Sebagian kalangan Muslim, akhir-akhir ini ada yang berpendapat, bahwa kaum Muslim tidak perlu bersikap apriori terhadap hal-hal yang asing. Islam tidak perlu takut diinfiltrasi oleh pemikiran Barat modern, Kristen, atau Yahudi. Sebab, menurut mereka, sejak awal mula kelahirannya, Islam memang sudah diinfiltrasi oleh Kristen-Yahudi. Buktinya, dalam al-Quran ada cerita tentang Maryam, Bani Israel, dan sebagainya. Jadi, wajar saja, jika Islam kemudian juga terus menyerap unsur-unsur asing dalam dirinya, seperti penerapan hermeneutika untuk tafsir al-Quran.
Untuk memahami duduk masalahnya, ada baiknya kita tinjau, latar belakang sejarah perkembangan ‘teori pengaruh’ ini di kalangan orientalis dan misionaris Kristen.
Menurut orientalis terkenal dalam studi al-Quran, Andrew Rippin, adalah Abraham Geiger (seorang rabbi Yahudi di Jerman), orang pertama yang menggunakan pendekatan ilmiah terhadap Islam. Yang dimaksud dengan ilmiah adalah ‘Teori Pengaruh Asing’ kepada Islam. Geiger menulis sebuah buku “What did Muhammad Borrow from Judaism?”
Theodor Noldeke, seorang Pendeta di Jerman dan juga dedengkot orientalis dalam studi historisitas al-Qur'an, memuji usaha Geiger dengan mengatakan: "We want, for example, an exhaustive classification and discussion of all the Jewish elements in the
Koran; a praiseworthy beginning has already been made in Geiger's youthful essay Was hat Mahomet aus dem Judenthum aufgenommen?"
Murid Noldeke, bernama Friedrich Schwally, mengkritik pendapat gurunya. Menurut Schwally, yang lebih berpengaruh terhadap Islam adalah Kristen, dan bukan Yahudi. C. C. Torrey, seorang profesor di Universitas Yale, Amerika Serikat, mempertahankan pendapat Geiger. Torrey membahas secara panjang lebar mengenai pengaruh Yahudi dalam Islam dalam karyanya “The Jewish Foundation of Islam”.
Menyibukkan diri untuk menjawab pertanyaan, mana yang lebih banyak pengaruhnya kepada Islam, Yahudi atau Kristen, Prof. MacDonald mengkritik karya
Torrey dan mengajukan pertanyaan, “Is Islam a Jewish or a Christian heresy”?, apakah Islam itu penyimpangan dari Yahudi, atau dari Kristen?
Namun, kemudian, ‘Teori Pengaruh’ ini dikembangkan lebih jauh lagi. Bahwa, kata para orientalis dan misionaris, Islam bukan hanya dipengaruhi oleh Yahudi dan Kristen, tetapi juga oleh unsur-unsur budaya. Seorang Misionaris Inggris untuk Isfahan, W. St. Clair-Tisdall menegaskan bahwa Islam itu bukan bersumber dari ‘langit’,
tapi bersumber dari ragam agama dan budaya. Menurut Tisdall, konsep Islam tentang Tuhan, haji, cium hajar aswad, menghormati kabah, semuanya diambil dari budaya jahiliah. Shalat 5 waktu dari tradisi Sabian. Kisah Nabi Ibrahim, Sulaiman, Ratu Balqis, Harut Marut, Habil Qabil dari Yahudi. Ashabul Kahfi dan Maryam dari Kristen. Tidak ketinggalan dari Hindu dan Zoroastria, yaitu Isra' Mi'raj dan jembatan (shirath) di hari kiamat.
Para orientalis dan misionaris itu terus memproduksi untuk menyebarkan ‘Teori Pengaruh’ tersebut, bahkan kemudian, ada sebagian kalangan Muslim yang ‘memungut’ teori tersebut dan disebarluaskan kepada kaum Muslim. Sayangnya, kadangkala, ia tidak menyebutkan sumbernya. S. Fraenkel menulis buku De Vocabulis in Antiquis
Arabum carminibus et in Corano peregrinis (Mengenai kosa kata asing di dalam puisi Arab kuno dan di dalam al-Qur'an). Fraenkel juga menulis Die Aramaischen Fremworter im Arabischen (pengaruh Aramaik kepada bahasa Arab).
Hartwig Hirschfeld menegaskan bahwa kosa kata asing (Fremdworter) di
dalam al-Qur'an menunjukkan Islam itu tidak orisinal. Hirshfeld mengatakan: "One of the principal difficulties before us is… to ascertain whether an idea or expression was Muhammad's spiritual property or borrowed from elsewhere, how he learnt it and to what extent it was altered to suit his purposes".
Arthur Jeffery mengamini pendapat yang umum dikalangan para orientalis itu. Memang, al-Qur'an terpengaruh berbagai bahasa asing seperti Ethiopia, Aramaik, Ibrani, Syriak, Yunani kuno, Persia dan bahasa lainnya. Jeffery menyebutkan adanya 275 kosa kata asing di dalam al-Qur'an (Foreign Vocabulary of the Qur'an). Melanjutkan "Teori Pengaruh", Christoph Luxenberg (nama samaran), menyatakan bahwa bahasa al-Quran sebenarnya berasal dari bahasa Syriac (Syro-Aramaik).
Dengan bahasa puitis Arnold mengatakan: “Islam lahir di gurun pasir, ibunya Sabean Arab, ayahnya Yahudi, dan perawat yang mengasuhnya adalah Kristen Timur.”
Senada dan seirama dengan Arnold, Samuel Zwemer (pernah berkunjung ke
Indonesia tahun 1922 sebagai seorang misionaris level internasional, pendiri dan penggagas jurnal misionaris The Moslem World serta perancang terkemuka berbagai konferensi misionaris internasional) menyimpulkan bahwa Islam bukanlah sebuah kreativitas, namun sebuah cangkokan (concoction); tidak ada yang mulia mengenainya kecuali Muhammad yang genius mencampurkan unsur-unsur lama di dalam obat
mujarab baru untuk penyakit manusia dan memaksanya dengan menggunakan
pedang. Ia menulis buku “Islam: A Challenge to Faith” (terbit pertama tahun 1907).
‘Teori Pengaruh’ terus diperluas ke bidang-bidang yang ada di dalam Studi Islam seperti filsafat, usul fikh, kalam, sufi, syariah, tafsir, dan sebagainya. Semua itu, kata mereka, juga terpengaruh dengan Yahudi-Kristen. John Wansbrough, misalnya, berpendapat historisitas tafsir serupa dengan dengan apa yang terjadi di agama Yahudi. Ia selanjutnya menggunakan istilah haggadic, halakhic dan masoretic exegesis. Filsafat al-
Kindi, Ibn Sina, Ibn Rushd, Ikhwanus Safa, diambil dari tradisi Neo-Platonik dan Aristote. Bahkan sekalipun al-Kindi dan al-Ghazali mengkritik teori penciptaan alam, maka kritik al-Kindi dan al-Ghazali itu pun, kata mereka, diambil dari Philoponus. Teori Usul Fikh diambil dari logika Aristoteles. Kalam Asy’ari apalagi Mutazilah berasal dari filsafat Yunani. Sufi berasal dari Neo-Platonik. Nihil novum sub sole! (Nothing is new under the sun). Mereka juga mengklaim, bahwa infiltrasi terhadap Islam, dari versi Yahudi dan Kristen, sudah ada sejak Islam muncul. Makanya, Muhammad itu bukan ummi. Ia membuat ajaran Islam dari apa yang ia baca dan dengar.
Untuk menyebarluaskan pola pikir semacam itu, maka para orientalis dan misionaris itu juga membuat jurnal, ensiklopedia, bahkan universitas-universitas. Khususnya studi tentang Islam dalam versi dan cara pandang mereka. Berdirilah, misalnya, Fakultas School of Oriental Studies, di American University, Kairo pada tahun 1921. Fakultas ini dirancang dan digagas di United Kingdom pada tahun 1910, oleh Zwemer dan kawan-kawan. Kairo dipilih karena pusat literatur dan peradaban arab ada di situ. Datanglah Snouck Hugronje ke Mekkah dan bergaul dengan para shaikh disana. Terbitlah berbagai Jurnal level internasional yang sibuk mengkaji Islam. Berdirilah berbagai pusat studi Islam di Eropa dan Amerika. Dikirimlah calon para pemikir Muslim dengan berbagai santunan, beasiswa untuk belajar tentang Islam.
Kita tidak perlu apriori terhadap semua yang datang dari luar Islam. Al-Quran telah memberikan contoh, bagaimana menyebutkan hal-hal yang sama dengan yang ada dalam tradisi Kristen, Yahudi, bahkan jaihiliyah Arab, tetapi al-Quran memberikan konsep baru dan sekaligus mengkritik keras berbagai konsep Yahudi-Kristen. Jika Yahudi-Kristen menggambarkan dalam Bible mereka, bahwa Daud dan Luth adalah pezina kelas berat, maka al-Quran menyebutkan, bahwa mereka adalah nabi-nabi Allah yang saleh. Para ulama kita sudah maklum akan hal ini. Bahkan, para ulama Islam, pun selama berabad-abad telah melakukan usaha-usaha kritis dalam mengkaji dan mengadopsi unsur-unsur asing, tanpa membongkar hal-hal yang asasi dalam Islam.
Berderet karya-karya sarjana Bible yang mengkaji secara kritis tentang otentisitas teks-teks Bible. Banyak karya bisa dirujuk, seperti karya Prof. Bruce M. Metzger: The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption and Restoration. Juga karyanya, A Textual Commentary on the Greek New Testament, dan juga The Canon of
the New Testament: Its Origin, Development and Significance. Begitu juga karya Robert R. Wilson: Sociological Approaches to the Old Testament dan Edgard Krentz, The Historical-Critical Method.
Pendekatan-pendekatan tersebut telah digunakan oleh Theodor Noldeke, F.
Schwally, Gotthelf Bergstrasser, Otto Pretzl, Edward Sell, Arthur Jeffery, John Wansbrough, dan lain-lain. Sell, misalnya, mengelaborasi gagasannya tentang studi kritis
historisitas al-Qur'an di dalam karyanya Historical Development of the Qur'an yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India. Sell menyeru kalangan misionaris Kristen ketika mengkaji Islam, supaya fokus kepada historitas al-Qur'an. Menurut Sell, kajian kritis-historis al-Qur'an bisa dilakukan dengan menggunakan metodologi analisa bibel (Biblical criticism). Merealisasikan idenya, Sell sendiri sudah menggunakan metodologi higher criticism.
Sebelum Sell, Noldeke, ikut lomba penulisan essai tentang kritis-historis al-Qur'an, yang diadakan di Paris dan ia menang. Saat itu, ia masih berumur 20 tahun. Karyanya Geschichte des Qorans (Sejarah al-Qur'an) dipublikasikan tahun 1860. Karya ini selanjutnya dilengkapi oleh F. Schwally, Bergstrasser, dan Pretzl. Mereka menyelesaikan buku kritis-historis al-Qur'an selama kurang lebih 68 tahun.
Jeffery ikut juga mengaplikasikan pendekatan-pendekatan tersebut. Hasilnya, Jeffery ingin menggagas al-Qur'an edisi kritis (a critical edition of the Koran). Jeffery mengatakan: "What we needed, however, was a critical commentary which should embody the work done by modern Orientalists as well as apply the methods of modern critical research to the elucidation of the Koran".
Latar belakang sejarah dan pemikiran ini perlu dipahami, agar dipahami, bahwa usaha untuk ‘meruntuhkan’ bangunan Islam tidaklah pernah berhenti. Dari bentuk yang sangat kasar, seperti yang dilakukan Salman Rushdi, sampai yang sangat halus, melalui infiltrasi pemikiran berbaju Islam. Tentu akan berbeda dampaknya, jika propagandis ‘Teori-Pengaruh’ itu adalah Geiger yang Yahudi dengan ‘Abdul’ ‘yang nongkrong di organisasi Islam. Meskipun sumbernya dia-dia juga. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment