Thursday, July 5, 2007

Pelaku Terorisme, antara Ada dan Tiada


Miliarder George Soros berpendapat, perang melawan terorisme merupakan hal yang menyesatkan karena kita tidak tahu pasti sosok dan keberadaan teroris. Jenis perang seperti ini rawan manipulasi.
Terbukti, menurut Soros, para “ekstremis” dalam pemerintahan Presiden AS George W Bush menggunakannya sebagai alat pembenaran menginvasi Afganistan dan Irak (George Soros, America After 9/11: Victims Turning Perpetrators; Open Democracy, 20/5/2004).
Tidak hanya itu, agen-agen rahasia AS (CIA) malang melintang di belahan bumi. Bekerja sama dengan aparat keamanan setempat, CIA menculik orang yang diduga “terkait jaringan” teror internasional.
Ironisnya, tidak sedikit terjadi kasus salah culik. Seperti dialami Osama Mustafa Hasan Nasar, ulama Mesir. Ia diculik di sebuah jalan di Milan, Italia (17/2/2003). CIA kemudian menerbangkan Mustafa Nasar ke Mesir, negara yang terkenal sadis dalam menyiksa tahanan.
Jaksa penuntut umum di Milan akhirnya menetapkan 26 agen CIA sebagai tersangka in absentia. Namun, proses hukum ini tidak akan memulihkan keadaan Nasar, yang kehilangan 70 persen pendengaran dan depresi mental akibat penyiksaan (Associated Press, 8/6).
Berdasarkan informasi polisi Kanada, CIA menculik Maher Arar (36) saat transit di Bandara John F Kennedy, New York, (21/9/2002). Ia diterbangkan ke Damascus (Globe and Mail, 19/9/2006).
Arar, warga negara Kanada turunan Suriah, ternyata bukan teroris. Ia dibebaskan setahun kemudian dalam kondisi menyedihkan. Pemerintah Kanada membayar kompensasi 11,5 juta dollar AS kepada Arar.
Khaled el-Masri, warga negara Jerman berdarah Lebanon, diculik ketika berlibur di Macedonia (31/12/2003). Ia disiksa selama mendekam 5 bulan di penjara rahasia CIA di Afganistan.
Januari lalu pengadilan Munich memerintahkan penangkapan 13 anggota CIA yang terlibat dalam kasus penculikan el-Masri (DPA, 5/1).
Laporan komisi parlemen Eropa baru-baru ini mencatat lebih dari 1.000 penerbangan ilegal CIA di wilayah Eropa sejak tahun 2001. Penerbangan ini mengangkut tahanan ilegal dan orang-orang yang diculik.
Pernyataan aparat di Dunia Ketiga, kampanye perang melawan terorisme yang disponsori AS berubah menjadi teror. Laporan Human Rights Center for the Assitance of Prisoners tahun 2005 mencatat, Pemerintah Mesir memenjarakan lebih dari 15.000 orang aktivis Islam.
Akan tetapi, seperti kata George Soros, tidak seorang pun tahu sosok dan keberadaan teroris. Kecuali oleh pernyataan resmi aparat keamanan.
Lantas, seperti di Indonesia, banyak orang terperanjat karena tiba-tiba saja polisi mengepung rumah tetangga. Dari media massa mereka mengetahui, warga yang santun tersebut ternyata “teroris”.
Hal yang sama dirasakan ketika aparat kepolisian menangkap tujuh tersangka teroris di Sleman, Temanggung, dan Surabaya, akhir Maret lalu.
“Irhabiyah”
Baru-baru ini polisi kembali menangkap delapan tersangka teroris. Dua di antaranya, Zarkasih alias Mbah, amir darurat kelompok Jemaah Islamiyah (JI), dan Ainul Bahri alias Abu Dujana, pemimpin sayap militer JI.
Dr H Ramli Abdul Wahid, Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sumut, berpendapat, masyarakat perlu mempertanyakan keberadaan dan kebenaran oknum teroris di Indonesia, yang akhir-akhir ini banyak ditangkap (Antara, 21/6/2007).
Menurut Dr Ramli, umumnya kelompok teroris sangat militan dan kerahasiaan kelompoknya dipertaruhkan dengan nyawa. Sebaliknya, teroris yang ditangkap polisi hari ini, besok sudah mengaku dan membeberkan jaringannya.
Anggota Komisi Bidang Fatwa MUI Sumut ini berpendapat, apa yang mereka terapkan selama ini bukanlah konsep jihad, melainkan irhabiyah, yakni menakut-nakuti dan memerangi tanpa pandang bulu.
Dengan kata lain, para tersangka lebih tepat disebut kelompok kriminal bersenjata ketimbang teroris dengan bendera agama. Klaim mewakili JI perlu dipertanyakan.
Sikap Pemerintah RI sendiri cukup jelas, yakni tidak mengenal organisasi ataupun kelompok bernama JI di negeri ini. Maka, desakan negara-negara Barat dan sekutunya agar pemerintah menyatakan JI sebagai organisasi terlarang tidak ditanggapi.
Barangkali, desakan tersebut salah alamat. Seharusnya ditujukan kepada Malaysia, Singapura, atau Australia karena ketiga negara inilah yang kerap berbicara soal bahaya JI.
[Maruli Tobing; Kompas; Jumat, 29 Juni 2007]

No comments: