Wednesday, August 8, 2007

Kewajiban Khilafah Menurut Para Ulama

Allah Swt. menetapkan bahwa umat Islam adalah satu umat (QS 21: 92; 23: 52). Allah juga memerintahkan kaum Muslim untuk bersatu (QS 3: 103). Sebaliknya, Allah melarang perpecahan, perselisihan dan pertikaian di antara kaum Muslim (QS 3: 8: 46). Persatuan umat itu terwujud dalam persatuan akidah Islam dan sistem yang terpancar darinya. Hal itu menuntut agar kaum Muslim berada di bawah satu sistem, satu negara, dan satu pemimpin. Sistem dan negara yang diinginkan syariah itu adalah Khilafah yang dipimpin oleh Khalifah yang diangkat oleh kaum Muslim melalui baiat untuk mewakili umat menerapkan syariah Islam.

Persatuan yang wajib itu tidak akan terwujud kecuali dengan adanya Khilafah dan Khalifah. Sesuai kaidah syariah, Mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa wâjib, menegakkan Khilafah dan mengangkat seorang khalifah adalah wajib. Generasi terbaik umat ini yaitu para Sahabat telah berijmak akan kewajiban itu. Al-Haytsami1 menyatakan “Ketahuilah, para Sahabat ra. telah berijmak (bersepakat) bahwa mengangkat Imam/Khalifah setelah berakhir-nya zaman Nubuwwah (kenabian) adalah wajib. Bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban terpenting tatkala mereka menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut dengan menunda penguburan jenazah Rasulullah saw.”

Hal itu merupakan perkara yang ma’lûmun min ad-dîn bi adh-dharûrah. Imam al-Qurthubi mengatakan2 bahwa tidak ada perbedaaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (mengangkat seorang Khalifah) di kalangan umat dan para imam madzhab. Bahkan al-Iji, Ibn Khaldun, Ibn Hazm, Khathib al-Baghdadi, al-Qahir, al-Qurthubi, ar-Razi, asy-Syahrastani, asy-Syaukani, al-Mawardi, al-Farra’ dan ulama salaf lainnya menyatakan bahwa seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Muktazilah, Khawarij, dan Murjiah3 semuanya berpendapat bahwa umat wajib memiliki seorang imam (khalifah) dan hukum mengangkatnya adalah wajib.

Imam Ahmad mengingatkan akibat yang akan muncul dari tiadanya Khilafah. Beliau mengatakan, “Fitnah akan terjadi jika tidak ada Imam (Khalifah) yang mengurusi urusan orang banyak.”

Dengan tiadanya Imam/Khalifah, berbagai kemaslahatan manusia menjadi terlantar dan perselisihan yang terjadi tidak terselesaikan.

Al-Iji dalam al-Mawâqif menyatakan, “Maksud Asy-Syâri‘ (Allah Swt.) dalam apa yang telah disyariahkan berupa muamalah, munâkahat, jihad, hudûd, peradilan, serta syiar-syiar Islam dan lainnya, semuanya tidak lain merupakan kemaslahatan-kemaslahatan yang kembali kepada manusia. Semua ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya seorang imam (khalifah) yang menjadi rujukan dalam apa-apa yang diperselisihkan oleh para hamba.”

Dengan adanya perbedaan keinginan, beraneka ragamnya pandangan dan pertentangan sebagian terhadap sebagian lainnya, maka perselisihan dan pertikaian bisa jadi membinasakan mereka secara keseluruhan. Pengalaman sejarah menjadi saksi bahwa tidak tegaknya Khalifah mengakibatkan terlantarnya agama, keluar dari Islam dan terjadinya perpecahan kaum Muslim sebagaimana yang terjadi sekarang. Maka dari itu, al-Jurjani, pen-syarah Al-Mawâqif, menyatakan, “Mengang-kat seorang imam/khalifah adalah termasuk apa yang akan menyempurnakan berbagai kemaslahatan kaum Muslim dan bagian dari tujuan agama yang paling agung.”

An-Nawawi4 juga menyatakan, “Umat ini harus memiliki imam yang menegakkan agama, menolong as-Sunnah, memberikan keadilan kepada orang-orang yang dizalimi, serta memenuhi hak-hak dan meletakkannya pada tempatnya.”

Syaikh Abu Zahrah5 menyatakan, “Sungguh, jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang menegakkan shalat Jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudûd, mengumpul-kan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat, menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang Utama.”

Dengan demikian, amat jelas bahwa Khilafah harus ditegakkan. Bahkan syariah menegaskan, di tengah-tengah kaum Muslim hanya boleh ada atau diangkat satu orang imam/khalifah saja pada satu waktu. Ibn Hazm menyatakan, “Para ulama bersepakat bahwa kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia tidak boleh memiliki lebih dari satu imam/khalifah, baik berdekatan atau berjauhan, di dua tempat ataupun di satu tempat.”

Syariah juga memerintahkan untuk mencegah bahkan memerangi siapa saja yang hendak memecah jamaah atau persatuan kaum Muslim yang berhimpun di bawah Khalifah. Karena itu, as-Sanqithi6 menyatakan, “Termasuk perkara yang sudah jelas (ma’lûmun min adh-dharûrah ad-dîn) bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang imam/khalifah yang kepadanya terhimpun kalimat dan menerapkan hukum-hukum Allah Swt. di bumi-Nya.”

Dr. Musthafa Hilmi7 juga menyatakan, “Persatuan umat itu mengharuskan mereka dihimpun oleh sistem yang satu, yaitu Khilafah, yang telah belangsung sekitar empat belas abad; yakni sejak Abu Bakar ash-Shidiq ra. menduduki tampuk Khilafah setelah Rasulullah saw. Sistem ini (yakni sistem Khilafah), di samping menginternalkan persatuan umat, sesungguhnya ia berbeda dari seluruh sistem politik yang ada di dunia, bahwa sistem ini merupakan Khilafah Nabawiyah; agar umat ini secara keseluruhan tetap menjadi pengemban risalahnya.”

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tegaknya Khilafah dan diangkatnya seorang khalifah merupakan kunci terpenuhinya berbagai kemaslahatan manusia; juga menjadi pilar yang tanpanya agama tidak bisa ditegakkan sempurna. Khilafah dan Khalifah itu juga merupakan kunci terealisasinya persatuan umat yang hakiki. Wajar jika menegakkan Khilafah dan mengangkat seorang khalifah dinilai sebagai kewajiban agama yang paling agung,8 dan aktivitas taqarrub yang paling utama.9Sebaliknya, mengabaikannya termasuk kemaksiatan yang paling besar. Karena itu, umat harus menjadikannya sebagai agenda utama, pusat perhatian, dan memperjuangkannya dengan penuh kesungguhan supaya sesegera mungkin dapat terealisasi.

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Catatan Kaki:

  1. Al-Haytsami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 17.
  2. Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubî, I/264.
  3. Al-Iji, Al-Mawâqif, hlm. 603; Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 181-182; Ibn Hazm, Al-Fashlu, IV/87; Khathib al-Baghdadi, Ushûluddîn, 271-272; al-Qahir, Al-Farq bayn al-Firaq, 210; al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthûbî, I/264; ar-Razi, Al-Mahshûl, 181; asy-Syahrastani, Al-Milal, IV/87; asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, II/265; al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, 5; al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, 19; kecuali Najadat (Muktazilah), al-Asham dan Hisyam al-Ghawtsi (Khawarij); dari kalangan sekular modern seperti Ali Abdur Raziq.
  4. An-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn, X/42
  5. Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, 88.
  6. As-Sanqithi, Adhwâ’ al-Bayân, I/I50.
  7. Dr. Mushthafa Hilmi, Nizhâm al-Khilâfah fî al-Fikri al-Islâmî, Muqaddimah, hlm.
  8. Lihat, Ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99.
  9. Ibn Taimiyah, As-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, 161; Majmû‘ al-Fatawâ, XXVIII/62.

No comments: