Saturday, April 21, 2007

CARA-CARA PENGEMBANGAN HARTA YANG DILARANG

Hukum syari'at Islam telah menjadikan masalah pengembangan kepemilikan terikat dengan hukum-hukum yang tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu, syari'at Islam melarang individu untuk mengembangkan kepemilikannya dengan cara-cara tertentu, antara lain:

[1]Perjudian[1]
Syara' telah melarang perjudian tersebut dengan larangan yang tegas. Bahkan, syara' menganggap harta yang diperoleh dengan cara perjudian tersebut, sebagai harta yang bukan hak milik. Allah SWT berfirman:

[1]"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamer, perjudian, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamer dan berjudi itu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu)."[1] (Q.S. Al Maidah: 90-91)

Allah SWT telah mengharamkan khamer dan perjudian dengan beberapa bentuk ta'kid (stressing). Antara lain, mengawali kalimat dengan lafadz "innama". Allah juga mengaitkan keduanya dengan menyembah berhala. Disamping itu, Allah juga menjadikan keduanya najis. Sebagaimana Allah SWT menyatakan:

[1]"Maka, jauhilah najis dari berhala-berhala."[1] (Q.S. Al Hajj: 30)

Allah juga telah menjadikan keduanya sebagai perbuatan syaithan. Padahal, syaithan tidak akan memberikan sesuatu selain kejahatan. Allah juga telah memerintahkan agar menjauhinya, bahkan menjauhinya merupakan suatu keberuntungan. Apabila menjauhinya dianggap suatu keberuntungan, maka mendekatinya adalah suatu kerugian. Dan diantara bentuk stressing tersebut adalah timbulnya ancaman, yaitu munculnya permusuhan dan kebencian di kalangan peminum khamer dan pelaku perjudian, bahkan bisa menyebabkan jauh dari dzikir kepada Allah dan ingat waktu shalat. Firman Allah:


[1]"Maka, berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu)"[1] (Q.S. Al Maidah: 91)

merupakan bentuk larangan yang paling tegas. Seakan-akan Allah hendak mengatakan: "Kalian sudah dibacakan ayat-ayat, yang di dalamnya terdapat berbagai macam larangan. Apakah dengan adanya larangan-larangan ini, kalian berhenti?"
Yang termasuk dalam katagori perjudian adalah kupon undian, apapun bentuknya dan apapun sebab yang dipergunakan untuk membuatnya. Dan yang juga termasuk perjudian adalah pertaruhan dalam perlombaan kuda. Sedangkan harta hasil perjudian itu hukumnya haram, dan tidak boleh dimiliki.

[1]Riba[1]
Syara' telah melarang riba dengan larangan yang tegas, berapapun jumlahnya, baik sedikit maupun banyak. Harta hasil riba itu hukumnya jelas-jelas haram. Dan tidak seorang pun boleh memilikinya, serta harta itu akan dikembalikan kepada pemiliknya, jika mereka telah diketahui. Allah SWT berfirman:

[1]"Orang-orang yang maka (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan, lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai padanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telha diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yag mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."[1] (Q.S. Al Baqarah: 275)

[1]"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tinggalkanlah semua bentuk riba, apabila kalian orang-orang yang beriman. Maka, jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari mengambil riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya."[1] (Q.S. Al Baqarah: 278-279)

Adapun sifat yang tampak dalam riba tersebut adalah adanya suatu keuntungan yang diambil oleh orang yang menjalankan riba, yaitu mengeksploitasi tenaga orang lain, dimana ia mendapatkan upah tanpa harus mencurahkan tenaga sama sekali. Disamping karena harta yang menghasilkan riba itu dijamin keuntungannya, dan tidak mungkin rugi. Dan ini tentu bertentangan dengan kaidah "Al Gram Bil Ghanam, yakni kerugian akan ada bila ada keuntungan.
Oleh karena itu, mengelola harta dengan perseroan --yang Islami-- transaksi mudlarabah, dan musaqat dengan segala macam persyaratannya adalah mubah. Sebab, pengelolaan semacam ini bisa dimanfaatkan oleh suatu jama'ah, dimana tidak sedikit pun tenaga orang lain ada yang dieksploitir. Bahkan, ia merupakan sarana yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan tenaga mereka sendiri, dimana ia bisa menderita kerugian, sebagaimana bisa juga mendapatkan keuntungan. Ini berbeda dengan riba.
Disamping pengharaman riba tersebut hanya dengan nash, dan nash tersebut tidak disertai dengan illat apapun. Bahkan As Sunnah mempertagas lagi tentang status harta-harta riba tersebut. Hanya kadang-kadang masih terbersik dalam benak kita, bahwa pemilik harta itu telah menyimpan hartanya, dan kadang-kadang dia tidak bersedia meminjami orang yang butuh untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara kebutuhan tersebut terus mendesaknya, sehingga harus ada sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Padahal, kebutuhan tersebut, pada saat ini banyak ragamnya, dimana riba adalah penyanggah perdagangan, pertanian dan industri yang ada. Karena itu, dibuatlah bank-bank untuk beroperasi dengan riba, bahkan tidak ada sarana yang lain selain riba, sebagaimana tidak ada sarana lain bagi pelaku riba untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, selain dengan riba.
Jawabnya adalah, kita sedang membicarakan masyarakat yang menerapkan Islam secara menyeluruh, termasuk di antaranya adalah sistem ekonomi, bukan sedang membicarakan suatu masyarakat dalam konteks sekarang. Sebab, masyarakat dalam konteks sekarang, adalah masyarakat yang hidup berdasarkan sistem kapitalis. Oleh karena itu, di dalamnya tampak bank sebagai sesuatu yang urgen dalam kehidupan. Dimana, pemilik harta yang memandang dirinya bebas dalam kepemilikannya, dan bebas mengelola hartanya dengan cara menipu, menimbun, berjudi, riba dan sebagainya itu tanpa kendali dari negara atau tanpa terikat dengan undang-undang. Maka tentu tidak ragu, bahwa orang semacam ini akan berpandangan bahwa riba dan bank adalah sesuatu yang urgen dalam kehidupan.
Oleh karena itu, sistem ekonomi sekarang harus dirombak dan diganti --dengan secara menyeluruh dan mendasar-- dengan sistem ekonomi Islam. Apabila sistem ini telah dihapus, lalu diterapkan sistem Islam, maka orang pun akan tahu bahwa masyarakat yang menerapkan Islam tersebut tidak melihat praktik riba sebagai sesuatu yang urgen. Sebab, adakalanya orang yang butuh pinjaman itu butuh untuk menyambung hidupnya, atau butuh untuk mengelola pertaniannya. Sementara dalam konteks kebutuhan yang pertama, yaitu kebutuhan untuk menyambung hidup, Islam telah memenuhinya dengan jaminan hidup untuk tiap anggota masyarakat. Sedangkan dalam konteks kebutuhan yang kedua, yaitu kebutuhan untuk mengelola pertaniannya, Islam telah memenuhinya dengan meminjami orang yang yang membutuhkan, tanpa menggunakan riba. Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah SAW bersabda:

[1]"Tidak seorang muslim pun yang meminjami muslim yang lain dengan suatu pinjaman sebanyak dua kali, kecuali seperti shadaqah sekali."[1]

Memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan adalah sunnah, dan hukum mencari pinjaman pun bukanlah sesuatu yang makruh, tetapi sunnah juga. Karena Rasulullah SAW biasa mencari pinjaman. Maka, selama mencari pinjaman itu masih ada, dan hukumnya sunnah bagi orang yang meminjami dan orang yang mencari pinjaman, justru akan tampak bahwa riba itu merupakan suatu ancaman yang sangat membahayakan bagi kehidupan perekonomian. Bahkan, akan tampak bagi para pengamat bahwa menjauhkan riba, dus menciptakan tabir yang tebal antara riba dengan masyarakat melalui pengundang-undangan hukum syara' dan pembinaan sesuai dengan sistem Islam itu merupakan sesuatu yang amat urgen.
Apabila riba tersebut tidak ada, maka kebutuhan akan bank yang ada sekarang tentu tidak ada. Dan baitul mal sajalah yang akan bertindak untuk meminjami harta tersebut, dengan tanpa keuntungan (baca: bunga) apapun, setelah pemanfaatan harta tersebut terealisir. Umar Bin Khattab telah men-supplay harta kepada para petani Irak dari baitul mal untuk mengolah tanah mereka. Hukum syara' menyatakan, bahwa para petani bisa diambilkan harta dari baitul mal, yang memungkinkan mereka untuk mengolah tanah-tanah mereka hingga tanah-tanah tersebut mengeluarkan hasilnya. Dari Imam Abu Yusuf: [1]"Orang yang lemah hendaknya diberi pinjaman untuk memenuhi kebutuhannya dari baitul mal, agar dia bisa mengolahnya." [1]yaitu mengolah tanahnya.
Sebagaimana baitul mal memberikan pinjaman kepada para petani untuk pertanian, maka baitul mal juga akan memberikan pinjaman kepada orang-orang yang melaksanakan kegiatan-kegiatan pribadi yang setara dengan para petani tersebut, dimana mereka membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Umar men-supplay para petani tersebut semata-mata karena mereka butuh untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri, maka mereka diberi untuk pemenuhan ini. Oleh karena itu, para petani yang kaya tidak akan di-supplay sedikitpun dari baitul mal untuk menambah penghasilan mereka. Yang bisa dianalogkan dengan para petani kaya tersebut adalah orang setara dengan mereka dalam hal kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Rasulullah SAW pernah memberikan tali dan kapak kepada seorang laki-laki agar bisa dipergunakan mencari kayu supaya orang tersebut bisa makan.
Hanya saja, untuk meninggalkan riba tersebut tidaklah tergantung pada adanya masyarakat Islam atau negara Islam atau adanya orang yang memberikan pinjaman harta. Akan tetapi, riba tersebut hukumnya haram sehingga wajib ditinggalkan, baik negara Islam sudah ada ataupun belum, baik ada masyarakat Islam ataupun tidak, baik orang yang memberikan pinjaman harta tersebut ada ataupun tidak.

[1]Penipuan (Al Ghabn)[1]
Al Ghabn menurut bahasa bermakna al khada' (penipuan). Dikatakan: Ghabanahu ghabanan fil bai' was syira'; khada'ahu wa ghalabahu (Dia benar-benar menipunya dalam jual beli; yaitu menipunya dan mengalahkannya), Ghabana Fulanan; naqashahu fits tsaman wa ghayyarahu, fahuwa ghabin wa dzaka maghbun (Dia menipu si Fulan; yaitu mengurangi dan merubah harganya. Maka, dia adalah penipu sedangkan di Fulan itu adalah pihak yang tertipu). Ghabn adalah membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga rata-rata, atau dengan harga rendah dari harga rata-rata. Ghabn yang keji hukumnya memang haram, menurut syara'. Sebab, ghabn tersebut telah ditetapkan berdasarkan hadits yang shahih, dimana hadits tersebut menuntut agar meninggalkan ghabn tersebut dengan tuntutan yang tegas.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah Bin Umar ra. bahwa ada seorang laki-laki mengatakan kepada Nabi SAW, bahwa dia telah menipu dalam jual beli, maka beliau bersabda:

[1]"Apabila kamu menjual, maka katakanlah: 'Tidak ada penipuan.'"[1]

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Anas: Ada seorang laki-laki hidup pada masa Rasulullah SAW. Dia biasa menjual, padahal dia dalam "pengawasan", maksudnya akalnya lemah lalu keluarganya mendatangi Nabi SAW: 'Wahai Nabi Allah, hijir saja si Fulan. Sebab, dia selalu melakukan jual beli, padahal dia lemah akalnya.' Lalu dia dipanggil oleh Nabi SAW, kemudian beliau melarangnya untuk melakukan jual beli. Dia kemudian berkata: 'Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku tidak sabar terhadap jual beli semacam ini.' Lalu Nabi SAW bersabda: [1]'Jika kamu tidak mau meninggalkan jual beli, maka katakan: 'Ah, dan tidak ada penipuan.'"[1] Imam Al Bazzar juga meriwayatkan, dari Anas dari Nabi SAW bahwa beliau melarang menjual barang-barang make up-an.
Khilaba --dengan dikasrah huruf kha'nya-- maknanya adalah khadi'ah (penipuan). Hadits-hadits ini telah menuntut agar penipuan tersebut ditinggalkan. Jadi, penipuan tersebut hukumnya haram. Dari sinilah, maka hukum penipuan (al ghabn) itu juga haram. Hanya saja, ghabn yang diharamkan adalah ghabn yang keji. Sebab, illat diharamkannya ghabn tersebut adalah karena ghabn itu merupakan penipuan dalam harga, dan tidak disebut penipuan kalau hanya sedikit (ringan). Karena ia merupakan ketangkasan pada saat menawar. Jadi, ghabn itu disebut penipuan, apabila sudah sampai pada taraf yang keji. Apabila ghabn tersebut telah ditetapkan, maka bagi pihak yang tertipu boleh memilih sesukanya, antara merusak dan meneruskan jual belinya. Artinya, apabila telah tampak suatu penipuan dalam jual beli, maka pihak yang tertipu tadi boleh mengembalikan harganya dan meminta kembali barangnya, apabila dia seorang penjual. Dan boleh mengembalikan pebeliannya dan mengambil kembali harganya, apabila dia seorang pembeli. Dan sama sekali tidak diperbolehkan mengambil ganti rugi. Artinya, orang yang bersangkutan tidak boleh mengambil beda antara harga barang yang sesungguhnya dengan harga yang sebelumnya telah dipergunakan untuk menjualnya. Sebab, Rasulullah SAW hanya memberikan pilihan antara merusak jual beli atau menolaknya, dan beliau tidak meberikan alternatif lain kepada orang yang bersangkutan.
Imam Ad Daruquthni telah meriwayatkan dari Muhammad Bin Yahya Bin Hibban, yang mengatakan: Nabi SAW telah bersabda:

[1]"Apabila engkau menjual, maka katakanlah: 'Tidak ada penipuan.' Kemudian, dalam setiap menjual, engkau harus memberikan pilihan hingga tiga malam. Apabila engkau ridla, maka ambillah. Apabila engkau marah (tidak ridla), maka kembalikanlah kepada pemiliknya."[1]

Hadits ini menunjukkan, bahwa pihak yang tertipu itu diberi pilihan. Hanya saja, pilihan ini ditetapkan berdasarkan dua syarat: pertama, pada saat terjadinya transaksi tidak tahu; kedua, penambahan atau pengurangan yang drastis, dimana orang lain tidak melakukan penipuan seperti itu pada saat terjadinya transaksi tersebut. Ghabn (penipuan) yang keji itu adalah istilah yang dipergunakan oleh para bisnisman, bahwa penipuan tersebut adalah penipuan yang keji. Sedangkan seberapa besar kecilnya, tidak ditentukan berdasarkan sepertiga atau seperempat harga, namun dikembalikan kepada istilah para bisnisman di negeri tersebut pada saat terjadinya suatu transaksi. Sebab, hal itu memang berbeda-beda, mengikuti perbedaan barang dan pasarnya.


[1]Penipuan (Tadlis) Dalam Jual beli[1]
Pada dasarnya transaksi jual beli itu bersifat mengikat. Apabila transaksi tersebut telah sempurna dengan adanya ijab dan qabul antara penjual dan pembeli, lalu "majelis jual beli" tersebut telah berakhir, maka transaksi tersebut berarti telah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh pembeli dan penjual yang bersangkutan. Hanya masalahnya, ketika transaksi mu'amalah itu harus sempurna dengan suatu cara yang bisa menghilangkan perselisihan di antara individu, maka syara' telah mengharamkan individu tersebut untuk melakukan penipuan (tadlis) dalam jual beli tersebut. Bahkan, syara' telah menjadikan status penipuan tersebut sebagai suatu dosa, baik penipuan tersebut berasal dari pihak penjual, maupun pembeli barang atau uang, sehingga semuanya hukumnya haram. Sebab, penipuan tersebut mungkin saja berasal dari pihak penjual, dan mungkin saja dari pihak pembeli.
Adapun yang dimaksud dengan penipuan penjual adalah, apabila si penjual tersebut menyembunyikan cacat --barang dagangannya-- dari pembeli, padahal dia jelas-jelas mengetahuinya; atau apabila si penjual tersebut menutupi cacat tersebut dengan sesuatu yang bisa mengelabuhi pembeli, sehingga terkesan tidak cacat; atau menutupi barang tersebut dengan sesuatu yang bisa menampakkan seakan-akan barang tersebut semuanya baik.
Sedangkan yang dimaksud dengan penipuan pembeli terhadap harga adalah, apabila si pembeli tersebut memanipulasi alat pembayarannya, atau menyembunyikan manipulasi yang terjadi pada alat pembayaran tersebut, padahal dia jelas-jelas tahu. Dan untuk bisa melakukan penipuan tersebut, harga kadang bisa berbeda-beda dengan perbedaan barang yang dijual. Dan disebabkan oleh penipuan tersebut, maka seorang pembeli kadang mengiming-iming dengan barang tertentu.
Penipuan ini, dengan berbagai macam bentuknya, hukumnya jelas haram. Berdasarkan riwayat dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda:

[1]"Janganlah unta dan kambing itu dibiarkan tidak diperah susunya. Maka, siapa saja yang membelinya setelah itu, dia berhak memilih dua pilihan setelahnya, yaitu agar memerahnya. Apabila dia mau, maka dia boleh mengambilnya. Dan bila tidak mau, maka dia boleh mengembalikannya dengan satu sha' kurma."[1]

Ibnu Majjah meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, yang mengatakan:

[1]"Siapa saja yang telah membeli seekor hewan ternak yang tidak diperah hingga embingnya kelihatan besar, maka dia bisa memilih hingga tiga hari. Apabila --dalam tiga hari itu-- dia mengembalikannya, maka dia harus mengembalikannya dengan satu sha' kurma, bukan dengan air susu."[1]

Yang dimaksud adalah mengembalikan harga susunya yang sudah diperah. Imam Al Bazzar juga telah meriwayatkan dari Anas dari Nabi SAW. bahwa beliau melarang untuk menjual hewan muhaffalat.
Hadits-hadits ini tegas melarang membiarkan ambing unta dan kambing tidak diperah, serta melarang menjual hewan muhaffalat, yaitu hewan yang tidak diperah sehingga embingnya nampak besar, atau nampak seakan-akan hewan tersebut siap diperah, sebab hal itu merupakan penipuan, dimana hal itu hukumnya haram. Adapun yang sejenis dengan hal itu adalah tiap tindakan yang menutup-nutupi atau menyembunyikan cacat. Sebab, semuanya itu merupakan penipuan yang haram dilakukan; baik yang terkait dengan barang atau uang. Karena tindakan tersebut merupakan penipuan.
Seorang muslim tidak boleh melakukan penipuan terhadap barang atau uang, tetapi dia wajib menjelaskan cacat yang terdapat di dalam barang tersebut. Dia juga harus menjelaskan kepalsuan dalam uang tersebut. Sehingga dia tidak boleh memanipulasi barang agar mendapatkan keuntungan atau dijual dengan harga yang lebih tinggi. Dia juga tidak boleh memanipulasi uang agar uang tersebut bisa diterima sesuai dengan harga barang. Karena Rasulullah SAW melarang hal itu dengan larangan yang tegas.
Imam Ibnu Majjah meriwayatkan dari Uqbah Bin Amir dari Nabi SAW yang mengatakan:

[1]"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Dan tidak halal bagi seorang untuk menjual barang kepada saudaranya, sementara di dalamnya terdapat cacat, selain dia menjelaskan cacatnya kepadanya."[1]

Imam Bukhari meriwayatkan dari Hakim Bin Hazzam dari Nabi SAW yang mengatakan:

[1]"Pembeli dan penjual itu boleh memilih, selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya jujur, dan sama-sama menjelaskan (cacatnya), maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Apabila keduanya menyembunyikan (cacatnya) dan berdusta, maka barakah jual belianya akan dicabut."[1]

[1]"Bukanlah termasuk umatku, orang yang melakukan penipuan."[1] (H.R. Ibnu Majjah dan Abu Dawud melalui Abu Hurairah)

Siapa saja yang memperoleh harta dengan cara menipu, baik dengan cara tadlis maupun ghabn, maka dia tidak bisa memiliki harta tersebut. Sebab cara semacam ini tidak termasuk cara-cara



Eko30

.rm2222

kepemilikan, melainkan cara-cara yang dilarang. Bahkan, harta yang diperoleh dengan cara tersebut adalah harta yang haram dan harta suht. Nabi SAW bersabda:



[1]"Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari hasil harta suht (haram). Sebab, neraka-lah yang lebih layak baginya."[1] (H.R. Imam Ahmad dari Jabir Bin Abdullah)

Apabila penipuan tersebut terjadi, baik terhadap barang maupun uang, maka bagi pihak yang tertipu berhak memilih; boleh merusak transaksinya, atau meneruskannya, dan lebih dari pilihan tersebut tidak ada. Apabila seorang pembeli ingin memiliki barang yang terdapat cacatnya, atau barang tipuan tersebut serta ingin memperoleh arsy, yaitu harga yang berbeda, maksudnya antara harga barang yang cacat dengan harga barang yang tidak cacat, dan bukan yang lain. Sebab, Nabi SAW tidak memberikan arsy untuknya, melainkan hanya memberikan pilihan dengan dua hal: [1]"Apabila mau, maka bisa mengambilnya. Dan apabila tidak, maka bisa mengembalikannya."[1] (H.R. Imam Bukhari dari Abu Hurairah).
Untuk bisa mendapatkan pilihan tersebut, seorang penjual memang tidak harus mengerti penipuannya, ataupun cacatnya, namun pilihan tersebut diberikan kepada pihak yang tertipu, begitu penipuan tersebut terjadi; baik pihak penjual tersebut tahu ataupun tidak. Sebab, hadits-hadits di atas bersifat umum. Disamping, karena fakta jual beli tersebut terjadi pada sesuatu yang memang dilarang. Ini berbeda dengan praktek ghabn. Sebab, ghabn tersebut harus diketahui bentuk ghabn-nya, sebab jika yang bersangkutan tidak tahu, tentu dia pun tidak tahu bahwa dirinya sebagai penipu (ghabin), sehingga berlakulah hak bagi pihak yang tertipu (maghbun). Contohnya seperti menurunkan harga pasar, dimana penjualnya tidak tahu harga pasar, lalu dia menjual. Baru kemudian ketahuan, bahwa dia telah menjual dengan harga yang lebih tinggi dari harga pada umumnya. Maka, praktek semacam ini tidak termasuk dalam katagori ghabn. Sehingga pihak pembeli pun tidak berhak mendapatkan pilihan. Karena, penjual tersebut --dengan ketidaktahuannya menurunkan harga tersebut-- tidak tahu bahwa dirinya seorang penipu (ghabin).

[1]Penimbunan[1]
Penimbunan secara mutlak dilarang, dan hukumnya haram. Karena adanya larangan yang tegas di dalam hadits. Diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Sa'id Bin Al Musaib dari Ma'mar Bin Abdullah Al Adawi, bahwa Nabi SAW bersabda:


[1]"Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah."[1] .pm1

Al Atsram meriwayatkan dari Abi Umamah mengatakan:


[1]"Rasulullah SAW telah melarang penimbunan makanan."[1]

Larangan di dalam hadits tersebut, menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan. Sementara cercaan bagi orang yang melakukan penimbunan tersebut dengan sebutan khati' --padahal khati' tersebut adalah orang yang berdosa yang berbuat maksiat-- adalah sebagai indikasi yang menunjukkan, bahwa tuntutan untun meninggalkan tersebut bermakna tegas (jazm). Dari sinilah, maka hadits-hadits tersebut menunjukkan haramnya melakukan penimbunan.
Seorang penimbun adalah orang yang mengumbulkan barang-barang dengan menunggu waktu naiknya harga barang-barang tersebut, sehingga dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi, hingga warga setempat sulit untuk menjangkaunya.
Adapun yang dimaksud dengan penimbun itu adalah orang yang mengumpulkan barang-barang dengan menunggu waktu naiknya harga adalah, karena makna kata hakara menurut bahasa adalah istabadda (bertindak sewenang-wenang). Yang termasuk makna kata tersebut adalah praktik kesewenang-wenangan dengan menahan barang dagangan, agar kelak dijual dengan harga mahal. Maka kalimat ihtakara as syai'a, menurut makna bahasa, bermakna jama'ahu wa ihtabasahu intidharan li ghila'ihi fayabi'u bil katsiri (mengumpulkan sesuatu dan menahannya dengan menunggu naiknya harga, lalu menjualnya dengan harga yang tinggi).
Sedangkan syarat terjadinya penimbunan tersebut mencapai suatu batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun adalah, karena fakta penimbunan tersebut tidak akan terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Kalau seandainya tidak menyulitkan warga setempat untuk membeli barang tersebut, maka tentu penimbunan barang tersebut tidak terjadi. Begitu pula, tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap barang tersebut, sehingga bisa dijual dengan harga mahal.
Atas dasar inilah, maka syarat terjadinya penimbunan tersebut adalah bukan pebelian barang. Akan tetapi, sekedar mengumpulkan barang tersebut dengan menunggu naiknya harga sehingga bisa menjualnya dengan harga mahal, itulah yang dianggap sebagai penimbunan; baik menimbunnya karena suatu pembelian, atau karena hasil buminya yang luas sementara hanya dia yang mempunyai jenis hasil bumi tersebut, atau karena langkanya tanaman tersebut, atau menimbunnya karena industr-industrinya sementara hanya dia yang mempunyai industri tersebut, atau karena langkanya industri tersebut, sebagaimana yang terjadi dalam kondisi --penimbunan kapitalis-- saat ini. Mereka --kaum kapitalis-- biasanya melakukan penimbunan produksi sesuatu dengan membunuh semua industri yang ada, selain industri mereka sendiri. Kemudian mereka melakukan penimbunan di pasar. Jadi, semuanya ini merupakan penimbunan, sebab semuanya ini sesuai dengan makna kata ihtakara-yahtakiru, menurut makna bahasa. Dimana, makna hukratu-ihtikar adalah membatasi jumlah barang atau barang-barang untuk dijual dengan menunggu naiknya harga, sehingga akan dijual ketika harganya membumbung.
Maka, praktek penimbunan itu hukumnya haram dalam segala hal. Tanpa dibedakan, antara menimbun makanan pokok manusia, atau hewan melata maupun yang lain. Tanpa dibedakan antara menimbun makanan dan non makanan. Tanpa dibedakan antara benda yang merupakan kebutuhan primer manusia, atau skunder. Sebab, makna ihtakara dalam bahasa adalah mengumpulkan sesuatu secara mutlak. Dimana, makna kata ihtakara tersebut bukan hanya berarti mengumpulkan makanan, atau makanan pokok, atau kebutuhan primer manusia, tetapi juga berarti mengumpulkan sesuatu. Sehingga, tidak layak jika dispesialisasikan untuk selain makna bahasanya. Disamping, karena makna harfiah hadits-hadits yang menyatakan tentang penimbunan tersebut menunjukkan pengharaman penimbunan tersebut dalam segala hal. Hal itu, karena hadits-hadits yang ada menyatakan dengan mutlak, tanpa disertai batasan apapun, serta umum dengan tidak disertai adanya takhshis. Sehingga, kemutlakan dan keumumannya tetap berlaku.
Adapun makna yang tertuang dalam beberapa riwayat hadits tentang penimbunan, yaitu terjadinya penimbunan dalam masalah makanan, sebagaimana riwayat hadits yang menyatakan: [1]"Rasulullah SAW melarang menimbun makanan."[1] serta riwayat-riwayat yang lain, sebenarnya dengan disebutkannya makanan di dalam hadits tersebut tidak berarti bahwa penimbunan tersebut khusus untuk makanan. Hal semacam itu juga tidak bisa dikatakan, bahwa larangan tentang penimbunan tersebut dalam beberapa riwayat dinyatakan secara mutlak, sedangkan dalam beberapa riwayat yang lain terikat (muqayyad), misalnya, dengan makanan. Sehingga, kemutlakan tersebut dibawa kepada muqayyad. Jadi, tidak bisa dikatakan demikian. Sebab, kata tha'am (makanan) di dalam riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas, tidak layak untuk membatasi riwayat-riwayat yang mutlak. Namun, kata tha'am tersebut tetap merupakan suatu penyebutan nash tentang salah satu dari satuan-satuan yang lain, yang dinyatakan oleh nash yang mutlak. Hal itu adalah karena menafikan hukum selain tha'am (makanan), hanyalah terjadi pada
mafhum laqab, sementara mafhum laqab tersebut tidak bisa diperbunakan, sehingga apa yang ada juga tidak layak untuk dijadikan sebagai taqyid (batasan) dan takhshis (pengkhushusan). Artinya, disebutkannya kata tha'am (makanan) tersebut di dalam beberapa riwayat hadits tentang penimbunan tersebut, adalah pernyataan nash tentang salah satu bentuk penimbunan yang ada, seperti yang dicontohkan di sana. Bukan itulah batasan (qayyid) bagi praktek penimbunan tersebut, dan bukan itu pula sifat yang mempunyai pemahaman yang bisa dipergunakan. Namun, kata tha'am tersebut hanya merupakan isim jamid untuk suatu sebutan tertentu. Dengan kata lain, ia merupakan laqab, bukan sifat. Sehingga mafhum (pemahaman) dari makna kata tersebut tidak bisa dipergunakan. Sedangkan yang layak untuk dijadikan sebagai qayyid atau mukhassis (yang men-takhshis) adalah kata yang mempunyai suatu pemahaman yang bisa dipergunakan. Sementara dalam hal ini --yaitu kata tha'am-- tidak termasuk dalam katagori tersebut.
Jadi, riwayat-riwayat yang melarang praktek penimbunan hingga riwayat-riwayat yang menyatakan tentang makanan adalah hadits-hadits yang bersifat mutlak dan umum, sehingga mencakup semua bentuk penimbunan secara mutlak. Disamping itu, fakta seorang penimbun umumnya menguasai pasar, serta bisa memaksakan harga kepada orang lain --karena dia menimbun barang-- dengan seenaknya, sehingga orang tersebut bisa memaksa orang lain untuk membelinya dengan harga yang tinggi darinya, karena yang lain tidak mempunyai barang yang dibutuhkan. Pada dasarnya, seorang penimbun ingin menaikkan harga kepada kaum muslimin, dimana hal semacam itu hukumnya haram. Diriwayatkan dari Ma'qal Bin Yassar yang mengatakan: Rasulullah SAW bersabda:

[1]"Siapa saja yang terlibat dalam sesuatu yang berupa harga bagi kaum muslimin, agar dia bisa menaikkan harga tersebut kepada mereka, maka kewajiban Allah untuk mendudukkanmua dengan sebagian besar (tempat duduknya) dari neraka, kelak pada hari kiamat nanti."[1]

[1]
Pematokan Harga[1]
Allah SWT telah menjadikan kepada tiap orang agar membeli dengan harga yang disenangi. Ibnu Majjah meriwayatkan dari Abi Sa'id yang mengatakan: Nabi SAW bersabda:


[1]"Sesungguhnya jual beli itu (sah karena) sama-sama suka."[1]

Namun, ketika negara mematok harga untuk umum, maka Allah telah mengharamkannya untuk membuat patokan harga barang tertentu, yang dipergunakan untuk menekan rakyat agar melakukan transaksi jual beli sesuai dengan harga patokan tersebut. Oleh karena itu, pematokan harga tersebut dilarang.
Yang dimaksud dengan pematokan harga di sini adalah, bahwa seorang penguasa, atau wakilnya, atau siapa saja dari kalangan pejabat pemerintahan, memerintahkan kepada kaum muslimin --yang menjadi pelaku transaksi di pasar-- suatu putusan agar mereka menjual barang-barang dengan harga ini, dimana mereka dilarang untuk menaikkan harganya dari harga patokan, sehingga mereka tidak bisa menaikkan atau mengurangi harganya dari harga yang dipatok, demi kemaslahatan umum. Hal itu terjadi, manakala negara ikut terlibat dalam menentukan harga dan membuat harga tertentu untuk semua barang atau beberapa barang, serta melarang tiap individu untuk melakukan transaksi jual beli melebihi atau mengurangi harga yang telah ditentukan oleh negara, sesuai dengan kepentingan khalayak yang dijadikan pijakan oleh negara.
Islam telah mengharamkan pematokan harga secara mutlak. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Anas yang mengatakan:

[1]"Harga pada masa Rasulullah SAW membumbung. Lalu mereka lapor: 'Wahai Rasulullah, kalau seandainya harga ini engkau tetapkan (niscaya tidak membumbung seperti ini).' Beliau menjawab: 'Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Menciptakan, yang Maha Menggenggam, yang Maha Melapangkan, yang Maha Memberi Rizki, lagi Maha Menentukan Harga. Aku ingin menghadap ke hadirat Allah, sementara tidak ada satu orang pun yang menuntutku karena suatu kedzaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah."[1]

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah yang mengatakan: [1]"Bahwa ada seorang laki-laki datang lalu berkata: 'Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga ini.' Beliau menjawab: '(Tidak) justru, biarkan saja.' Kemudian beliau didatangi oleh laki-laki yang lain lalu mengatakan: 'Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga ini.' Beliau menjawab: '(Tidak) tetapi Allah-lah yang berhak menurunkan dan menaikkan.'"[1] Hadits-hadits ini menunjukkan haramnya pematokan harga, dimana pematokan harga tersebut merupakan salah satu bentuk kedzaliman yang harus diadukan kepada penguasa agar ia menghilangkannya. Apabila penguasa tersebut melakukannya --semis‑al dengan mematok harga tertentu-- maka di sisi Allah dia telah berdosa, sebab dia telah melakukan perbuatan yang haram. Sementara tiap rakyat, berhak mengadukan kepada mahkamah madzalim (semacam pengadilan tata usaha negara) terhadap tindakan penguasa yang melakukan pematokan harga tersebut; baik dia seorang wali (gubenur), ataupun khalifah sendiri, maka rakyat boleh mengadukan kedzaliman ini kepada mahkamah, agar mahkamah tersebut memutuskannya, serta menghilangkan kedzaliman ini.
Haramnya pematokan harga tersebut bersifat umum untuk semua bentuk barang. Tanpa dibedakan antara barang makanan pokok, dengan bukan makanan pokok. Sebab, hadits-hadist tersebut melarang pematokan harga secara mutlak, sehingga maknanya umum. Dimana tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya, misalnya, dengan makanan pokok ataupun yang lain, sehingga haramnya pematokan harga tersebut berlaku umum, mencakup pematokan harga semua barang.
Fakta pematokan harga tersebut memang membahayakan, bahkan termasuk sangat membahayakan umat dalam segala kondisi; baik dalam kondisi perang, maupun damai. Sebab, pematokan harga tersebut akan bisa membuka pasar gelap, dimana orang-orang akan melakukan jual beli di sana dengan penjualan di bawah tangan, yang tidak diketahui oleh negara, bahkan jauh dari pengawasan negara. Inilah yang biasanya disebut dengan pasar gelap. Sehingga harga menjadi membumbung, sehingga barang hanya dikuasai oleh orang kaya sementara yang miskin tidak. Disamping karena pematokan harga tersebut menyebabkan kerusakan, dan mempengaruhi produksi, bahkan kadang-kadang menyebabkan krisis ekonomi. Disamping itu, orang-orang akan terbelenggung oleh kekayaan mereka, sebab mestinya makna kepemilikan mereka terhadap harta tersebut adalah mereka berhak untuk menguasainya, sementara dengan adanya pematokan harga tersebut berarti telah terjadi pembelengguan pada diri mereka. Dan itu tentu tidak diperbolehkan, selain dengan adanya nash syara', sementara untuk itu tidak terdapat satu nash syara' pun. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengekang orang dengan membuat patokan harga tertentu untuk barang mereka, bahkan melarang mereka menaikkan dan mengurangi harganya.
Sedangkan membumbungnya harga pada masa peperangan, atau pada saat terjadinya krisis politik, itu memang merupakan akibat dari: adakalanya karena barang tersebut di pasaran tidak tercukupi, disebabkan karena adanya penimbunan barang, atau karena kelangkaan barang tersebut. Apabila tidak adanya barang tersebut karena terjadi penimbunan, maka penimbunan tersebut jelas diharamkan oleh Allah. Apabila barang tersebut tidak ada karena barangnya memang langka, maka khalifah diharuskan untuk melayani kepentingan umum tersebut. Sehingga, khalifah harus berusaha mencukupi barang tersebut di pasar --yang bisa jadi diambil-- dari kantong-kantong barang tersebut. Dengan cara semacam itu, harga yang membumbung tersebut jelas-jelas bisa dihindari. Umar Bin Khattab, ketika masa paceklik --yang disebut dengan sebutan amur ramadah-- telah terjadi hanya di Hijaz akibat langkanya makanan pada tahun tersebut, maka karena langkanya makanan di sana, harga makanan tersebut membumbung tinggi, namun beliau tidak mematok harga tertentu untuk makanan tersebut, bahkan sebaliknya, beliau mengirim dan mensupplay makanan dari Mesir dan negeri Syam ke Hijaz. Sehingga berakhirlah krisis tersebut tanpa harus mematok harganya.




No comments: