Banyak di antara kaum muslim yang terjangkiti fatalisme. Sikap itu timbul ketika melihat banyaknya hadis Nabi saw. yang mengabarkan tentang akan datangnya suatu masa saat Islam mendominasi dunia, dari Timur hingga ke Barat. Juga banyak riwayat yang berbicara tentang akan kembalinya Khilafah. Bagi sebagian orang riwayat-riwayat itu malah menumbuhkan sikap apatis. Mereka menyatakan kaum muslim tidak perlu melakukan aktivitas politik untuk menegakkan Khilafah. Tunggu saja kemenangan yang Allah Swt. janjikan itu.
Kita harus sadar bahwa pandangan seperti itu sangat keliru. Untuk itu, kita perlu memahami dengan jelas perbedaan antara masalah akidah, termasuk di dalamnya janji Allah Swt., dan masalah syariat yang memberikan dorongan dan arahan aktivitas kaum mukmin.
Adapun yang menjadi soal dalam masalah akidah adalah perkara keyakinan dan keimanan. Hal ini berkaitan dengan pemahaman terhadap jawaban atas pertanyaan paling mendasar yang harus dijawab oleh manusia. Misalnya, “Apa tujuan hidup ini?”, “Bagaimana manusia bisa lahir ke dunia?”, serta “Apa yang akan terjadi setelah kita mati dan apakah kehidupan di dunia mempengaruhi apa yang ada setelah mati, maksudnya apakah ada hubungan antara kehidupan di dunia dengan apa yang terjadi setelah dunia ini berakhir?’ Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membentuk suatu keyakinan, keimanan, atau akidah seorang muslim. Persoalan utama dari pertanyaan-pertanyaan itu terkait dengan pemahaman akan realitas dunia ini. Karena itu, seorang muslim meyakini bahwa Allah Swt. menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban manusia atas setiap perbuatan yang dilakukannya di dunia ini, apakah dilakukan dalam rangka ketaatan kepada Allah Swt. dan mengikuti petunjuk-Nya atau tidak. Untuk itu, Allah Swt. mengirim seorang Rasul yang mengemban risalah-Nya melalui para malaikat.
Akidah itu sendiri tidak menuntut aktivitas apa pun, walaupun seluruh aktivitas harus berdasarkan akidah. Untuk mengatur perbuatan manusia, Allah Swt. telah menurunkan serangkaian panduan dalam bentuk hukum-hukum syara’. Sistem ekonomi Islam, sistem pemerintahan Islam, juga cara-cara beribadah kepada Allah Swt., tidak dapat dipahami dengan hanya mengetahui akidah. Dalam hal ini dibutuhkan hukum syara’. Misalnya, setiap muslim sadar bahwa Allah Swt. adalah ar-Raaziq, Sang Pemberi Rezeki. Allah Swt. menghidupi umat manusia, hewan, dan seluruh makhluk hidup di alam semesta ini. Akan tetapi, tidak berarti seorang muslim boleh duduk ongkang-ongkang kaki di rumah dan menunggu rezeki datang menghampiri. Dalam hal ini seorang muslim harus memperhatikan dan mengikuti perintah Allah Swt:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; serta carilah karunia Allah dan banyak-banyaklah mengingat Allah agar kamu beruntung” (QS al-Jumu’ah [62]: 10).
Contoh lainnya, seorang muslim tentu yakin bahwa Allah Swt. adalah an-Naashir, Sang Maha Penolong. Meskipun yakin bahwa kemenangan berada di tangan Allah Swt., tetapi seorang muslim wajib untuk beraktivitas sesuai dengan hukum syara’ dan mempersiapkan segala potensi kekuatan untuk menjalankan perintah Allah Swt. dalam al-Quran:
“Persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS al-Anfal [8]: 60).
Dengan demikian, jelas bahwa setiap aktivitas harus sesuai dengan hukum syara’, serta tidak perlu dipertentangkan dengan keyakinan dan sikap tawakal bahwa Allah Swt. mengatur segala sesuatu, yang tetap menjadi aspek keyakinan. Dalam sebuah peristiwa, Nabi saw. menegur seorang lelaki yang meninggalkan untanya tanpa diikat. Saat itu lelaki itu berkata, “Aku bertawakal kepada Allah”. Nabi saw. mengingatkan, “Ikatlah dan bertawakallah kepada Allah!”
Meskipun kita harus mengimani bahwa kemenangan hanya datang dari Allah Swt. dan bahwa Allah akan menjadikan kaum mukmin berkuasa kembali di muka bumi ini, kaum muslim tetap harus melakukan aktivitas-aktivitas relevan yang diwajibkan. Duduk berdiam diri, tidak melakukan apa pun selain berharap kemenangan segera tiba, adalah haram. Meskipun seandainya hal itu dilakukan sambil banyak berdoa. Perjuangan menegakkan Islam, seperti halnya perjuangan para sahabat r.a. di medan perang dan melawan para pemimpin Quraisy, adalah sebuah kewajiban. Dengan begitu, kelak di Hari Perhitungan kita bisa berkata bahwa kita telah berusaha semaksimal mungkin. Inilah yang dituntut oleh syariat.
Di samping banyaknya hadis yang mengabarkan tentang akan kembalinya Khilafah dan tentang kemenangan yang Allah Swt. janjikan kepada kaum mukmin, al-Quran juga mewajibkan kaum muslim untuk mengikuti dan menaati perintah Allah Swt. yang berkaitan dengan metode melakukan perubahan. Hal ini seperti Nabi saw. yang mempersiapkan kekuatan untuk ke medan perang dalam rangka menaati hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah persiapan perang. Beliau tetap melakukan persiapan itu secara sungguh-sungguh, meskipun beliau juga tahu Allah Swt. telah menjanjikan kemenangan. Para sahabat pun tidak pernah diam di rumah menunggu-nunggu datangnya kemenangan. Mereka justru mengikuti hukum syara’ dan tetap kokoh dalam keimanan mereka bahwa Allah Swt. akan memberikan kemenangan dan pertolongan kepada umat Islam sesuai dengan janji-Nya.
Pada saat ini pun, kita harus melakukan segala aktivitas yang relevan dalam rangka menegakkan kembali Khilafah dan tidak bisa begitu saja menunggu kemenangan datang menghampiri. Andaikan seperti itu, akan mengundang murka Allah Swt. di Hari Pembalasan kelak, karena kita mengabaikan perintah melakukan kewajiban; suatu kewajiban yang Rasulullah saw. saja sampai rela mengorbankan hidupnya. Jadi, Islam tidak akan pernah tegak di tengah-tengah kehidupan kaum muslim atau masyarakatnya, kecuali kaum muslim menyadari pentingnya melakukan kewajiban itu dan menjadikannya perkara hidup dan mati, serta rela berjuang sesuai dengan syariat. Islam hanya dapat ditegakkan melalui perjuangan menegakkan kembali Khilafah sesuai dengan panduan hukum syara’.
Monday, April 23, 2007
Fatalisme
Posted by Harist al Jawi at 11:41 AM
Labels: Artikel Pemikiran
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment