Wednesday, June 27, 2007

Di Balik Ambruknya Sistem Keuangan Global

Di Balik Ambruknya Sistem Keuangan Global

Oleh Tun Kelana Jaya, SE



WallStreet, pusat keuangan Amerika, dibuat tercengang setelah dikejutkan dengan berita bangkrutnya perusahaan raksasa bisnis energi Amerika, Enron, yang kemudian disusul dengan kasus penipuan miliaran dolar yang melibatkan raksasa telekomunikasi Amerika, WorldCom. Di dalam negeri sendiri, karena situasi ekonomi yang sedang tiarap, peristiwa yang mengemparkan dunia keuangan Amerika tersebut luput dari perhatian sebagian besar publik di negeri ini; walaupun media massa internasional memberitakannya secara besar-besaran.


Riwayat Kebangkrutan Raksasa Enron:

  • Pemberian opsi saham (stock option plan) secara besar-besaran (massive). Selama ini penelitian mengenai stock option untuk karyawan kunci dengan sistem insentif tertentu yang sesuai dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan meningkatkan nilai pasar perusahaan. Dalam Kasus Enron, pemberian opsi saham secara massive tidak hanya kepada karyawan kunci; bahkan kepada komite audit dan karyawan biasa. Program pensiun karyawan juga diberikan dalam beberapa alternatif, antara lain pensiun dengan memperoleh opsi saham perusahaan. Dengan opsi saham semacam itu, setiap individu dalam perusahaan menjadi serba salah bila berusaha mengungkapkan ketidakberesan praktik/transaksi perusahaan yang dapat mengakibatkan anjloknya harga sahamnya. Sebab, anjloknya harga saham perusahaan, jelas tidak hanya akan merugikan pemegang saham mayoritas, tetapi hampir seluruh karyawan Enron dan dan pensiunannya. Bagi pejabat kunci dan anggota komite audit sendiri, kondisi semacam ini menimbulkan benturan; antara mengungkapkan fakta yang sebenarnya terjadi atau memilih diam saja (moral hazard) seraya tetap menjadi ‘anak baik’ di mata manajemen sekaligus mengamankan nilai saham dari opsi yang menjadi haknya masing-masing.

  • Penjualan saham dalam skala besar oleh pihak orang dalam. Jeff Skilling, CEO Enron sebelum mengundurkan diri pada Agustus 2001, menjual sahamnya dalam jumlah besar dengan kisaran harga USD 90 perlembar. Banyak dispekulasikan bahwa sebagai CEO saat itu, Skilling yang mantan konsultan McKinsey, sangat mungkin mengetahui jatuhnya harga saham Enron akan menimbulkan risiko besar terhadap LJM partnership. Di samping itu, pejabat— termasuk tiga anggota komite audit— Enron telah menjual 17,3 juta saham senilai USD 1,9 miliar. Pada saat yang bersamaan, mereka menerbitkan laporan keuangan yang menyesatkan (Business Week). Di sinilah berlaku signaling, bahwa penjualan saham, pengunduran diri Skilling yang terkesan mendadak, dan tidak adanya penjelasan yang transparan dari perusahaan merupakan pertanda negatif bagi pelaku pasar dan pemodal. Selain itu, penjualan saham besar-besaran oleh orang dalam Enron lainnya juga merupakan pertanda buruk dalam menilai prospek perusahaan.

  • Ternyata, pemegang saham mayoritas dan direksi Enron merekayasa laporan keuangan melalui LJM partnership—yang merupakan rekanan transaksi derivatif yang digunakan Enron untuk melepas/strip-out risiko fluktuasi harga, tingkat bunga, dll.—secara sengaja tidak mencatat kewajiban dengan cara off balancesheet. Hal ini dibuktikan dengan pengumuman kerugian pada 16 Oktober 2001 sebesar USD 618 juta oleh Ken Lay, Chief Executive Officer (CEO) Enron. Konsekuensinya, Enron harus menurunkan nilai ekuitas sebesar USD 1,2 miliar, dan lembaga rating Moody akhirnya menurunkan peringkat utang Enron menjadi di bawah investment grade.


Dampak Skandal Keuangan Enron

Sebagai perusahaan raksasa ke-7 dalam ukuran nilai pasar serta yang terbesar di bidang energi dan perdagangan energi yang terdaftar (listed) di Bursa saham Amerika (NYSE), Enron mencatat pertumbuhan penjualan dari USD 31 miliar pada 1988 meningkat jadi USD 100 miliar pada tahun 2000. Nilai pasar meningkat USD 50 miliar dalam empat tahun terakhir. Akan tetapi, secara mengejutkan, pada 2 Desember 2001 lalu tiba-tiba Enron harus melaporkan kebangkrutannya kepada otoritas pasar modal. Nilai kerugian diperkirakan mencapai USD 50 miliar. Sementara itu, para spekulan pasar modal terpaksa kehilangan USD 32 miliar dan ribuan pegawai Enron harus menangisi amblasnya dana pensiun mereka sebesar USD 1 miliar. Saham Enron pada Agustus 2000 masih berharga USD 90 perlembar, kemudian anjlok menjadi USD 40 perlembar, dan akhirnya terpuruk di USD 0,45 sen perlembar. Karena itu, tidak aneh, jika dilihat dari nilai anjloknya harga saham, peristiwa ini dikategorikan sebagai peristiwa terbesar dalam sejarah bisnis di Amerika.

Skandal Enron ini bukan hanya semata-mata sebagai kegagalan bisnis, tetapi juga merupakan skandal multidimensional yang melibatkan politisi dan pemimpin terkemuka di AS. Telah terjadi kolusi tingkat tinggi antara menejemen Enron, analis keuangan, para penasihat hukum, serta auditornya. Bahkan komplikasi skandal tersebut bertambah karena belakangan diketahui, bahwa banyak pejabat tinggi Gedung Putih dan politisi di Senat Amerika yang pernah menerima kucuran dana politik dari Enron ini. Namun, sudah menjadi tabiat sistem keuangan kapitalis, skandal Enron menguntungkan segelintir orang yang oportunistik—yaitu pemegang saham mayoritas, direksi, komite audit, dan manajer kunci—seraya mengorbankan ribuan karyawan, dana pensiun perusahaan, pemodal publik, dan kreditur.

Krisis kepercayaan terhadap pasar di Amerika makin menjadi-jadi setelah munculnya tragedi susulan yang tidak kalah heboh yang bernilai miliaran dolar, yaitu skandal yang menimpa Worldcom. Worldcom adalah raksasa telekomunikasi AS yang merupakan salah satu Internet Service Provider (ISP) terbesar di dunia dan yang mengoperasikan backbone internet, sebuah infrastruktur penting dalam jaringan komputer global. WorldCom mengakui secara terus-terang bahwa sesungguhnya ia belum mencapai keuntungan USD 1,4 miliar seperti yang dipublikasikan pada tahun 2001. Tiga bulan pertama tahun 2002, mereka juga mengaku belum mencapai keuntungan USD 130 juta. Pihaknya juga telah mengaku menyulap biaya operasional menjadi pengeluaran modal sehingga menggelembungkan pendapatan sebesar 3,8 miliar dolar. Lagi-lagi, yang menjadi korban adalah 17.000 pegawainya yang akhirnya di-PHK. Skandal keuangan WorldCom ini telah mengguncang pasar modal Amerika secara total bahkan mempengaruhi atau bahkan mungkin mengubah kalkulasi politik di Amerika dalam semalam.


Rapuhnya Penopang Sistem Keuangan Kapitalisme: Pasar Modal (Stock Exchange)

Sebagaimana diketahui, WallStreet merupakan kawasan keuangan yang menjadi jantung kapitalis. Sementara itu, 30 persen perputaran perekonomian dunia masih sangat bergantung pada kesehatan perekonomian negeri koboi itu. Belakangan, serentetan skandal keuangan terjadi pada perusahaan-perusahaan kelas kakap di Amerika seperti Enron, WorldCom, Xerox, Arthur Andersen, Global Crossing, Adelphia Communication, Tyco International, ImClone System, dan Merck. Hal ini mengakibatkan betapa Bursa Saham WallStreet dibuat linglung. Skandal akutansi keuangan tersebut telah mengakibatkan lunturnya kepercayaan investor luar maupun dalam negeri terhadap pasar di Amerika. Skandal Enron saja mengakibatkan terbangnya miliaran dolar dari bursa saham Amerika. Kinerja Bursa Saham Newyork Stock Exchange (NYSE) itu pun terpuruk. Lihat saja Dow Jones Industrial Average (DJIA). Pencatat perkembangan harga saham di NYSE ini memperlihatkan terpuruknya indeks harga saham gabungan (IHSG) yang menukik tajam dari USD 10.000 menjadi USD 8.600. Sementara itu, indeks harga saham di Nasdaq karam dari 2.000 pada awal tahun tinggal 1.382; lebih rendah dari indeks harga saham pasca Tragedi WTC. Dalam pada itu, ada seorang ibu berusia 60 tahun terpaksa menjual seluruh saham yang dimilikinya setelah melihat merosotnya indeks rata-rata DowJones lebih dari 400 poin dan akhirnya ia menderita kerugian sebesar 260.000 dolar dalam waktu sekejap, padahal uang itu akan ia gunakan untuk pensiun selama 3 tahun ke depan.

Para investor terus-menerus mengalami tekanan jual secara besar-besaran hingga indeks harga saham Nazdaq & Standard & Poor’s 500 kembali ke level seperti pada tahun 1997 dan kini telah menghapus 7 triliun dolar. Jutaan investor sempoyongan karena menderita kerugian. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Gallup Corp., kepercayaan masyarakat terhadap pasar telah mencapai titik terendah.


Dampak eksternal

Pasar modal Amerika demam, dunia meriang (contagion effect). Indikasi ini terlihat dari harga saham di Taiwan yang turut anjlok . Sementara itu, para investor yang cemas menjual saham untuk menutup kerugian yang diderita akibat kemerosotan harga saham yang mencapai rekor di WallStreet. Indeks harga saham merosot 5,4 persen, lebih dari 507 poin, menjadi 8,867. Peristiwa ini menjadi gambaran suram bagi pasar di seluruh Asia semenjak kemerosotan bursa saham di WallStreet.

Bila harga saham-saham di WallStreet terus merosot, kepercayaan masyarakatnya pun akan ikut merosot. Kecenderungan orang Amerika memegang uang tunai yang mulai meningkat sejak Tragedi 11 September akan kian menggila. Konsumen akan mengempit uang kontan untuk berjaga-jaga dan mereka berhenti berbelanja. Impor Amerika dari negara-negara lain termasuk Indonesia pun akan terhenti. Krisis di bursa saham juga akan membuat para emiten tak bisa melakukan ekspansi dan gagal mencetak laba. Alhasil, perekonomian akan mandek dan penciutan tenaga kerja akan terus meningkat. Ujung-ujungnya, daya beli penduduk pun akan kian terkikis. Perekonomian Amerika bisa terkena double deep, yakni keluar dari krisis masuk dalam krisis yang lain.

Sesungguhnya, skandal keuangan yang terjadi pada beberapa perusahaan besar Amerika merupakan pemicu keterpurukan bursa saham Amerika atas kroposnya sistem keuangan kapitalisme. Pertumbuhan keuangan ala kapitalisme (yang bertumpu pada trasaksi spekulatif di sektor non-real) memang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor non-real dengan sangat pesat. Akan tetapi, ia akan menghadapi bahaya pertumbuhan itu sendiri, yakni bahaya ‘gelembung ekonomi’ (bubble economy). Ini ditandai dengan meningkatnya harga saham-saham dengan pesat (bubble) hingga akhirnya harga saham kelewat mahal serta melebihi kapasitas dan kemampuannya berproduksi. Pada saat yang sama, para analis saham pun terus memberikan rekomendasi beli sehingga saham diburu dan harga terus menggelembung. Pada satu saat, penggelembungan itu akan mencapai titik jenuh. Ibarat balon yang terus ditiup sampai besar, ia akhirnya meletus.


Krisis yang Berulang

Perlu juga dicatat, krisis yang terjadi sekarang merupakan krisis yang berulang . Pada minggu terakhir Oktober 1997, harga-harga saham di bursa-bursa saham utama dunia jatuh berguguran; berawal di Hongkong, lalu merembet ke Jepang, Eropa, dan akhirnya mendarat di Amerika. Anjloknya harga saham tersebut terjadi secara berurutan dari satu negeri ke negeri lainnya. Tragedi serupa terjadi pada bulan dan tahun yang sama, yakni ketika indeks harga saham di New York turun 22 persen dalam sehari. Lebih ke belakang lagi, peristiwa serupa pernah terjadi pula pada tahun 1929. Ketika itu, jatuhnya nilai saham di Amerika telah menimbulkan depresi ekonomi yang sangat parah sehingga menimbulkan kemelaratan, kelaparan, dan kesengsaraan yang berkelanjutan. Akhirnya, Presiden Roosevelt memutuskan untuk melibatkan Amerika dalam kancah Perang Dunia II dalam rangka membangkitkan Amerika dengan cara memproduksi kebutuhan-kebutuhan perang yang sangat besar.


Rapuhnya Penopang Sistem Keuangan Kapitalisme: Pasar Uang (Money Market)

Uang kini sudah tidak lagi hanya merupakan alat tukar, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan seperti halnya barang dagangan sekaligus menjadi komoditi yang dispekulasikan. Dalam jual-beli uang di pasar uang (money market), dengan bermain dengan fluktuasi kurs suatu mata uang, para spekulan dapat meraup keuntungan miliaran dolar dalam waktu sekejap. Akan tetapi, dalam sekejap pula mereka dapat mengalami kerugian miliaran dolar.

Disamping itu, uang juga dapat berpindah dari satu tempat di dunia ke tempat yang lain hanya lewat gagang telepon. Piranti komputer dengan teknologi komunikasi satelit membuat transaksi uang berapa pun besarnya menjadi sangat cepat dan murah. Lagi pula, transaksi tidak hanya dilakukan pada saat sekarang, namun bisa juga juga untuk masa datang.

Dalam situasi seperti ini, tidak aneh jika perdagangan uang di dealing-room (ruang transaksi) atau dengan remote dealing saat ini—seperti video game, para dealer/spekulan hanya mengawasi dari layar monitor—dengan sekali tekan tombol, jutaan dolar telah berpindah pemilik. Dengan cara seperti inilah, kurang-lebih, George Soros menghajar_ mata uang Inggris pada tahun 1992. Pada hari yang disebut Black Wednesday itu Soros menjual sterling sejumlah 10 miliar dolar AS. Poundsterling yang diperdagangkan sekitar 2.85 pound terhadap mata uang Jerman (D-mark) itu meluncur mendekati ambang batas ERM sebesar 2.77.

Saat itu, untuk mempertahankan poundsterling, Bank of England harus mengeluarkan 15 miliar dolar AS. Langkah Bank of England ini harus juga dibarengi dengan menaikkan suku bunga. Karena untuk yang satu ini tidak mungkin dilakukan oleh Bank of England, Pemerintah Inggris mengaku kalah, Inggris keluar dari exchange rate system. Dari permainan tersebut, Soros meraup laba 950 juta dolar AS. Permainan seperti ini terulang lagi pada tahun 1995 ketika mata uang peso dari Mexico juga menderita ‘serangan jantung’ secara mendadak, dan pada tahun 1997. Indonesia , pada tahun yang sama, juga ambruk.

George Soros dan para spekulan lainnya (yang konon jumlahnya mencapai 200.000) sepertinya tidak ambil peduli betapa berbahayanya permainan mereka. Permainan yang mereka jalankan itu mempunyai dampak yang amat mematikan bagi kehidupan ratusan juta manusia. Seperti kita alami sendiri, akibat krisis finansial yang sampai saat ini masih terus berlangsung, terjadilah kebangkrutan sejumlah perusahaan yang diiringi dengan pemutusan hubungan kerja jutaan orang.

Mengapa pemerintah sebuah negara- bahkan Inggris sekalipun- tidak tidak sanggup menahan serangan ini ? Bukankah pemerintah/negara memiliki cadangan dana yang besar? Itu benar untuk kurun waktu kurang-lebih 20 tahun yang lalu. Misalnya, pada tahun 1983, lima bank sentral negara besar dunia (Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris, dan Swis) bersama-sama menguasai cadangan devisa sebesar 139 miliar dolar AS, sementara uang yang beredar di pasar uang cuma sebesar 39 miliar dolar AS. Dengan kata lain, bank-bank sentral tersebut memiliki kekebalan pertahanan (gabungan) yang cukup kuat dibandingkan dengan kekuatan pasar dengan perbandingan 3:1. Akan tetapi, hanya dalam waktu tiga tahun, pada 1986, perbandingan kekuatan antara cadangan bank sentral dan uang yang beredar di pasar uang telah mencapai titik seimbang 1:1. Pada tahun 1992, perimbangan tersebut telah semakin bergeser. Kelima bank sentral tersebut hanya memiliki cadangan sebesar 278 miliar dolar AS, sementara di pasar beredar sebesar 623 miliar dolar AS. Artinya, para spekulan di pasar uang kini memiliki perbandingan potensi kekuatan 2:1 terhadap bank-bank sentral. Akibatnya, betapa dunia keuangan menjadi sangat mudah diguncangkan oleh para spekulan itu.

Alhasil, apa yang terjadi di pasar uang internasional bagaikan pertarungan antara si Doyok (bank-bank sentral) melawan Mike Tyson (para spekulan). Para spekulan (para pemain pasar uang) menjadi lebih perkasa menguasai pasar uang. Mereka akan dapat dengan mudah mengguncangkan mata uang negara dan meng-KO bank-bank sentral itu hingga tidak berdaya. Fenomena semacam ini menunjukan betapa rapuhnya sistem kuangan kapitalisme, yang bahkan lebih rapuh daripada sarang laba-laba.


Terjebak di Sektor Non-Real

Krisis yang terjadi di bursa saham diatas, telah cukup menggambarkan bahwa sistem keuangan ekonomi yang ditopang kuat oleh sektor non-real yang sangat kental dengan bisnis spekulatif sama sekali tidak mendukung terhadap pertumbuhan ekonomi di sektor real.

Sebagaimana diketahui, sistem Pasar Modal tidak akan berfungsi dan berkembang tanpa adanya dukungan sistem-sistem pokok perekonomian kapitalisme lainnya seperti sistem Perseroan Terbatas (PT), sistem perbankan ribawi, dan sistem uang kertas inconvertible (flat money). Ketiga sistem tersebut secara sinergis membagi perekonomian kapitalisme menjadi dua sektor: (1) sektor real, yang di dalamnya terdapat aspek produksi serta pemasaran barang dan jasa secara real; (2) sektor ekonomi modal/kapital, yang oleh kebanyakan orang disebut sektor non real, yang di dalamnya terdapat aspek penerbitan dan jual-beli surat-surat berharga yang beraneka ragam.

Saat ini, perdagangan di sektor non-real ini telah sedemikian jauhnya, sehingga nilai trasanksinya berlipat ganda melebihi nilai sektor real. Hampir semua negara di dunia ini terjangkit bisnis spekulatif seperti perdagangan surat berharga/utang di bursa saham (stock exchange) berupa saham, obligasi (bonds), commercial paper, promissory notes, dsb.; perdagangan uang di pasar uang (Money market); serta perdagangan derivatif di bursa berjangka.

Kenapa sektor non real ini bergerak dengan sangat cepat bisa ditelusuri sejak awal tahun 1980. Dalam rangka meningkatkan kapasitas permodalan, perusahaan-perusahaan multinasional di Amerika mulai memanfaatkan dana-dana menganggur yang berada di lembaga-lembaga dana pensiun, asuransi, dan sebagainya; juga memburu dana murah di pasar modal atau bermain valuta asing di pasar uang. Cara ini kemudian menjalar ke negara-negara industri lainnya di Eropa dan Jepang, kemudian ke negara-negara industri baru seperti Singapura, Hongkong, dan sebagainya hingga terus bergulir ke semua negara sampai ke level perusahaan. Tindakan tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan arus moneter yang luar biasa dahsyatnya tanpa diimbangi oleh peningkatan arus barang dan jasa.

Data menunjukkan bahwa realitas perdagangan uang (sektor non-real) dunia telah berlipat sekitar 80 kali dibandingkan dengan sektor real. Hal ini merupakan fenomena “keterkaitan” antara sebagian besar perputaran uang dengan arus barang dan jasa. Itu berarti telah terjadi secara global apa yang disebut bubble economy (gelembung balon ekonomi), karena kegiatan ekonomi dunia didominasi oleh kegiatan sektor non-real yang spekulatif. Dalam satu hari saja sudah sekitar 1-2 triliun dolar AS dana spekulasi tersebut gentayangan mencari tempat yang paling menguntungkan di dunia. Dalam hitungan setahun, arus uang berjumlah sekitar 700 triliun dolar AS dalam bentuk stock of financial assets seperti company stocks, derivatives, dan government bonds, commercial paper, dsb. Sementara itu, hanya sekitar 7 triliun saja nilai arus barang dan jasa yang diperdagangkan atau hanya seperseratusnya. Sektor non-real berlipat kali lebih besar daripada nilai total barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh aktivitas ekonomi negeri-negeri kapitalis maju. Keadaan ini kemudian melahirkan raksasa-raksasa finansial Amerika sebagai transnational company seperti the Rockefellers, Mellons, Morgans, DuPonts, Whitneys, Warburgs, Vanderbilts, Goldman Sach, Lehman Brothers, dan masih banyak lagi. Mereka bukan saja menguasai bank-bank dan perusahaan-perusahaan asuransi, namun juga perusaaan-perusahaan industri; tidak saja di Amerika, tetapi juga di dunia.

Buktinya, pada tahun 1993 saja, menurut laporan Investasi Dunia yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), ada 37.000 korporasi transnasional yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. Sembilan puluh persen dari korporasi-korporasi transnasional tersebut berkantor pusat di negara-negara maju, jauh dari apa yang disebut sebagai penyebaran aset. Sekalipun penjualan mereka telah menyeberangi bola bumi, justru korporasi-korporasi transnasional telah memusatkan produksi dan penjualan komoditi mereka di negara-negara “induk”. Ini mencerminkan adanya distribusi yang sangat tidak setara (uneven) dalam hal investasi langsung dan perdagangan skala global.

Dari sini sekaligus kita dapat mengetahui betapa timpangnya perbandingan sektor non-real dan sektor real, jauh dari harapan ekspektasi pertumbuhan ekonomi; betapa pula pertumbuhan ekonomi versi kapitalisme hanya merupakan pertumbuhan semu, bukan pertumbuhan sebenarnya.

Lebih runyam lagi, dengan desakan globalisasi dan liberalisasi yang kita terima secara taken for granted itu, pemanfaatan dana-dana untuk spekulasi dalam kegiatan pasar modal dan uang semakin intensif. Dengan begitu, semakin terbuka sektor moneternya (pasar uang dan pasar modal) suatu negara, akan semakin tinggi risiko perekonomiannya terhadap segala gejolak ekonomi eksternal. Inilah yang terjadi di Indonesia. Sedihnya, dampak yang tidak menguntungkan dari kondisi tersebut adalah ketergantungan ekonomi negara-negara berkembang terhadap permainan pihak asing. Kondisi ini diperparah oleh ketentuan-ketentuan WTO yang telah menjerumuskan negara-negara berkembang ke dalam situasi ketergantungan pada kekuatan ekonomi asing.

Peter Drucker, pakar menejemen dunia, menyebut gejala ketidakseimbangan arus moneter dengan arus barang dan jasa sebagai “decoupling” (terputus). Apalagi, bersamaan dengan itu, maraknya fenomena kegiatan ekonomi dan bisnis spekulatif (terutama di dunia pasar modal, pasar valuta asing) membuat dunia dibayangi hantu bubble economy, yaitu gelembung ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya—namun tak diimbangi oleh sektor real, bahkan sektor real amat jauh ketinggalan—sehingga sewaktu-waktu akan meletus.


Tun Kelana Jaya, SE, pengamat dan praktisi ekonomi, tinggal di Jakarta.


Daftar Bacaan:

  1. The Turbulence of the Stock Market, dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir.

  2. Taqyuddin An-Nabhani (1991), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif (terj.). Surabaya: Risalah Gusti.

  3. The Death of Economics, Ormerod, London.

  4. Paul Krugman, The Return of Depression Economics.

  5. Abdur-Razzaq Lubis, et al.,Jerat Hutang IMF.

  6. BusinessWeek, edisi 29 Juli 2002

  7. Beberapa artikel dan media cetak yang relevan.

No comments: