Dalam kolom opini Republika, 29/12/06, Prof DR Ahmad Syafii Maarif merangkum polemik wacana pluralisme agama yang ia gulirkan dengan memunculkan polemik baru, mutlaknya kenisbian tafsir al-Quran. Syafii berpendapat bahwa kebenaran al-Quran adalah mutlak, karena berasal dari yang Maha Mutlak. Tetapi kemutlakan tersebut menjadi nisbi saat memasuki otak dan hati manusia. Maka segala penafsiran tentang al-Quran tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya. Dalam kolom Resonansi 7/11/06, ia juga menyatakan: "Bagi seorang beriman, yang final adalah kebenaran wahyu, tetapi tafsiran terhadap wahyu itu selamanya nisbi." Kemudian Syafii memandang orang yang memutlakkan penafsirannya, berarti ia telah mengambil alih otoritas Tuhan, yang artinya sejajar dengan syirik.
Nasr Hamid Abu Zaid
Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir modernis Mesir yang namanya melejit setelah menggulirkan gagasan bahwa al-Quran hanyalah produk budaya, teks manusia, teks linguistik dan fenomena sejarah. Dengan pemikirannya seperti ini, dia lalu dimurtadkan oleh lebih dari 2000 ulama negara asalnya. Namun di Indonesia, pemikiran Abu Zayd justru dibela, diperjuangkan dan dikembangkan. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, melaporkan hasil penelitiannya pada 15/11/06 di Jakarta, tentang ‘Faham-faham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat Perkotaan’. Di Yogya, penelitian difokuskan pada UIN Sunan Kalijaga, yang hasilnya menyebutkan: “Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid… Menurut Zuly Qadir bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama adalah tidak ada tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama...” (CAP ke 170)
Dalam bukunya "Naqd al-Khitab al-Dini" (1992), Abu Zayd berpendapat nisbinya penafsiran al-Quran: "Sesungguhnya al-Quran adalah teks keagamaan yang mutlak dari sisi lafadznya, namun dari sisi saat ia berinteraksi dengan akal manusia, maka hilanglah sifat kemutlakannya. Kemudian teks yang mutlak itu bergeser menjadi makna yang beragam. Karena sesungguhnya sifat yang mutlak itu adalah bagian dari sifat absolut yang sakral. Namun secara manusiawi dia adalah nisbi dan berubah. Jadi patut ditekankan bahwa kedudukan teks yang mutlak dan sakral adalah dalam kondisinya yang mentah di alam metafisika (Lauhul Mahfudz), yang tidak kita ketahui sedikit pun tentangnya, melainkan yang disebutkan oleh teks itu sendiri. Lalu kita fahami secara urgensi dari sudut pandang manusia yang berubah dan nisbi. Teks sejak waktu turunnya, atau bersamaan dengan pembacaannya oleh Nabi saat diturunkan padanya, telah bergeser kedudukannya dari Teks Tuhan menjadi teks manusia. Hal ini disebabkan al-Quran telah berubah dari wahyu menjadi interpretasi." (hal. 93)
Kemudian Abu Zayd menuduh musyrik bagi mereka yang menyakini mutlaknya penafsiran, karena telah menyamakan yang Mutlak (Tuhan) dan yang nisbi (manusia) dan menyamakan antara Maksud Tuhan dan pemahaman manusia. (hal.93-94)
Berangkat dari generalisasi nisbinya tafsir, dalam bukunya "Voice of an Excile", Abu Zayd secara tegas menghalalkan prilaku homoseksual sebagai fenomena yang alami dan menganjurkan revolusi total terhadap pemahaman al-Quran, karena pemahaman klasik memandang homoseksual sebagai penyimpangan kodrat manusia (h.89). Dengan berbekal pendekatan dikhotomis terhadap al-Quran yang memiliki dua dimensi; dimensi historis (nisbi) dan dimensi mutlak, Abu Zayd mempertanyakan: Apakah setiap yang termaktub dalam al-Quran adalah firman Allah yang harus diaplikasikan? Pertanyaannya ini dijawabnya dengan menganalogikannya pada Bibel dalam pandangan Kristen, tulisnya: “According to Christian doctrine, not everything that Jesus said was said as the Son of God. Sometimes Jesus behaved just as a man”. (hal. 174-175). Pada akhirnya, pemutlakan nisbinya penafsiran bermuara pada seruan Abu Zayd untuk meninggalkan kekuasaan teks-teks agama karena dianggap membelenggu kebebasan berfikir. (al-Imam al-Syafii wa Ta’sis al-Aidiyulujiyyah al-Wasathiyyah:146)
Apakah Penafsiran itu Mutlak Nisbi?
Pendapat Abu Zayd di atas tentunya sangat rancu. Sebab klaim bahwa semua penafsiran al-Quran bersifat nisbi, membuka beberapa konsekwensi. Pertama: kebenaran al-Quran hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat kebenaran itu sampai pada manusia, ia menjadi kabur, karena manusia tidak pernah tahu apa maksud Tuhan dalam al-Quran. Ini berarti bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan al-Quran untuk manusia. Kedua: mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Ketiga: menyeret pada pengertian bahwa seolah-olah semua ayat al-Quran tidak memiliki penafsiran yang tetap dan disepakati. Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan situasi psiko-sosialnya. Keempat: menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan al-Quran, sebab setiap orang berhak menafsiri al-Quran dengan kwalitas yang sama nisbinya. Kelima: membatalkan konsep dakwah dalam Islam, karena semua perintah dan larangan dalam al-Quran bersifat nisbi yang tidak harus dilaksanakan. Keenam: berlawanan dengan konsep ilmu. Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada kebingungan.
Andaian nisbinya tafsir secara mutlak, tentu sulit diterima akal yang jernih. Adanya perbedaan dalam penafsiran al-Quran, bukan berarti penafsiran itu mutlak nisbi. Walaupun dalam tradisi khazanah keislaman klasik, terdapat banyak ragam penafsiran ulama. Namun keragaman penafsiran itu tetap dalam koridor universalitas al-Quran dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah, hukum syariat dan sebagainya. Misalnya dalam bidang akidah, tidak ada ulama yang menafsirkan makna ayat “Qul huwallahu ahad”, dengan membenarkan teologi Trinitas. Bahkan mereka sepakat menafsirkan kata kafara dalam QS.5:73 (Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga), dengan makna murtad, dan tidak ada yang memaknai kufur nikmat.
Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang syariat pun, para mufassirin tidak berbeda pendapat tentang arah kiblat, jumlah rakaat shalat fardu, wajibnya puasa Ramadan, zakat, serta tempat berhaji. Di antara keragaman kitab tafsir, juga tidak dijumpai satu penafsiran pun yang mengatakan bahwa hukum kriminal (hudud) dan waris telah usang (out of date), dan terpengaruh budaya arab. Perbedaan antara madzhab hanya bersifat cabang (furu'iyyah), teknis fiqh dan bukan pada hal-hal yang bersifat fundamental.
Bukan tidak disengaja, bila Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa wahyu. Sebab bahasa Arab al-Quran mempunyai keunikan tersendiri. Di antara keunikannya adalah karakternya yang mampu menjelaskan kebenaran wahyu secara ilmiah. Sehingga ia mengharuskan setiap penafsiran untuk selalu tunduk pada karakter dasarnya yang unik. Unsur-unsur keilmiahan bahasa Arab dijelaskan Prof. Dr. SM. Alatas dalam bukunya, The Concept of Education in Islam: a Framework for an Islamic Philosophy of Education sebagai berikut: a). Struktur bahasa Arab senantiasa merujuk pada sistem ‘akar kata’. b). Struktur pemaknaan bahasa ini, secara jelas melekat pada kosa katanya (vocabulary) dan secara permanen diikat oleh akar katanya. c). Kata, makna, grammar dan syair dalam bahasa Arab secara scientific selalu mengawal pemaknaan dan penafsiran suatu kalimat, sehingga tidak pernah terjadi pergeseran. Maka dengan ketiga keunikan bahasa Arab itu, al-Quran melindungi dirinya untuk ditafsiri secara liar.
No comments:
Post a Comment