Saturday, August 18, 2007

MENIMBANG ‘ILLAT SYAR‘IYYAH

MENIMBANG ‘ILLAT SYAR‘IYYAH

Oleh M. Shiddiq al-Jawi

Pengantar Redaksi:

Jumhur ulama memandang bahwa Qiyas merupakan salah satu di antara dalil syariat (sumber hukum) yang menduduki martabat keempat setelah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’. Qiyas digunakan pada suatu fakta jika tidak didapati hukum dari nash-nash al-Quran, as-Sunnah, atau Ijma’. Jika hukum syariat atas suatu fakta ditetapkan melalui nash dan didasarkan pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), maka hukum syariat dapat diterapkan pada fakta lain—yang tidak ada nashnya—yang memiliki ‘illat yang sama.[i]

Tulisan ini bertujuan menjelaskan berbagai jenis ‘illat syar‘iyyah tersebut lebih lanjut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid III (Ushul Fiqih) halaman 313-358 bab Qiyas. Menurut beliau, ada 4 (empat) macam, yaitu: (1) illat sharâhah; (2) ‘illat dalâlah; (3) ‘illat istinbâth; (4) ‘illat qiyâs.[ii] Berikut ini adalah penjelasannya.


Dalam perspektif ilmu ushul fikih, Qiyas dipandang sangat urgen, karena Qiyas dapat dijadikan dasar untuk menghukumi fakta-fakta yang tidak ada nashnya dalam al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’. Dengan kata lain, Qiyas mengatasi problem keterbatasan nash pada satu sisi dan problem manusia yang tak terbatas pada sisi lain.[iii] Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang tidak membutuhkan Qiyas.”

Imam al-Muzani juga berkata, “Para fukaha (ahli fikih) sejak masa Rasulullah saw. hingga hari ini selalu menggunakan qiyas-qiyas dalam masalah fikih atau hukum-hukum dalam urusan agama mereka.”[iv]

Qiyas secara etimologis berarti mengukur (at-taqdîr). Dalam terminologi ushul fikih, Qiyas adalah menyesuaikan (ilhâq) masalah cabang dengan masalah pokok dari segi hukum syariat karena adanya kesamaan ‘illat (motif diberlakukan hukum syariat) pada masalah cabang dan masalah pokok.[v] Definisi Qiyas ini juga sekaligus menunjukkan adanya 4 (empat) rukun Qiyas, yaitu: (1) masalah pokok (al-ashl); (2) masalah cabang (al-far‘u); (3) hukum masalah pokok (hukm al-ashl); (4) ‘illat.[vi]

Dari keempat rukun Qiyas tersebut, ‘illat menduduki posisi strategis, karena ‘illat itulah yang menjadikan Qiyas dapat berfungsi. Qiyas hanya dapat terlaksana manakala masalah pokok (al-maqîs) dan masalah cabang (al-maqîs ‘alayh) mempunyai titik temu, yaitu kesamaan latar belakang penetapan hukum atau ‘illat.[vii]

Lebih dari itu, ‘illat berkaitan dengan keabsahan Qiyas sebagai sumber hukum syariat. Sebab, penetapan (itsbât) keabsahan suatu sumber hukum haruslah didasarkan pada dalil-dalil qath‘î, bukan dalil-dalil zhanni.[viii] Qiyas dapat dianggap absah sebagai sumber hukum karena keberadaannya disandarkan pada sumber-sumber hukum lain, yaitu al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ Shahabat. Keabsahan Qiyas telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath‘î ini. Sebagaimana diketahui, al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ Shahabat telah terbukti kehujjahannya sebagai sumber hukum berdasarkan dalil-dalil qath‘î. Karena itu, Qiyas yang menggunakan ‘illat dari ketiga sumber hukum ini adalah juga absah sebagai sumber hukum.[ix] Inilah posisi strategis ‘illat dalam Qiyas.

‘Illat-‘illat yang diambil dari al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ Shahabat inilah yang disebut dengan ‘illat syar‘iyyah. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ‘illat syar‘iyyah akan menjadikan Qiyas sebagai Qiyas syar‘î, yaitu Qiyas yang absah atau diakui (mu‘tabar) menurut syariat. Artinya, Qiyas yang tidak menggunakan ‘illat syar‘iyyah tidak layak untuk digunakan dalam proses istidlâl (penggunaan dalil) dalam menetapkan hukum-hukum syariat. Qiyas seperti ini pun tidak dapat dianggap sebagai suatu dalil syar‘î.[x]

Definisi ‘Illat

Illat, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, adalah suatu perkara yang menjadi latar belakang bagi pensyariatan suatu hukum (asy-syai’u alladzî min ajlihi wujida al-hukm). Dengan kata lain, ‘illat adalah suatu perkara yang menjadi motif (latar belakang) penetapan suatu hukum (al-amr al-bâ‘its ‘alâ al-hukm).[xi]Illat disebut juga ma‘qûl an-nash. Dengan itu, akal dapat menghukumi masalah cabang dengan hukum yang ada pada masalah pokok, karena pada keduanya ada ‘illat yang sama.[xii]

‘Illat merupakan jawaban dari pertanyaan mengapa suatu hukum disyariatkan. Jawaban inilah yang oleh para ulama ushul disebut dengan istilah washf munâsib, yaitu sifat (makna) yang sesuai yang menjadi latar belakang penetapan hukum; atau washf mufham, yakni suatu sifat (makna) yang dapat dipahami sebagai latar belakang penetapan hukum.[xiii] Sifat (makna) ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan pengaruh (atsar) pada hukum. Jika tidak memberikan pengaruh hukum, sifat itu bukanlah ‘illat.

Macam-Macam ‘Illat

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz III halaman 343, berdasarkan istiqrâ’ (penelaahan induktif) terhadap nash-nash syariat dalam al-Quran dan as-Sunnah, terdapat 4 (empat) macam ‘illat syar‘iyyah, yaitu: (1) ‘illat sharâhah; (2) ‘illat dalâlah; (3) ‘illat istinbâth; (3) ‘illat qiyâs. Pembagian ini didasarkan pada aspek metode perolehan ‘illat dari nash-nash syariat yang ada.

1. ‘Illat Sharâhah.

‘Illat sharâhah adalah ‘illat yang terdapat dalam nash yang secara jelas (sharâhah) menunjukkan adanya ‘illat. Ciri utama ‘illat sharâhah ini adalah digunakannya kata-kata tertentu yang dalam bahasa Arab menunjukkan adanya ‘illat (li at-ta‘lîl). ‘Illat sharâhah ini ada dua macam:

Pertama, yang menggunakan secara jelas kata li ajl atau min ajl (bermakna: karena) dan yang semisalnya. Contohnya adalah sabda Nabi saw.:

»كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ إِدِّخَارِ لُحُمَ اْلأَضَاحِ لأَِجْلِ الدَّافَةِ فَادَّخِرُوْهَا«

Dulu aku melarang kalian menyimpan daging-daging kurban untuk memberi makan orang-orang Baduwi yang datang berombongan lagi membutuhkan. Sekarang, simpanlah daging-daging kurban itu.[xiv]

Hukum dalam hadis ini adalah larangan menyimpan daging kurban karena ‘illat tertentu, yaitu ‘illat sharâhah, yang terdapat pada frasa li ajl ad-dâfah,[xv] yaitu supaya daging kurban itu dapat diberikan kepada rombongan orang Baduwi yang berkeliling dan membutuhkan daging.

Kedua, yang menggunakan secara jelas huruf-huruf ta‘lîl (huruf yang menunjukkan ‘illat), seperti kay, lam, ba, dan inna. Yang menggunakan kay (berarti: agar, supaya), misalnya, pada firman Allah Swt.:

]كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ[

.…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Ayat ini menjelaskan bahwa pemberian harta fai’ Bani Nadhir oleh Rasulullah kepada kaum Muhajirin saja, tidak termasuk kaum Anshar, adalah karena adanya ‘illat tertentu (‘illat sharâhah), yakni agar harta tidak beredar di antara orang kaya saja, tetapi bergulir juga di tengah-tengah selain orang kaya.[xvi]

Yang menggunakan lam (dibaca li yang berarti: karena), misalnya, pada firman Allah Swt.:

]فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ[

Tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami lalu menikahkan kamu (Muhammad) dengan dengannya supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk (mengawini) istri-istri dari anak-anak angkat mereka. (QS al-Ahzab [33]: 37).

Ayat ini mengandung ‘illat bahwa dikawinkannya Rasulullah saw. dengan Zainab yang telah diceraikan oleh Zaid adalah supaya kaum Mukmin tidak merasa berat hati untuk mengawini bekas istri dari anak-anak angkat mereka.[xvii]

Yang menggunakan ba (dibaca bi, berarti: karena, sebab), misalnya, terdapat pada firman Allah Swt. berikut:

]فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ[

Karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. (QS Ali ‘Imran [3]: 159).

Dalam ayat ini terdapat ‘illat sharâhah dengan huruf ba, yakni pada frasa fabimâ rahmatin min Allâh (Karena rahmat dari Allah). Jadi, ‘illat yang menyebabkan sifat lembut pada Nabi saw. adalah karena adanya rahmat Allah Swt.

Yang menggunakan inna (berarti: karena, sesungguhnya), misalnya, pada sabda Nabi saw.:

»كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِفَزُرُوْهَافَإِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ«

Dulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Sekarang, berziarahlah kalian ke kuburan, karena ziarah kubur itu mengingatkan pada alam akhirat. (HR Malik dari Anas bin Malik).

Hadis tersebut mengandung ‘illat sharâhah dengan huruf inna, yakni pada frasa fainnaha tudzakkiru al-akhirah (karena ziarah kubur itu mengingatkan pada alam akhirat). Jadi, ‘illat disyariatkannya ziarah kubur adalah untuk mengingat alam akhirat.[xviii]

2. ‘Illat Dalâlah.

‘Illat dalâlah adalah ‘illat yang diambil dari adanya tuntutan/konsekuensi yang dipahami dari makna kata (madlûl al-lafazh). Disebut ‘illat dalâlah karena ‘illat ini diperoleh dari dalâlah (makna) suatu kata. ‘Illat ini tidak diambil dari kata-kata tertentu yang dalam bahasa Arab secara langsung menunjukkan adanya ‘illat (li at ta‘lîl) seperti min ajl, li ajl, dan sejenisnya; tetapi diambil dari mafhûm (makna tersirat/kontekstual) kata, bukan dari manthûq (makna tersurat/tekstual)-nya. Ciri adanya ‘illat dalâlah ini ada dua:

Pertama, digunakannya kata-kata tertentu yang menurut bahasa Arab, dalam ungkapan tekstualnya tidak menunjukkan ‘illat (li ta‘lîl) tetapi dalam ungkapan kontekstualnya menunjukkan adanya ‘illat. Contohnya adalah fa ta‘qîb (kata fa yang menunjukkan tertib/urutan, bermakna: maka) dan hatta al-ghayah (kata hatta yang menunjukkan tujuan, berarti: hingga). Yang menggunakan fa ta‘qîb, misalnya, terdapat pada sabda Nabi saw. berikut:

»مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ«

Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.[xix]

Aktivitas menghidupkan tanah mati (ihyâ’ al-mawât), yang ditunjukkan oleh penggunaan fa ta‘qîb (fa tasbîb), menunjukkan bahwa aktivitas tersebut merupakan ‘illat atas kepemilikan tanah.

Yang menggunakan kata hatta untuk menunjukkan tujuan, misalnya, terdapat pada firman Allah Swt. berikut:

]وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ[

Jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia dapat mendengarkan firman Allah. (QS at-Taubah [9]: 6).

Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa ‘illat melindungi orang musyrik adalah memberikan kesempatan kepadanya untuk mendengar firman Allah, yakni agar dakwah sampai kepadanya.

Kedua, bahwa ketika nash tertentu menyebutkan hukum, disebutkan juga adanya washf mufham munâsib, yaitu sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami dan sesuai yang menjadi ‘illat hukum. Contohnya terdapat pada sabda Nabi saw.:

»أَلْقَاتِلُ لاَ يَرِثُ«

Pembunuh tidak berhak mewarisi.[xx]

Hadis ini mengandung ‘illat keluarnya seseorang dari golongan ahli waris, yakni karena seseorang itu melakukan tindak pembunuhan. Kata al-qâtil (pembunuh) merupakan sifat atau makna yang dapat dipahami sebagai ‘illat hukum.

Contoh lainnya terdapat pada sabda Nabi saw. berikut:

»فِي الْغَنَمِ السَّائِمَةِ زَّكَاةٌ«

Pada domba yang digembalakan ada kewajiban zakat.[xxi]

Kata as-sâ’imah (yang digembalakan) dalam hadis ini merupakan ‘illat atas kewajiban zakat bagi binatang ternak.

3. ‘Illat Istinbâth.

‘Illat istinbâth adalah ‘illat yang di-istinbâth (digali) dari susunan (tarkîb) nash yang tidak disebutkan secara tegas (sebagaimana ‘illat sharâhah) ataupun secara dalâlah (sebagaimana ‘illat dalâlah). ‘Illat ini dapat diambil dari satu nash atau beberapa nash. Ciri utama ‘illat istinbâth adalah adanya keadaan tertentu pada saat syariat memerintahkan atau melarang sesuatu. Lalu syariat melarang apa yang diperintahkan atau memerintahkan apa yang dilarang itu setelah keadaan tertentu itu lenyap. Dari sini dapat dipahami bahwa keadaan tertentu tersebut merupakan ‘illat dari hukum yang ada. Contohnya adalah ‘illat keharaman jual-beli saat azan Jumat dikumandangkan, yaitu dapat melalaikan shalat Jumat, yang digali dari surat al-Jumu’ah ayat 9 dan 10. Dalam ayat 9, Allah swt. berfirman:

]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ
[

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada Hari Jumat, bersegeralah kalian mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual-beli. (QS al-Jumu’ah [62]: 9).

Pada ayat ini, Allah Swt. melarang jual- beli pada kondisi tertentu, yaitu saat azan Jumat. Lalu pada ayat berikutnya, Allah Swt. berfirman:

]فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[

Apabila shalat Jumat telah ditunaikan, bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah. (QS al-Jumu’ah [62]: 10).

Pada ayat ini Allah memerintahkan kaum Muslim bertebaran di muka bumi dan mencari karunia-Nya. Dengan kata lain, Allah membolehkan kembali jual-beli. Kebolehan jual-beli ini terkait dengan lenyapnya kondisi tertentu yang menjadi ‘illat larangan jual-beli, yaitu usainya pelaksanaan shalat Jumat. Dari sini lalu digali ‘illat keharaman jual-beli pada saat azan Jumat, yaitu melalaikan shalat Jumat. ‘Illat ini tidak disebut secara sharâhah ataupun dalâlah.

Contoh lainnya adalah ‘illat atas kepemilikan umum pada suatu benda, yaitu menjadi kebutuhan orang banyak. Nabi saw. bersabda:

»الْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ: الْمَاءُ وَ الْكَلاَءُ وَالنَّارُ«

Kaum Muslim berserikat dalam tiga benda: air, padang gembalaan, dan api.[xxii]

Dalam hadis ini Nabi saw. menyatakan bahwa air adalah milik bersama atau, dengan kata lain, Nabi saw. melarang umatnya untuk memiliki air secara individual. Namun demikian, dalam hadis lain Nabi saw. membolehkan orang-orang di Thaif dan Khaybar untuk memiliki air secara individual. Dari sini lalu digali ‘illat yang melatarbelakangi mengapa air menjadi milik bersama, yaitu karena air dibutuhkan oleh orang banyak (wujûd al hâjah li al-jamâ‘ah). Jadi, larangan memiliki air secara individual pada hadis di atas bukan karena zat airnya itu sendiri, tetapi karena kondisi tertentu yang terjadi pada air, yaitu menjadi kebutuhan orang banyak. Hal ini dibuktikan pada bolehnya orang-orang Thaif dan Khaybar untuk memiliki air secara individual, karena air di sana jumlahnya mencukupi, sehingga orang banyak tidak mempunyai kebutuhan terhadap air.

4. ‘Illat qiyâs.

‘Illat qiyâs adalah ‘illat baru—yang diperoleh dari ‘illat yang lama—yang dapat diqiyaskan pada ‘illat-‘illat lain. ‘Illat qiyâs ini hanya terwujud pada ‘illât dalâlah yang secara khusus mempunyai washf mufham, yakni sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami sebagai ‘illat, yang berpengaruh terhadap hukum. Dari ‘illat lama ini lalu diperoleh ‘illat baru, yang disebut dengan ‘illat qiyâs. Contohnya terdapat pada sabda Nabi saw. berikut:

»لاَ يَقْضِى الْقَاضِى وَهُوَ غَضْبَانٌ«

Tidaklah seorang hakim memberikan keputusan hukum sedangkan dia sedang marah.

Dalam hadis ini terdapat ‘illat (yaitu ‘illat dalâlah) mengenai haramnya hakim mengadili dalam keadaan sedang marah. Keadaan marah (al-ghadhab) ini merupakan washf mufham, yaitu sifat/keadaan tertentu yang dapat dimengerti sebagai ‘illat, yang mempunyai pengaruh pada aktivitas mengadili perkara. Sebab, dalam kondisi marah, seorang hakim akan mengalami kekacauan pikiran dan kelabilan emosi. “Kekacauan pikiran dan kelabilan emosi” ini merupakan ‘illat baru yang dihasilkan dari ‘illat lama, yaitu “keadaan marah”. ‘Illat baru tersebut disebut ‘illat qiyâs, karena diqiyaskan pada ‘illat lain—keadaan lapar atau sedih—yang bertitik temu pada sifat tertentu yang sama, dalam hal ini adalah “kekacauan pikiran dan kelabilan emosi”. Dengan ‘illat qiyâs tersebut dihasilkan hukum-hukum baru, misalnya, haramnya mengadili perkara bagi hakim yang sedang kelaparan atau sedang mengalami kesedihan.

Penutup

Pembahasan tentang ‘illat hukum ini sesungguhnya pembahasan yang sangat mendalam dan canggih, yang tidak cukup diuraikan dalam tulisan yang singkat dan terbatas ini. Karena itu, kendatipun Qiyas sangat urgen untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak disinggung dalam nash al-Quran ataupun as-Sunnah, Qiyas tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan sembrono. Karena itu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan, bahwa Qiyas tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang mujtahid.[xxiii] Sebagian ulama menyatakan, “Jika Anda ingin mengetahui kedalaman ilmu seseorang, perhatikanlah bagaimana dia melakukan Qiyas.” Wallâhu a‘lam. []

M. Shiddiq al-Jawi, staf pengajar STAIN Surakarta.

Catatan kaki:



[i] ‘Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hlm. 54; Muhammad Husayn ‘Abdillah, Al Wâdhih fî Ushîl al-Fiqh, hlm. 103 dan 108. Sebagian ulama dari mazhab Nizhamiyah, Zhahiriyah, dan sebagian firqah Syi’ah menolak Qiyas sebagai dalil syariat.

[ii] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/343; Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, hlm. 41. Kitab beliau yang lain yang juga menyinggung Qiyas adalah Muqaddimah ad-Dustûr hlm. 50-54.

[iii] Muhammad Husayn ‘Abdillah, op.cit., hlm. 108.

[iv] Muhammad al-Khidhir Husayn, Rasâ’il al-Ishlâh, II/128.

[v] Imam asy-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl, hlm. 198; al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/126-127; Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/313; Muhammad Husayn ‘Abdillah, op. cit., hlm. 110.

[vi] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/337.

[vii] Atha’ bin Khalil, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, hlm. 85.

[viii] Imam asy-Syathibi mengatakan bahwa sumber-sumber hukum (mashdar al-ahkâm) itu “kembali pada prinsip-prinsip menyeluruh syariah (kulliyat asy-syari’ah). Apa saja yang seperti itu harus bersifat tegas (qath‘î). Seandainya dibolehkan menjadikan dalil zhannî sebagai dasar-dasar fikih (ushûl al-fiqh), tentu dibolehkan menjadikan dalil zhannî sebagai dasar dari dasar-dasar agama (ushuluddin). Padahal, kenyataannya hal itu tidak dibolehkan menurut kesepakatan ulama.” (Lihat: Imam asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, I/29-31.)

[ix] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/314; Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 53.

[x] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/318. Penegasan an-Nabhani bahwa ‘illat qiyâs wajib bersifat syar‘iyyah ini berarti menafikan Qiyas dengan ‘illat ‘aqliyyah (‘illat berdasarkan akal) dan juga menafikan anggapan keliru bahwa ‘illat itu terwujud pada realitas empirik.

[xi] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/331.

[xii] Muhammad Husayn ‘Abdillah, op. cit.,113. Istilah ma‘qûl an-nash digunakan sebagai pelengkap dari istilah manthûq (pengertian eksplisit/tersurat/literal) dan mafhûm (pengertian implisit/tersirat) dari suatu nash. Jika sebuah nash tidak mengandung ‘illat, maka nash itu hanya mempunyai manthûq dan mafhûm, tetapi tidak mempunyai ma‘qûl. Karenanya, nash ini tidak dapat diqiyaskan pada masalah lain. (Lihat: Atha’ bin Khalil, op. cit., hlm. 90).

[xiii] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/331.

[xiv] Shahîh Muslim, hadis no. 1971 dan 3643, Sunan Abû Dâwud, hadis no. 2429.

[xv] Ad-Dafah menurut Taqiyuddin an-Nabhani diambil dari kata ad-dafîf, yang berarti ad-dabîb, yaitu yang melata atau yang berkeliling. Dalam hadis ini, yang dimaksud dengan dâfah adalah rombongan yang berkeliling (al-qafilah as-sayyarah) atau yang semisalnya. (Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/344).

[xvi] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/345.

[xvii] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/347.

[xviii] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/322.

[xix] Sunan ad-Daruquthni, IV/217.

[xx] Musnad Imam Ahmad, I/49.

[xxi] Sunan Abû Dâwud, II/96; Sunan al-Bayhaqi, IV/99.

[xxii] Sunan Abû Dâwud, III/278; Sunan Ibn Mâjah, II/862; Musnad Imam Ahmad, V/364.

[xxiii] Taqiyuddin an-Nabhani, op. cit., III/326.

1 comment:

Unknown said...

terima kasih atas artikenya