Saturday, June 23, 2007

Indonesia: Semakin Masuk dalam Perangkap Asing

(Dari Isu Terorisme, Tekanan AS Terhadap TNI Hingga Perjanjian DCA RI-Singapura)

Dalam pekan-pekan terakhir ini setidaknya ada 3 (tiga) isu politik penting di Tanah Air yang sangat menentukan nasib Indonesia ke depan. Pertama: isu ‘klasik’ terorisme yang kembali dimunculkan seiring dengan keberhasilan Kepolisian RI menangkap Abu Dujana yang disebut-sebut sebagai gerbong teroris yang lebih berbahaya daripada Noordin M Top, yang sama-sama telah lama diduga sebagai orang penting di lingkaran organisasi “teroris” Jamaah Islamiyah.

Kedua: Ancaman pemutusan/pembatasan bantuan militer untuk yang kesekian kalinya oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia terkait dengan kinerja Pemerintah Indonesia yang dianggap lamban dalam melakukan reformasi di tubuh TNI dan dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Timor Timur pasca jajak-pendapat tahun 1999.

Ketiga: Implementasi Perjanjian DCA antara RI dan Singapura yang belum apa-apa sudah menimbulkan persoalan, yang dipicu oleh sikap ngotot Singapura yang memahami implementasi perjanjian tersebut secara sepihak.

Ketiga isu yang terjadi berbarengan ini jelas menarik jika dikaitkan dengan posisi Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim dan dengan posisi geopolitis Indonesia yang strategis, yang memang sejak lama menjadi incaran negara-negara asing, khususnya AS. Tidak aneh, jika sejak tahun 1950-an (Orde Lama), Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini, AS banyak bermain dalam banyak hal demi semakin menguatkan cengkeramannya atas Indonesia; apalagi sejak isu terorisme dimunculkan pasacta Peristiwa 11/9.

Analisis

Pertama: terkait dengan isu terorisme yang kembali mencuat, khususnya sejak sebelum hingga pasca penangkapan Abu Dujana. Dalam hal ini, tampak adanya pola-pola yang sama dengan penangkapan para tersangka teroris sebelumnya. Pola tersebut adalah opini lebih dulu dipublikasikan lalu konstruksi hukum baru disusun. Contoh: perubahan Yusron menjadi Abu Dujana bukan melalui proses hukum, tetapi melalui pengembangan opini. Dengan begitu, ada kesan, perang terhadap terorisme dibimbing oleh sebuah skenario di luar hukum. Pola ini membuat perburuan para tersangka terorisme hanya mengarah pada kelompok tertentu (Islam).

Sebagaimana diungkap oleh Munarman SH dari Tim Advokasi FUI dalam Topik Minggu Ini di SCTV Rabu Malam (13/6), berdasarkan abtraksi dalam International Crisis Group (ICG), polisi akan menonaktifkan orang yang bertekad menyerang kepentingan Barat. “Orang yang disasar adalah yang ada dalam struktur JI, terlibat atau tak terlibat tidak menjadi soal,” ungkap dia, sambil menambahkan, “Di pengadilan tidak terbukti terkait terorisme yang ada hanya soal pemalsuan KTP (kartu tanda penduduk), paspor, dan lain-lain.” (Liputan6.com, 14/6).

Memang, sebagaimana terungkap melalui penjelasan pihak Kepolisian, Abu Dujana mengakui semua perbuatannya. Namun, setidaknya hal itu diragukan oleh Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir, yang mengaku mengenal Abu Dujana. Ba’asyir menyatakan kurang mempercayai jika Abu Dujana adalah orang yang harus bertanggung jawab atas terjadinya serangkaian peledakan bom di Tanah Air. Menurut dia, bukan tidak mungkin semua pengakuan maupun bukti hanyalah rekayasa. Karena itu, sebelum ada putusan pengadilan yang sah, Ba’asyir tidak percaya dengan tuduhan polisi kepada Abu Dujana dan kawan-kawan yang tertangkap itu. Ba’asyir mengimbau kepada masyarakat untuk tidak mudah percaya dengan tuduhan-tuduhan yang dilakukan Densus 88 maupun propaganda Amerika dan sekutunya seperti Australia bahwa Abu Dujana sebagai pelaku kekerasan bersenjata di Indonesia. Ba’asyir mengatakan, ”Bisa jadi pengakuan itu karena ditekan. Amrozi (terpidana bom Bali I) pernah mengaku bahwa saya terlibat dalam peledakan bom di Bali, tapi kemudian dia terpaksa berbohong karena tidak kuat disiksa. Ini kan bentuk rekayasa juga.” (Tempo.interaktif.com, 15/6).

Sebagaimana telah banyak dipahami, perang terhadap terorisme ini adalah salah satu cara baru AS dan sekutunya untuk menjaga dominasinya menguasai dunia, khususnya Dunia Islam, setelah musuh utama mereka, yakni Komunisme, berhasil diruntuhkan. Namun, karena AS dan sekutuhnya tidak berani secara terang-terangan menyatakan musuhnya sistem dan ideologi Islam, maka dibuat skenario besar yang menyasar gerakan-gerakan Islam. Dalam hal ini, Indonesia adalah salah satu yang dibidik. Selain posisinya yang strategis secara geopolitis, kaya sumberdaya alam, juga karena mayoritas warganya adalah Muslim yang merupakan terbesar di dunia. Keberhasilan AS di Indonesia dalam perang melawan terorisme jelas akan menjadi pioner bagi sistem pengembangan AS dalam masyarakat Islam.

Wajarlah jika penangkapan tersangka teroris Abu Dujana dan ketujuh tersangka lainnya baru-baru ini segera mendapatkan apresiasi dan pujian dari AS dan sekutunya, Australia, yang sekaligus merupakan ’sherrif’ AS di Asia Tenggara. Pemerintah Amerika Serikat (AS) secara khusus berterima kasih atas sikap aparat Indonesia yang dianggap telah berhasil menangkap Abu Dujana dan menyatakan bahwa Washington akan terus membantu meningkatkan kemampuan Indonesia menangani ancaman terorisme. “Kami mengucapkan selamat kepada kepolisian dan Pemerintah Indonesia atas penangkapan terhadap Abu Dujana dan sejumlah tersangkatuduhan teroris lainnya,” kata salah satu juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Edgar Vazquez, di Washington DC, dikutip Antara Kamis (14/6) waktu setempat.

AS juga memuji Indonesia yang terus menerus berhasil menangkapi dan membawa ke meja hijau para pelaku aksituduhan terorisme. “Indonesia terus menjadi mitra yang kuat dan efektif dalam perang melawan teror dengan menangkap dan mengadili sejumlah pemimpin tuduhan teroris utama dalam tahun-tahun terakhir ini. Kami akan terus berkerjasama dengan Indonesia untuk mendukung kemampuan memerangituduhan terorisme,” kata Vazquez.

Lebih dari itu, AS melalui kantor keamanan diplomatiknya memberikan bantuan kepada Indonesia dalam upaya memerangi tuduhan terorisme melalui program pelatihan bagi para anggota Polri dalam meningkatkan kemampuannya mencegah dan melakukan investigasi terhadap serangantuduhan teroris. Kemampuan tersebut antara lain mencakup penyelidikan insiden pemboman, pendeteksian bom, serta menangkal kejahatan melalui jaringan komputer. Dari segi dana, menurut catatan tahun 2006, Amerika Serikat membantu Indonesia sebesar 4,8 juta dolar AS (sekitar Rp 43,5 miliar). “Untuk tahun fiskal yang sekarang (2007) belum diketahui berapa jumlah bantuan yang akan diberikan untuk Indonesia, entah lebih rendah atau lebih tinggi. Tapi saya kira, tidak akan berkisar jauh dari yang sebelumnya (4,8 juta dolar),” kata seorang pejabat Deplu AS dikutip Antara, Kamis. (Hidayatullah.com, 15/6).

Setali tiga uang dengan AS, Australia menyambut baik setiap langkah Polri dalam menumpas teror di Indonesia, termasuk upaya menangkap tersangka teroris, Abu Dujana, dan menggulung jaringannya. “Kami belum mendapatkan kepastian (tentang telah tertangkapnya Abu Dujana-red), tapi seandainya anggapan itu benar adanya dan Indonesia meyakini hal itu, kami akan dengan hangat menyambutnya,” kata Menteri Luar Negeri Alexander Downer, seperti dilaporkan Antara dari Canberra, Rabu.

“Mereka (Indonesia) telah melakukan pekerjaan sangat-sangat bagus dalam beberapa tahun terakhir ini, dan sangat wajar mereka menerima ucapan selamat penuh dari negara seperti Australia yang menjadi korban terorisme,” katanya.

Mengenai apakah Australia turut terlibat dalam operasi penangkapan Abu Dujana dan anggota jaringannya, Menlu Downer mengatakan Australia tidak terlibat secara spesifik dengan apa yang dilakukan Indonesia dalam operasi penumpasan terorisme. Namun, Australia dari waktu ke waktu bekerjasama erat dengan Indonesia dalam tugas-tugas kontra terorisme. (Antara.co.id, 13/6).

Anehnya, meski Indonesia dianggap berhasil dalam perang melawan terorisme, opini bahwa terorisme di Indonesia masih tetap potensial terus dikembangkan oleh sejumlah kalangan. Salah satunya oleh Sidney Jones dari International Crisis Group (ICG). Dia menyatakan, penangkapan Abu Dujana tak berpengaruh besar terhadap kekuatan Jamaah Islamiyah (JI). Sebab, JI bukan hanya organisasi teroris tapi punya jaringan sosial dan ekonomi “JI akan eksis walaupun mungkin sementara fokus dalam dakwah dan membangun organisasi,” ujarnya dalam dialog di Topik Minggu Ini di SCTV, Rabu (13/6) malam.

Dia menambahkan, JI akan merekrut pengganti Abu Dujana. Calon pengganti Abu Dujana yang tahu banyak tentang struktur JI diperkirakan adalah Nuaim alias Abu Irsyad. Pasalnya warga Jakarta ini adalah alumni Afghanistan dan sudah lama bergerak dalam lingkaran komando sentral JI. “Dia kemungkinan besar menjadi tokoh yang top dalam JI,” ujar peneliti asal Amerika Serikat ini. (Liputan6.com, 16/6).

Dikembangkannya opini semacam ini jelas hanya agar tetap ada kesan yang mendalam bahwa Indonesia tetap tidak aman dan tetap berpotensi menjadi ancaman serius para teroris. Pada akhirnya, ini akan menjadi legitimasi bagi pihak-pihak yang bekepentingan terhadap Indonesia, dalam hal ini AS dan sekutunya, untuk terus mengagendakan perang melawan terorisme di Indonesia, yang tidak lain ditujukan untuk terus memojokkan dan semakin melemahkan umat Islam di Tanah Air.

Kedua: terkait dengan usulan Kongres Amerika untuk memberikan sanksi baru terhadap Indonesia berupa restriksi (pengurangan bantuan) militer kepada TNI karena Indonesia dinilai lamban dalam melakukan reformasi TNI dan dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM oleh TNI di Timtim tahun 1999. Dalam hal ini, tampak bahwa di samping terus memperlemah posisi umat Islam di Indonesia melalui isu terorisme, AS berupaya terus memperlemah posisi dan kekuatan TNI. Setelah beberapa waktu lalu mengembargo Indonesia di bidang militer, yang telah mengakibatkan kekuatan TNI menjadi ‘lumpuh’, saat ini AS kembali berusaha menekan TNI. Polanya tetap sama, yakni mengaitkan bantuan militer dengan persoalan penuntasan pelanggaran HAM oleh TNI pada masa lalu, khususnya dalam Insiden September 1999 di Timor Timur. (Antara.co.id, 11/6).

Jelas, tekanan AS terhadap Indonesia, dalam hal ini TNI, tampaknya dimaksudkan agar TNI lebih serius lagi dalam bekerjasama dengan AS. Sebagaimana diketahui, sejak embargo dibuka, kerjasama militer dengan Amerika Serikat semakin membaik; misalnya melalui program pertukaran perwira dalam International Military Education Training (IMET). Selain itu adalah latihan bersama yang dilakukan oleh Denjaka dengan US Navy Seal.

Tidak hanya di bidang militer, penangulangan bencana alam juga menjadi pintu masuk bagi AS untuk bekerjasama dengan militer Indonesia. Baru-baru ini, misalnya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Angkatan Bersenjata (AB) Amerika Serikat untuk Kawasan Pasifik melakukan lokakarya (workshop) bersama di Jakarta mengenai panganggulangan bencara alam. Lokakarya yang dimulai (11/6) dan akan berlangsung selama sepekan hingga Jumat (15/6) tersebut diikuti 23 negara dari kalangan tentara, para pejabat dari kementerian terkait, Palang Merah, dan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Manajer Program Pelatihan Multinasional pada AB AS untuk Kawasan Pasifik, Scott A. Weidie, kepada wartawan di sela-sela acara tersebut menjelaskan, lokakarya ini merupakan hasil kerjasama yang baik antara TNI dan AB AS Untuk Kawasan Pasifik menyangkut penanggulangan bencana. “Lokakarya ini menitikberatkan pada upaya peningkatan peran peran militer dalam penanganan bencana,” katanya. Selain itu, menurutnya, tujuan lokakarya juga tentu saja untuk memperkuat hubungan antara TNI dan Angkatan Bersenjata AS. (Batampos.co.id, 4/6).

Bahkan, tanggal 18 Juni ini, lebih jauh militer AS diberitakan akan tiba di Pelabuhan Ratu Sukabumi. Hal itu terungkap dari pernyataan sebuah sumber yang dapat dipercaya di Sukabumi. Kehadiran militer AS di perairan Indonesia jelas hanya semakin membuka peluang bercokolnya kekuatan asing di Indonesia, meskipun dengan dalih kerjasama penanggulangan bencana alam.

Ketiga: terkait dengan Perjanjian DCA (Defence Cooperation Agreement) RI-Singapura yang bermasalah sejak awal. Apalagi di antara isi perjanjian itu jelas-jelas disebutkan bahwa: Angkatan Bersenjata Singapura diizinkan untuk menembakan rudal di wilayah Indonesia, menggelar latihan militer di laut, darat dan udara bersama pihak ketiga; termasuk di Natuna (Media Indonesia, 20/5).

Pihak ketiga yang dimaksud pastinya tidak akan jauh dari Amerika Serikat dan mungkin juga Israel. Buktinya, belum juga perjanjian tersebut diratifikasi oleh DPR, implementasinya sudah berjalan. Enam kapal perang Angkatan Laut Singapura, Malaysia, Inggris, AS dan Jepang dikabarkan telah melakukan latihan militer dan masuk ke perairan Riau. Lalu mereka mengubah haluan ke Natuna setelah diusir oleh Patroli TNI AL (Jawa Pos, 23/5).

Karena itu wajar, jika banyak kalangan menilai, perjanjian kerjasama pertahanan antara RI dengan Singapura ini telah mengkhianati bangsa Indonesia. Mantan Ketua MPR M. Amien Rais menyatakan, dengan menyetujui DCA itu berarti Pemerintah telah memfasilitasi tentara asing untuk menginjak-nginjak kedaulatan negara. Menurutnya, sesungguhnya Singapura sudah lama ingin menguasai politik Indonesia melalui berbagai sisi sejak tahun 1980-an. Dalam setiap manuver politik luar negerinya, mereka selalu mengandalkan modal, teknologi, sumberdaya manusia, dan pasar internasional. Adapun Indonesia dibebani untuk menyiapkan lahan, sumber daya alam, buruh murah dan lain-lain. “Singapura malah ingin retorialisasi. Jadi, DCA ini untuk ngangkangi Indonesia. Karena itu kita terima DCA itu dengan satu syarat, yaitu TNI bisa latihan perang di pusat kota Singapura (Orchid Street),” ujar Amien Rais di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Jumat (15/6).

Di tempat yang sama, Letjen (purn) Yogie Supardi malah menegaskan jika DCA telah mencederai sekaligus mengkhianati UUD 1945. Padahal Indonesia tidak butuh DCA. Selain itu, ujarnya, secanggih dan sekuat apapun Singapura, sebagai negara kecil tidak menjadi ancaman bagi Indonesia, bahwa yang diinginkan Singapura adalah masuk ke dalam sayap Indonesia. Jadi, yang diinginkan Singapura adalah operasi militer dan itu bertentangan dengan pertahanan RI. ”DCA ini lebih konyol, lebih berat, dan dengan terang-terangan pemerintah mau memfasilitasi tentara asing di bumi Indonesia, dan ini pelanggaran integritas dan kedaulatan negara…, ” ujar Yogie. (Eramuslim.com, 15/6).

Penyediaan wilayah Kepulauan Riau (Kepri) sebagai medan latihan militer satuan tentara Singapura berdasarkan kesepakatan kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) juga ditolak Dewan Harian Daerah Badan Penggerak Pembudayaan Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai Kejuangan 45 atau DHD 45 Provinsi Kepri. Pernyataan sikap DHD 45 Provinsi Kepri disampaikan kepada Panitia Ad Hoc (PAH) I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipimpin Wakil Ketua PAH I DPD Marhany VP Pua di ruang rapat PAH I DPD lantai 2 Gedung B Kompleks Parlemen, Senin (11/06).

Ketua Umum DHD 45 Provinsi Kepri Mohamad Zen dan Sekretaris Umum DHD 45 Provinsi Kepri Sumardi menyatakan, penolakan didasarkan sejumlah pertimbangan. Kesatu: jika areal laut pedalaman, laut teritorial, dan laut ZEE Indonesia di Kabupaten Kepulauan Natuna dan Laut Cina Selatan dimanfaatkan sebagai medan latihan militer Singapura berskala besar maka akan sangat merugikan mata pencaharian mayoritas nelayan Indonesia, khususnya nelayan tradisional di Kepri. Kedua: jika areal laut pedalaman, laut teritorial, dan laut ZEE Indonesia di Kabupaten Kepulauan Natuna dan Laut Cina Selatan dimanfaatkan sebagai medan latihan militer satuan tentara Singapura maka akan merusak lingkungan dan ekosistem laut. Ketiga: penolakan DHD 45 adalah demi keamanan dan pengamanan pulau-pulau terluar di wilayah Kepri dan pengamanan sumber-sumberdaya laut yang perlu dirahasiakan Indonesia.

DCA juga memprihatinkan anggota DPD asal Nusa Tenggara Barat Harun al-Rasyid. Menurutnya, DCA hanyalah basa-basi mengingat pihak Singapura sudah merintis kerjasama pangkalan militer dengan Amerika Serikat dan Inggris. “Jadi, sebenarnya kita ini sudah dijajah secara formal,” katanya. (Kapanlagi.com, 12/6).

Dalam implementasinya, belum apa-apa Singapura juga sudah bertindak kurang ajar. Sebagaimana diberitakan, secara sepihak Singapura ngotot ingin mengatur sendiri latihan militer di wilayah Bravo tanpa melibatkan TNI. Wakil Ketua Komisi I DPR Yusron Ihza Mahendra menilai ulah Singapura tersebut tidak menghargai posisi Indonesia sebagai pemilik wilayah. “Sikap Singapura yang tidak mau diatur di daerah Bravo (laut Natuna termasuk Kepulauan Anambas dan Pulau Natuna Besar) sangat disesalkan. Sebagai peminjam, harusnya Singapura bicara baik-baik dengan Indonesia, bukan keras kepala, apalagi menggertak dengan kompensasi perjanjian ekstradisi,” kata politisi PBB itu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (14/6). (Detik.com, 14/06).

Menlu Hassan Wirajuda juga mengakui, bahwa perjanjian pertahanan RI-Singapura/Defence Cooperation Agreement (DCA) menyisakan masalah. RI-Singapura berbeda pendapat seputar implementing agreement (IA). “Faktanya memang ada masalah yang tersisa dengan ditandatanganinya Defence Cooperation Agreement,” kata Hassan di Kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (14/7/2007). Menurut dia, Singapura berargumen IA telah rampung. Di sisi lain, Indonesia berpendapat, DCA bukanlah kebijakan yang bisa langsung diterapkan, melainkan memerlukan IA. Hassan menambahkan IA diperlukan sebagai landasan teknis dan operasional untuk masing-masing daerah latihan yang ditetapkan dalam DCA. (Detik.com, 14/6).

Kesimpulan

Dari paparan di atas, jelas bahwa AS tampak benar-benar ingin terus memperlemah potensi kekuatan Indonesia. Potensi kekuatan Indonesia, di samping posisi geopolitisnya, termasuk sumberdaya alamnya, tentu juga karena dua faktor: faktor umat Islam dan faktor militer (TNI). Faktor umat Islam dilemahkan terus-menerus dengan isu terorisme hingga umat Islam semakin terpojok. Faktor TNI dilemahkan dengan terus-menerus mengungkit-ungkit pelanggaran HAM oleh TNI hingga TNI mau bekerjasama dan tunduk pada kemauan AS. Jika kedua faktor ini berhasil semakin dilemahkan AS, tentu AS akan semakin leluasa untuk menguasai dan menangkangi Indonesia. Apalagi ditambah dengan faktor ketiga, yakni kontrol dan penguasaan AS atas wilayah Indonesia, baik secara tidak langsung dengan memanfaatkan Australia dan Singapura yang kedua-duanya merupakan ’sherrif’ AS di Asia Tenggara, maupun secara langsung, yakni dengan kehadiran militer AS di wilayah perairan Indonesia.

Karena itu, melihat fakta-fakta ini, jelas Indonesia ke depan semakin masuk dalam perangkap asing, dalam hal ini AS. Karena itu, sudah seharusnya Pemerintah, DPR, TNI dan semua komponen umat Islam di Tanah Air waspada dan berupaya keras untuk mencegahnya. []

No comments: