MENGATASI KRISIS PERBURUHAN
Oleh Kusman Sadik
Pelabuhan Tanon Taka, Nunukan, Kalimantan Timur menjadi saksi atas penderitaan TKI ilegal yang dipulangkan. Kasus pengusiran, penahanan, sampai pada ancaman hukum cambuk bagi TKI ilegal di Malaysia ini semakin memperpanjang daftar hitam persoalan di bidang ketenagakerjaan. Tudingan akhirnya dialamatkan pada berbagai arah. Ada yang menuding bahwa para TKI ilegal itulah sebenarnya yang telah menciptakan semua kasus ini. Merekalah yang harus menanggung semua risiko sebagai konsekuensi logis atas tindakannya menjadi tenaga kerja ilegal di negeri jiran. Tudingan lain diarahkan kepada pemerintah. Pemerintah dinilai kurang tanggap. Ini dapat dilihat dari tidak adanya bilateral labour agreement (perjanjian perburuhan antara dua negara) sehingga menyebabkan mandulnya program perlindungan terhadap TKI. Hal ini berdampak pada adanya perlakuan yang semena-mena, pemerkosaan, dan penganiayaan atas TKI; bahkan mereka sering bekerja pada lapangan pekerjaan yang jauh berbeda dengan apa yang telah dijanjikan kepada mereka. Di samping itu, birokrasi berbelit-belit yang menyedot tenaga dan biaya telah mendorong para TKI berputar haluan menggunakan prosedur ilegal.
Di tengah kusutnya persoalan TKI, catatan data justru menunjukkan bahwa pengiriman TKI ke luar negeri secara signifikan terus mengalami peningkatan. Persoalan ini mungkin didorong oleh adanya program pemerintah yang ditujukan untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di dalam negeri. Yang lebih penting lagi, program ini diharapkan dapat meningkatkan devisa negara. Program ini mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 02/MEN/1994 tentang penempatan tenaga kerja di dalam dan luar negeri, Kepmenaker No. 44/MEN/1994 tentang juklak penempatan tenaga kerja di dalam dan luar negeri, serta Kepmenaker No. 204/MEN/1999 mengenai penempatan TKI di luar negeri. Secara kuantitatif (Republika, 12/08/02), selama Pelita V Indonesia telah mengirimkan 641.000 TKI ke luar negeri, sedangkan pada Pelita VI TKI yang dikirim ke luar negeri berjumlah 1.250.000 orang dengan total devisa US$ 3 miliar. Bahkan, pada tahun 2000 saja Indonesia menargetkan devisa Rp 1.5 triliun dari pengiriman TKI ke luar negeri.
Para calon TKI jalur legal setidaknya harus melalui 10 pos atau meja—baik untuk pemeriksaan KTP, paspor, hingga aparat di perbatasan—dengan biaya yang tidak sedikit. Sekitar 400 perusahaan jasa pengerah tenaga kerja Indonesia (PJTKI) juga memungut Rp 3-4 juta dari tiap calon TKI. Republika (11/08/02) memaparkan bahwa Malaysia juga diuntungkan dengan program TKI jalur legal ini, yaitu berupa pajak orang asing yang besarnya sekitar 1.200 RM untuk masa satu tahun atau setara dengan Rp 2.76 juta pada kurs Rp 2.300 per RM. Jika di Malaysia ada 200 ribu TKI legal maka pemerintah Malaysia akan mengantongi sekitar Rp 552 miliar pertahun.
Negara-negara yang mengambil sistem kapitalisme sebagai pondasi perekonomiannya akan mengembangkan strategi pembangunan ekonominya dengan bertumpu pada pungutan harta dari rakyatnya melalui pajak dan biaya birokrasi lainnya, termasuk dari para tenaga kerja. Konsep ini telah baku. Paling jauh, yang diperbaiki adalah aspek teknisnya (Lihat: Todaro, 1998). Peraturan dan UU Ketenagakerjaan yang diimplementasikan semuanya mengacu pada paradigma ini.
****
Islam sebagai ajaran paripurna dari Allah Pencipta alam diperuntukkan bagi kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia. Sistem Islam dalam masalah ketenagakerjaan ini dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu: (1) sistem Islam yang membuka keluasan kesempatan kerja; (2) kebijakan ekonomi negara Islam (Daulah Islamiyah), khususnya dalam masalah mengatur tenaga kerja antar negeri-negeri Islam.
Sistem Islam dalam Meminimumkan Pengangguran (Unemployment)
Al-Maliki (2001) menyatakan bahwa ada empat sumber ekonomi primer, yaitu: pertanian, perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia. Sebagaimana hukum-hukum tentang pertanian, perindustrian, dan perdagangan, hukum-hukum tentang tenaga manusia juga membutuhkan penjabaran yang jelas.
Hukum-hukum Islam tentang bekerja (tenaga manusia) yang akan dipaparkan di sini akan dikaitkan secara langsung dengan kebijakan Daulah Khilafah Islamiyah yang merupakan payung politik bagi negeri-negeri Islam. Daulah Khilafah Islamiyah merupakan institusi politik (kiyân siyâsî) yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam serta mengemban dakwah Islam sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad (AQ Zallum, 1996). Institusi inilah yang akan menyatukan negeri-negeri Islam seperti Malaysia, Indonesia, Mesir, Irak, Iran, Saudi Arabia, Sudan, dsb di bawah satu kepemimpinan. Institusi ini pula yang akan mengatasi seluruh masalah di bidang ketenagakerjaan.
An-Nabhani (1990) memasukkan bekerja sebagai salah satu sebab-sebab syar‘î untuk memiliki harta (asbâb at-tamalluk) secara individual (fardhiyyah). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bekerja merupakan aktivitas penting bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam telah mewajibkan bekerja atas kaum laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga atau yang memiliki tanggungan nafkah atas keluarga maupun atas orang-orang yang ditanggungnya. Dengan demikian, melalaikan tanggungan nafkah yang dibebankan kepada pihak laki-laki atas orang-orang yang ditanggungnya merupakan perbuatan dosa, sama seperti melalaikan perbuatan wajib lainnya seperti shalat, shaum, haji, zakat, mengemban dakwah, menuntut ilmu, amar makruf nahi mungkar, dan lain-lain. Allah Swt. berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Karena itu, berjalanlah kalian di segenap penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. (QS al-Mulk [67]: 15).
Ayat ini mendorong manusia untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, terutama kebutuhan pokoknya. Apabila ada orang-orang yang mengabaikan kewajiban mencari nafkah, padahal ia mampu untuk bekerja, maka negara berkewajiban memaksanya untuk menunaikan kewajibannya. Berdasarkan ayat di atas, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa penguasa (waliy al-amri) wajib memberikan dan menyediakan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat.
Apabila kita menelaah hukum-hukum syariat, akan terlihat dengan jelas bahwa Islam adalah sistem yang mampu meminimumkan terjadinya pengangguran di tengah-tengah umat. Allah Swt. telah mensyariatkan bentuk-bentuk kerja yang dapat dijadikan sebagai sebab-sebab kepemilikan harta, yaitu: menghidupkan tanah mati; menggali kandungan bumi; berburu; makelar (samsarah); perseroan harta dengan tenaga (mudhârabah), mengairi lahan pertanian (musâqât), dan kontrak tenaga kerja (ijârah). Beberapa di antaranya akan dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Ihyâ’ al-Mawât (Menghidupkan Tanah Mati).
Tanah mati adalah tanah yang tidak bertuan dan tidak dimanfaatkan oleh satu orang pun. Yang dimaksud dengan menghidupkannya (ihyâ’ al-mawât) adalah mengolahnya dengan menanaminya, baik dengan tanaman maupun dengan pepohonan, atau dengan mendirikan bangunan di atasnya. Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apapun. Tanah mati yang dihidupkan menjadi milik orang yang menghidupkannya. Nabi saw., sebagaimana ditirukan oleh ‘Umar bin al-Khaththab, pernah bersabda:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka (tanah mati yang telah dihidupkan) tersebut adalah miliknya. (HR Imam al-Bukhari).
Betapa banyak tanah-tanah mati (lahan tidur) di dunia ini, khususnya di negeri-negeri Islam, yang tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena tanah-tanah tersebut telah dikuasai oleh negara atau para konglomerat tanah. Jika negeri-negeri Islam berada dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah, maka umat Islam termasuk kafir dzimmi (orang kafir yang tunduk di bawah hukum Daulah Khilafah Islamiyah) akan mendapatkan ruang gerak untuk bekerja yang cukup luas. Tenaga kerja Indonesia dapat pergi ke berbagai daerah yang subur seperti di Irak, Mesir, atau bisa juga pergi ke Afrika untuk membuka tanah mati di sana tanpa harus menanggung pajak dan ditangkapi seperti TKI ilegal di Malaysia.
Dalam rangka meningkatkan produksi dari tanah mati atau lahan tidur dalam Daulah Khilafah Islamiyah, ‘Umar bin al-Khaththab sebagai khalifah saat itu menerapkan kebijakan: Bagi orang yang membiarkan tanahnya (tidak dimanfaatkan), tidak ada hak baginya setelah dibiarkan selama tiga tahun. Tanah yang tidak dimanfaatkan selama tiga tahun akan dirampas oleh negara untuk diberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya. Para sahabat melihat dan mendengar kebijakan ‘Umar ini dan tidak satupun di antara mereka yang mengingkarinya. Karena itu, kebijakan ini telah menjadi Ijma Sahabat.
b. Ash-Shayd (Berburu).
Ash-Shayd dapat diartikan dengan berburu atau menangkap hewan di darat, laut, dan udara. Namun demikian, fakta saat ini, yang paling memungkinkan memberikan hasil ekonomi sangat besar, adalah berburu hewan laut/sungai/danau seperti berburu ikan, mutiara, batu permata, bunga karang, serta harta yang di peroleh dari hasil laut lainnya. Allah Swt. berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ َ
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. (QS al-Maidah [5]: 96).
Empat perlima luas bumi adalah air termasuk laut, sungai, dan danau. Padanya Allah Swt. menciptakan berbagai sumber harta kekayaan yang disediakan untuk kesejahteraan manusia semata. Namun sayang, hukum internasional telah mengubah laut lebih berfungsi sebagai basis pertahanan negara, termasuk antar negeri-negeri Islam, ketimbang sumber karunia dan tempat manusia mencari nafkah. Misalnya, jika ada warga Malaysia yang mencari nafkah dengan cara menjala ikan di perairan Indonesia, ia akan ditangkap karena melanggar batas-batas teritorial laut wilayah suatu negara. Konsep nation state (negara bangsa) sebenarnya telah memandulkan potensi tenaga dan potensi alam secara ekonomis di antara negeri-negeri Islam. Hukum-hukum internasional telah membentuk batas-batas geografis maya yang pada dasarnya telah menyekat dan mengerdilkan potensi umat Islam—yang andaikata berada dalam sistem kesatuan Daulah Khilafah Islamiyah—akan menjadi sumber kekuatan, khususnya di bidang ekonomi secara dahsyat.
c. Mudhârabah (Kerjasama).
Mudhârabah adalah kerjasama atau perseroan antara dua orang atau lebih dengan modal (investasi) finansial dari satu pihak dan tenaga dari pihak lain. Kedua belah pihak kemudian menyepakati prosentase tertentu dari hasil keuntungan yang diperoleh. Mudhârabah termasuk ke dalam kategori bekerja yang merupakan salah satu sebab kepemilikan (asbâb at-tamalluk) harta bagi pihak pengelola (mudhârib) dan merupakan salah satu sebab pengembangan kepemilikan harta (tanmiyyah al-milkiyyah) bagi pemilik modal (shâhib al-mâl)
Saat ini, sistem mudhârabah belum efektif berjalan di tengah-tengah umat. Sebab, di samping pemahaman atas syariat Islam dalam bidang ekonomi masih kurang, tata peraturan ekonomi negara juga masih memarjinalkannya. Sistem ekonomi negara yang berbasis pada kapitalisme akan lebih bertumpu pada transaksi-transaksi derivative seperti yang terjadi di lantai bursa yang underlying assets. Padahal, sektor ekonomi non-real di lantai bursa ini telah mengakibatkan keroposnya sektor ekonomi real yang akhirnya mengakibatkan tingkat produksi, industri, dan lapangan kerja sulit bernafas.
Daulah Khilafah Islamiyah justru akan menutup rapat-rapat pintu transakasi derivative dan akan menggelembungkan sektor ekonomi real; salah satunya melalui sistem mudhârabah ini. Misalnya, kaum Muslim yang memiliki modal dari Saudi Arabia, Kuwait, dan Brunei dapat melakukan mudhârabah dengan kaum Muslim Indonesia yang memiliki tenaga kerja dan keahlian di bidang agribisnis, perikanan, kerajinan tangan, dan lain sebagainya tanpa dibebani pajak sebagai orang asing. Tentu hal ini akan menggulirkan kemajuan ekonomi umat dan membuka kesempatan kerja yang sangat luas.
d. Ijârah (Perburuhan).
Islam tidak membelah masyarakat menjadi kelas buruh dan kelas pengusaha, proletar dan borjuis, buruh tani dan tuan tanah, buruh nelayan dan juragan kapal, dan lain-lain. Sebab, dalam Islam, mereka yang dikelompokkan dalam berbagai kategori itu seluruhnya disebut dengan ajir (buruh). Kaum buruh dalam Islam meliputi semua profesi kerja seperti konsultan, dosen, rektor, insinyur, para direktur dan manager yang digaji/diupah; juga buruh pelabuhan, tukang becak, tukang cukur, tukang sayur, tukang sepatu, tukang jahit, buruh pabrik, dan lain-lain. Semuanya dipandang sebagai buruh; baik yang bekerja pada perorangan, kantor swasta, pabrik/lembaga/perusahaan maupun yang bekerja pada negara (pegawai negeri). Sebaliknya, lembaga, perusahaan atau orang yang mengupahnya dinamakan must‘jir. Bentuk transaksi perburuhan/penyewaan tenaga di dalam Islam dikenal dengan istilah ijârah (perburuhan).
Seorang buruh (ajir) maupun majikan (musta‘jir) wajib menaati dan menjalankan apa yang telah diakadkan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan syariat Islam yang mulia. Seorang buruh wajib bekerja sesuai dengan akad yang disepakati, sedangkan majikan wajib memberinya upah, juga sesuai dengan akad, tepat waktu tanpa ditunda-tunda lagi. Daulah Khilafah Islamiyah akan memberikan sanksi kepada mereka yang melalaikan akad atau berlaku zalim, sebab hal itu diharamkan oleh Allah Swt. Allah Swt. berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian sedangkan kalian mengetahuinya. (QS al-Anfal [8]: 27).
Peran Sistem Ekonomi Islam yang Diterapkan oleh Negara
Di samping itu, sistem ekonomi Islam yang dijalankan oleh Daulah Khilafah Islamiyah juga harus menciptakan kondisi kondusif bagi masyarakat Islam agar kesempatan kerja dapat berjalan dengan baik. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, melarang terjadinya penimbunan harta (kanz al-mâl). Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt. berikut:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (QS at-Taubah [9]: 34).
Dalam rangka melaksanakan firman Allah Swt. di atas, Daulah Khilafah Islamiyah akan menindak orang-orang yang menimbun harta karena akan mematikan sektor real (produksi dan konsumsi) yang sangat dibutuhkan umat. Penumpukan uang tanpa tujuan untuk dibelanjakan akan mencabut uang itu dari peredarannya di masyarakat yang akhirnya akan mengganggu kelancaran roda perekonomian, termasuk menciutkan lapangan kerja.
Kedua, melarang riba dalam bentuk apapun seperti bank-bank riba, bursa uang, dsb. Allah dan Rasul-Nya memaklumkan perang atas pelaku riba ini.
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Jika kalian tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Jika kalian bertobat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS al-Baqarah [2]: 279).
Riba atau yang kini lazim disebut dengan bunga (interest) adalah alat kejahatan ekonomi. Riba telah menjerumuskan masyarakat dalam kesulitan besar dan hanya menguntungkan sedikit orang. Riba juga memiliki andil besar dalam memacetkan roda perekonomian masyarakat serta menurunkan minat investasi dan dayabeli masyarakat.
Ketiga, negara turut memberikan fasilitas atau kemudahan kepada warga negara—tanpa pilih kasih—untuk berusaha; baik dalam bidang pertanian, perdagangan, industri maupun jasa. Negara tidak membebani para pengusaha dengan biaya administrasi dan pajak apapun, baik untuk perizinan maupun untuk aktivitas usaha. Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab pernah memberikan modal sarana produksi pertanian kepada para petani di Irak tanpa diminta pengembalian dari mereka (An Nabhani, 1990).
Berbagai kebijakan di atas sangat berbeda secara diametral dengan kebijakan ekonomi negara dalam sistem kapitalisme, atau dikenal dengan ekonomi makro, yang justru bertumpu pada pilar utama riba/suku bunga (Lihat: Amos JR, 1990). Melalui sistem bunga, para pemilik modal justru lebih berminat mendepositokan hartanya di bank daripada untuk berkecimpung langsung di ekonomi real melalui mudhârabah misalnya. Padahal, sistem mudhârabah akan mampu menggerakkan produksi dan memperluas lapangan kerja, khususnya bagi mereka yang mempunyai tenaga dan keahlian tetapi miskin modal. Wajar kalau pengamat Barat pun, seperti Pigou, menuding suku bunga sebagai penyebab matinya ekonomi masyarakat.
Nasionalisme dan Pengerdilan Potensi Umat
Atas dasar semangat nasionalisme, TKI yang bekerja tanpa melalui jalur resmi yang identik dengan birokratis, pajak, dan pungutan telah diperlakukan sebagai orang asing yang melakukan tindak kriminal berat di Malaysia. Melalui operasi Ops Nyah II 2002, misalnya, Malaysia telah menangkap dan mendeportasi ratusan ribu TKI yang dokumennya sebagai orang asing tidak lengkap. Bahkan, ada 1202 rumah TKI yang dibakar dan 264 rumah TKI dirobohkan di daerah Selangor dan Kunak (Republika, 11/08/02). Selama operasi tersebut juga dilaporkan ada 6 TKI yang tewas kecebur Sungai Langat di Port Klang demi menghindari kejaran para petugas. Penderitaan itu tetap menghimpit para TKI hingga di Nunukan Kaltim, tempat penampungan mereka. Kekurangan bahan makanan, berjangkitnya berbagai penyakit, serta meninggalnya bayi dan anak kecil telah menjadi berita harian yang sangat menyedihkan dari Nunukan.
Para TKI itu umumnya adalah Muslim dan penduduk Malaysia pun secara mayoritas juga Muslim. Akan tetapi, batas teritorial geografis telah menghapus segala ikatan ideologi kaum Muslim, yaitu akidah Islamiyah. Paradigma nasionalisme yang merupakan anak kandung kapitalisme telah meruntuhkan hubungan antar Muslim dengan alasan berbeda geografis, sehingga hubungan yang dibangun adalah hubungan sebagai orang asing. Konsep nasionalisme ini sejak awal telah dilarang oleh Rasulullah saw. untuk eksis di tengah-tengah masyarakat Islam. Rasulullah saw. bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
Bukan dari golongan kita orang yang menyeru kepada ‘ashabiyyah (kesukuan, primordialisme, nasionalisme, dsb); bukan dari golongan kita orang yang berperang atas dasar ‘ashabiyyah; dan bukan dari golongan kita orang yang mati atas dasar ‘ashabiyyah. (HR Abu Dawud).
Bahkan orang-orang Barat pun mulai mengkritik ide nasionalisme ini. Thurow (1997) mengemukakan bahwa saat ini sedang terjadi proses peleburan ideologis negara-negara yang terwujud melalui penyatuan geografi, ekonomi, sosial, teknologi, dan budaya. Tren ini ditandai dengan fenomena bersatunya blok-blok ekonomi yang dilakukan oleh beberapa negara di dunia seperti NAFTA (North America Free Trade Area), AFTA (Asean Free Trade Area), maupun bersatunya 12 negara Eropa ke dalam Masyarakat Eropa berdasarkan The Treaty on European Union.
Karena itu, menyatukan negeri-negeri Islam seperti Malaysia, Brunei, Arab Saudi, Kuwait, Irak, Iran, Sudan, Mesir, Libya, Lebanon, Turki, Indonesia, dsb dalam berbagai potensinya ke dalam payung politik Daulah Khilafah Islamiyah merupakan keniscayaan yang realitanya makin menguat. Kesatuan real yang komprehensif—termasuk secara politik dan ekonomi—yang berdiri di atas pondasi akidah Islamiyah inilah yang seharusnya menjadi agenda utama kaum Muslim di seluruh dunia agar mampu menenggelamkan riwayat sistem kapitalisme yang menjadi akar segala problem kelemahan dan penderitaan umat. Wallâhu a‘lam. []
Ir. Kusman Sadik, M.Si, staf pengajar IPB Bogor.
Daftar Bacaan
Al-Maliki, Abdurrahman. 2001. Politik Ekonomi Islam (terj.). Al Izzah, Bangil Jatim.
Amos JR, Orley M. 1990. Macroeconomics Concepts, Analysis, and Application. Wadsworth Publishing Company, California.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Darul Ummah, Beirut Libanon.
Republika. 11 & 12 Agustus 2002. Jakarta
Thurow, Lester. 1997. The Future of Capitalism. Nicholas Brealey Publishing Limited, London.
Todaro, Machael P. 1998. Economic Development. Addison Wesley Longman Limited, London.
Zallum, A.Q. 1996. An-Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm. Penerbit Darul Ummah, Beirut Libanon.
Zallum, A.Q. 1963. Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbab al-Mawjibat. Penerbit Hizbut Tahrir, Beirut Lebanon.
No comments:
Post a Comment