Monday, May 21, 2007

MELANJUTKAN NEGARA KHILAFAH

MELANJUTKAN NEGARA KHILAFAH


Rasul wafat, lalu para sahabat membai'at seorang khalifah Rasul untuk memimpin Negara Khilafah Islam. Kaum muslimin terus-menerus menegakkan kepemimpinan khilafah hingga tahun 1342 H/1924 M. Mereka menamakan pemimpinnya khalifah atau amirul mukminin atau imam atau sultan. Tidak seorang pun diangkat menjadi khalifah kecuali dengan bai'at. Negara Islam ini berjalan sepanjang harinya hingga akhir khalifah. Yakni, hingga akhir Daulah Islam. Di jalan ini, tidak seorang pun menjadi khalifah kecuali dengan bai'at. Cara penerapan bai'at bermacam-macam. Seorang khalifah kadang dibai'at dengan langsung mewariskannya kepada lainnya dan selain kerabat-kerabatnya, mewariskan kepada anak atau salah satu kerabatnya, dan mewariskan kepada orang nomor satu di antara keluarganya yang ada. Akan tetapi, pewarisan ini bukanlah satu-satunya cara mengangkat khalifah, tetapi mengambil bai'at ketika menguasai kekhilafahan. Tidak pernah ditemukan khalifah yang menguasai kepemimpinan khilafah tanpa bai'at. Pengambilan bai'at juga bermacam-macam. Terkadang diambil dari ahlu al-halli wa al-'aqdi, dari manusia, dari syaikh Islam, dan kadang-kadang pengambilannya buruk. Namun, semua itu adalah bai'at. Wilaayatul'ahdi tidak dituntut memerintah khalifah. Setiap khalifah menentukan para pembantunya yang dalam periode tertentu mereka ini disebut para menteri, yakni para pembantu. Seorang khalifah juga menentukan para penguasa daerah (gubernur), qadhi, komandan-komandan pasukan, dan orang-orang yang mengatur atau menjalankan administrasi negara. Seperti demikianlah bentuk pemerintahan yang berlangsung dalam semua periode dan tidak pernah mengalami perubahan sedikit pun. Tegaknya Negara Islam terus berlangsung hingga dirobohkan oleh kafir penjajah ketika mereka berhasil menghabisi Khilafah 'Utsmaniyah dan membagi-baginya menjadi beberapa negara bangsa.
Di Negara Islam dalam beberapa periode terjadi beberapa peristiwa intern. Peristiwa-peristiwa itu tidak tumbuh dari dorongan-dorongan non-Islam, tetapi tumbuh dari pemahaman Islam yang diterapkan sebagai penegakan suatu kebijakan yang akhirnya memunculkan peristiwa-peristiwa itu. Orang-orang yang memiliki pemahaman yang hendak diterapkan sebagai kebijakan bekerja menurut pemahamannya untuk membenahi sesuatu yang perlu dibenahi dengan menyesuaikannya pada apa yang dipahami mereka. Setiap orang dari mereka adalah mujtahid yang memiliki pemahaman tersendiri tentang penanganan kebijakan dengan jalan selain jalan yang sudah ada. Keduanya (dua kebijakan/satu kebijakan dengan dua jalan) tetap merupakan pemahaman dan ide Islam. Karena itu, kita menemukan perbedaan-perbedaan di daeah seputar pribadi khalifah, tidak di markas kekhilafahan, terdapat perbedaan-perbedaan pada orang yang menangani pemerintahan, tidak pada bentuk pemerintahan. Perbedaan-perbedaan sebatas masalah-masalah furu' (cabang) dan rincian-rincian, tidak dalam ushul dan garis-garis kebijakan global. Tidak satu pun orang Islam berbeda tentang Kitabullah dan Sunnah Nabi, tetapi mereka hanya berbeda tentang orang yang akan menjadi khalifah. Mereka tidak berbeda dalam kewajiban menerapkan Islam seluruhnya dan membawanya ke alam.
Mereka semua berjalan di atas asas ini untuk menjalankan hukum-hukum Allah dan mengajak manusia ke agama Allah. Memang benar, sebagian mereka buruk dalam penerapan sebagian hukum Islam karena berangkat dari pemahaman mereka yang buruk. Sebagian mereka juga buruk dalam penerapan Islam karena keburukan tujuan mereka. Akan tetapi, mereka semua menerapkan Islam dan tidak lainnya. Mereka semua menegakkan hubungan-hubungan mereka dengan lainnya dari negara-negara bagian, bangsa-bangsa, dan umat-umat atas dasar Islam dan pengembangan dakwah Islam ke alam. Karena itu, perbedaan-perbedaan intern tidak pernah lepas tanpa perluasan penaklukan, juga tidak pernah berhenti tanpa penyebaran Islam. Negara Islam ini terus menegakkan penaklukan negara-negara sebagai tempat penyebaran Islam sepanjang waktu hingga abad II H/ 17 M. Negara Khilafah menaklukan Persi, India, Qafqas hingga berhasil menembus perbatasan Cina dan Rusia dan menguasai di belakang Laut Qazwin di sebelah Timur. Daulah Islam menaklukkan Syam di sebelah Utara, Mesir Afrika Utara, dan Spanyol di belahan Barat, sebagaimana juga menaklukkan Anatoli, Balkan, Eropa Selatan dan Timur hingga menembus Utara Laut Hitam yang meliputi wilayah (al-qarmu) dan selatan Ukrania. Negara Islam tidak pernah berhenti diam dari penaklukan-penaklukan dan pengembangan dakwah kecuali ketika kelemahan menggerogotinya dan keburukan pemahaman Islam mulai tampak. Kelemahan daulah dalam pemahaman Islam telah mencapai batasan yang amat kritis hingga menimbulkan kegoncangan penerapan Negara Islam, dan sampai mengantarkan daulah meminta bantuan tentang beberapa pemahaman mengenai sistem-sistem lain yang diyakininya tidak bertentangan dengan Islam, lalu menerapkannya.
Perjalanan Negara Islam seiring dengan kekuatan pemikirannya dan derasnya kemampuan menciptakan hal-hal baru dan berijtihad, di abad pertama (kurun I) penaklukan-penaklukan terus memanjang dan ijtihad meluas dan Daulah Islam berhadapan dengan problem-porblem baru di negeri taklukan yang bisa melahirkan pemecahan. Negara Khilafah ini menerapkan hukum-hukum syar'i pada masalah-masalah baru yang terjadi di Persi, Iraq, Syam, Mesir, Spanyol, India, Qafqas, dan yang lainnya. Semua penduduk negeri-negeri taklukan ini masuk dalam pagar Islam. Dan demikian itu menunjukkan kebenaran pengambilan istinbath dan kuatnya daya cipta dan ijtihad. Karena ketika Islam diputuskan dengan kebenarannya dan dipahami dengan pemahaman yang benar, maka Islam yang demikianlah yang akan mengantarkan penglihatan manusia pada Islam sebagai cahaya diterapkan dan dipelajari hukum-hukumnya.
Daya cipta (ibda'), ijtihad, dan istinbath ini terus berlangsung hingga pada abad 5 Hijriah atau 11 Masehi. Ketika itu, kreatifitas mencipta mulai melemah dan ijtihad menyusut di mana hal itu mengantarkan pada kelemahan daulah, apalagi keadaan itu disusul dengan Perang Salib secara beruntun, sehingga kaum muslimin sibuk dengan perang itu sampai peperangan itu diakhiri dengan kemenangan kaum musliomin. Kemudian datang pemerintahan Dinasti Mamalik (sejumlah budak yang dilatih untuk dijadikan militer yang akhirnya budak-budak ini menguasai sistem pertahanan khilafah dan akhirnya mampu mengendalikan khalifah, maka budak-budak ini menjadi penguasa lalu disebut kaum Mamalik). Mereka menguasai pemerintahan, sementara mereka tidak mampu berijtihad dan tidak memberi arti pemerintahan Islam dengan pemikiran, maka pemikiran menjadi semakin lemah yang pada gilirannya diikuti kelemahan politik. Kemunduran itu ditambah lagi dengan serangan pasukan Tartar. Pasukan Mongol yang liar ini melemparkan kitab-kitab Islam ke dalam Sungai Dajlah dan menghancurkan khazanah pemikiran Islam. Berarti, kelemahan pemikiran inilah yang menghentikan ijtihad. Sementara pembahasan masalah-masalah yang ditemukan sebatas pada pengeluaran fatwa, penafsiran nash-nash, sehingga tingkat pemikiran dalam daulah merosot tajam yang akhirnya memerosotkan prestasi politik. Kemudian datang Dinasti 'Utsmani dan mereka berhasil menyelamatkan pemerintahan dalam Negara Islam. Namun, mereka sibuk dengan kekuatan militer dan penaklukan-penaklukan. Mereka menaklukkan Istanbul dan Balkan, dan mendesak Eropa dengan kuat sehingga membuat mereka memiliki Negara Adidaya satu-satunya di dunia. Akan tetapi, tingkat pemikiran tidak juga meningkat. Kekuatan militer yang berhasil melompat jauh tidak memiliki sandaran pemikiran. Tidak lama kemudian kekuatan militer ini terkelupas dari negeri-negeri Islam secara sedikit demi sedikit hingga akhirnya berhenti. Meski demikian adanya, daulah tetap mengemban dakwah Islam, menyebarkan Islam, dan berjuta-juta penduduk negeri-negeri taklukan masuk Islam dan mereka masih dalam keadaan muslim.
Benar, pemahaman Islam jumlahnya banyak dan tidak adanya khalifah melegalisasikan hukum-hukum yang jelas dalam sistem pemerintahan bersamaan melegalisasikan hukum-hukum tertentu dalam ekonomi dan yang lainnya. Demikian itu memiliki pengaruh dalam memantapkan sebagian kedudukan khalifah dan para wali (penguasa daerah) dari pengarahan pemerintahan dengan arah yang mampu mempengaruhi pembentukan kesatuan daulah dan kekuatannya. Akan tetapi, demikian itu tidak berpengaruh dalam mewujudkan kesatuan daulah. Wilayah umum menjadi milik para wali dan mereka diberi wewenang yang luas sebagai ganti khalifah dikarenakan adanya gerakan rasa kepemimpinan dalam diri mereka. Maka, jadilah mereka seperti orang-orang yang menjalankan pemerintahan secara otonom dalam suatu wilayah. Pengakuan terhadap khalifah cukup dilakukan dengan memberinya bai'at, mendoakannya di atas mimbar-mimbar, membuat mata uang dengan namanya, dan hal-hal lain yang sejenisnya. Sementara persoalan pemerintahan masih tetap berada di tangan mereka (para wali). Hal itu menjadikan wilayah-wilayah ini (pemerintah daerah tingkat I) menyerupai negara-negara otonom, seperti pemerintahan Bani Hamdani, Bani Saljuk, dan yang lainnya. Hanya saja, wilayah umum itu (seluruh wilayah) tidak berpengaruh dalam kesatuan daulah dengan dikatagorikan sebagai wilayah umum daulah. Wilayah atau kekuasaan 'Amru bin 'Ash di Mesir adalah wilayah umum. Wilayah Mu'awiyah bin Abi Sufyan di Syam adalah wilayah umum. Dan bersamaan itu seorang wali tidak akan memisahkan sedikit pun dari khalifah dan kesatuan daulah tetap terpelihara karena kekuatan para khalifah. Namun, ketika para khalifah lemah dan menerima pendiktean dari para wali, maka gejala ini (lemah dan perpecahan kesatuan daulah) tampak dalam wilayah-wilayah ini. Itu adalah gejala [kelemahan] daulah dalam masalah wilayah bersamaan dengan adanya wilayah yang tunduk, mengakui, dan menjadi bagian dari daulah. Meski demikian, dari semua itu daulah masih merupakan satu-kesatuan yang utuh. Khalifah masih merupakan orang yang menentukan seorang wali dan mencopotnya. Meski kekuatan wali melampaui kekuatan khalifah, dia tidak akan berani untuk tidak mengakui khalifah. Daulah atau Negara Islam di hari-hari itu bukan merupakan kesatuan dari wilayah-wilayah federal hingga pada masa pahit yang memaksa daulah membuatkan perjanjian otonomi wilayah untuk para wali. Daulah pada saat itu masih tetap satu dan memiliki seorang khalifah. Hanya khalifah seorang yang memilki wewenang dalam semua aspek daulah, baik dalam sentralisasi, wilayah-wilayah, kota-kota, desa-desa besar maupun desa-desa kecil.
Adapun apa yang terjadi dengan adanya khilafah di Andalus dan tumbuhnya Daulah Fathimiyyin di Mesir, maka sesungguhnya persoalannya menggantikan fungsi-fungsi para wali. Demikian itu karena Andalus sebenarnya dikuasai oleh para wali dan mereka memisahkan Andalus atau menjadikan Andalus wilayah otonom dan walinya tidak membai'at khalifah kaum muslimin. Setelah itu, wali Andalus dinamakan khalifah untuk penduduk wilayah itu (sejarah menyebutnya kekhilafahan Andalus atau kekhalifahan wilayah barat), dan bukan sebagai khalifah yang menjadi milik kaum muslimin secara umum. Khalifah kaum muslimin tetaplah satu dan pemerintahan masih di tangannya. Wilayah Andalus masih tetap dipandang seperti wilayah yang tidak masuk dalam pemerintahan khalifah sebagaimana yang pernah akan terjadi di Iran pada masa pemerintahan Daulah 'Utsmani. Dalam wilayahnya, tidak ada khalifah ke dua. Hanya saja wilayahnya tidak masuk dalam pemerintahan khalifah. Adapun Daulah Fatimiyyah telah didirikan oleh kelompok aliran Ismailiyyah, yaitu satu di antara kelompok-kelompok kafir. Karena itu, sepak terjangnya tidak dihitung dan tidak dikatagorikan sebagai Islam. Negara mereka tidak bisa dikatagorikan Negara Islam atau Khilafah Islam. Berdirinya bersamaan adanya Khilafah Abbasiy tidak bisa dikatagorikan sebagai adanya banyak khalifah. Karena Daulah Fatimiyah bukanlah khilafgah yang syar'iy. Adanya hanya merupakan suatu upaya revolusi yang dijalankan oleh kelompok kebatinan untuk mengubah Negara Islam menjadi negara yang berjalan menurut hukum-hukum mereka yang batil. Atas dasar ini, berarti Daulah Islam masih terus berlangsung dalam pemerintahan negara yang satu dan persatuan yang satu, tidak terbagi-bagi dan tidak menjadi beberapa negara. Upaya-upaya untuk mencapai kekuasaan hanyalah merupakan kesenangan atau dorongan untuk memanifestasikan pemahaman tertentu tentang Islam dalam persoalan-persoalan pemerintahan, kemudian upaya-upaya berakhir, sementara khilafah masih tetap satu dan Daulah Islam juga masih tetap merupakan satu kesatuan. Dari semua keterangan itu menunjukkan seperti demikian atas adanya kesatuan Daulah Islam meski kebijakan-kebijakan pemerintahannya berbilang-bilang. Bahwa fakta sejarah menunjukkan bahwa tiap muslim yang berpindah dari satu negeri ke negeri lain mulai dari ujung timur hingga belahan barat dalam wilayah yang diperintah oleh Islam, maka dia tidak ditanya tentang asal negerinya, juga tidak tentang izin (visa dan paspor) perjalanan karena Negara Islam adalah satu. Seperti demikianlah keadaan Daulah Islam. Keberadaannya masih tetap menyatukan kaum muslimin dalam kesatuan wilayah dan Daulah Islam masih tetap berdiri. Daulah ini masih kuat mempertahankan keberadaannya dalam beberapa periode hingga kafir penjajah berhasil membinasakannya dan melenyapkannya sebagai Negara Islam. Kejadian itu terjadi pada tahun 1924 ketika Khilafah Islam dihilangkan dari atas muka bumi melalui tangan Kemal Attaturk.