Saturday, January 12, 2008

CITRA POLITIK DI INDONESIA

Oleh : Lathifah Musa

Partisipasi Politik Masyarakat Indonesia

Berbicara soal politik, maka konotasi yang umum berkembang di masyarakat saat ini selalu berkaitan dengan kekuasaan atau atau dengan kata lain penentuan kebijakan dalam sebuah sistem. Suasana di masyarakat yang sering disebut sebagai suhu politik berubah, suhu politik menghangat, memanas dan lain-lain adalah ketika muncul suara-suara yang bersifat kritik terhadap kebijakan. Baik kritik tersebut hanya bersifat serangan-serangan saja sampai yang mulai menyodorkan solusi alternatif dalam rangka memperbaiki kondisi. Kacung Marijan, Staf Pengajar FISIP Unair, Surabaya, dalam artikelnya di Media Indonesia (05/08/96) menilai bahwa seiring denan meningkatnya kesejahteraan rakyat, mulai muncul kelompok masyarakat yang sering disebut ' the middle class'. Menurutnya, kelompok yang mulai mandiri secara ekonomi dan polotik ini tidak segan-segan melakukan tuntutan dan berpikiran kritis terhadap hal-hal yang menurut mereka menyimpang. Mereka tidak tahan untuk tetap diam terhadap berbagai kekurangan yang menyelimuti pemerintahan orde baru. Realitas macam ini konon kabarnya memaksa penguasa untuk melunakkan kebijakan-kebijakan politiknya. Hal ini terlihat, misalnya, dari mulai jarangnya penangkapan-penangkapan para aktivis politik yang bersebrangan dengan pemerintah, sebagaimana yang sering dilakukan sampai pada pertengahan tahun 1980-an. Menurut Kacung, kalau saja sikap pemerintah tidak mengalami perubahan, bisa dibayangkan betapa seringnya proses pengadilan politik, mengingat orang-orang yang bersebrangan dengan pemerintah kian vokal dan jelas.

Sekalipun belum bisa dikatakan bahwa kran politik sistem telah terbuka lebar, namun kita bisa melihat masyarakat mulai kreatif menyuarakan aspirasinya. Kreativitas dan partisipasi politik rakyat ini hendaknya tidak dimatikan, demikian komentar kalangan pakar politik di Indonesia dalam sebuah Dialog Nasional " Indonesia dalam Dinamika Perubahan: Kebebasan, Stabilitas dan Pembangunan " yang diselenggarakan oleh CIDES (Center for Information and Development Studies) di Auditorium YTKI. Jakarta 26 Agustus 1996. Hal ini akan mengakibatkan penurunan yang tajam dari partisipasi politik masyarakat.

Tampaknya kreativitas masyarakat ini belum mendapat dukungan. Menurut Arbi Sanit—seorang pengamat politik yang saat itu hadir sebagai pembicara—merosotnya partisipasi politik rakyat ini disebabkan oleh ketidakberdayaan kekuatan politik masyarakat. "Keberanian politik dari masyarakat sudah tidak ada lagi," tegas Arbi. Staf pengajar Fisip UI ini berpendapat, untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan reformasi politik secara menyeluruh dan secepat mungkin.

Dalam kesempatan lain – masih masalah kualitas partisipasi politik rakyat – Jendral (Purn) A.H. Nasution dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Kelompok Kerja Petisi 50 di Jakarta, menyetujui bila dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mengalami 'lesu politik'. Menurut Pak Nas, lesu politik ini disebabkan oleh sistem yang ada kini justru lebih 'membirokratisasikan politik'. Dalam mengomentari pendapat Pak Nas, Dr. Loekman Soetrisno dari UGM Yogyakarta dan Drs. Hotman Siahaan dari Universitas Airlangga Surabaya – seperti dikutip kompas—berpendapat, kelesuan politik disebabkan oleh hegemoni politik negara. Selain itu juga karena akumulasi krisis politik rakyat (Ummat, 10/06/96).

Di Indonesia, setiap menjelang pemilu, kegiatan-kegiatan politik disebutkan 'selalu meningkat'. Namun nilai peningkatan ini hanya dipandang bahwa saat itu rakyat mulai ambil bagian dengan keikutsertaannya dalam pemilu. Novel Ali, dosen FISIP Undip, Semarang, dalam artikelnya "Citra Politik Kita" (Media Indonesia, 06/06/96), mengemukakan bahwa latar belakang masyarakat Indonesia masih memiliki kecenderungan yang kuat dari lapisan menengah kebawah, untuk menyerahkan diri kepada lapisan atas. Partisipasi politik hanyalah dengan mempercayakan kepentingannya pada pimpinan organisasi yang diakui keberadaannya di era ini.

Potret masyarakat Indonesia mengenai partisipasinya dalam politik dalam sebuah jajak pendapat yang di lakukan oleh LP3ES atas 750 penduduk pria dan wanita di Jakarta (Ummat, 2/9/96) secara umum menunjukkan tingkat buta politik masyarakat masih tinggi. Sekalipun hasil survei ini belum bisa dijadikan standar untuk menilai tingkat kesadaran politik, namun menurut beberapa pengamat, setidaknya bisa dijadikan indikator awal untuk mulai mengungkap gambaran umum masyarakat. "Salah satu yang bisa dipetik dari sini adalah, mayoritas masyarakat masih kekurangan pendidikan politik", demikian komentar Rustam Ibrahim, direktuur LP3ES.

Dalam memandang partisipasi politik rakyat ini, kita pun perlu mempertanyakan tidak hanya dari sisi kenyataan yang dihadapi oleh para pengamat politik ini dilapangan, namun termasuk juga standar penilaian apa yang layak untuk digunakan. Bila dalam menilai bentuk partisipasi ini hanya dibatasi pada peran serta mereka dipemilu serta pandangan mereka terhadap peran tersebut, berupa hak atau kewajiban, maka penilaian ini belum bisa mewakili target kesadaran politik yang sesungguhnya. Dengan demikian perlu pula kita mengetahui lebih jelas lagi, bagaimana "Visi" kesadaran politik yang benar dari pihak rakyat, termasuk para pengamat politik saat ini.

Kesadaran Politik Rakyat Rendah

Benarkah kesadaran politik, rakyat Indonesia masih rendah? Mungkin saja! Sekalipun bisa dikatakan masyatakat mulai 'melek' politik, namun secara umum tingkat kesadarannya masih rendah. Sehingga masih muncul istilah 'secara umum masih buta' sebagaimana penelitian LP3ES di Jakarta.

Kenyataan apa yang dipahami oleh masyarakat saat ini tentang aktivitas politik sampai saat ini hanyalah sekedar arahan tentang keterlibatan mereka dalam pemilu. Bila dicermati lebih jauh lagi proses 'penyambungan suara' itu pun hanya berhenti pada sekedar memilih warna /gambar secara umum rakyat tidak bisa mengetahui, menyadari dan memahami siapa wakil mereka, sejauh mana konsistensi pelaksanaan tugasnya, bahkan lebih jauh lagi mereka tidak/belum pernah mengenal individunya. Ketika dalam prakteknya para wakil yang telah dipilih rakyat ini telah menyuarakan pendapatnya di parlemen, sebenarnya mereka tidaklah mewakili rakyat diparlemen lebih banyak mewakili pribadinya sendiri. Sampai disini, keberadaan 'wakil-wakil rakyat' bagi rakyat yang memilihnya bagaikan tak ada arti. Keberadaan partai yang seharusnya sebagai kontrol berjalannya kebijaksanaan sistem, kenyataannya di Indonesia tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Suara-suara vokal yang mengkritik kebijaksanaan hanyalah sebatas suara individu, termasuk bagi mereka yang berada di parlemen.

Kondisi pemilu di Indonesia tampaknya baru sampai pada target 'berjalannya aktivitas tersebut tanpa kendala yang berarti'. Sangat jauh bila kita fahami bahwa hakekat peran serta rakyat yang benar adalah 'mewujudkan agar urusan umat berjalan seperti yang seharusnya'.

Tidak salah bila secara umum kondisi ini mengakibatkan para pengamat menilai bahwa partisipasi politik masyarakat mengalami penurunan yang sangat 'tajam' (Media Indonesia, 27/08/96). Dari pihak rakyat lebih tepat lagi bila dikatakan 'kesadaran politik rakyat' masih rendah. Konsekuensinya makna politik pun difahami secara dangkal.

Bila kita mengamati gejolak politik yang kian memanas akhir-akhir ini di Indonesia, tampaknya masyarakat dalam mengungkapkan suara-suara proter terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak penguasa, mulai menjurus pada tindakan kebrutalan. Tercatat peristiwa kerusuhan di Purwakarta dan Pekalongan yang berbau rasial terhadap komunitas Cina, Peristiwa Situbondo ketika seorang tokoh agama dihina, Peristiwa Tasikmalaya yang diawali ketika sejumlah polisi menyiksa seorang ustadz dan santrinya serta beberapa catatan kerusuhan lain yang menambah suramnya agenda 1996.

Para pengamat politik mulai memperdebatkan mengapa semua ini bisa terjadi. Namun secara umum semua tidak mengelak bila dikatakan bahwa akar persoalannya adalah ketidakpuasan rakyat terhadap realita kehidupan yang mereka hadapi. Menurut Pak Nas (Republika, 6/01/97) penyebabnya sangat 'complicated'. Berbagai persoalan yang muncul, katanya, dipicu oleh adanya ketidak adilan di masyarakat, tidak tegaknya hukum, adanya arogansi kekuasaan dari oknum aparat, tersumbatnya aspirasi masyarakat, serta jurang antara si kaya dan si miskin yang semakin melebar. "Pokoknya peristiwa yang terjadi itu satu sama lain bertali temali ibarat benang kusut", katanya.

Dr. Afan Gaffar, dosen pasca sarjana UGM dan pengamat politik dalam Media Dakwah (Maret, 1996) berpendapat bahwa rakyat berada pada posisi yang sangat lemah bila berhadapan dengan pemerintah. Dalam pembentukan kebijakan publik, rakyat mengalami proses alienasi, karena kebijakan publik merupakan dominasi dari sekelompok elit politik yang berkuasa. Sementara itu rakyat diwajibkan untuk menyukseskan implementasi politik tanpa pernah terlibat merumuskannya. Kasus pembebasan tanah, penggusuran dan pada umumnya pembentukan kebijakan nasional merupakan sesuatu yang riil dalam kehidupan politik kita, yang memperlihatkan kebenaran dugaan bahwa rakyat mengalami alienasi. Bila dilihat dari proses sosialisasi politik, individu tidak terbiasa untuk membentuk jati dirinya yang bersifat mandiri. Menurut Hildred Greetz, anak-anak dalam keluarga Indonesia seringkali mengalami alienasi politik, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial setelah mereka dewasa.

Dalam kondisi seperti ini, wajar bila rakyat mudah diperalat untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok tanpa mereka memahami hakikat persoalanya . Meminjam komentar Amin Rais dalam Republika (6/01/97), bahwa masyarakat Indonesia itu seperti rumput kering yang mudah terbakar. Boleh pula kita katakan bahwa situasi di masyarakat bagaikan bara yang tertutupi sekam. Setiap saat bisa berkobar!

Menanggapi persoalan ini, yang harus kita perhatikan dalam rangka memperbaiki kesadaran politik rakyat antara lain : negara harus membiarkan rakyat mengenal dan memahami makna politik yang sebenarnya. Atau dengan arti lain rakyat memiliki kesempatan untuk menerima pendidikan politik. Terlebih lagi bila kita pandang dalam kapasitas mereka sebagai seorang muslim, karena mayoritas penduduk di Indonesia adalah kaum muslimin. Sehingga apabila muncul ketidakpuasan di kalangan rakyat, akan disertai pula dengan cara pandang ('visi') yang sebenarnya dalam rangka memperbaiki kondisi tersebut secara benar dan tepat. Dengan demikian peran aktif rakyat yang sesungguhnya dalam politik akan tergambar.



Politik dan Ideologi

AM. Saepudin, Ph.D, anggota komisi X FPP DPR-RI, anggota Dewan pakar ICMI Pusat, dalam Media Indonesia (23/08/96) Mengemukakan bahwa politik dianut oleh suatu bangsa sebagi suatu sistem kenegaraan dalam bentuk apapun, yang menyangkut hubungan kemanusiaan secara universal dengan bangsa lain .

Bila kita lihat dalam bangsa Indonesia , maka politik bisa berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, strategi, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara atau negara lain. Politik dalam bahasa Arab biasa disamakan dengan kata siyasah. Ahmad 'Athiyah dalam 'Kamus Politik'-nya halaman 320 menyatakan bahwa politik bermakna memelihara dan memperlihatkan urusan rakyat. Lebih tepat dan mendasar mengenai makna ini juga dikemukakan oleh Syeikh Taqiyudin An Nabahani dalam kitab "Mafaahim As-siyasah" . Beliau mendefinisikan politik (as siyaasah), yang menyangkut aspek umat dan negara sebagai :

Pemeliharaan
urusan umat dalam dan luar negeri

Dalam upaya mengatur dan memelihara urusan umat secara umum dii berbagai sistem manapun akan ada kebijakan-kebijakan atau aturan (rules).

Kebijakan atau aturan ini ditegakkan dalam rangka mengatur seluruh urusan masyarakat. Proses penetapan kebijakan bisa berlangsung berbeda-beda antar sistem politik. Bila dikatakan orientasi nilai adalah salah satu unsur dalam sistem politik (Samodra Wibawa, 1994). Maka perbedaan unsur ini akan melahirkan kebijakan politik yang tidak sama. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa sebuah ideologi secara pasti akan melahirkan warna kebijakan tertentu.

Dengan demikian wajar bila konsep politik yang muncul dari sistem dengan landasan ideologi Islam akan berbeda dengan konsep politik yang disampaikan oleh penganut ideologi lain. Kebijakan politik yang bersandarkan pada Islam, tidak akan sama dengan kebijakan kebijakan yang terlahir dari konsep politik sosialis ataupun kapitalis.

Salah satu hal yang bisa kita pelajari dalam rangka mencari akar sebuah strategi adalah konsep 'politik kontekstual' seperti yang dikemukakan oleh Ipong S. Azhar, dosen FISIP- USU, medan, dalam Media Indonesia (12/08/96). Sebagaimana teori-teori sosial (versi sosialis) yang difahaminya, berpolitik praktis juga perlu disesuaikan dengan konteks sistem politik yang berlaku dan permasalahan yang tengah dihadapi. Maka berpolitik yang efektif menurutnya adalah mengikuti irama sistem. Merujuk pada pendapat Max Weber, Ipong berpendapat bahwa dunia politik praktis adalah dunia profesi sebagaimana dunia kedokteran, kehakiman, perdagangan ataupun olah raga. Karena itu politisi menurutnya adalah seorang profesional sebagaimana hakim, pengacara, usahawan, atau pemain tinju. Bila masyarakat bertumpu pada aksioma yang mengatakan bahwa setiap profesi memiliki kode etik yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, maka seorang politisi tidak akan bisa berperilaku seperti rohaniawan atau hakim dan mereka juga tidak akan dapat dicela apabila perilakunya tidak sama dengan rohaniawan atau hakim. Perkembangan teori ini mengarah pada 'politisi memiliki kode etik dan rohaniawan serta hakim pun memiliki kode etik tersendiri'. Selanjutnya akan timbul pertanyaan bagaimana kode etik seorang politisi? Bagi Ipong, politik itu sendiri adalah segala hal yang berkenaan dengan kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk mengelola (mengendalikan, mengatur dan mendistribusikan) kebutuhan orang banyak agar semua bisa mendapat bagian dan merasa terpuaskan. Karena berkenaan dengan kepentingan orang banyak, maka kode etik yang berlaku di dunia politik adalah paradigma (yaitu cara berfikir, bersikap dan bertindak) yang berorientasi kepada kepentingan orang banyak,dengan jalan mendahulukan kepentingan orang banyak ini daripada kepentingan pribadinya. Berpijak pada teori ini tanpa adanya standar yang senantiasa tetap dan pasti dalam memandang persoalan umat maka kebijakan akan senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan dan pergeseran nilai yang ada ditengah masyarakat. Perspektif politik ini tidak layak diterapkan pada masyarakat yang senantiasa harus berpegang pada suatu standar yang baku, seperti kaum muslimin.

Islam sendiri adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk negara dan politik. Islam adalah aqidah ruhiyah (yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak dapat dilepaskan dari aturan yang diberlakukan untuk mengatur urusan masyarakat dan negara. Bagi kaum muslimin cara pandang inilah yang harus senantiasa digunakannya.

Sampai saat ini umat Islam (termasuk di Indonesia) masih teramat asing dengan aturannya sendiri. Maka politik pun berkembang sebagaimana kondisi yang mereka alami. Demikian pula dengan berbagai kebijakan, yang terlahir dari konsep politik dan nilai-nilai sesuai yang ditetapkan oleh penentu kebijakan (penguasa). Nilai-nilai ini bisa bersifat nilai pribadi, kepentingan kelompok tertentu, nilai moral, kebebasan, sosial dan lain-lain yang masih sangat mudah bergeser sesuai dengan pergeseran nilai-nilai tersebut di masyarakat.

Umat Islam Harus Sadar Politik

Untuk mengatur seluruh urusannya (baik sebagai individu, masyarakat ataupun negara), 'mau tidak mau' rakyat harus memahami strategi pengaturan urusan ini. Kesadaran ini haruslah dalam bentuk yang universal (mencakup dunia internasional) dengan suatu sudut pandang yang khas. Sudut pandang umat sebagai kaum muslimin adalah bagaimana mereka memandang dalam kerangka kesadaran Islam tentang kehidupan, dimana pun mereka berada. Sesuai dengan makna politik, maka kesadaran ini berarti memelihara dan mengatur urusan umat atas dasar kesadaran itu. (Muhamad Isma'il, 1995)

Dewasa ini istilah 'melek politik' yang berkembang di tengah masyarakat (Ummat, 02/09/96), baru diartikan dengan 'ketidaksudian' rakyat dijadikan sebatas sarana untuk kepentingan gemerlapnya kelompok dan golongan minoritas saja. Belum dalam pengertian kesadaran umat akan makna dan kepentingan politik yang sesungguhnya. Dalam kapasitas umat sebagai kaum muslimin, tampaknya kesadaran ini belum lagi tumbuh. Kaum muslimin di Indonesia masih merasa asing bila dikatakan bahwa Islam memiliki konsep politik yang dibangun diatas aqidah Islamiyah yang berbeda dengan konsep dari ideologi manapun. Bahwa Islam pun telah menetapkan peran dan tanggung jawab berpolitik pada seluruh kaum muslimin, itu pun belum mereka ketahui. Bahkan Islam mewajibkan berdirinya partai politik yang berjuang untuk Islam, dengan tugas menyebarkan dakwah Islam kepada orang-orang kafir di seluruh dunia, termasuk kepada penguasa, itu masih asing dalam benak mereka. Padahal telah jelas Firman Allah SWT :

"Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al khair (dinul Islam) menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar" (QS. Ali Imran :104).

Allah SWT dalam ayat tersebut telah menjelaskan metode yang semestinya dilakukan oleh kaum muslimin dalam mengemban dakwah Islam yaitu amar ma'ruf nahi mungkar.

Fakta lain yang banyak terjadi sekarang adalah masalah politik yang hanya menjadi obyek perbincangan kalangan tertentu, bukan kebanyakan orang. Selain masih ada yang menganggap bahwa Islam tidak mengatur persoalan politik, ada pula yang menganggap bahwa perbincangan masalah politik hanya akan mempersempit ruang gerak umat islam, lalu akan melalaikannya dari selain politik, seperti masalah ibadah, aqidah dan lain-lain. Kesalahfahaman tentang makna politik ini akan bisa disadari bila umat Islam (termasuk kaum muslimin di Indonesia) menengok kembali praktek kehidupan kaum muslimin terdahulu ( mulai dari tegaknya Daulah Khilafah di Madinah sampai masa berakhirnya Kekhilafahan Islamiyah di Turki Tahun 1024). Kurangnya kesadaran umat akan politik akan bisa diatasi bila kaum muslimin mau menerima konsep politik yang shahih, yang telah ditetapkan Islam. Bagaimana dengan kaum muslimin di Indonesia?

No comments: