Jum'at, 27 Juli 2007 yang lalu, penerbit Mizan mengadakan diskusi dan bedah buku "Islam dan Negara Sekular: Menegoisasikan Masa Depan Syariah" di MP Book Point Cipete Jakarta dengan menghadirkan penulisnya, Abdullah Ahmed An-Naim (Sudan), yang saat ini menjabat sebagai Professor of Law, Emory University, Atlanta, Georgia, U.S.A. Di samping itu, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed, M.Phil (Presiden Direktur INSISTS) diundang sebagai pembedah utama dan dua pembedah lainnya dari majalah Sabili dan Hizbut Tahrir.
An-Naim secara khusus didatangkan untuk menjajakan idenya tentang negara sekuler dan ketidaksesuaian syariah untuk dijadikan dasar negara pada serangkaian acara diskusi dan bedah buku di beberapa kota besar Indonesia. Penerbitan buku dalam edisi bahasa Indonesia justru mendahului penerbitan dalam edisi bahasa yang dikuasai penulisnya--paling tidak-- Arab dan Inggris. Edisi bahasa Inggrisnya baru akan diterbitkan pada tahun 2008 oleh Hardvard University Press. Dan menurut rencananya akan dipublikasikan dalam tujuh bahasa lainnya, Arab, Parsia hingga Rusia.
Saya menyempatkan diri untuk menghadiri diskusi dan bedah buku di Cipete untuk mengobati rasa penasaran saya terhadap ketokohan an-Naim yang disambut dengan segala penghormatan dan dipromosikan secara berlebihan oleh kalangan modernis-liberal cabang Indonesia. Dalam bayangan saya, sang penulis, an-Naim yang disebut profesor di bidang syariah dan HAM itu, akan menjelaskan beberapa poin mendalam seputar syariah, negara dan sekularisme dalam acara diskusi dan bedah buku yang seharusnya dimulai pk 15.00, namun sayangnya, acara baru mulai menjelang pk 16.00.
Saya pribadi telah familiar dengan beberapa tokoh intelektual Sudan, dan bagi saya mereka mempunyai tempat tersendiri dalam mengembangkan intelektualitas saya. Di International Islamic University Malaysia, saya belajar dua matakuliah, Early Development of Islamic Thought dan Islamization of Knowledge pada Prof. Dr. Ibrahim Zein, yang juga menjadi pembimbing kedua untuk tesis saya. Beliau adalah salah seorang murid (alm) Ismail Raji al-Farouqi.
Dan terlebih lagi pada tanggal 29 Juni 2007, INSISTS mengundang Prof. Dr. Mudhakkir Abdurrahim (yang juga salah seorang guru Ibrahim Zein) untuk berbicara tentang Western Policy to Islam. Sehingga dalam dugaan saya, kapasitas an-Naim tidak jauh berbeda dari mereka berdua. Ternyata apa yang saya duga jauh dari realitas.
An-Naim terlalu simplistik dalam menjelaskan makna negara, syariah dan hubungannya antara satu dengan lainnya. Misalnya diawal presentasinya dan seperti yang dipublikasikan di The Jakarta Post sehari sebelum acara itu, 26 Juli 2007, dia menjelaskan bahwa negara (state) baru muncul setelah masa penjajahan (post-colonial period). Sedangkan syariah adalah sistem normatif berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah.
Namun begitu syariah adalah produk penafsiran, produk pemikiran dan produk pengalaman manusia. Jadi syariah bukanlah produk Tuhan, tidak abadi (eternal) dan tidak mengikat (not binding). Syariah, menurut dia, mempunyai konteksnya sendiri. Jadi an-Naim menolak segala klaim penerapan syariah melalui negara. Negara adalah institusi sekuler, negara tidak bisa diimani, negara adalah benda mati (inanimate being), jadi negara tidak bisa menjadi atau disebut Islami.
Di samping itu, negara, kata dia, adalah institusi politik, di mana warganya diperlakukan setara. Jadi ide negara syariah berarti mengesampingkan kemungkinan perlakuan yang sama terhadap warga negara. Dalam sistem negara sekular, Anda tidak bisa melakukan diskriminasi terhadap warga non-Muslim atau kepada warga yang Muslim seperti yang ada dalam sistem syariah. Gerakan syariah adalah tren yang berbahaya. Sebab apa yang diharamkan (illegitimate) dan dianggap salah, hanya didasarkan dari sudut pandang Islam. Inilah yang dimaksud an-Naim bahwa negara syariah jelas melanggar HAM internasional, seperti yang disuarakannya dalam artikel-artikelnya.
Menurut an-Naim, istilah "Syariah" tidak ditemukan dalam abad pertama hijriyah. Istilah ini baru dikenal dalam abad kedua dan ketiga. Al-Qur'an juga tidak pernah menyebutkan kata "Syariah" dalam pengertian seperti apa yang kita diskusikan ini, demikian juga Sunnah. ”Anda juga tidak menemukan negara Islam (Islamic state) dan kodifikasi syariah sepanjang sejarah hingga runtuhnya Daulah Utsmaniyyah di Turki pada pertengahan abad 19M,” kutipnya.
Baginya, Islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Tapi Islam harus dipisahkan dari negara. Sebab negara adalah produk politik dan Islam adalah produk Tuhan. Dan sebagai Muslim, mereka akan berprilaku secara politik sebagai seorang yang beriman dan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan publik. Namun sebagai produk politik, negara harus dipisahkan dari Islam.
Dalam sesi dialog, saya tidak mendapatkan kesempatan bertanya, mengingat waktu terbatas untuk lima orang penanya. Saya baru mendapat kesempatan setelah usainya acara diskusi. Terkait dengan klaimnya bahwa tidak pernah ada negara Islam sepanjang sejarah, dan istilah negara baru muncul setelah masa penjajahan, saya mengajukan pertanyaan yang sangat sederhana:
"Apakah negara (state) yang Anda maksud bisa diidentikkan dengan istilah baldah? --istilah ini banyak termaktub dalam Al-Qur'an, di antaranya: QS. Saba': 15, QS. Al-Furqan 49 dll--. Kalau identik, apakah ayat yang berkenaan dengan lafadz ini turun setelah berakhirnya masa koloni? An-Naim menjawab, "Kata state berbeda dengan baldah. Kamu tahu, Indonesia punya batasan wilayah, Singapura punya batasan, demikian juga Thailand; jika seseorang dari negara tertentu ingin pergi ke negara lain maka dia harus punya paspor dan visa. “Indonesia has a border, Singapore has a border, Thailand has a border; so if someone of one state want to go to another state he has to have passport and visa,” kata dia. Inilah arti negara yang saya maksud dan ia lebih identik dengan kata daulah. ”Negara adalah hasil dari institusionalisasi politik”.
Kemudian Nirwan Syafrin, kandidat doktor ISTAC langsung melanjutkan diskusi dengan mengajukan beberapa pertanyaan kritis. Saya tidak bisa mengikuti diskusi mereka sampai selesai dan pamit ke Prof. Naim karena ada keperluan. Poin yang saya tangkap dari jawaban Naim terhadap kritik Nirwan adalah bagaimanapun Islam tidak bisa diinstitusikan. Berbagai jawaban, tidak terlalu ilmiah.
Sekilah saya hanya berfikir, bagaimana orang seperti an-Naim --yang sangat sederhana memaknai syariah dan negara-- bisa dijadikan duta Amerika Serikat (AS) untuk mengkampanyekan ketidakmungkinan syariah untuk diterapkan menjadi dasar negara? Apakah mereka kehabisan tokoh intelektualnya? Kalau pengertian negara sebatas itu, maka klaim an-Naim benar bahwa tidak pernah ada negara Islam sampai saat ini. Sebab jaman Nabi, Sahabat dan setelahnya belum ada paspor dan visa. Sama halnya dengan klaim bahwa bir 'bulan' dan wiski tidak haram, karena tidak dikenal dalam jaman Nabi. Sebab Nabi hanya mengharamkan khamr. [berlanjut..]
Opini dimuat di Hidyatukllah Online: 4 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment