidup yang benar itu, maka kaum tersebut akan mengalami kekacauan. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk membangkitkan kaum itu adalah dengan kembali kepada landasan dan jalan yang benar. Hal itu akan menjadi perubahan yang radikal meliputi segala aspek kehidupan. Adapun yang menjadi subjek pembahasan adalah kaum, bukan individu, karena ayat tersebut menunjukkan bentuk plural qaumin. Para mufasir lebih menekankannya pada penguasa karena merekalah yang mewakili masyarakat. Karena itu, perbaikan penguasa dan perubahan sistem politik menjadi variabel utama dalam masalah ini. Dinyatakan bahwa, “Rakyat bergantung pada agama para penguasanya”. Demikian penjelasan Imam Qurtubi dalam Tafsir al-Qur'an Jam’iu Ahkam al-Qur'an. Kedua, ayat ini bukanlah hukum syara’ yang berkaitan dengan upaya menegakkan Khilafah. Sehubungan dengan itu, melakukan perbuatan-perbuatan dengan hanya bersandar pada ayat ini jelas keliru. Sementara itu,yang perlu dilakukan adalah memahami ayat tersebut, lalu memahami hukum syara’ dari al-Quran dan Sunnah tentang bagaimana melakukan perubahan politik. Selanjutnya, akan lahir tindakan-tindakan apa saja yang wajib dilakukan.
Pemikiran lain yang menggejala di kalangan umat Islam adalah penggunaan dalil-dalil yang tidak sesuai. Dikatakan tidak sesuai karena dalil-dalil itu sebenarnya terkait dengan masalah lain, bukan masalah perubahan kondisi umat. Bagi kaum muslim, zikir dan doa sangat penting untuk mengingatkan mereka terhadap Allah Swt. Zikir dan doa memang dapat membentuk kekuatan ruhiyah dan menjadi senjata orang beriman, tapi keduanya bukanlah hukum syara’ yang berkaitan dengan usaha menciptakan perubahan politik. Jika kita hendak mempelajari masalah ekonomi, misalnya, seyogianya kita mempelajari dalil-dalil yang relevan dengan masalah ekonomi, seperti dalil tentang kepemilikan, hukum tentang tanah, jenis-jenis syirkah, dan lain-lain. Jika yang dibahas itu masalah sosial yang berkaitan dengan hubungan pria dan wanita, kita harus mempelajari dalil-dalil menyangkut masalah, misalnya, berkhalwat, bercampur yang boleh dan yang tidak boleh, konsep mahram, dan lain-lain.
Demikian pula ketika membahas perspektif Islam dalam melakukan perubahan politik, kita harus mempelajari dalil-dalil yang relevan dengan masalah perubahan politik. Dalam hal ini kita dapati sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang mengabarkan tentang perjuangan Rasulullah saw. dan para sahabat, “Penghulu para syuhada adalah Hamzah dan setiap orang yang berdiri di hadapan penguasa, lalu menyerukan kebaikan serta melarang kemungkaran, kemudian penguasa itu membunuhnya” (Disahihkan oleh Ibnu Hajar al-Hatami dalam Majmuu’ al-Zaaid).
Dengan demikian, yang harus kita lakukan sekarang adalah mempelajari dalil-dalil terperinci yang relevan dan setiap turunan dari metode yang tepat dengan situasi terkini agar kita dapat melangsungkan kembali kehidupan Islam.

No comments: