Saturday, June 23, 2007

Dakwah HTI Kepada Non-Muslim

Selain kepada Muslim, dakwah ditujukan kepada non-Muslim. Dakwah kepada non-Muslim tidak lain untuk mengajak mereka masuk Islam; paling tidak, mereka bisa mengerti Islam dan memberikan apresiasi sehingga tidak lagi merasa cemas atau khawatir terhadap Islam dan penerapan syariahnya.

Itu pula yang harus dihadapi oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Seketika setelah HTI bergerak secara terbuka dan secara lantang meneriakkan perjuangan penerapan syariah dan Khilafah, respon datang bertubi-tubi dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk dari kalangan non-Muslim, baik dari dalam maupun luar negeri. Sejauh ini, respon itu mayoritas berupa keinginan tahu lebih banyak tentang apa yang dimaksud syariah dan Khilafah oleh HTI. Lalu berdatanganlah undangan kepada Jubir HTI, sebagai representasi HTI, untuk wawancara, dialog atau menjadi pembicara dalam berbagai forum tentang berbagai topik yang erat kaitannya dengan syariah dan Khilafah itu. Dengan semangat dakwah, tentu saja undangan itu diterima dengan senang hati karena justru kesempatan seperti inilah yang memang dinanti-nantikan. Dengan cara itu, ide, gagasan, visi dan misi HTI bisa disampaikan dengan lebih gamblang. Sebaliknya, HTI juga menjadi lebih tahu tentang apa keberatan mereka terhadap arah perjuangan HTI.

Dari sekian dakwah kepada non-Muslim, ada beberapa di antaranya yang menarik disebut. Pada 19 April lalu, Jubir HTI diundang pada Pertemuan Moderatores Kepemudaan Regio Jawa Plus 2007, Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Jakarta untuk berbicara tentang “Memahami Fundamentalisme Islam” bersama Romo Marbun dari Gereja Behtel Indonesia di Sawangan, Bogor. Hadir 120 pemuda Katolik dari berbagai kota di Jawa. Ada lebih dari 25 pertanyaan yang diajukan—seputar syariah, kedudukan orang non-Muslim, Pancasila, juga ada tentang poligami dan sebagainya.

Awal bulan Mei lalu, Jubir HTI juga hadir dalam acara Debat Terbuka Pro dan Kontra Penerapan Syariah di Masjid Unpad Bandung. Lawannya debatnya adalah Pendeta Ruyandi Hutasoit, Ketua Umum PDS (Partai Damai Sejahtera) yang selama ini memang dikenal vokal menentang pemberlakuan perda-perda yang bernuansa syariah.

Bukan kali itu saja HTI hadir dalam forum non-Muslim. Tahun 2004 Jubir HTI juga pernah diundang untuk berbicara tentang syariah di Amerika Serikat. Persisnya di Harvard Law School, Harvard University, Boston, Amerika Serikat—sebuah universitas yang konon paling prestisius di seluruh dunia—dalam sebuah konferensi internasional dengan tajuk, “Islamic Law in Modern Indonesia”. Konferensi yang diselenggarakan pada 17 dan 18 April 2004 itu menghadirkan sejumlah pembicara dari Indonesia, Belanda, Australia dan dari AS sendiri; diikuti sekitar 100-an perserta diantaranya dari Jepang, Belanda, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat. Ketika itu, Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto menyampaikan makalah dengan judul, “The Demand for Shari’ah as Positive Law in Indonesia: Hizbut Tahrir Indonesia’as Experience and Agenda. Melalui presentasi itu, dijelaskan dengan cukup gamblang gagasan Hizbut Tahrir tentang tuntutan penerapan syariah, termasuk pengertian dan lingkup syariah serta kaitannya dengan sistem politik, latar belakang, hambatan, kesulitan dan langkah-langkah yang sudah, sedang dan akan ditempuh untuk mewujudkannya; juga pengalaman HTI dalam berinteraksi dengan berbagai kelompok Islam dan bahkan nasionalis yang menunjukkan bahwa animo masyarakat tidak kurang dari 150 kota di Indonesia terhadap gagasan penerapan syariah cukup positif.

Menanggapi presentasi Ismail Yusanto, Prof. Lev secara lugas mengatakan ketidaksetujuan-nya terhadap ide-ide HTI. Namun demikian, Prof. Lev mengharapkan agar perdebatan terhadap isu penting seperti penerapan syariah Islam tetap berlangsung di kalangan masyarakat.

Selain di Harvard University, Jubir HTI juga hadir dalam acara Bincang-bincang Sharia yang diselenggarakan oleh Pengajian Iqra Boston, di kampus Massachussetts Institute Of Technology (MIT) Cambridge, MA, USA yang juga dihadiri oleh dua pendeta Katolik, yaitu Romo Pitoyo dan Romo Ageng.

Bulan November 2005 Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto juga diundang oleh CISMOR (Center for Interdisciplinary Study of Monotheistic Religions) Doshisha University, Kyoto, Jepang—sebuah universitas yang aslinya adalah sebuah seminari Katolik—sebagai pembicara dalam sebuah international workshop tentang The Crisis of the National Identity and the Role of Religions in East Asia, dengan makalah berjudul, “Islamic Revival, Challenging Modernization and Globlalization: The Struggle of Hizbut Tahrir Indonesia”. Hadir sebagai pembicara lain dari Jepang, Malaysia, Hong Kong, Cina, Filipina, Korea Selatan dan Taiwan.

Prof. Lau (Chinese University of Hong Kong) memberikan pertanyaan. apakah keinginan untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia bukan merupakan gagasan utopis dan apakah itu merupakan solusi yang visible? Dijawab bahwa itu bukan gagasan utopis karena toh pada masa lalu juga pernah terjadi. Bahwa untuk mewujudkannya akan menghadapi kesulitan besar, itu diakui, apalagi di tengah arus besar paham nasionalisme yang membentuk negara bangsa seperti saat ini. Ditambahkan pula bahwa ada dua kendala besar, yakni internal yang datang dari dalam umat Islam dan eksternal yang datang dari negara Barat. Hambatan internal bisa diatasi dengan meningkatkan kesadaran Islam yang itu kini di Indonesia makin meningkat seperti tampak pada makin banyaknya pihak yang menuntut penerapan syariah. Namun, apakah negara-negara Barat imperialis itu akan membiarkan Islam menentukan jalan hidupnya sendiri? Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair menunjukkan bahwa Barat tidak pernah rela membiarkan umat Islam menentukan cara hidupnya sendiri.

Yang paling menggugat adalah pernyataan Prof. Kohara (Doshisha University) yang menyoal pernyataan Islam sebagai satu-satunya alternatif, apa bukan sebuah egoistic desire (hasrat egois)? Dijawab bahwa dalam perspektif Islam, memang demikian. Kita, dalam persepektif masing-masing, bisa saja mengajukan alternatif. Masalahnya apakah alternatif itu akan diterima dan mampu menyelesaikan persoalan pada masa modern sekarang ini, waktulah yang akan menentukan. Sistem Islam telah teruji oleh sejarah dan secara ilmiah juga bisa dikaji.

Sementara itu, Prof. Mori yang direktur Cismor mempertanyakan melalui jalan apa gagasan itu bisa diwujudkan, apakah melalui konsensus tokoh-tokoh Islam. Dijawab, bisa saja. Namun, yang paling penting, semua mesti diawali melalui proses penyadaran. Kesadaran politik Islamlah yang akan mendorong masyarakat, termasuk para tokohnya, untuk melakukan perubahan ke arah Islam.

1 comment:

Anonymous said...

ass... mau silah ukhuwah.. eh, silaturrahim (mana yang lebih nyunnah istilahnya?? sesuai dengan dalil) ditunggu kunjungan balasannya..