Monday, May 21, 2007

MENGENAL PROPAGANDA

MENGENAL PROPAGANDA

"If you give a man the correct information for seven years, he may believe the incorrect information on the first day of the eighth year when it is necessary, from your point of view, that he should do so. Your first job is to build the credibility and the authenticity of your propaganda, and persuade the enemy to trust you although you are his enemy."
A Psychological Warfare Casebook, Operations Research Office,
Johns Hopkins University, Baltimore (1958)

Coba perhatikan sekali lagi kutipan dari A Psychological Warfare Casebook di atas. Katanya, kalau kita memberi seseorang informasi yang benar terus-terusan selama tujuh tahun, maka ia akan tetap percaya terhadap informasi yang kita berikan pada tahun ke delapan, meskipun informasi yang terakhir itu keliru. Katanya lagi, hal pertama yang harus kita perbuat adalah membangun kredibilitas dan autentisitas propaganda kita, lalu mengajak musuh agar percaya sama kita, meskipun nyatanya kita adalah musuhnya. Berkat propaganda, kita sulit membedakan mana lawan mana kawan. Itulah dahsyatnya propaganda.
Mendengar kata propaganda, biasanya kita langsung teringat Hitler. Ya, sosok Hitler identik sekali dengan propaganda. Ialah yang membuat propaganda naik ke pentas politik internasional. Ia juga yang membikin propaganda identik dengan kebohongan dan manipulasi. Padahal, dulunya, konon propaganda bertujuan mulia.
Menurut Nurudin (2001), secara etimologis propaganda berasal dari kata bahasa Latin propagare yang berarti cara tukang kebun menyemaikan tunas suatu tanaman ke sebuah lahan untuk memrpoduksi tanaman baru yang kelak akan tumbuh sendiri. Dengan kata lain juga berarti mengembangkan atau memekarkan (untuk tunas). Propaganda sebagai kata istilah tercatat digunakan pertama kali oleh Gereja Katolik Roma. Pada 1622, Paus Gregorius XV membentuk The Roman Catholic Sacred Congregation for the Propagation of the Faith (Sacra Congregatio Christiano Nomini Propagando atau singkatnya Propaganda Fide; diindonesiakan jadi Majelis Suci untuk Propaganda Agama). Propaganda Fide dibentuk untuk menyebarkan misi agama sekaligus mengawasi kegiatan misionaris agama Katolik Roma di Italia maupun di negara-negara lain. Alasannya, masyarakat yang tidak mengenal ajaran Katolik tidak akan pernah memeluk agama tersebut. Padahal tak kenal maka tak sayang. Karena itu harus ada usaha yang terorganisasi dari luar untuk memperkenalkan agama itu kepada masyarakat. Dengan begitu masyarakat akan mengetahui kemudian memeluk agama tersebut. Karena tujuannya untuk penyebaran agama, maka propaganda dinilai berkonotasi positif.
Saat itu, retorika adalah satu-satunya media propaganda. Propaganda dilakukan dengan hanya bermodalkan kemampuan olah wicara. Dengan diksi yang hebat, nada dan intonasi yang tepat, gestur dan gestikulasi yang memikat, seorang orator dapat mempengaruhi khalayak dengan cepat. Keadaan mulai berubah setelah terjadinya Revolusi Industri, terutama dengan keberadaan mesin cetak. Keberadaan mesin cetak membuat propagandis mampu menulis dan memperbanyak pesan-pesan propagandistik dalam bentuk pamflet dan poster. Selanjutnya, perkembangan teknologi informasi membuat propagandis memiliki semakin banyak alternatif media. Malah, kini media massa menjadi mesin propaganda yang trengginas.
Dalam perkembangannya, propaganda kemudian memperoleh konotasi negatif. Propaganda jadi identik dengan hal-hal buruk, seperti peneroran, penipuan, pembohongan, pemanipulasian, dan berbagai atribut jelek lain. Sosok yang dianggap layak dipersalahkan atas jasanya menegatifkan konotasi propaganda adalah Adolf Hitler.
Hitler percaya betul bahwa propaganda adalah alat yang vital untuk mencapai tujuan. Hitler rupanya sangat terkesan dengan kekuatan propaganda Sekutu, khususnya Inggris, dalam Perang Dunia I dan meyakini propaganda sebagai penyebab jatuhnya moral dan semangat juang tentara Jerman pada 1918. Bagi Hitler, propaganda tidak lebih dari sekadar alat untuk meraih tujuan. Segala cara halal dilakukan. Yang penting tujuan tercapai. Jelas, kejujuran dan kebenaran tidak pernah ada dalam kamusnya. Gara-gara Hitler, akhirnya propaganda menjadi identik dengan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan. Dan, itulah propaganda yang dipahami orang kebanyakan.
Tapi, sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan propaganda?

Definisi Propaganda

Mendefinisikan propaganda tampaknya bukan perkara mudah. Para pakar komunikasi saja tidak pernah mencapai kata mufakat dalam mendefinisikan propaganda. Hampir setiap pakar mempunyai definisi yang berbeda satu sama lain, meskipun di beberapa bagian terdapat kemiripan. Berikut ini adalah beberapa definisi propaganda yang dikemukakan oleh sejumlah pakar dan sumber. Sembilan definisi pertama diadaptasi dari Sastropoetro (1991: 21-34).
1. Encyclopedia International: ‘propaganda adalah suatu jenis komunikasi yang berusaha mempengaruhi pandangan dan reaksi, tanpa mengindahkan tentang nilai benar atau tidak benarnya pesan yang disampaikan’.
2. Everyman’s Encyclopedia: ‘propaganda adalah suatu seni untuk penyebaran dan meyakinkan suatu kepercayaan, khususnya suatu kepercayaan agama atau politik’.
3. Qualter: ‘propaganda is the deliberate attempt by some individual or group to form, control or alter the attitudes of other groups by the use of the instruments of communication with the intention that in any given situation the reaction of those so influenced will be that desired by the propagandist (= propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja oleh beberapa individu atau kelompok untuk membentuk, mengawasi atau mengubah sikap dari kelompok-kelompok lain dengan menggunakan media komunikasi dengan tujuan bahwa pada setiap situasi yang tersedia, reaksi dari mereka yang dipengaruhi akan seperti yang diinginkan oleh sang propagandis)'.
4. Laswell: ‘propaganda in broadest sense is the technique of influencing human action by the manipulation of representations (= propaganda dalam arti yang luas adalah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasi representasinya (representasi dalam hal ini berarti kegiatan atau berbicara untuk suatu kelompok))’.
5. Barnays: ‘modern propaganda is a consistent, enduring effort to create or shape events to influence the relations of the public to an enterprise, idea or group (= propaganda modern adalah suatu usaha yang bersifat konsisten dan terus-menerus untuk menciptakan atau membentuk peristiwa-peristiwa guna mempengaruhi hubungan publik terhadap suatu usaha atau kelompok)’.
6. Ralph D. Casey: ‘propaganda is the deliberate and conscious effort to fix an attitude or modify an opinion as it relates to a doctrine or program, and on the other hand, the conscientious effort of the agencies of communications to disseminate facts in a spirit of objectivity and honesty (= propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja dan sadar untuk memantapkan suatu sikap atau merupakan suatu pendapat yang berkaitan dengan suatu doktrin atau program dan di pihak lain merupakan usaha sadar dari lembaga-lembaga komunikasi untuk menyebarkan fakta dalam semangat objektivitas dan kejujuran)’.
7. Lindley Fraser: ‘propaganda may be defined as the activity, or the art, of inducing others to behave in a way which they would not behave in its absence (= propaganda dapat dirumuskan sebagai aktivitas atau seni mengajak atau menyebabkan orang lain berperilaku sedemikian rupa yang tidak akan dilakukan tanpa adanya propaganda tersebut)’.
8. Michael H. Prosser: ‘propaganda is the dissemination of a systematically planned and widely addressed presentation of a particular set of values or policies (= propaganda adalah suatu penyebaran sajian sejumlah nilai atau kebijakan tertentu yang disusun secara sistematis dan disampaikan secara luas)’.
9. Sastropoetro: “propaganda adalah suatu penyebaran pesan yang terlebih dahulu telah direncanakan secara seksama untuk mengubah sikap, pandangan, pendapat dan tingkah laku dari penerima sesuai dengan pola yang telah ditetapkan oleh komunikator”.
10. Leonard W. Doob (dari Nurudin, 2001: 10): ‘propaganda adalah usaha sistematis yang dilakukan oleh individu yang masing-masing berkepentingan untuk mengontrol sikap kelompok individu lainnya dengan cara menggunakan sugesti dan sebagai akibatnya mengontrol kegiatan tersebut’.
11. DOD Military Terms, Joint Doctrine Division, J-7, Joint Staff (DOD) "propaganda: Any form of communication in support of national objectives designed to influence the opinions, emotions, attitudes, or behavior of any group in order to benefit the sponsor, either directly or indirectly... (= propaganda: setiap bentuk komunikasi untuk mendukung tujuan nasional yang dirancang untuk mempengaruhi opini, emosi, sikap, atau perilaku setiap kelompok dalam rangka menguntungkan sponsor, baik secara langsung ataupun tidak langsung…)"
12. Political Dictionary, Fast Times, Inc.: “propaganda: a latin word that was first used by Pope Gregory XV in 1622, when he established the Sacred Congregation of Propaganda, a commission designed to spread the Catholic faith worldwide. Since then propaganda has taken on a much broader meaning, and refers to any technique, whether in writing, speech, music, film or other means, that attempts to influence mass public opinion... (= propaganda: sebuah kata Latin yang pertama kali digunakan oleh Paus Gregory XV pada 1622, ketika dia mendirikan Sacred Congregation of Propaganda, sebuah komisi yang dirancang untuk menyebarkan agama Katolik ke seluruh dunia. Sejak itu propaganda memiliki makna yang lebih meluas, dan mengacu pada setiap teknik, apakah itu dalam kepenulisan, pembicaraan, musik, film, ataupun sarana-saranan lain, yang berusaha mempengaruhi opini publik masyarakat)”.
13. Columbus dan Wolf (Pengantar Hubungan Internasional, hal. 184): ‘propaganda sering diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seorang komunikator yang bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku penduduk yang menjadi sasarannya melalui simbol-simbol verbal, tulisan, dan perilaku, dengan menggunakan media seperti buku-buku, pamflet, film, ceramah, dan lain-lain. Propaganda merupakan salah satu metode standar yang digunakan negara untuk mengamankan, memelihara, dan menerapkan kekuasaan dalam rangka memajukan kepentingan nasionalnya’.
14. Wikipedia: “In the broad sense of the term, propaganda is information that serves a particular agenda, which could be true or false. If true, it may be one-sided and fail to paint a complete picture. In a narrower and more common use of the term, propaganda refers to deliberately false or misleading deceptive information that supports a political cause or the interests of those in power. In an even narrower, less commonly used but legitimate sense of the term, propaganda refers only to false information that is meant to reassure people who already believe. The assumption is that, if people believe something that is false, they will constantly be assailed by doubts. Since these doubts are unpleasant, people will be eager to have them extinguished, and are therefore receptive to the reassurances of those in a position of authority. For this reason propaganda is often addressed to people who are already sympathetic to the agenda (= Dalam arti luas, propaganda adalah informasi yang memiliki agenda tertentu yang bisa benar bisa juga keliru. Jika benar, bisa jadi ia bersifat sepihak dan tidak memberikan gambaran yang seutuhnya. Dalam arti yang lebih sempit dan yang lebih sering digunakan, propaganda mengacu pada informasi yang secara sengaja salah, menyesatkan atau menipu yang mendukung suatu perkara politik atau kepentingan pihak yang berkuasa. Dalam arti yang lebih sempit lagi, dan lebih jarang digunakan namun masih memiliki makna yang sah, propaganda mengacu hanya pada informasi keliru yang dimaksudkan untuk menenangkan orang-orang yang sebelumnya sudah percaya. Asumsinya adalah, jika orang percaya sesuatu yang salah, dia akan terus-menerus diserang keraguan. Karena sesuatu yang meragukan adalah hal yang tidak menyenangkan, orang ingin menghilangkannya, dan oleh karena itu bersikap reseptif terhadap ketenangan yang diberikan oleh mereka yang punya otoritas. Atas dasar hal ini propaganda sering ditujukan kepada orang-orang yang sebelumnya sudah bersimpati kepada agenda propagandis)”.
15. International Encyclopedia of the Social Sciences (1968): propaganda is the relatively deliberate manipulation by means of symbols (words, gestures, flags, images, monuments, music, ets.), of other people’s thoughts or actions with respect to beliefs, values, and behaviors which these people (“reactors”) regard as controversial (= Propaganda adalah upaya sengaja untuk memanipulasi pemikiran dan perbuatan orang lain berkaitan dengan keyakinan, nilai, dan perilaku yang oleh orang tersebut dianggap kontroversial, dengan menggunakan simbol-simbol (kata, gestur, bendera, gambar, monumen, musik, dll.)).
16. Encyclopaedia Britannica (2002): propaganda is more or less systematic effort to manipulate other people’s beliefs, attitudes, or actions by means of symbols (words, gestures, banners, monuments, music, clothing, insignia, hairstyles, design on coins and postage stamps, and so forth). Deliberateness and a relatively heavy emphasis on manipulation distinguish propaganda from casual conversation or the free and easy exchange of ideas (= kira-kira propaganda adalah upaya sistematik untuk memanipulasi keyakinan, sikap, atau tindakan orang lain dengan menggunakan simbol-simbol (kata, gestur, bendera, monumen, musik, pakaian, lambang, gaya rambut, disain uang dan perangko, dan semacamnya). Unsur kesengajaan dan manipulasi membedakan propaganda dari percakapan sehari-hari atau pertukaran gagasan secara bebas dan mudah).
17. Encyclopedia Americana (2001): propaganda is any systematic attempt to influence opinion on a wide scale primarily by symbolic means. It is a form of communication that seeks to promote or discourage attitudes as a means of advancing or injuring an organization, an individual, or a cause. Propaganda proceeds by deliberate plan for calculated effects. It usually addresses a mass audiensce through mass media, or special audiences and media that provide access to mass opinion. The manipulation of symbols – words and pictures and other signs and images – is the essence of propaganda (=Propaganda adalah setiap upaya sistematik untuk mempengaruhi opini secara luas dengan menggunakan simbol-simbol. Propaganda adalah bentuk komunikasi yang berusaha mempromosikan atau mencegah sikap sebagai alat untuk memajukan atau merugikan suatu organisasi, seorang individu, atau maksud tertentu. Propaganda dilakukan berdasarkan suatu rencana dengan pengaruh yang sudah diperhitungkan. Propaganda biasanya ditujukan kepada khalayak luas melalui media massa, atau khalayak dan media tertentu yang memberi akses terbentuknya opini umum. Inti dari propaganda adalah manipulasi simbol – kata dan gambar dan tanda dan citra lain).
Dari seabreg definisi di atas, kita lihat ada yang memandang propaganda secara netral dan ada yang melihatnya sebagai praktik kotor. Definisi yang taat asas pada ilmu komunikasi cenderung menganggap propaganda sebagai metode komunikasi, sehingga menganggap propaganda murni sebagai alat. Artinya, ‘hukum asalnya’ adalah netral. Definisi ini bisa disebut definisi normatif. Menurut definisi ini, propaganda tidak bisa dinilai baik atau buruk. Definisi kedua lebih melihat propaganda dari segi keumuman praktik di lapangan. Berdasarkan keumuman, propaganda terkait dengan manipulasi, kebohongan, dan semacamnya. Definisi semacam ini dapat disebut definisi empiris.
Secara keilmuan propaganda termasuk dalam disiplin ilmu komunikasi. Dalam peta ilmu komunikasi, propaganda termasuk ke dalam metode komunikasi (lih Effendy, 2002: 6-9). Metode berarti cara. Dalam hal ini propaganda merupakan suatu cara penyampaian pesan. Sebagai sebuah cara, propaganda dianggap sekadar alat, sehingga ia bersifat bebas nilai. Masalah baik-buruknya alat itu ditentukan oleh faktor lain, yaitu penggunaan alat tersebut.
Pisau sering dipakai untuk menunjukkan bagaimana suatu alat yang sama bisa dianggap baik atau buruk. Di tangan seorang koki, pisau akan dianggap baik karena difungsikan sebagai alat dapur. Di tangan seorang pembunuh, pisau yang sama akan dianggap jelek karena digunakan sebagai alat pencabut nyawa orang. Pisaunya sama, penggunaannya berbeda. Penggunaan alat yang sama secara berbeda itulah yang akan menghasilkan penilaian yang berbeda terhadap alat tersebut. Perbedaan itu mewujud dalam bentuk tujuan, kalau tujuannya baik maka nilainya baik.
Dengan kata lain, ilmu komunikasi ingin mengatakan bahwa propaganda adalah alat. Sebagai alat, propaganda bisa digunakan oleh siapa saja dengan tujuan apa saja dan caranya terserah. Siapa yang menggunakan dengan tujuan apa dan cara yang terserah itulah yang akan menentukan baik-buruknya propaganda. Propaganda yang dilakukan demi kemaslahatan umat akan dianggap sebagai propaganda yang baik. Misalnya propaganda antinarkoba (narkotika dan obat-obat terlarang) akan dianggap propaganda yang baik. Atau propaganda berantas KKN (korupsi-kolusi-nepotisme). Secara naluriah semua orang akan mengatakan propaganda dalam dua masalah itu baik. Tapi semua orang juga akan menganggap propaganda yang dilakukan Amerika Serikat ketika menyerang Afghanistan dan Irak sebagai propaganda yang buruk.

Unsur-unsur Propaganda

Sebagai metode komunikasi, unsur-unsur propaganda tentu saja mengikuti unsur-unsur komunikasi. Dengan demikian komponen propaganda merupakan turunan dari komponen komunikasi seperti yang bisa kita lihat berikut ini (bdgk. Sastropoetro: 1991, Nurudin: 2001).
Propagandis. Propagandis adalah pihak atau pelaku yang secara sengaja melakukan penyebaran pesan dengan tujuan mengubah pola sikap dan pola pikir sasaran propaganda. Propagandis bisa berupa individu, individu yang melembaga (institutionalized person), atau lembaga. Adapun yang dimaksud dengan individu yang melembaga adalah seseorang yang ketika berpropaganda selalu mengatasnamakan atau dikaitkan dengan suatu lembaga. Daya tarik propagandis akan dipengaruhi oleh tiga faktor berikut (Nimmo, 2000).
1. Status komunikator. Setiap orang memiliki dan memainkan peran tertentu, seperti mahasiswa, guru, pejabat pemerintah, politisi, ekonom, jurnalis, dan sebagainya. Setiap peran itu memiliki status prestise masing-masing. Umumnya, semakin tinggi status propagandis, semakin tinggi daya persuasifnya.
2. Kredibilitas komunikator. Sasaran propaganda mempersepsi para komunikator dengan beberapa cara. Sejauh mereka mempersepsi bahwa propagandis itu memiliki keahlian, kompetensi, keandalan, dapat dipercaya, dan otoritas, mereka akan menganggap bahwa komunikator itu kredibel. Umumnya, semakin kredibel seorang propagandis, semakin efektif persuasinya dalam jangka pendek. Meski demikian, seiring meningkatnya daya kritis masyarakat, orang-orang kini mampu membedakan antara apa yang dikatakan dan kredibilitas sumbernya. Dengan demikian, orang-orang tak ragu untuk mempertanyakan isi pesan yang disampaikan meskipun pada saat yang sama memegang opini komunikator.
3. Daya tarik komunikator. Status dan kredibilitas seorang komunikator menentukan menarik-tidaknya dia di mata reaktor. Tetapi, kepribadiannya, daya tariknya, dan kepercayaan dirinya juga turut membantu daya tarik tersebut. Daya tarik ini akan meningkatkan daya persuasi.
Pesan. Pesan propagandistik adalah isi atau materi yang propagandis susun sedemikian rupa agar mampu mengubah pola pikir dan pola sikap reaktor. Pesan ini disusun secara cermat dan matang agar reaktor dapat menerima pesan yang disampaikan sehingga pola sikap dan pola pikirnya sesuai dengan kehendak propagandis.
1. Isi pesan. Tidak ada rumusan yang pasti bagaimana seharusnya isi pesan propagandistik disusun. Dalam kasus tertentu, ancaman bisa membuat seseorang melakukan sesuatu. Dalam kondisi lain, ancaman itu bisa menjadi bumerang. Agar efektif, setiap himbauan harus membela suatu perubahan opini. Tetapi jika pesan itu terlalu berbeda dari pandangan reaktor, ia akan diabaikan. Suatu pesan propaganda tidak boleh ceplas-ceplos, namun ada kecenderungan lebih persuasif jika kesimpulan yang harus diambil dari himbauan itu diberikan dengan tegas dan tidak diserahkan kepada reaktor untuk menduga-duga. Di depan reaktor yang bersahabat cukup dikemukakan satu sisi argumentasi; di depan reaktor yang tidak bersahabat dan tidak memiliki komitmen, kemukakan kedua sisinya. Ungkapan yang metaforis lebih meningkatkan daya persuasi daripada ungkapan yang harfiah. Penggunaan distraksi, humor, anekdot, dan sebagainya, seringkali, meski tak selalu, menambah keefektifan himbauan.
2. Struktur pesan. Seperti dalam isi pesan, tidak ada ketetapan pasti ihwal hubungan antara struktur pesan dan tanggapan orang terhadapnya. Ada berbagai struktur pesan yang bisa dibuat. Misalnya, menempatkan materi terpenting di akhir, atau di muka, atau di tengah-tengah. Bila argumentasi propagandistik itu mengenai topik yang dikenal baik oleh reaktor, yang lebih dulu dianggap penting akan lebih diingat sehingga lebih persuasif. Jika topiknya tidak dikenal, argumentasi yang disebut terakhir biasanya paling berpengaruh.
Media. Untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, propagandis menggunakan pelbagai sarana yang dipilih secara cermat agar sesuai dengan sasaran propaganda dan menimbulkan efek yang optimal. Propaganda kontemporer menggunakan semua saluran komunikasi –interpersonal, organisasional, dan massal– seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, film, poster, anjangsono, dan sebagainya. Masalahnya bukan terletak pada penentuan media mana yang akan digunakan, melainkan pada penentuan media mana yang sesuai untuk tujuan dan sasaran yang diingini. Dalam hal ini, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan.
1. Memilih media sesuai dengan yang digunakan orang. Setiap orang memiliki karakteristik tersendiri dalam hal mengakses informasi. Ada yang melalui televisi, ada juga yang melalui radio, ada yang sekadar membaca koran atau majalah, bahkan ada yang merasa cukup dengan Internet. Di Barat sana, orang terbiasa memperoleh informasi dari buku. Di Indonesia, hal demikian masih terasa ‘aneh’. Ada juga kalangan tertentu yang mengakses informasi dari seluruh media itu: baca koran, nonton televisi, ngakses Internet, dengerin radio pun tak ketinggalan. Propagandis harus mengetahui kebiasaan calon sasarannya dalam mengakses informasi. Ini dilakukan agar propagandis bisa menentukan media yang tepat untuk penyebaran pesannya.
2. Memilih media yang dipercaya orang. Kurang lebih setengah dari orang Amerika menganggap televisi sebagai media yang dapat dipercaya, seperempatnya memilih surat kabar, dan sisanya terbagi hampir sama antara radio dan majalah. Jika mereka hanya boleh memiliki satu dari keempat media itu –televisi, koran, radio, dan majalah– sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya, hampir enam puluh persen akan memilih televisi (Nimmo, 2000). Bagaimana di Indonesia? Setahu saya, hingga kini belum ada yang melakukan survei perihal ini. Anggaplah, misalnya, orang Indonesia lebih percaya informasi yang disajikan televisi ketimbang oleh surat kabar, radio, atau majalah. Dengan sendirinya propagandis pun akan lebih banyak memanfaatkan televisi sebagai media penyebaran pesannya.
3. Kesesuaian media yang akan digunakan. Ellul mengatakan bahwa media tertentu lebih cocok bagi tipe propaganda tertentu. Misalnya, bioskop dan hubungan interpersonal paling cocok untuk melakukan propaganda sosiologi, sementara surat kabar, radio, dan televisi, akan sangat efektif bagi propaganda politik (Nimmo, 2000).
Reaktor. Reaktor adalah pihak yang menjadi sasaran propagandis. Reaktor inilah yang pola pikir dan pola sikapnya hendak diubah mengikuti kehendak propagandis. Agar aktivitas propagandanya efektif, propagandis harus mengenal betul karakter reaktor. Kumpulkan segala macam informasi mengenai reaktor; usianya, pekerjaannya, agamanya, tingkat pendidikannya, kebiasaannya, dan lain-lain.
Efek. Efek adalah umpan balik yang dikehendaki oleh propagandis, berupa perubahan pola sikap dan pola pikir reaktor sesuai yang dikehendaki propagandis.

Jenis-jenis Propaganda

Selain dalam hal definisi, pusparagam pendapat juga terjadi dalam hal klasifikasi propaganda. Ada yang melihatnya dari sisi sumber propaganda, ada yang meninjaunya dari segi jelas-tidaknya tujuan propaganda itu.
William E. Daugherty dan Morris Janowitz dalam A Psychological Warfare Casebook mengelasifikasi propaganda berdasarkan sumbernya sebagai berikut.
1. White propaganda, yaitu propaganda yang sumbernya dapat diidentifikasi secara jelas dan terbuka. White propaganda juga disebut overt propaganda alias propaganda terbuka. Dalam ajang pemilu, propaganda jenis ini mudah dijumpai. Juga dalam bidang periklanan yang sering disebut propaganda komersil (commercial propaganda).
2. Black propaganda, disebut juga covert propaganda atau propaganda terselubung, yaitu propaganda yang seolah-olah menunjukkan sumbernya, padahal bukan sumber yang sebenarnya. Dengan kata lain, ini jenis propaganda lempar batu sembunyi tangan. Karena sifatnya yang terselubung, sumber aslinya tidak diketahui, sehingga jika kegiatan propaganda itu melanggar etika atau norma tertentu, sulit untuk mengetahui kepada siapa pelanggaran itu seharusnya dialamatkan. Propaganda jenis ini biasanya digunakan untuk melancarkan tuduhan, teror, dan stigma terhadap pihak yang dimusuhinya. Jenis ini galibnya digunakan dalam perang opini.
3. Grey propaganda, yaitu propaganda yang seolah-olah berasal dari sumber yang netral, padahal sebenarnya bersumber dari pihak lawan. Grey propaganda tidak lebih dari black propaganda yang kurang mantap. Pasalnya, pelaku grey propaganda ini berupaya menghindari identifikasi, baik dari sumber yang bersahabat maupun yang berlawanan.
Sementara Mertz dan Lieber dalam Conflict in Context: Understanding Local to Global Security, juga Doob dalam Public Opinion and Propaganda, mengategorisasi propaganda menurut jelas-tidaknya tujuan di balik pesan yang disampaikan.
1. Revealed propaganda (propaganda terang-terangan/terbuka) adalah propaganda yang tujuannya jelas.
2. Concealed propaganda (propaganda tersembunyi/tertutup) adalah propaganda yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain dengan mengaburkan tujuan di balik pesan yang disampaikan.
Selanjutnya, Jacques Ellul (Nimmo, 2000: 126-127) membagi propaganda dengan cara yang berbeda. Ellul membedakan propaganda politik dan propaganda sosiologi, propaganda agitasi dan propaganda integrasi, propaganda vertikal dan propaganda horizontal.
1. Propaganda politik melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai, atau golongan yang berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Ini dilakukan melalui himbauan-himbauan khas berjangka pendek.
2. Propaganda sosiologi kurang kentara namun efek yang ditimbulkannya lebih berjangka panjang. Melalui propaganda ini orang didoktrin oleh suatu pandangan hidup tertentu; sebuah ideologi yang berangsur-angsur merembes atau tepatnya dirembeskan ke dalam pranata-pranata ekonomi, sosial, dan politik suatu masyarakat. Hasilnya adalah suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dihukum atau dikecam dengan keras sebagai penyimpang.
3. Propaganda agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian, tujuan demi tujuan. Melalui agitasi, para pemimpin mempertahankan kegairahan para penganutnya dengan memperoleh suatu kemenangan yang khas, kemudian memberi peluang untuk bernapas, diikuti oleh usaha yang lain lagi dalam satu rangkaian tujuan.
4. Propaganda integrasi berusaha menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang mengabdikan diri mereka kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun, bahkan selama mereka hidup.
5. Propaganda vertikal adalah propaganda satu-kepada-banyak dan terutama mengandalkan media massa bagi penyebaran himbauannya.
6. Propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang pemimpin kepada kelompok; lebih banyak melalui komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi ketimbang melalui komunikasi massa. Secara tradisional partai-partai politik mengandalkan propaganda horizontal, seperti kunjungan ke pengurus organisasi di daerah, pelatihan kader partai, persekongkolan di dalam sel, dan sebagainya.
Lain lagi dengan Paul Kescskemeti (dikutip dari Sastropoetro, 1991: 24-25). Kescskemeti mengategorisasi propaganda ke dalam dua jenis utama, yaitu propaganda komersial dan propaganda politik. Propaganda komersial meliputi periklanan, kecakapan menjual, dan hubungan masyarakat (public relations). Propaganda politik mencakupi kegiatan dan gerakan partai-partai politik yang menuju kepada pemastian penerimaan doktrinnya, mengerahkan anggota baru, memenangkan suara, dan lain sebagainya. Tipe lain dari propaganda politik meliputi teknik promosi yang digunakan oleh pemerintah dan kelompok penguasa untuk meningkatkan prestasinya, baik di dalam maupun luar negeri, menjaga semangat warganya di dalam negeri, dan menghancurkan moral para penentangnya baik dalam perang terbuka ataupun dalam perang dingin.
Ada juga propaganda yang dilakukan di luar bidang komersial dan politik, yaitu kampanye untuk amal, kampanye untuk mendapat perhatian umum terhadap suatu kepentingan sosial, usaha untuk mendapat pengakuan terhadap teori-teori ilmiah, atau suatu gaya arsitektur tertentu, dan promosi untuk suatu prinsip higienis atau suatu kesukaan.
Beberapa ahli membedakan propaganda menjadi propaganda disengaja dan tidak disengaja (Nimmo, 2000: 126). Nimmo mencontohkan perbedaan antara seorang guru ekonomi yang dengan sengaja mendoktrin para siswanya dengan pandangan-pandangan Marxis dan guru ekonomi yang ketika menjawab suatu pertanyaan, secara spontan menunjukkan segi-segi positif dalam filsafat ekonomi Marxis dibandingkan kapitalisme.
Selain jenis propaganda yang telah disebutkan di atas, ada juga yang disebut dengan propaganda of the deed. Sejatinya propaganda berkarakter antikekerasan. Namun demikian para ilmuwan telah memberikan jastifikasi terhadap penggunaan kekerasan atau propaganda of the deed, dengan merumuskannya sebagai berikut (Sastropoetro, 1991: 28-30): ‘a public action or display having the purpose or the effect of furthering or hindering a cause (= suatu tindakan atau peragaan yang bersifat publik dengan tujuan atau akibat meneruskan atau menghalangi suatu maksud). Dalam Encyclopaedia Britannica termaktub uraian, ‘Communication effects are sometimes obtained with the aid of physical devices which are not usually employed for the purpose. The act of killing is no ordinary method of communication, yet killing is spoken of as propaganda of the deed when political assassination are carried out as a menass of affecting attitudes (= Efek komunikasi terkadang dapat diraih dengan bantuan sarana fisik yang biasanya tidak digunakan untuk tujuan tersebut. Tindak pembunuhan lazimnya bukanlah metode komunikasi, namun pembunuhan dapat dianggap sebagai propaganda of the deed manakala pembunuhan politis dilakukan sebagai sarana untuk mempengaruhi sikap)’.
Termasuk kategori propaganda of the deed (= propaganda tindakan nyata) adalah tindak terorisme. Terlepas dari belum adanya definisi yang disepakati bersama dari istilah terorisme, terorisme itu sendiri memiliki cara yang khas yaitu penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politis. Misalnya, peristiwa Bom Bali yang berhasil membuat publik, khususnya dunia Barat, percaya bahwa Indonesia adalah “sarang teroris”.

Propaganda atau Perang Urat Syaraf?

Banyak orang yang menukarartikan propaganda dan perang urat syaraf. Padahal, propaganda dan perang urat syaraf adalah dua istilah yang berbeda meski keduanya memang bagian dari ilmu komunikasi. Malah, keduanya sama-sama berstatus metode komunikasi.
Perang urat syaraf adalah istilah bahasa Indonesia sebagai padanan untuk istilah bahasa Inggris psychological warfare. Menurut US Department of Defense (DOD) dan Inter-American Defense Board (IADB), psychological warfare adalah “The planned use of propaganda and other psychological actions having the primary purpose of influencing the opinions, emotions, attitudes, and behavior of hostile foreign groups in such a way as to support the achievement of national objectives (= Penggunaan propaganda dan tindak psikologis lainnya secara terencana dengan tujuan utama mempengaruhi opini, emosi, sikap, dan perilaku kelompok musuh asing sedemikian rupa untuk mendukung ketercapaian tujuan nasional)”. Dalam Encyclopedia International terdapat definisi dan keterangan sebagai berikut, “Psychological warfare, the application of psychology to the conduct of war in an effort to win victories without force. Though psychological warfare embraces the use of unorthodox military techniques or unfamiliar instruments of war to panic, unnerve, or depress the enemy, the term has genreally to come to mean the use of propaganda, which has been defined as ‘organized persuasion by non-violent means’. The object is to change the mind of the enemy. In the broadest sense, psychological warfare synchronizes politicak, propaganda, subversive, and military efforts with modern psychology to attain specified goals (= Perang urat syaraf adalah penerapan psikologi dalam tindak perang sebagai upaya meraih kemenangan tanpa penggunaan kekerasan. Meskipun perang urat syaraf mencakup penggunaan teknik-teknik militer ortodoks atau instrumen perang yang tak lazim untuk membuat musuh panik, ciut nyali, atau tertekan, istilah itu sendiri secara umum berarti penggunaan propaganda, yang telah didefinisikan sebagai ‘persuasi yang terorganisasi dengan cara-cara tanpa kekerasan’. Tujuannya ialah untuk mengubah pikiran musuh. Dalam pengertian yang paling luas, perang urat syaraf mengawinkan upaya-upaya politik, propaganda, subversif, dan militer dengan psikologi modern untuk meraih tujuan tertentu)”.
Paul M.A. Lineberger (diadaptasi dari Effendy, 2002: 161) membagi pengertian perang uraf syaraf secara sempit dan luas. Secara sempit, perang urat syaraf adalah: ‘The use of propaganda against an enemy, together with such operational measures of a military, economic, or political nature as may be required to supplement propaganda (= Penggunaan propaganda untuk melawan musuh, yang dibarengi tindakan-tindakan operasional dalam bidang militer, ekonomi, atau politik yang dibutuhkan untuk melengkapi propaganda)’. Secara luas, perang urat syaraf adalah: “The application of parts of the science of psychology to further the efforts of political, economic, or military actions (= Penerapan ilmu psikologi untuk memperkuat upaya tindakan politik, ekonomi, atau militer)’.
Dari beberapa keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa propaganda menjadi inti dari kegiatan perang uraf syarat. Bedanya, propaganda lebih luas cakupannya karena meliputi setiap aktivitas yang berusaha mengubah pola sikap dan pola pikir khalayak. Sedangkan perang urat syaraf merupakan istilah perang dan penggunaannya terbatas pada bidang politik, ekonomi, dan militer. Meskipun secara operasional, apa yang berlaku bagi propaganda, juga berlaku bagi perang urat syaraf.
Saat ini yang namanya perang tidak selalu bersifat fisik. Perang secara fisik, atau secara militer, merupakan perang konvensional dan lebih merupakan pilihan terakhir untuk menaklukkan musuh ketika cara-cara politik dan ekonomi (baca: diplomasi) mengalami kebuntuan. Artinya, ketika kita mendapati aktivitas propaganda, khususnya propaganda politik, yang dijalankan oleh suatu negara, kita harus memiliki kerangka berpikir bahwa propaganda yang dilakukan itu merupakan bagian dari upaya perang urat syaraf negara tersebut.

1 comment:

jihadin82 said...

Salam hormat, artikel dalam blog ini amat berguna dan bagus sekali. Pejuang islam Malaysia boleh menjadikan blog ini sebagai referensi baik...
Teruskan usaha kalian...