Thursday, August 2, 2007

Geliat Persatuan Umat Islam Sedunia

Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Janji Allah ini adalah sebuah kepastian. Di balik kondisi umat Islam yang terpuruk, cahaya kesadaran mulai tumbuh. Perasaan senasib sepenanggungan memancar dari benak umat. Derita dan nestapa di berbagai penjuru Dunia Islam menjadi pemicu cita-cita bersama, persatuan umat Islam sedunia.

Harus diakui, kini umat Islam dalam kondisi tak berdaya. Persatuan yang berlangsung berabad-abad lamanya terkoyak-koyak oleh penjajah. Kaum Muslim yang berjumlah 1,4 miliar lebih seolah tak ada arti dalam kancah kehidupan manusia. Hampir semuanya menjadi obyek bulan-bulanan para penjajah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kaum Muslim tercerai berai ke dalam nation state, lebih dari 50 negara.

Kenyataan ini persis seperti yang digambarkan Baginda Rasulullah saw. dalam sabdanya (yang artinya), “Hampir saja umat-umat menyerang kalian dari berbagai penjuru, bagaikan rayap-rayap menyerang tempat makan mereka.” Para Sahabat bertanya, “Apakah hal itu karena kita pada waktu itu jumlahnya sedikit?” Rasulullah menjawab, “(Tidak), padahal kalian pada waktu itu banyak, tetapi kalian adalah buih, bagaikan buih air bah. Sesungguhnya Allah Swt. akan mencabut kewibawaan kalian dan pada waktu yang sama Allah akan menanamkan wahn dalam hati kalian.” Para Sahabat bertanya, “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud).

Kondisi keterpecahan itu semakin diperparah dengan hadirnya para penguasa pengkhianat yang menjadi penyambung lidah para penjajah. Bak anjing pudel, para penguasa ini mengabdi kepada tuannya, Barat. Sementara itu, rakyat harus rela menderita dalam belenggu tirani penguasa dari golongan mereka sendiri.

Konflik-konflik horisontal antar anak umat muncul di berbagai negeri, tak pernah berhenti, bahkan seolah-olah sengaja dilanggengkan untuk memberikan pekerjaan rumah (PR) bagi para penguasanya. Perseteruan Sunni dan Syiah di kawasan yang bergolak saat ini, Irak, semakin membara pasca serangan Amerika ke negeri 1001 malam tersebut tahun 2003. Padahal perseteruaan itu tak pernah terjadi sebelum invasi. Sunni dan Syiah tak hanya beradu mulut, tetapi menumpahkan darah. Penguasa tak berkutik dibuatnya. Ancaman disintegrasi menganga di depan mata. Bahkan telah ada rencana membagi Irak menjadi tiga negara berdasarkan etnis: Syiah, Sunni, dan Kurdi.

Di Palestina, negeri yang disucikan, dua kubu saling beradu. Hamas dan Fatah yang lahir dari kondisi keterjajahan ternyata tak rukun ketika menghadapi penjajah. Fatah justru dekat dengan Israel dan dengan berani mengakui Israel sebagai sebuah negara. Sebaliknya, Hamas tak sudi mengakuinya. Dengan berbagai tipudaya akhirnya Barat berhasil menyeret Hamas dalam perebutan kekuasaaan. Meski demikian, kemenangan yang diraih Hamas tak berarti apa-apa bagi rakyat Palestina, justru semangat juang tergantikan dengan kursi kekuasaan. Hamas digencet habis oleh dunia internasional. Semua bantuan ke pemerintahan Hamas dibekukan, termasuk bagian pajak yang masuk ke Israel dari Palestina. Anehnya, dalam kondisi terjepit itu Fatah ikut-ikutan menekan saudaranya itu. Pasukan pemerintah yang dibentuk Hamas dianggap ilegal oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas dari Fatah. Perundingan di Makkah tak membawa hasil. Puncak perseteruan itu adalah pengambilalihan kekuasaan oleh Abbas dengan dukungan Barat dan Israel. Perdana Menteri Ismail Haniya (Hamas) digulingkan dan parlemen Palestina yang mayoritas Hamas disingkirkan. Perang pun tak terelakkan. Palestina terbagi dua. Darah kaum Muslim pun tertumpah. Hamas menguasai Gaza dan Fatah di Tepi Barat.

Di luar kawasan itu, partai-partai politik yang berafiliasi ke pemilih Muslim saling bersaing. Alih-alih memperjuangkan tegaknya kehidupan Islam, para aktivisnya justru hanya duduk di kursi parlemen untuk kepentingannya sendiri, paling banter untuk kepentingan partainya. Suara-suara perjuangan Islam nyaris tak terdengar. Sekali-sekali suara itu muncul kalau menyinggung kepentingan mereka.

Dalam kondisi seperti itu, serangan Barat terus menusuk ke jantung pertahanan kaum Muslim. Barat melemparkan jargon-jargon dan stigmatisasi yang menjadikan umat terfragmentasi. Barat menyebut moderat bagi kalangan Islam yang mau dekat dengannya. Sebaliknya, mereka menganggap fundamentalis, teroris dan radikal bagi kalangan Muslim yang dengan gigih memperjuangkan tegaknya Islam. Untuk itu, Barat pun tak segan-segan mengeluarkan dana guna mendukung salah satu pihak, khususnya yang moderat, agar bisa menjadi corong sekaligus penghambat perjuangan kalangan yang dianggap fundamentalis. Perpecahan tak terelakkan, kendati dalam tataran yang wacana.

Kaum Muslim sangat disibukkan dengan permasalahan di nation-state masing-masing. Boro-boro ikut memikirkan nasib saudaranya yang berada di negeri lain, permasalahan dalam negeri tak pernah terurai. Tidak aneh jika akhirnya nasib kaum Muslim di Irak, Libanon, Afganistan dan Palestina yang sedang terjajah terabaikan. Sebagian kaum Muslim bahkan ada yang menganggap itu merupakan masalah dalam negeri negara yang bersangkutan. Mereka tak mau peduli.


Geliat Persatuan

Di balik situasi yang carut-marut tersebut, masih ada secercah cahaya harapan akan munculnya persatuan. Kesamaan dan kesatuan akidah tak pernah bisa dipisahkan. Pancaran sinar akidah masih cukup melekat di sebagian besar diri umat. Perasaan Islam masih terhunjam. Ini sebuah modal berharga yang kini mulai membara.

Tanpa ada yang mengomando, hampir seluruh kaum Muslim di dunia bersuara, menentang penghinaan terhadap diri Rasulullah Muhammad saw. yang dilakukan oleh media Denmark, Jyllands Posten. Dalam beberapa minggu unjuk rasa terjadi di mana-mana, baik di Barat maupun di Timur. Perbedaan warna kulit, mazhab, bangsa atau organisasi tidak lagi menghalangi. Mereka satu suara, satu tekad, menentang musuh bersama: Barat dan peradabannya.

Hal serupa dilakukan oleh kaum Muslim di seluruh dunia ketika Amerika Serikat dan sekutunya dengan pongahnya menyerang Afganistan dan Irak. Kebencian luar biasa muncul terhadap negara agresor tersebut. Kedatangan George W Bush memicu aksi protes di negara-negara yang dikunjunginya. Umat Islam telah menjadikan Amerika sebagai musuh bersama. Muncul kesadaran, mengalahkan Amerika bukan lagi sebuah mitos, apalagi jika kaum Muslim bersatu. Perang di Afganistan dan Irak membuktikannya.

Serangan Israel terhadap Libanon dan Palestina melahirkan kesadaran baru akan perlunya implementasi ukhuwah islamiyah dalam wujud nyata. Para penguasa Arab, tetangga Palestina dan Libanon, tak tergerak sedikitpun membantu saudaranya yang teraniaya. Justru yang berteriak lantang adalah umat Islam hampir di seluruh dunia. Mereka menyadari, tak bisa lagi mengandalkan penguasa mereka dan mengandalkan nation state-nya untuk menghancurkan Israel. Kekuatan ada di umat. Itu terbukti dalam Perang Libanon; umat Islam—dengan jumlah tentara lebih sedikit dan senjata apa adanya—mampu mengalahkan tentara terbaik Israel kendati tanpa bantuan tentara pemerintah setempat.

Berbagai peristiwa yang menimpa kaum Muslim mengakibatkan polarisasi kekuatan umat di negeri-negeri Islam. Polarisasi itu mengerucut menjadi minimal dua kubu utama. Kubu pro Islam yang direpresentasikan oleh umat Islam pejuang syariah dan ada kubu pro penguasa yang menjadi kepanjangan tangan para penjajah. Desakan untuk kembali pada syariah Islam makin hari kian menggema. Sebaliknya, pemerintah terus berupaya menahan laju gerakan ini dengan berbagai cara, seperti dengan memojokkan para pejuang Islam dengan menggunakan isu terorisme. Namun, semangat kaum Muslim untuk kembali ke pangkuan Islam tak bisa dibendung. Semakin ditekan, justru muncul kesadaran baru untuk bangkit.

Bersamaan dengan itu, tuntutan penegakan syariah dan Khilafah tak henti-hentinya bergema di seluruh dunia. Gaungnya semakin hari kian nyaring. Berbagai aksi unjuk rasa untuk menuntut kembalinya Islam merebak di mana-mana. Umat tak malu-malu dan takut lagi menyuarakan Islam meski menghadapi berbagai ancaman. Di Palestina, Uzbekistan, Kirgistan, Turki, Bangladesh, Pakistan, Indonesia, Sudan dan Irak ribuan orang berkumpul untuk menyuarakan kembali keharusan menegakkan kembali Daulah Islam dalam rangka menerapkan Islam secara hakiki. Tak hanya di negeri-negeri berpenduduk Muslim, tuntutan itu pun muncul di negeri kafir sekalipun. Lihat saja aksi umat Islam di Inggris, Australia, dan Denmark. Dukungan terhadap gerakan itu tumbuh subur. Stigmatisasi negatif oleh Barat terhadap gerakan ini tak menyurutkan langkah para pengembannya. Begitu giat gerakan ini, tak aneh jika NIC (National Intelligence Council) Amerika dalam Mapping The Global Future memprediksikan akan hadir Kekhilafahan baru sebagai salah satu kekuatan dunia pada 2020 nanti. Dalam berbagai kesempatan, para pemimpin Barat—Presiden George W Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair—memperingatkan akan hadirnya imperium Islam.

Merebaknya semangat persatuan Islam secara global ini tak lepas dari pengaruh Hizbut Tahrir (HT). Partai politik ini terus berjuang menegakkan Khilafah dalam rangka melangsungkan kembali kehidupan Islam kendati penentangan datang silih berganti. Hizbut Tahrir terus bergerak dari negeri-negeri Islam dan negeri kufur dengan membawa visi dan misi yang sama. Di berbagai wilayah—lebih dari 40 negara—partai yang lahir di Palestina ini berhasil merangkul kekuatan umat tanpa memandang perbedaan mazhab, aliran, golongan, suku, bangsa, warna kulit, bahasa dan lainnya. HT menanamkan berbagai pemikiran Islam yang terbebas dari pemikiran kufur (baca: Kapitalisme-sekularisme) ke tengah-tengah umat. Hizbut Tahrir berhasil menyadarkan umat bahwa mereka berada dalam keterpurukan karena tidak menerapkan syariah Islam. Sebagai solusinya, HT mengajak umat untuk kembali pada syariah Islam dengan jalan menegakkan kembali Daulah Khilafah Islamiyah yang mengikuti jalan kenabian. Tujuan semua itu adalah melangsungkan kehidupan Islam secara kâffah.

Semangat nasionalisme yang dulu cukup kental, kini makin hari kian terkikis. Umat telah melihat sendiri keterpecahan mereka dalam berbagai bangsa justru menjerumuskan. Kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan hidup yang dijanjikan oleh para penguasa hanya isapan jempol belaka. Umat merasakan bahwa Kapitalisme-sekular telah merampok seluruh kekayaan, harga diri dan kehidupan mereka.

Lambat-laun, dengan izin Allah, pemikiran-pemikiran Kapitalisme-sekular berganti menjadi pemikiran Islam. Kesadaran untuk kembali pada Islam berkembang pesat. Persatuan telah menjadi jargon harian. Berbagai rintangan menuju persatuan justru melahirkan tekad persatuan yang kian berkobar. Persatuan sudah di depan mata, tinggal menunggu waktu mewujudkannya. Insya Allah. [Mujiyanto]

No comments: