Saturday, August 25, 2007

TUJUAN HIDUP MUSLIM

(Bagian-1)

Oleh Mahmud ‘Abdul Karim

Hakikat terpenting setelah keimanan adalah hendaknya seorang Muslim menyadari tujuan hakiki dari penciptaannya, yakni ubudiah; sesuatu yang wajib diwujudkan. Allah Swt. berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah. (QS adz-Dzariyat [51]: 56).

Beribadah dilakukan dengan jalan beriman dan taat kepada Allah. Taat berarti berpegang teguh pada seluruh hukum-hukum-Nya yang tidak hanya terbatas dalam masalah ibadah, akhlak, dan muamalah saja, tetapi mencakup semua yang diperintahkan dan yang dilarang. Kenyataan ini meniscayakan bahwa tidak ada yang boleh disembah, kecuali Allah, serta tidak ada perintah dan larangan (yang harus di taati) melainkan yang berasal dari-Nya.


Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa meriwayatkan ‘Adi bin Hatim pernah datang ke hadapan Rasulullah saw. Beliau kemudian membaca ayat berikut:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan para pembesar dan para pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan al-Masih bin Maryam (sebagai Tuhan), padahal mereka tidaklah diperintah kecuali untuk menyembah Tuhan yang Satu; tiada Tuhan kecuali Allah Yang Mahasuci dari apa saja yang mereka persekutukan itu. (QS at-Taubah [9]: 31).

‘Adi bin Hatim berkata, “Mereka tidaklah menyembah para pembesar dan para pendeta mereka.”

Akan tetapi, Rasulullah saw. berkata, “Benar. Akan tetapi, mereka (para pembesar dan para pendeta itu) mengharamkan atas mereka sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram untuk mereka, lalu mereka mengikuti para pembesar dan para pendeta itu. Itulah bukti penyembahan mereka kepada para pembesar dan para pendeta itu.”

Demikian sebagaimana dituturkan oleh Muslim dan at-Turmudzi.

Dengan demikian, pemberian hak menghalalkan dan mengharamkan (hak menentukan hukum) serta hak ketaatan kepada seseorang pada hakikatnya sema dengan penyembahan kepada orang itu. Allah Swt. berfirman:

مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلاَّ أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ

Apa saja yang kalian sembah itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian sematkan, sedangkan Allah tiada menurunkan keterangan sedikitpun tentang hal itu. Sesungguhnya hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah, Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya. Yang demikian itu adalah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS Yusuf [12]: 40).

Memang, ada hak oleh penguasa, amir, kedua orangtua, atau suami untuk ditaati. Akan tetapi, Allah-lah sebenarnya yang memberikan hak itu kepada mereka.

Ibadah kepada Allah sebetulnya mencakup upaya untuk menjadikan manusia lain beribadah kepada-Nya. Artinya, ibadah kepada Allah juga mencakup upaya untuk menundukkan manusia pada syariat–Nya dan memerangi manusia jika mereka menyimpang dari hukum Allah, apalagi jika sampai mereka menerapkan hukum selain-Nya. Banyak nash yang memerintahkan kaum Muslim untuk beramar makruf nahi mungkar; membantah kebatilan dan menjelaskan kebenaran; berdakwah; menerapkan hukum cambuk dan potong tangan; berperang serta berjihad untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi dan meninggikan kalimat Allah.

Rasulullah saw. mengutus para utusan kepada para raja untuk menyeru mereka kepada Islam. Hal itu dilakukan setelah beliau mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah dan menancapkan tiang-tiang negara. Para khalifah sesudah beliau juga mengirimkan para pengemban dakwah, para mujahid, dan pasukan untuk menyeru manusia kepada iman dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Mereka memerangi berbagai negeri dan para penduduknya agar mereka tunduk pada kekuasaan Islam. Dengan begitu, tidak ada lagi yang disembah selain Allah dan tidak ada hak penetapan hukum kecuali milik Allah. Tujuan ini merupakan fikrah (pemikiran) Islam yang harus diraih oleh seorang Muslim dalam hidupnya.

Gambaran semacam ini tampak pada diri Sahabat Rib’i bin ‘Amir tatkala ditanya oleh Jenderal Rustum, “Untuk apa kalian diutus?”

Ia menjawab, “Sesungguhnya Allah Swt. mengutus kami untuk mengeluarkan para hamba dari penghambaan kepada seorang hamba menuju penghambaan kepada Tuhannya hamba; dari kelaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam; dan dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akhirat.”

Banyak nash al-Quran dan as-Sunnah yang menjelaskan hal itu. Sebagian di antaranya adalah sebagai berikut:

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah Rasul (utusan) Allah kepada kalian semua.” (QS al-A’raf [7]: 158).

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا

Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk seluruh manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (QS Saba’ [34]: 28).

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Dialah Yang telah mengutus utusan-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan atas seluruh agama lain sekalipun orang-orang musyrik membencinya. (QS at-Taubah [9]: 33).

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah oleh kalian orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula pada Hari akhir, tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar—di antara orang-orang yang telah didatangkan kepada mereka al-Kitab— hingga mereka memberikan jizyah dari tangan-tangan mereka dan mereka dalam keadaan tunduk. (QS at-Taubah [9]: 29).

Rasulullah saw. juga bersabda:

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةَ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ

Siapa saja yang berperang untuk menjadikan kalimat Allah menjadi yang tertinggi berarti ia berperang di jalan Allah. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, orang-orang kafir sekalipun dipaksa untuk tunduk pada kekuasaan Islam dan kedaulatan syariat Islam meskipun mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam karena Allah Swt. berfirman:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan dalam agama. (QS al-Baqarah [2]: 256).

Tujuan yang harus diwujudkan adalah agar tidak ada undang-undang yang ditaati dan tidak ada hukum yang diambil atau diterapkan kecuali undang-undang dan syariat Allah; juga agar tidak ada pembuat hukum selain Allah semata.

Allah Swt. menjelaskan salah satu tujuan penciptaan manusia di dalam salah satu ayat-Nya:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Demikianlah, Kami menjadikan kalian sebagai umat yang terpilih agar kalian menjadi saksi atas manusia dan Rasul pun menjadi saksi atas kalian. (QS al-Baqarah [2]: 143).

Ayat ini merupakan seruan dan pembebanan atas umat Islam untuk mengemban risalah Islam kepada seluruh manusia. Hal ini telah disampaikan oleh Nabi saw. setelah beliau menyampaikan risalah, menunaikan amanat, dan berjihad di jalan Allah dengan jihad yang sesungguhnya. Rasul berdiri pada waktu Haji Wada’ dan berkhutbah kepada manusia, antara lain, sebagai berikut:

“Sungguh, aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat sedikit pun sesudahku jika kalian berpegang teguh padanya, yaitu Kitabullah, dan kalian dimintai pertanggungjawaban dariku. Lalu apa yang kalian katakan?”

Mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan (amanat), dan juga telah menyampaikan nasihat.”

Selanjutnya beliau berkata seraya mengangkat kedua tangan ke langit, “Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah....” (HR Abu Dawud).

Demikianlah, Nabi saw. telah bersaksi atas kita dengan menyampaikan dan mengemban amanat serta memohon kepada Allah agar Dia menyaksikannya. Kewajiban kita untuk bersaksi atas manusia melalui metode yang ditempuh oleh Rasul saw.—sebagai telah dijelaskan oleh Allah—merupakan tujuan penciptaan Adam as. Allah Swt. berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi.” Para malaikat berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan di muka bumi orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami selalu menyucikan dan memuji-Mu. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Malaikat adalah hamba Allah yang tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Tatkala Allah SWT berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya aku akan menjadikan khalifah di muka bumi,” para malaikat mengetahui bahwa Allah akan menjadikan di bumi orang yang akan bermaksiat. Kata khalîfah berarti orang yang diangkat oleh Allah sebagai wakil-Nya untuk melakukan aktivitas pengaturan dan pemeliharaan bumi serta aktivitas lainnya yang tercakup dalam apa yang harus dilakukannya sesuai dengan ketentuan-Nya. Jika di sana terdapat tahap pada diri seseorang ketika ia tidak melakukan pengaturan dan pemeliharaan berarti ia telah menyimpang dari ketentuan Allah. Hal itu akan mengantarkan dirinya pada kesengsaraan, kesempitan, dan kekacauan. Karena itu, para malaikat berkata (yang artinya), “Apakah Engkau akan menjadikan orang yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi?” Dengan ungkapan lain, jika di muka bumi tidak terdapat seseorang atau sesuatu yang bermaksiat maka segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan ketentuan Allah. Jika Allah berkehendak menciptakan orang yang melakukan aktivitas pengurusan dan pengarahan maka hal itu berarti bahwa akan ada di muka bumi orang yang akan memilih kesesatan dan bermaksiat kepada-Nya.

Oleh karena itu, sesungguhnya tujuan (cita-cita) dalam kehidupan manusia, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah sebelum penciptaan Adam, adalah agar manusia menjadi hamba-Nya; juga agar manusia lain—yaitu orang yang sesat—mau memperhambakan dirinya kepada-Nya.

Dengan demikian, sesungguhnya kehidupan merupakan kancah perang pemikiran, keyakinan, dan politik antara iman dan kufur; perang keyakinan antara upaya untuk meninggikan kalimat Allah. Semua ini semata-mata agar seluruh agama hanya milik Allah, agar tidak ada hukum kecuali hukum Allah, agar tidak ada sekutu bagi-Nya, agar tidak ada yang disembah selain Diri-Nya, dan agar ketundukan pada syariat Allah menjadi sempurna. Dalam makna ini kehidupan merupakan perang politik tatkala diharuskan agar ri’ayah urusan manusia hanya menggunakan hukum dan undang-undang Allah dan terbebas dari undang-undang dan hukum selainnya.

Metode Meraih Tujuan Hidup Islami

Tatkala Allah menjelaskan bahwa risalah Islam merupakan risalah bagi seluruh manusia dan melarang berhukum kepada selain syariat Islam, Dia tidak hanya menjadikannya sekadar sebagai perintah semata; sebagai penjelasan bagi mereka yang ingin taat. Allah juga tidak mentoleransi orang yang hendak meraih tujuan tersebut dengan memilih cara sesuai dengan kehendaknya. Akan tetapi, Allah menjadikan suatu metode yang telah ditempuh oleh Nabi Muhammad saw. sebagai penjelasan (metode) yang wajib diikuti dalam rangka mewujudkan tujuan di atas. Kita diperintahkan untuk mengikutinya. Allah Swt. berfirman:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa saja yang diperintahkan oleh Rasul maka terimalah dan apa saja yang dilarangnya maka tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Islam tidak melalaikan penjelasan tentang solusi bagi realitas manusia, interaksi, dan problematikanya. Islam juga mendatangkan berbagai hukum yang harus diwujudkan secara praktis. Islam melarang mencuri, membunuh, dan zina. Sebaliknya, Islam memerintahkan iman, ibadah, taat, dsb. Islam tidak menjadikan semua itu sekadar perintah dan larangan semata dengan membiarkan seseorang berpegang teguh atau menyimpang sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi, Islam juga menjelaskan hukum-hukum tertentu yang arus dipatuhi manusia. Islam memerintahkan untuk memotong tangan pencuri, mencambuk atau merajam seorang pezina, membunuh seorang pembunuh, atau membunuh orang yang murtad, dsb. Allah Swt. berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا

Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan masing-masing dari keduanya. (QS al Mâidah [5]: 38).

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Pezina perempuan dan pezina laki-laki, cambuklah masing-masing seratus kali cambukan. (QS an-Nur [24]: 2).

Rasulullah saw. juga bersabda:

لا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِيْ وَ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَ التَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ الْجَمَاعَةِ

Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah kecuali karena satu di antara tiga hal: pezina yang sudah pernah menikah; jiwa dengan jiwa, sereta orang yang meninggalkan agamanya dan memecah-belah jamaah (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hukum-huum tersebut merupakan solusi Islami yang harus diterapkan secara real di tengah-tengah masyarakat. Siapa saja yang lemah imannya dipaksa oleh sanksi yang diterapkan oleh penguasa. Hukum-hukum tersebut merupakan hukum-hukum untuk menundukkan manusia pada kedaulatan syariat dan kekuasaan Allah. Hukum-hukum itulah yang menjadikan Islam diterapkan, bukan sebagai perintah dan larangan semata yang menyebabkan seseorang boleh terikat atau tidak sekehendak hati dan hawa nafsunya. Hukum-hukum itulah yang dinamakan sebagai tharîqah (metode), yakni tharîqah syar‘î yang wajib dipegang teguh—tidak boleh diganti dengan tharîqah lainnya—dalam rangka meraih tujuan yang telah diperintahkan. Contoh, hukum potong tangan tidak boleh diganti dengan hukuman penjara atau dibunuh untuk mencegah adanya pencurian. Demikian pula hukuman manti bagi orang murtad (yang tidak mau kembali) atau hukuman cambuk dan rajam bagi pezina. [bersambung]

No comments: