Nama Rabitah Al Jamiat Al Islamiyah atau Liga Universitas-universitas Islam mungkin tidak banyak terdengar di Indonesia. Padahal UIN Yogyakarta dan Jakarta, UII Yogyakarta, IIU Malaysia, Universitas Ibn Khaldun Bogor adalah di antara anggotanya. Liga atau rabitah yang dipimpin Prof Dr Abdullah bin Abdul Al Muhsin Al Turky itu bediri tahun 1995 dan kini beranggotakan 80 universitas Islam tersebar di seluruh dunia. Markasnya di Kairo, Mesir, dipimpin oleh sekjennya yaitu Prof Dr Ja'fat Abdussalam.
Rabitah ini memang bukan sekadar paguyuban, tapi persatuan yang memiliki program rutin dan tim-tim khusus dalam pengembangan studi Islam di universitas. Lembaga ini berdiri atas kesadaran bahwa tantangan yang dihadapi umat Islam kini dan di masa mendatang bersumber dari masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, hukum, dan bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Dan oleh karena itu, salah satu solusi mendasar untuk menghadapinya adalah pembenahan studi Islam di Universitas Islam. Dari antara aktivitasnya adalah menyelenggarakan muktamar anggota secara rutin, membuat teamwork kajian bidang tertentu, mendirikan pusat-pusat studi, dan sebagainya. Muktamar yang diselenggarakan di Institut Studi Islam Darussalam, Gontor pada 2-4 Juli 2007 itu merupakan muktamarnya yang kedelapan. Acara tersebut dibuka oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni dan dihadiri 120 rektor universitas dalam dan luar negeri.
Program penyeragaman
Tema muktamar kali ini adalah 'Pengembangan dan Penyeragaman Metodologi Studi Islam di Universitas-universitas yang Menjadi Anggotanya'. Tema ini merupakan realisasi dari muktamar ketujuh di Institut Imam Al Auzai, Beirut, Lebanon pada tahun 2004.
Secara praktis penyeragaman berarti mendekatkan kualitas materi studi Islam di berbagai perguruan tinggi, seperti ilmu fikih, ushul fiqh, filsafat Islam, sosiologi Islam, ekonomi Islam, dan lain-lain. Lebih praktis lagi adalah dengan menyeragamkan nama-nama mata kuliah, jumlah sks, sumber rujukan, dan sebagainya.
Jika langkah ini dilaksanakan dampaknya cukup positif bagi perguruan tinggi dan mahasiswa. Dengan langkah ini mahasiswa di berbagai perguruan tinggi Islam akan belajar mata kuliah yang sama. Dalam jangka panjang nanti, ijazah S1 dan S2 di perguruant tinggi Islam (PTI) Indonesia, misalnya dapat diakui di PTI di negara-negara Islam lainnya, seperti Al Azhar, Darul Ulum, Ummul Qura, Universitas Islam Internasional Pakistan, dan sebagainya. Bahkan, mahasiswa dapat transfer dari satu PTI yang satu ke PTI yang lain di dunia Islam tanpa rugi waktu.
Di sisi lain, antar-PTI dapat saling bekerja sama menyusun silabus dan bertukar pendapat mengenai sumber literatur dan metode yang perlu digunakan. Dampaknya, kualitas mata kuliah pada masing-masing universitas dapat ditingkatkan, atau paling tidak yang satu akan belajar dari yang lain. Bahkan dengan upaya penyamaan ini dimungkinkan adanya studi bersama antaruniversitas Islam, atau pemberian ijazah bersama.
Secara teoretis 'penyeragaman metodologi' tampaknya lebih cocok dimaknai 'penyeragaman framework'. Kini framework studi Islam di universitas-universitas Islam berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan. Tapi sejauh mana perbedaan ini bisa ditolerir, belum menjadi kesadaran bersama. Dalam framework studi perbandingan agama misalnya, terdapat minimal dua pendekatan berbeda: pertama dari perspektif Islam dan kedua dari perspektif paham pluralisme agama dari Barat. Dalam kajian filsafat Islam juga terjadi pertentangan antara framework orientalis dan framework Islam.
Perbedaan framework bukan masalah sederhana. Ia bisa bersumber dari perbedaan worldview, perbedaan epistemologi, atau perbedaan konsep. Dan sebaliknya, perbedaan framework dalam kajian ilmu-ilmu dasar dalam Islam seperti tafsir, hadis, fikih, filsafat, dan kalam di perguruan tinggi Islam misalnya akan berdampak serius terhadap epistemologi Islam. Dalam perspektif liberal dan posmodern, perbedaan sejauh apapun bisa ditolerir. Sebab liberalisme adalah konsep kemajuan tanpa framework, kemajuan liberal berasal dari invisible hand. Tapi framework Islam jelas dan jika cendekiawan Muslim berbeda framework dalam studi Islam, maka di masa mendatang ilmuwan Muslim tidak akan dapat bekerja sama membangun suatu disiplin keilmuan atau sistem sosial Islam. Oleh sebab itu diantara rekomendasi terpenting muktamar adalah mengembangkan framework studi ilmu-ilmu tafsir, hadis, fikih, ushul fiqh, dan akidah yang dapat membangun kepribadian Islam serta menjawab tantangan zaman. Ini berarti bahwa dampak epistemologis dari perbedaan framework adalah pada kepribadian lulusannya dan kemampuannya dalam menjawab tantangan zaman.
Framework ilmu 'umum'
Masalah lain menyangkut studi ilmu-ilmu sekuler di universitas-universitas Islam. Ilmu atau materi kuliah fakultas 'umum' di universitas-universtias Islam tidak berbeda dengan materi kuliah fakultas ekonomi di Universitas Gajah Mada misalnya. Kini baru timbul kesadaran perlunya dikembangkan fakultas ekonomi Islam di universitas Islam. Tapi masih belum ada kesadaran perlunya fakultas fisika Islam, sosiologi Islam, psikologi Islam, dan yang lain. Dalam hal ini muktamar hanya merekomendasikan untuk mengarahkan ilmu-ilmu humaniora, ilmu sosial, ilmu fisika agar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Untuk itu Rabitah mencanangkan Proyek Penulisan Buku Contoh untuk ilmu-ilmu Islam dan humaniora. Di antara yang telah direalisasi adalah terbitnya buku fikih kedokteran, konsep pembangunan Islam, hukum internasional, hak asasi manusia, dan lain-lain. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Nilai-nilai Islam itu seharusnya dijabarkan ke dalam epistemologi Islam berupa konsep-konsep dan teori-teori ilmu. Dengan menjabarkan nilai-nilai Islam ke dalam konsep dan teori maka presupposisi dalam ilmu-ilmu tersebut dapat dievaluasi secara kritis dari perspektif Islam, dan dari situ dapat dibangun framework Islam.
Jadi, terlepas dari nilai positif pencanangan Proyek Penulisan Buku Contoh tersebut, langkah awal yang seharusnya ditempuh adalah membangun basis keilmuan atau epistemologi bagi ilmu-ilmu humaniora dan sains. Bangunan ini harus terwujud dalam sebuah buku ilmiah dan menjadi rujukan semua fakultas dan prodi. Artinya, teori-teori yang dikembangkan dalam masing-masing fakultas merujuk pada bangunan epistemologi dalam buku tersebut. Jika bangunan ini tidak kokoh, maka universitas Islam tidak dapat menghasilkan ulama seperti di masa lalu. Kekhawatiran Menteri Agama Maftuh Basuni terhadap perubahan IAIN menjadi UIN dapat dipahami. Sebab, ketika UIN berdiri, bangunan epistemologi Islamnya memang belum berdiri tegak. Menag tampaknya bukan hanya khawatir UIN tidak menghasilkan ulama karena mahasiswa fakultas agama Islam berkurang, tapi juga karena fakultas umumnya tidak dapat mencetak ilmuwan dan saintis yang layak disebut ulama.
Ikhtisar
- Liga Universitas-universitas Islam baru saja menggelar muktamar yang kedelapan di Institut Studi Islam Darussalam, Gontor.
- Muktamar tersebut merekomendasikan adanya penyeragaman kualitas materi studi Islam di perguruan tinggi Islam di seluruh dunia yang menjadi anggota liga tersebut.
- Penyeragaman ini memungkinkan kampus-kampus PTI bisa membuat ijazah, dan kurikulum bersama.
- Muktamar juga sepakat untuk mengembangkan sudut pandang Islam terhadap ilmu-ilmu 'umum'.
Artikel ini di muat di Republika Online tanggal 14 Juli 2007
No comments:
Post a Comment