Thursday, August 9, 2007

ISLAM SEBAGAI PANDANGAN HIDUP

Ditulis oleh Hamid Fahmy Zarkasyi Cara pandang atau visi manusia tentang apa yang terdapat dalam alam semesta pada umumnya dipengaruhi oleh “sesuatu” faktor yang dominan dalam kehidupannya. Faktor itu boleh jadi bersumber dari kebudayaan, agama, kepercayaan, tata nilai masyarakat atau lainnya. Masing-masing sumber yang mempengaruhi factor dominan itupun berbeda-beda spektrumnya. Ada yang hanya terbatas pada doktrin agama, ada yang terbatas pada ideology sekuler, ada yang hanya mencakup realitas fisik, ada yang hanya non-fisik dan ada pula yang mencakup keduanya. Faktor yang mencakup ideologi dalam bahasa Inggris disebut worldview atau pandangan dunia.

Sedangkan istilah khusus yang mencakup ideology, agama, kepercayaan atau kedua realitas fisik dan non-fisik sekaligus tidak terdapat dalam kosa-kata bahasa Inggris, dan karena itu istilah worldview, terpaksa dipakai untuk makna itu. Pandangan hidup dalam pengertian ini diartikan sebagai “motor bagi kelangsungan dan perubahan sosial dan moral” [1] Dalam pengertian lain worldview adalah the foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview.[2] Jadi worldview adalah faktor dominan dalam diri manusia yang menjadi penggerak dan landasan bagi aktifitas seluruh kegiatan kehidupan manusia.

Istilah wordlview memang bukan berasal dari dalam tradisi pemikiran Islam. Namun tidak berarti bahwa Islam tidak memiliki worldview, sebab setiap agama, kebudayaan dan peradaban pasti mempunyai wordlview sendiri-sendiri. Worldview Islam berbeda dari worldview agama atau kebudayaan lain. Apa yang membedakan pandangan hidup suatu kebudayaan atau agama adalah dalam cara menafsirkan apa makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Apa yang dianggap benar dan riel oleh suatu kebudayaan tidak selalu begitu bagi kebudayaan lain. Dalam menentukan sesuatu itu benar dan riel setiap kebudayaan dipengaruhi oleh sistim metafisika masing-masing yang terbentuk oleh worldview.[3] Dalam kajian ini akan dibahas konsep pandangan hidup Islam, ciri-cirinya dan relevansinya dalam pemikiran dan peradaban Islam. Untuk memahami hakekat pandangan hidup Islam diperlukan suatu kajian tentang hakekat, proses kelahirannya, dan kaitannya dengan sejarah pemikiran dalam Islam. Kosep Prof. al-Attas tentang elemen dasar pandangan hidup Islam dan teori Professor Alparslan tentang proses kelahiran pandangan hidup Islam akan menjadi rujukan utama.

Dalam studi keagamaan modern (modern study of religion) istilah worldview secara umum merujuk kepada agama dan ideologi, termasuk ideologi sekuler, [4] tapi dalam Islam worldview mencakup makna realitas yang lebih luas. Oleh karena itu definisi pandangan hidup Islam menurut Prof. al-Attas adalah “visi tentang realitas dan kebenaran, the vision of reality and truth, yang terbaca oleh mata hati kita dan yang menerangkan tentang hakekat wujud yang sesungguhnya; sebab totalitas dunia wujud (world of existence) itulah yang diproyeksikan Islam”. Oleh sebab itu istilah worldview ini diterjemahkan oleh Prof. al-Attas kedalam terminologi Islam (bahasa Arab) sebagai ru’yat al-Islam li al-wujud yang berarti pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta.[5] Pandangan hidup Islam, menurut Prof. Al-Attas “bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia didalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural…tapi mencakup aspek al-dunyÉ dan al-Ékhirah, dimana aspek al-dunyÉ harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek akherat, sedangkan aspek akherat harus diletakkan sebagai aspek final”.[6] Lebih teknis lagi Prof. Alparslan menjelaskan bahwa worldview Islam adalah “visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik, yang berperan sebagai asas yang tidak nampak (non-observable) bagi semua perilaku manusia, termasuk aktifitas ilmiah dan teknologi”.[7] Al-Maududi menyebut worldview ini dengan Islamic vision, sedangkan Sayyid Qutb menamakannya al-Tasawwur al-Islami.

Pengertian diatas sekedar untuk menunjukkan adanya perbedaan antara hakekat pandangan hidup Islam dan pandangan hidup lain, meskipun proses kelahirannya dalam pikiran masing-masing individu lebih kurang sama. Sebelum memahami lebih jauh pandangan hidup Islam, kelahirannya, dan perannya dalam melahirkan ilmu-ilmu dalam Islam, perlu dipaparkan terlebih dahulu karakteristik pandangan hidup Islam dan perbedaannya dengan pandangan hidup lain. Prof. Al-Attas dalam hal ini telah meringkas beberapa elemen penting yang menjadi karakter utama pandangan hidup Islam. Elemen penting pandangan hidup Islam itu digambarkan dalam poin-poin berikut ini:[8]

Pertama: Dalam pandangan hidup Islam realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kepada kajian metafisika terhadap dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak nampak (invisible world). Sedangkan pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran, terbentuk berdasarkan akumulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata nilai dan berbagai fenomena social. Meskipun pandangan ini tersusun secara coherence, tapi sejatinya bersifat artificial. [9] Pandangan ini juga terbentuk secara gradual melalui spekulasi filosofis dan penemuan ilmiah yang terbuka untuk perubahan. Spekulasi yang terus berubah itu nampak dalam dialektika yang bermula dari thesis kepada anti-thesis dan kemudian synthesis. Juga dalam konsep tentang dunia, mula-mula bersifat god-centered, kemudian god-world centered, berubah lagi menjadi world-centered. Perubahan-perubahan ini tidak lain dari adanya pandangan hidup yang berdasarkan pada spekulasi yang terus berubah karena perubahan kondisi sosial, tata nilai, agama dan tradisi intelektual Barat.

Kedua: Pandangan hidup Islam bercirikan pada metode berfikir yang tawhÊdi (integral). Artinya dalam memahami realitas dan kebenaran pandangan hidup Islam menggunakan metode yang tidak dichotomis, yang membedakan antara obyektif dan subyektif, histories-normatif, tekstual-kontektual dsb. Sebab dalam Islam, jiwa manusia itu bersifat kreatif dan dengan persepsi, imaginasi dan intelgensinya ia berpartisipasi dalam membentuk dan menerjemahkan dunia indera dan pengalaman indrawi, dan dunia imaginasi. Karena worldview yang seperti itulah maka tradisi intelektual di Barat diwarnai oleh munculnya berbagai sistim pemikiran yang berdasarkan pada materialisme dan idealisme yang didukung oleh pendekatan metodologis seperti empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme dan lain-lain. Akibatnya, di Barat dua kutub metode pencarian kebenaran tidak pernah bertemu dan terjadilah cul de sac.

Ketiga: Pandagan hidup Islam bersumberkan kepada wahyu yang diperkuat oleh agama (din) dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam telah sempurna sejak awal dan tidak memerlukan kajian ulang atau tinjauan kesejarahan untuk menentukan posisi dan peranan historisnya. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ritus-ritusnya, doktrin-doktrin serta sistim teologisnya telah ada dalam wahyu dan diterangkan serta dicontohkan oleh Nabi. Ketika ia muncul dalam pentas sejarah, Islam telah “dewasa” sebagai sebuah sistim dan tidak memerlukan pengembangan. Ia hanya memerlukan penafsiran dan elaborasi yang merujuk kepada sumber yang permanen itu. Maka ciri pandangan hidup Islam adalah otentisitas dan finalitas. Maka apa yang di Barat disebut sebagai klasifikasi dan periodesiasi pemikiran, seperti periode klasik, pertengahan, modern dan postmodern tidak dikenal dalam pandangan hidup Islam; periodesasi itu sejatinya menggambarkan perubahan elemen-elemen mendasar dalam pandangan hidup dan sistim nilai mereka.

Keempat: Elemen-elemen pandangan hidup Islam terdiri utamanya dari konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaanNya, konsep psikologi manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep nilai dan kebajikan, konsep kebahagiaan. Elemen-elemen mendasar yang konseptual inilah yang menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progess) dalam Islam. Elemen-elemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu yang meletakkan sistim makna, standar tata kehidupan dan nilai dalam suatu kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk worldview.

Kelima : Pandangan hidup Islam memiliki elemen utama yang paling mendasar yaitu konsep tentang Tuhan. Konsep Tuhan dalam Islam adalah sentral dan tidak sama dengan konsep-konsep yang terdapat dalam tradisi keagamaan lain; seperti dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenisme; tradisi filsafat Barat, atau tradisi mistik Timur dan Barat sekaligus. Kesamaan-kesamaan beberapa elemen tentang konsep Tuhan antara Islam dan tradisi lain tidak dapat dibawa kepada kesimpulan adanya Satu Tuhan Universal, sebab sistim konseptualnya berbeda. Karena itu ide Transendent Unity of Religion adalah absurd.

Itulah ciri-ciri pandangan hidup atau worldview Islam yang tidak saja membedakan Islam dari agama, peradaban dan kebudayaan lain tapi juga membedakan metode berfikir dalam Islam dan metode berfikir pada kebudayaan lain. Untuk lebih memahami worldview Islam akan dibahas teori kelahiran pandangan hidup secara umum dan pandangan hidup Islam, kemudian perannya dalam melahirkan tradisi intelektual Islam dan beberapa disiplin Ilmu dalam Islam.

Proses munculnya pandangan hidup

Menurut Professor Alparslan suatu worldview terbentuk dalam pikiran individu secara perlahan-lahan (in a gradual manner), bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya, sehingga akhirnya membentuk framework berfikir (mental framework) atau worldview.[10] Secara epistemologis proses berfikir ini sama dengan cara kita mencari dan memperoleh ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan a priori dan a posteriori.[11] Proses itu dapat dijelaskan sebagai berikut: ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu sudah tentu terdiri dari berbagai konsep dalam bentuk ide-ide, kepercayaan, aspirasi dan lain-lain yang kesemuanya membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan dan terorganisasikan dalam suatu jaringan (network). Jaringan ini membentuk struktur berfikir yang koheren dan dapat disebut sebagai “achitectonic whole”, yaitu suatu keseluruhan yang saling berhubungan. Maka dari itu pandang hidup seseorang itu terbentuk tidak lama setelah pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk konsep-konsep itu membentuk suatu keseluruhan yang saling berhubungan.[12] Jaringan architektonik (architectonic network) ini kebanyakan terbentuk oleh pendidikan dan masyarakat, dan dalam kasus Islam dibentuk utamanya oleh agama.

Proses pembentukan pandangan hidup dalam kebudayaan atau masyarakat pada umumnya sama seperti yang dijelaskan diatas, tapi terdapat beberapa perbedaan teknis, khususnya dalam kaitannya dengan kegiatan keilmuan. Jika dalam pandangan hidup suatu masyarakat tidak terdapat konsep ilmu atau konsep-konsep lain yang berkaitan, maka pandanga hidup itu hanya berperan sebagai kondisi berfikir (mental environment) yang tidak menjamin adanya kegiatan ilmiah atau penyebaran ilmu pengetahuan di masyarakat. Worldview seperti ini memerlukan apa yang disebut scientific conceptual scheme (kerangka konsep keilmuan), yang dengan itu kegiatan keilmuan dapat dilaksanakan. Jika pandangan hidup suatu masyarakat itu telah memiliki konsep ilmu atau konsep-konsep lain yang berkaitan maka pandangan hidup itu akan berkembang melalui cara-cara ilmiah. Melihat kedua proses pembentukan dan pengembangan worldview yang seperti ini, maka worldview dapat dibagi menjadi natural worldview dan transparent worldview. Disebut demikian karena yang pertama terbentuk secara alami sedangkan yang kedua terbentuk oleh suatu kesadaran berfikir.[13]

Namun dalam transparent worldview disseminasi ilmu pengetahuan tidak selalu dengan cara-cara ilmiah dalam kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme), yaitu suatu mekanisme canggih yang mampu melahirkan pengetahuan ilmiah dan melahirkan pandangan hidup ilmiah (scientific worldview).[14] Terdapat pula transparent worldview yang lahir tidak melalui kerangka konsep keilmuan, meskipun substansinya tetap bersifat ilmiah. Pandangan yang lahir dengan cara itu adalah pandangan hidup Islam. Sebab pandangan hidup Islam tidak bermula dari adanya suatu masyarakat ilmiah yang mempunyai mekanisme yang canggih bagi menghasilkan pengetahuan ilmiah. Pandangan hidup Islam dicanangkan oleh Nabi di Makkah melalui penyampaian wahyu Allah dengan cara-cara yang khas. Setiap kali Nabi menerima wahyu yang berupa ayat-ayat al-Qur’an, beliau menjelaskan dan menyebarkannya kemasyarakat. Cara-cara seperti ini tidak sama dengan cara-cara yang ada pada scientific worldview,dan oleh sebab itu Prof.Alparslan menamakan worldview Islam sebaai 'quasi-scientific worldview'.[15] Penjelasan lebih detail tentang pandangan hidup Islam akan dilakukan kemudian.

Proses pembentukan pandangan hidup melalui penyebaran ilmu pengetahuan diatas akan lebih jelas lagi jika kita lihat dari proses pembentukan elemen-elemen pokok yang merupakan bagian dari struktur pandangan hidup itu serta fungsi didalamnya. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa pandangan hidup dibentuk oleh jaringan berfikir (mental network) yang berupa keseluruhan yang saling berhubugan (architectonic whole). Namun, ia tidak merepresentasikan suatu totalitas konsep dalam pikiran kita. Ketika akal seseorang menerima pengetahuan terjadi proses seleksi yang alami, dimana pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang lain ditolak. Pengetahuan yang diterima oleh akal kita akan menjadi bagian dari struktur worldview yang dimilikinya.

Professor Alparslan mengkategorikan struktur pandangan hidup menjadi lima: 1) struktur tentang kehidupan, 2) tentang dunia, 3) tentang manusia, 4) tentang nilai dan 5) strutktur tentang pengetahuan.[16] Proses terbentuknya struktur dalam worldview ini bermula dari struktur tentang kehidupan, yang didalamnya termasuk cara-cara manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari-hari, sikap-sikap individual dan sosialnya, dan sebagainya. Struktur tentang dunia adalah konsepsi tentang dunia dimana manusia hidup. Struktur tentang ilmu pengetahuan adalah merupakan pengembangan dari struktur dunia (dalam transparent worldview). Gabungan dari struktur kehidupan, dunia dan pengetahuan ini melahirkan struktur nilai, dimana konsep-konsep tentang moralitas berkembang. Setelah keempat struktur itu terbentuk dalam pandangan hidup seseorang secara transparent, maka struktur tentang manusia akan terbentuk secara otomatis.

Meskipun proses akumulasi kelima struktur diatas dalam pikiran seseorang tidak selalu berurutan seperti yang disebut diatas, tapi yang penting kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan konsepsi dan berfungsi tidak saja sebagai kerangka umum (general scheme) dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, tapi juga mendominasi cara berfikir kita. Disini dalam konteks lahirnya ilmu pengetahuan di masyarakat, struktur ilmu pengetahuan merupakan asas utama dalam memahami segala sesuatu. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang dihasilkan oleh seseorang dengan pandangan hidup tertentu akan merupakan refleksi dari struktur-struktur diatas.

Teori ini berlaku secara umum pada semua kebudayaan dan dapat menjadi landasan yang valid dalam menggambarkan timbul dan berkembanganya pandangan hidup manapun, termasuk pandangan hidup Islam. Berarti, kegiatan keilmuan apapun baik dalam kebudayaan Barat, Timur maupun peradaban Islam dapat ditelusur dari pandangan hidup masing-masing.

Pandangan hidup Islam

Berdasarkan kesimpulan diatas maka untuk memperoleh gambaran tentang tradisi intelektual dalam Islam, maka kita perlu melacaknya dari sejak mula kelahiran pandangan hidup dalam pikiran ummat Islam periode awal dan ‘perkembangan’ selanjutnya. Namun ‘perkembangan’ disini, seperti yang diingatkan Prof. al-Attas, tidak menunjukkan proses pertumbuhan menuju kematangan atau kedewasaan, tapi lebih merupakan proses interpretasi dan elaborasi wahyu yang bersifat permanen itu.[17] Oleh sebab itu untuk melacak timbulnya ilmu dalam sejarah Islam perlu merujuk kepada periode dessiminasi ayat-ayat al-Qur’an oleh Nabi dan pemahaman ummat Islam terhadapnya. Dalam kaitannya dengan itu, maka Prof. Alparslan membagi tiga periode penting, yaitu 1) Lahirnya pandangan hidup Islam 2) lahirnya struktur ilmu pengetahuan dalam pandangan hidup tersebut dan 3) lahirnya tradisi keilmuan Islam.

Pada periode pertama, lahirnya pandangan hidup Islam dapat digambarkan dari kronologi turunnya wahyu dan penjelasan Nabi tentang wahyu itu. Sebab, seperti dijelaskan diatas, sebagai quasi-scientific worldview, pandangan hidup Islam bermula dari peranan sentral Nabi yang menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Disini periode Makkah merupakan periode yang sangat penting dalam kelahiran pandangan hidup Islam. Karena banyaknya surah-surah al-Qur’an diturunkan di Makkah (yakni 85 surah dari 113 surah al-Qur’an diturunkan di Makkah), maka periode Makkah dibagi menjadi dua periode: Makkah period awal dan periode akhir. Pada periode awal wahyu yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepadaNya, hari kebangkitan, penciptaan, akherat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam. Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-konsep yang lebih luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, dÊn, ibÉdah dan lain-lain.[18] Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena sepertiga dari al-Qur’an diturunkan disini, akan tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta partisipasi masyarakat Muslim dalam memahami wahyu itu telah membentuk struktur konsep tentang dunia (world-structure) baru yang merupakan elemen penting dalam pandangan hidup Islam. Karena sebelum Islam datang struktur konsep tentang dunia telah dimiliki oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam (Jahiliyyah), maka struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam menggantikan struktur konsep yang ada sebelumnya.[19] Konsep karam, misalnya, yang pada masa jahiliyya berarti kemuliaan karena harta dan banyaknya anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena ketaqawaan (inna akramukum inda AllÉh atqÉkum).

Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, sistim hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat; termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan Muslim dengan ummat beragama lain, dan sebagainya.[20] Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Muslim. Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tema-tema wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah masih terus didiskusikan. Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada beberapa prinsip dasar aqÊdah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsip-prinsip itu kedalam konsep-konsep yang secara sosial lebih aplikatif. Dalam konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep dunia terjadi pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam terjadi pada periode Madinah.

Periode kedua timbul dari kesadaran bahwa wahyu yang turun dan dijelaskan Nabi itu telah mengandung struktur fundamental scientific worldview, seperti struktur tentang kehidupan (life-structure), struktur tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah-istilah konseptual seperti ilm, iman, usul, kalam, nazar, wujud, tafsir, ta'wil, fiqh, khalq, halal, haram, iradah dan lain-lain telah memadahi untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan (pre-scientific conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis yang mendasar dalam pandangan hidup Islam. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya struktur pengetahuan dalam pikiran ummat Islam saat itu yang berarti menandakan munculnya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam, meskipun benih beberapa konsep keilmuan telah wujud pada periode Makkah.

Atas dasar framework ini maka dapat diklaim bahwa pengetahuan ilmiah yang terbentuk dari adanya istilah-istilah keilmuan (scientific terms) dalam Islam, lahir dari pandangan hidup Islam. Ia tidak diimport dari kebudayaan atau pandangan hidup lain. Ini bertentangan dengan framework para penulis sejarah Islam kawakan dari Barat, seperti De Boer, Eugene Myers, Alfrend Gullimaune, O’Leary, [21] yang umumnya menganggap sains dalam Islam bukan asli dari ajaran Islam. Seakan akan tidak ada sesuatu apapun yang berasal dari dan disumbangkan oleh Islam kecuali penterjemahan karya-karya Yunani. Framework seperti ini diikuti oleh penulis modern seperti Radhakrishnan,[22] Majid Fakhry[23] W.Montgomery Watt [24] dan lain-lain. Kesemua asumsi itu sudah tentu berdasarkan pada framework tertentu yang tidak menganggap atau menafikan wujudnya pandangan hidup Islam dan kerangka konsep keilmuan didalamnya. Jelasnya mereka gagal menangkap asas kebangkitan tradisi intelektual dalam Islam, yaitu pandangan hidup Islam.

Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam. Periode ini memerlukan penjelasan yang lebih panjang dan detail. Seperti diketahui tradisi keilmuan dalam Islam adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Karena tradisi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat, maka Prof. Alparslan mencanangkan bahwa untuk menggambarkan tradisi keilmuan Islam, pertama-tama perlu ditunjukkan wujudnya komunitas ilmuwan dan proses kelahirannya pada awal abad pertama dalam Islam. Kemudian menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme) yang merupakan framework yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu.[25]

Kelahiran Tradisi intelektual Islam

Bukti adanya masyarakat ilmuwan yang menandai permulaan tradisi keilmuan dalam Islam adalah berdirinya kelompok belajar atau sekolah AÎÍÉb al-Øuffah di Madinah.[26] Disini kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Jumlah peserta dalam komunitas keilmuan ini, menurut AbË Nuaym berbeda-beda dari waktu ke waktu, tapi anggota tetap komunitas ini sekitar 70 orang.[27] Materi yang dikaji pada periode ini, sudah tentu masih sangat sederhana,[28] tapi karena obyek kajiannya berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks, maka ia tidak dapat disamakan dengan materi diskusi di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, AÎÍÉb al-Øuffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggal awal tradisi intelektual dalam Islam.[29] Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakana, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya AbË Hurayrah, AbË Dharr al-GhiffÉri, SalmÉn al-FÉrisi, 'Abd AllÉh ibn Mas'Ëd dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.

Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (d.80/ 699), Muhammad ibn al-Hanafiyyah (d.81/700), Ma'bad al-Juhani (d.84/703), Umar ibn 'Abd al-'Aziz ( d.102/720) Wahb ibn Munabbih (d.110,114/719,723), Hasan al-Basri (d.110/728), Ghyalan al-Dimashqi (d.c.123/740), Ja'far al-Sadiq (d.148/765), Abu Hanifah (d.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (d.182/799), al-Shafi'i (204/819) dan lain-lain.

Framework yang dipakai pada awal lahirnya tradisi keilmuan ini sudah tentu adalah kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme). Indikasi adanya kerangka konseptual ini adalah usaha-usaha para ilmuwan untuk menemukan beberapa istilah teknis keilmuan yang rumit dan canggih. Istilah-istilah yang di derivasi dari kosa-kata al-Qur’an dan hadith Nabi termasuk diantaranya: 'ilm, fiqh, usul, ijtihad, ijma', qiyas, 'aql, idrak, wahm, tadabbur, tafakkur, hikmah, yaqin, wahy, tafsir, ta'wil, 'alam, kalam, nutq, zann, haqq, batil, haqiqah, 'adam, wujud, sabab, khalq, khulq, dahr, sarmad, zaman, azal, abad, fitrah, kasb, khayr, ikhtiyar, sharr, halal, haram, wajib, mumkin, iradah dan lain sebagainya, menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan.

Dari keseluruhan istilah teknis tersebut istilah ‘ilm, yang berulang kali disebut dalam berbagai ayat al-Qur’an,[30] adalah istilah sentral yang berkaitan dengan keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Istilah ‘ilm itu sejatinya adalah ilmu pengetahuan wahyu itu sendiri atau sesuatu yang di derivasi dari wahyu atau yang berkaitan dengan wahyu, meskipun kemudian dipakai untuk pengertian yang lebih luas dan mencakup pengetahuan manusia. Istilah kedua yang juga sangat sentral adalah istilah Fiqh, yang dalam al-Qur’an (9:122) menggambarkan kegiatan pemahaman terhadap dÊn, termasuk pemahaman al-Qur’an dan hadith, yang keduanya disebut ‘ilm. Jadi ‘ilm dan Fiqh berkaitan erat sekali.

Perlu dicatat bahwa meskipun wahyu telah dijelaskan oleh Nabi, namun disana masih terdapat beberapa masalah[31] yang terbuka untuk difahami secara rasional yang dalam tradisi Islam disebut ra’y.[32] Jadi Fiqh (tafqquh) pada periode ini, bukan dalam pengertian hukum adalah kegiatan ilmiah untuk memahami ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dari sumber wahyu. Dalam kegiatan ini ummat Islam telah memiliki metode tersendiri dalam memahami wahyu baik dengan memahami makna ayat demi ayat, membandingkan suatu ayat dengan ayat lain, menafsirkan ayat dengan hadith ataupun memahami ayat dengan dengan ra’y. Dengan adanya metode dan obyek materi yang khusus Fiqh sudah dapat dikatakan sebagai ilmu. Karena luasnya obyek materi yang dibahas maka Fiqh, pada periode awal Islam dapat dianggap sebagai induk dari segala ilmu dalam Islam, yang daripadanya kemudian lahir berbagai disiplin ilmu yang lain. Untuk sekedar membuktikan wujudnya tradisi ilmiah dalam Islam disini akan dipaparkan kelahiran disiplin ilmu Fiqh dan ilmu Kalam.

Sebelum membahas mengenai timbulnya ilmu, perlu diingat bahwa ilmu itu tidak ditemukan (discovered) oleh manusia tapi ditetapkan (established) oleh manusia. Artinya manusia menemukan kebenaran ilmiah, seperti hukum alam gravitasi misalnya, tapi fisika sebagai disiplin ilmu ditetapkan tidak ditemukan. Penentuan disiplin suatu ilmu biasanya dilakukan oleh masyarakat yang memiliki tradisi ilmiah. Dalam hal ini Prof. Alparslan membagi 3 tahap terbentuknya suatu disiplin ilmu:

1) Tahap problematik, (problematic stage) yaitu tahap dimana berbagai problem kajian dijaji secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang-bidang kajian tertentu. Ini berlaku untuk beberapa lama.

2) Tahap disipliner, (disciplinary stage) yaitu tahap dimana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan ditentukan sesuai dengan bidang masing-masing.

3) Tahap penamaan, (naming stage) pada tahap ini bidang yang telah memiliki materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.[33]

Timbulnya Ilmu Fiqh

Pada mulanya istilah Fiqh, mencakup obyek materi teologi dan hukum akan tetapi kemudian berkembangan dan berdiri sendiri menjadi ilmu hukum. Disini perlu merujuk kepada periode awal ketika Nabi berada di Madinah tahun 622. Segera setelah kekuasaan politik ummat Islam berdiri, sistim peradilan mulai effektif dijalankan dan Nabi berperan sebagai pemegang otoritas tunggal dalam penentuan hukum segala sesuatu. Sesudah Nabi wafat para sahabat menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan yang tidak semuanya dapat diselesaikan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Disini para ilmuwan mulai membuat penentuan hukum dengan memakai akal mereka. Praktek penggunaan akal ini disebut dengan ijma’ . Penggunaan ijma’ yang pertama dalam sejarah pemikiran Islam adalah dalam menentukan pengebumian Nabi dan pemilihan khalifah pertama. Dan selanjutnya ijma’ dipakai dalam menyelesaikan berbagai problem, meskipun tidak selalu berkaitan dengan masalah hukum.

Pada saparoh abad pertama (660 M), Islam telah berkembang dengan cepat dan tersebar ke masyarakat yang berbeda kebudayaan, kultur, gaya hidup dan tradisi. Pada saat itu ummat Islam dituntut untuk menerapkan hukum Islam. sebagai konsekuensi dari tanggung jawab menentukan hukum sesuatu di masyarakat, para ulama mulai mendiskusikan masalah-masalah hukum secara intensif dan dengan begitu secara perlahan-lahan membentuk suatu batang tubuh ilmu hukum yang kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu Fiqh. Pada zaman Ummayyah, pusat-pusat peradilan telah berdiri di beberapa kota penting. Pada tahun 700-an tokoh-tokoh pemikir seperti HishÉm ibn ‘Urwa (d.94/712), al-Zuhri, (d. ), Hasan al-Basri (d.728) AtÉ’ ibn Abi Rabah (d.732), AbË Hanifah (d.767) telah mendiskusikan masalah-masalah hukum secara intensif dan terpisah dari diskusi-diskusi dalam bidang keilmuan yang lain, seperti misalnya masalah keimanan, masalah hadith, tafsir dll. Tahap ini, dalam proses kelahiran suatu disiplin ilmu, disebut dengan tahap disipliner (disciplinary stage). Suatu ilmu dapat dikatakan sebagai suatu disiplin apabila ia telah mengalami periode penamaan (naming stage), dimana suatu disiplin ilmu telah diberi nama khusus yang membedakan dirinya dari ilmu lain. Dalam kasus Fiqh, tahap penamaan ini terjadi dengan munculnya ImÉm al-Shafi‘Ê (w. 204/820). Dianggap demikian karena ia adalah ulama pertama yang mencanangkan asas-asas Fiqh sebagai ilmu hokum. Dalam karyanya al-RisÉlah ia memformulasikan 4 sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an, al-Hadith, IjmÉ’ dan QiyÉs. Setelah wafatnya ImÉm al-Shafi‘Ê Fiqh sebagai ilmu hukum mulai dipisahkan dari Fiqh dalam pengertian teologi.[34] Dengan mengkategorikan materi obyek kajian Fiqh hanya kedalam masalah-masalah hukum dan memberinya nama khusus, maka masyarakat telah menghasilkan suatu disiplin ilmu baru yaitu Fiqh.

Lahirnya Ilmu KalÉm

Kelahiran kalÉm sebagai ilmu sedikit berbeda dari Fiqh. Jika kita telusur asal usul obyek materi kalÉm, maka ada kecenderungan bahwa kalÉm lahir dari obyek materi yang dikategorikan kedalam masalah-masalah UÎËl, sedangkan Fiqh berasal dari masalah furË’. Obyek materi KalÉm lebih banyak mencakup konsep-konsep yang dalam terma filsafat dikategorkan kedalam metafisika, sedangkan Fiqh mencakup konsep-konsep yang berakar pada pengetahuan praktis seperti masalah hubungan manusia dengan Tuhan, (muÉamalah ma'allÉh) manusia dengan manusia (mu'Éamalah ma'a al-nÉs).

Namun jika proses kelahiran kalÉm ditelusur lebih jauh dari sejak tahap problematik, akan ditemukan juga kaitannya dengan Fiqh. Sesungguhnya pemikiran spekulatif dikalang ummat Islam periode awal didorong oleh masalah politik, yakni dalam menentukan pengganti (khalÊfah) Rasulullah. Tahap problematik ini mulai semakin nampak ketika terjadi pembunuhan khalifah Uthman ibn Affan dan pemilihan AlÊ bin AbÊ ThÉlib yang dilanjutkan dengan perselisihan antara AlÊ dan ‘Óishah dan AlÊ-Mu‘Éwiyah. Diskui yang berkisar pada masalah kepemimpinan politik ummat Islam dan status pelaku dosa besar (murtakib al-kabÉ’ir). Para pengikut AlÊ, kelompok Shi’ah, menekankan pada cirri-ciri pemimpin, [35] sedangkan kelompok yang memisahkan dari pengikut AlÊ yang disebut KhawÉrij lebih menekankan pada masalah status pelaku dosa besar yang harus dikeluarkan dari masyarakat Muslim. Usaha untuk mendamaikan kedua kelompok ini dilakukan oleh cucu AlÊ, Hasan Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiyyah, yang menawarkan idea of irja' (76/695) yang kemudian disebut dengan kelompok al-Murji’ah. Dengan lahirnya kelompok al-Murji’ah issunya menjadi lebih spekulatif, meskipun masih berkatian dengan masalah politik. Tapi sejatinya suasana pemikiran telah berubah dari “politik ke teologi”.[36]

Dari masalah pelaku dosa besar yang dibahas dari sisi hukum, apakah pelaku dosa besar masih dianggap sebagai mukmin atau tidak, diskusi mulai berkembang kearah definisi iman. Ini artinya para ulama saat itu mulai melihat suatu masalah dari sisi lain selain sisi hokum, yaitu teologi. Dan dari sejak itu kegiatan pemikiran spekulatif bermula. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa timbulnya pemikiran spekulatif yang menghasilkan filsafat Islam ini, dipengaruhi terutamanya oleh prinsip-prinsip pemikiran hukum.[37]

Pembahasan berkembang lagi menjadi lebih murni spekulatif dan beralih kepada isu tentang konsep kekuasaan Tuhan dalam menentukan kejadian-kejadian di dunia, termasuk tingkah laku manusia. Kelompok yang disebut Qadariyyah pada tahun 71/690 berpendapat bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh takdir Tuhan dan bukan berdasarkan pada kebebasan manusia. Meskipun pemikiran ini tidak berangkat dari kepentingan politik, tapi ada usaha-usaha untuk mengaitkannya dengan masalah politik. Khalifah bani Umayyah mengklaim bahwa kekuasaan mereka telah ditakdirkan oleh Tuhan. Sebagai indikasi bahwa masalah teologi ini penting maka Hasan al-Basri (d.110/728) tokoh penting dalam hal ini, pada tahun 81/700 menulis RisÉlah kepada khalifah Abd al-Malik yang intinya membicarakan masalah kebebasan kehendak manusia dan takdir Tuhan, yang kemudian dibalas oleh khalifah secara tertulis.[38] Tokoh-tokoh lain yang intensif terlibat dalam diskusi masalah ini adalah Ma’bad al-Juhani (d.84/703) and Ghaylan al-Dimanshqi (d.126/743). Pandangan kelompok yang disebut al-Qadariyyah ini disanggah oleh Jahm Ibn Safwan (d.127/745), yang pengikutnya dinamakan al-Jahmiyyah.

Semua ini sekedar menggambarkan bahwa masyarakat Muslim saat itu telah mendiskusikan secara intensif masalah teologi secara terpisah dari diskusi tentang masalah hukum, dan ini menandakan tahap disipliner ilmu kalÉm.

Pada akhir abad pertama Hijrah (730’s-800’s), telah terdapat suatu kesadaran ilmiah dikalangan cendekiawan Muslim bahwa masalah-masalah teologi perlu dibahas dengan metodologi tersendiri yang terpisah dan berbeda dari metode penetapan hukum. Perselisihan antara WÉsil bin ‘AÏa (w.131/748) dan al-×asan al-BaÎrÊ tentang status pelaku dosa besar adalah pertanda bahwa Muslim mulai memisahkan obyek kajian teologis secara disipliner. Tapi sajauh ini, istilah kalÉm, belum dipakai secara resmi sebagai disiplin ilmu tersendiri, sebab masih terdapat usaha-usaha untuk menggunakan istilah Fiqh sebagai ilmu yang membicarakan masalah ketuhanan. AbË ×anÊfah (w.150/767) yang mewakili kelompok Salaf, masih menggunakan istilah al-Fiqh al-Akbar [39] untuk mendiskusikan masalah-masalah teologis. Meskipun istilah ini digunakan hingga pertengahan abad ketiga Hijriyyah, namun akhirnya ketika madhhanb Hanafi mengkritik kelompok Mu’tazilah dan membela kelompok Ash’ariyyah, istilah kalÉm dipakai untuk merujuk kedua kelompok ini.[40] Ini menunjukkan bahwa istilah al-Fiqh al-Akbar tidak lagi dipakai istilah atau nama disiplin ilmu pemikiran spekulatif. Tahap disipliner ilmu kalÉm memakan waktu cukup lama untuk menjadi nama sebuah disiplin ilmu. Ketika terjadi diskusi diskusi resmi tentang kalÉm yang terjadi pada kantor pengadilan Barmakids di zaman kekuasaan Harun al-Rashid (170-194/ 786-809), istilah kalÉm belum dipakai secara resmi. Bahkan dizaman Abu al-Hasan al-Ash’ari (d.324/935) istilah ini masih juga belum resmi dipakai sebagai nama suatu disiplin ilmu, sebab dalam karya-karya al-Ash’arÊ kalÉm tidak dipakai sebagai disiplin ilmu, istilah kalÉm hanya dipakai untuk menunjukkan sub-judul dari suatu bab, seperti al-Kalam fi ithbat ru’yatillah.

Tahap penamaan KalÉm sebagai ilmu dapat dirujuk dari fakta sejarah ketika Ibn Sa’ad (d.288/845) menggunakan istilah mutakallimËn untuk mereka yang terlibat dalam diskusi tentang pelaku dosa besar yang diangkat oleh kelompok Murjiah.[41] Namun, istilah KalÉm yang merujuk kepada disiplin ilmu pemikiran spekulatif muncul pada akhir abad ke 4 Hijrah, dalam karya Ibn Nadim, KitÉb al-Fihrist. Dalam kitab ini ia dengan jelas menyebut istilah ‘ilm al-kalÉm dan mutakallimËn untuk merujuk kelompok teologi seperti al-KhawÉrij, al-Mu’tazilah, Ash’ariyyah, al-ShÊ’ah, Sufiyyah dsb.[42] Inilah barangkali yang menandai lahirnya ilmu ‘ilm al-kalÉm.

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa yang mendorong lahirnya tradisi keilmuan dan mengakibatkan timbulnya berbagai disiplin ilmu dalam Islam adalah pandangan hidup Islam dan bukan pengaruh kebudayaan lain. Implikasinya, pengembangan konsep-konsep ilmiah atau disiplin ilmu baru dalam Islam harus mreujuk kepada pandangan hidup Islam. Sebab dalam pandangan Prof.Alparslam ilmu tidak dapat timbul dan berkembang pada suatu masyarakat dari hasil impor.[43] Artinya suatu ilmu tidak dapat muncul dengan secara tiba-tiba dalam suatu masyarakat atau kebudayaan yang tidak memiliki latar belakang tradisi ilmiah. Ilmu asing “diadapsi” bukan “diadopsi” oleh suatu masyarakat melalui peminjaman konsep-konsepnya atau istilah-istilah tertentu. Istilah-istlah atau konsep-konsep yang berasal dari kebudayaan asing ini disebut sebagai konsep penjaman atau elemen pinjaman (borrowing element). Karena proses pinjam meminjan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain adalah sesuatu yang alami. Dalam kasus filsafat dan sains dalam Islam, misalnya, istilah ontologi, epistemologi yang asalnya dari Yunani hanyalah istilah pinjaman. Karena itu MM.Sharif dengan tepat sekali menggambarkan pemikiran Muslim sebagai kain dan pemikiran Yunani sebagai jahitan, “meskipun jahitan itu adalah benang emas kita hendaknya tidak menganggap jahitan itu sebagai kain”.[44] Maka dari itu kita tidak bisa mengangap elemen-elemen pinjaman itu dominan dalam suatu kebudayaan, ia hanyalah berperan secara marginal. Malah sebenarnya ketika elemen-elemen asing itu ditransmisikan kedalam pandangan hidup Islam, pada saat yang sama terjadi proses Islamisasi. Dalam zaman sekarang pandangan hidup Islam dengan struktur konseptual didalamnya yang kokoh dapat dijadikan framework kajian pemikiran keislaman. Ia dapat dipakai untuk menggali dan mereformulasikan konsep-konsep penting dalam tradisi pemikiran Islam, mengembangkan suatu disiplin ilmu pengetahuan Islam yang baru maupun untuk merespon tantangan pemikiran filosofis dari berbagai ideologi dan pandangan hidup. Wallahu a’lam.



[1] Smart mengakui bahwa Bahasa Inggris tidak memiliki istilah khusus untuk menggambarkan visi yang mencakup realitas keagamaan dan ideologi. Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, Charles Sribner's sons, New York, n.d. 1-2

[2] Alparslan Acikgence, "The Framework for A history of Islamic Philosophy", Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6.

[3] S.M.N, al-Attas in his Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, ix.

[4] Ninian Smart, Worldview, 2

[5] Ia tidak diterjemahkan menjadi Nazrat al-Islam li al-kawn, karena nazar lebih bersifat observasi spekulatif dan al-kawn lebih merupakan pengalaman indrawi atau dunia nyata yang kasat mata. Ibid.

[6] S.M.N, al-Attas, Prolegomena, 1.

[7] Alparslan Acikgence, Islamic Science, Towards Definition, Kuala Lumpur, ISTAC 1996, 29.

[8] Penjelasan al-Attas tentang konsep worldview Islam dan penjabaran elemen-elemen asasnya terdapat dalam karyanya Prolegomena to The Metaphysics of Islam. Pendahuluan buku ini menjelaskan ciri-ciri khusus pandangan hidup Islam yang berbeda dari pandangan hidup Barat. Teori ini kemudian mendapat penjelasan lebih detail dalam kaitannya dengan timbulnya sains dan tradisi intelelktual Islam, dari Professor Alparslan. Professor Alparslan yang telah lama mengkaji teori worldview dalam kaitannya dengan sains dan sistim pemikiran, kemudian menulis risalah berjudul Islamic Science Towards definition, .untuk proses perjalanan pengkajiannya itu lihat “acknowledgement” hal. v. al-Attas, SMN, Prolegomena, lihat “Introduction” 1-37. Cf. Al-Attas, S.M.N., "Opening Address, The Worldview of Islam, an Outline" in Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of Modernity, Historical and Contemporary Contexts, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, 28-29.

[9] Al-Attas menyebut pandangan ini sebagai “artificial coherence” karena ia tidak bersifat alami dalam konteks hakekat fitrah manusia, karena itu sifatnya selalu berubah dengan perubahan sosial.

[10] Alparslan, "The Framework” 6. Cf. Alparslan, Islamic Science, 10.

[11] Pengetahuan a prioriadalah pengetahuan yang diperoleh melalui asumsi atau cara berfikir tertentu terhadap fakta-fakta, tanpa observasi atau pengalaman khusus. A posteriori adalah pengetahuan yang tidak dapat diperoleh secara a priori.

[12] Alparslan, "The Framework", 6-7.

[13] Alparslan, Islamic Science, 13-14.

[14] Alparslan, Islamic Science, 10-19.

[15] Alparslan, Islamic Science, 19

[16] Alparslan, Islamic Science, 20-26. Dalam pandang Prof. Al-Attas elemen-elemen asas pandangan hidup Islam terdiri dari konsep Tuhan, sifat ciptaanNya, konsep manusia dan jiwa manusia, konsep ilmu, kebebasan dan lain-lain. Al-Attas, S.M.N., "Opening Address”, 28-29.

[17] al-Attas, SMN, Prolegomena, 4

[18] Alparslan, Islamic Science, 71-72.

[19] Professor Izutsu membuktikan munculnya pandangan hidup baru ini dengan menunjukkan sistim kata yang menjadi unsure pokok dalam kosa-kata bahasa Arab pra-Islam. Contoh yang diberikan disini adalah kata Allah yang dalam al-Qur’an merupakan kata yang sangat sentral yang menempati medan semantik keseluruhan kosa-kata, sedangkan dalam sistim kata pada masa pra-Islam Allah tidak mempunyai kedudukan yang sangat sentral, Allah adalah tuhan dalam hirarki tuhan-tuhan yang lain. Penjelasan lebih detail lihat Izutsu, Toshihiko, God and Man in The Qur'an, Semantic of the Qur'anic Weltanschauung, New Edition, Kuala Lumpur, Islamic Book Trust, 2002, 36-38.

[20] Untuk lebih detail tentang perbedaan tema-tema umum antara wahyu yang diturunkan di Makkah dan Madinah Lihat Abu Ammaar Yasir Qadhi, An Introduction to the Science of the Qur'aan, Birmingham, al-Hidayah Publishing and Distribution, 1999, 100-101.

[21] De Boer misalnya berasumsi bahwa sains dalam Islam lebih banyak ditentukan oleh pengaruh asing dan karena itu “keseluruhannya bukan hasil murni” ummat Islam, sebab pada abad pertama Islam tidak terdapat kesadaran akan metode dan sistim. Bahkan baginya filsafat Islam hanyalah eklektisisme, yang bergantung kepada hasil-hasil kerja terjemahan karya Yunani, dan merupakan asimiliasi daripada karya asli. Lihat De Boer, T.J., The History of Philosophy in Islam, Curzon Press, Richmond, U.K., 1994, hal. .28-29,309. The emphasize on translation see Myers, Eugene A., Arabic Thought and The Western World, Fredrick Ungar Publishing Co, New York, 1964, hal.7-8. Senada dengan itu Alfred Gullimaune menyatakan bahwa framework, skop dan materi filsafat Arab harus dilacak dari bidang-bidang dimana filsafat Yunani begitu dominan dalam sistim mereka. Alfred Gullimaune, “Philosophy and Theology” in The Legacy of Islam, Oxford University Press, 1948, hal.239. Demikian pula O’Leary places menganggap pemikiran Arab hanyalah transmisi filsafat Yunani dari versi Hellenisme Syriac kepada Barat Latin. O’Leary, De Lacy, Arabic Thought and Its Place in History, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1963.hal.viii.

[22] Radhakrishnan, History of Philosophy, Eastern and Western, George Allan & Unwin Ltd. London, See “Islamic Philosophy”, Chapter XXXII, hal.120-149.

[23] Majid Fakhry menekankan pengaruh kebudyaan asing seperti Yunani, India dan Persia kedalam filsafat Islam. Lihat Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, Columbia University Press, New York, 1983, hal.viii-ix.

[24] Watt menggambarkan lahirnya filsafat dan teologi Islam dari dua gelombang Hellenisme, gelombang pertama adalah periode penterjemahan karya Yunani dan kedua adalah munculnya filosof Muslim Neoplatonic Aristotelian, seperti al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain. Lihat Watt, M.W, Islamic Philosophy and Theology, University of Edinburgh Press, Edinburgh, 1985, hal.33-64; 69-128.

[25]Alparslan, Islamic Science, 81

[26] Khalifah melaporkan catatan orang lain menyatakan bahwa Suffah didirikan antara 10, 17, atau 19 bulan sesudah Hijrah atau 2 tahun setelah Hijrah. Dalam SaÍih BukhÉri disebutkan pula bahwa ia didirikan 16 or 17 bulan setelah Hijrah. Lihat Khalifah ibn Khayyat (d.240 A.H) al-Tarikh, dengan komentar oleh Akram Diya' al-'Umari (Najaf: al-Adab Press 1967, vol.1 / 321. Cf, al-Bukhari, Muhammad ibn Isma'il (d.256 A.H) al-Sahih, 9 Parts in 3 vols (Egypt: Muhammad Ali al-Subayh, n.d. see Kitab al-Salah Bab al-Tawajjuh Nahw al-Qiblah, 1/104.; lihat juga al-Hujwiri, Kashf al-Mahjub, 81.

[27] Abu Nu'aym, Ahmad ibn 'Abd Allah al-Asbahani (d.430 A.H.) Hilyat al-Auliya', 10 vols, Egypt:al-Sa'adah Press, 1357, 1/339, 341.

[28] Tujuan utama AsÍÉb al-Øuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, seperti shalat, membaca al-Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama, berzikir serta belajar menulis. Alumni, sebut saja begitu, dari sekolah masyarakat (learning society) ini juga menunjukkan kemampuan mereka dalam menghapal hadith-hadith Nabi. Lihat Abu Daud al-Sijistani, Sulayman ibn al-Asha'ath, (d.275 A.H) al-Sunan, 2 vols. (Egypt, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1371) 2/237; and Ibn Majah, Muhammad Ibn Yazid (d.273), al-Sunan, dengan komentar dari Muhammad Fu'ad 'Abd al-Baqi, (Cairo: Dar Ihya' al-Kutub al-Arabiyyah, 1953, 2/70.

[29] AbË Nu'aym mencatat bahwa Sa'Êd ibn 'Ubadah sendiri biasa memberikan akomodasi kepada 80 orang di rumahnya untuk tujuan belajar mengajar. Ibid, 1/341.

[30] Dalam al-Qur’an terdapat 91 ayat yang mengandung kata-kata 'ilm, tidak termasuk kata-kata derivatifnya, dari 91 ayat itu 67 daripadanya diwahyukan di Makkah dan sisanya, 24 ayat, di Madinah.

[31] ‘Abd al-HalÊm MahmËd menyebutkan bahwa ada dua hal yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an: Pertama, masalah yang berkaitan dengan zat Tuhan (dhat Allah), hakekat sifat Tuhan, hubungan antara esensi dan sifat, rahasiaNya tentang qadr dan problem-problem lain yang diluar jangkauan akal manusia. Kedua, masalah-masalah khusus yang berhubungan cabang-cabang (furË) yang jumlahnya tidak terbatas. Al-Qur’an hanya menjelaskan asas umum shari’ah (al-usul al-‘amah li al-tashri’ ) dan beberapa hal yang khusus. See ‘Abd al-HalÊm MahmËd, al-TafkÊr al-Falsafi fi al-IslÉm, Dar al-Ma’arif, Cairo, n.d. hal.108-109.

[32] Bukti yang sering dirujuk untuk ini adalah Hadith tentang persetujuan Nabi terhadap Mu‘Édh bin Jabal untuk menggunakan ra’y dalam menyelesaikan masalah yang timbul dimasyarakat, jika al-Qur’an dan Hadith tidak menyebutkan penyelesaian masalah itu secara eksplisit. Musa, Yusuf, Usul al-Tashri’ al-Islami,Dar al-Ma’arif, Cairo, 1964, hal. 11.

[33] Alparslan, Islamic Science, 68.

[34] Wensinck menamakan periode ini sebagai akhir dari “happy relation between jurisprudence and theology”. Wensinck, A.J. The Muslim Creed, Its genesis and historical development, Cambridge University Press, Cambridge, 1932, hal.253-254.

[35] Watt, M.W, Formative Period of Islamic Thought, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1973, hal.37.

[36] McDonald,D.B., Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, Khayats, Beirut, 1965, hal.124.

[37] Leaman, Oliver, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge University Press, Cambridge, 1985, hal.5.

[38] al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal, vol.2 ed. By Cureton, R..W. London, hal.32.

[39] See Wensinck, The Muslim Creed, Cambridge University Press, Cambridge 1932, hal.94, 122; Cf. S.E.I, hal.212; See Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1979, hal.9. Cf. The Concise Encyclopedia of Islam, See “Creed”, hal.88; “al-Fiqh al-Akbar”, hal.216-217. See also Arthur Jeffery, A Reader on Islam, Mouton & Co. 1962, The Hague, hal.340.

[40] Wensinck, The Muslim Creed, hal. 264.

[41] Wolfson, H.A.,The Philosophy of Kalam, Harvard University Press, Harvard 1976, hal.4.

[42] See Ibn Nadim, Kitab al-Fihrist, ed. G.Flugel, Vogel, 1872, hal.172-198; Cf. B.Bodze (ed.and trans.) The Fihrist of Ibn Nadim: A Tenth Century Survey of Muslim Culture, Columbia University Press, New York, 1970, vol.2, hal.380-492.

[43] Alparslan Acikgenc, Islamic Science, 73.

[44] Persisnya berbunyi: “although it was a golden thread we should not take the thread for the fabric”, M.M. Sharif, (Ed), A History of Muslim Philosophy, Low Price Publication, Delhi, vol., 1995, hal. 4.

No comments: