Thursday, July 5, 2007

PENGATURAN HUBUNGAN PRIA DAN WANITA

PENGATURAN HUBUNGAN PRIA DAN WANITA

Fakta bahwa wanita dapat membangkitkan naluri biologis pria, tidak kemu- dian berarti bahwa naluri tersebut pasti muncul setiap kali seorang pria bertemu wanita. Demikian pula sebaliknya. Tetapi fakta itu menunjukkan bahwa pada dasar- nya keberadaan setiap pria dan wanita dapat membangkitkan naluri tersebut pada lawan jenisnya yang dapat mendorong masing-masing untuk melakukan hubungan seksual. Namun bisa juga naluri ini tidak muncul ketika kedua lawan jenis itu ber- gaul. Misalnya ketika melakukan aktivitas jual-beli, pada saat melaksanakan operasi bedah pasien, atau pada proses belajar mengajar dan lain sebagainya. Namun begitu, pada keadaan-keadaan semacam ini atau keadaan lainnya tetap saja ada kecenderungan terpengaruhnya naluri seksual diantara masing-masing lawan jenis. Hanya saja terdapatnya kecenderungan tersebut tidak juga berarti akan membang- kitkan naluri tersebut secara pasti. Sebab, bangkitnya naluri tersebut terjadi ketika ada perubahan pandangan pada diri kedua lawan jenis itu dari yang semula memandang bahwa keberadaan keduanya adalah untuk melestarikan keturunan, menjadi masing-masing memandang yang lainnya dengan pandangan birahi antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Oleh karena itu fakta bahwa wanita yang dapat membangkitkan naluri biologis pria atau sebaliknya, tidak dapat dijadikan alasan untuk memisahkan pria dan wanita secara total. Dengan kata lain, tidak benar menganggap adanya kecenderungan yang dapat membangkitkan naluri biologis menjadi penghalang bertemunya pria dan wanita dalam kehidupan umum dan menciptakan sebuah kerja sama. Bahkan fakta telah menunjukkan bahwa dalam kehidupan umum pertemuan pria dan wanita adalah suatu hal yang harus terjadi dan masing-masing harus bekerjasama. Sebab, kerjasama merupakan kebutuhan yang amat diperlukan dalam hidup bermasyarakat.
Akan tetapi sebuah kerja sama tidak mungkin tercipta kecuali dengan suatu sistem yang mengatur hubungan biologis antara kedua lawan jenis itu dan mengatur hubungan pria dan wanita secara umum. Demikian pula bahwa sistem ini harus bertolak dari titik pandang terhadap hubungan pria dan wanita semata-mata untuk melestarikan keturunan. Dengan aturan semacam inilah masing-masing pria dan wanita dapat bergaul dalam kehidupan umum dan menciptakan sebuah kerja sama tanpa menimbulkan mudharat sedikit pun.
Satu-satunya sistem yang dapat menjamin ketentraman hidup; mampu mengatur hubungan antara pria dan wanita dengan pengaturan yang selaras dengan tabi'at manusia, dimana aspek ruhani dijadikan landasan dan hukum-hukum syara' dijadikan sebagai tolok ukur, termasuk hukum-hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur; tidak lain adalah Sistem Pergaulan dalam Islam. Yaitu sebuah sistem yang memandang manusia, baik pria maupun wanita, sebagai seorang manusia yang selain memiliki naluri, perasaan dan kecenderungan, juga memiliki akal. Sebuah sistem yang membolehkan manusia bersenang-senang menikmati hidup, bahkan tidak melarangnya untuk memperoleh bagian penuh dari kenikmatan hidup dengan syarat mampu memelihara jamaah dan masyarakat dan memantapkan perjalanan manusia untuk memperoleh ketenteraman hidupnya. Tata pergaulan dalam Islam, adalah satu-satunya sistem pergau­lan yang benar --dengan asumsi bahwa di dunia ini ada sistem-sistem pergaulan lain. Sebab, Sistem Pergaulan dalam Islam bertolak dari pandangan bahwa naluri biologis adalah semata-mata untuk melestarikan keturunan umat manusia. Selain itu tata pergaulan dalam Islam mengatur hubungan lawan jenis pada pria dan wanita dengan per- aturan yang rinci, yang menjaga naluri ini disalurkan secara alami sehingga dapat mengantarkan kepada tujuan Allah SWT menciptakan naluri tersebut pada manusia.
Pada saat yang sama, Islam juga mengatur berbagai interaksi antara pria dan wanita dan menjadikan hubungan lawan jenis (antara seorang lelaki dan seorang perempuan) sebagai bagian dari pengaturan interaksi antara keduanya, dimana selain menjamin adanya kerjasama antara pria dan wanita tatkala bergaul bersama- sama, yaitu sebuah kerjasama yang membawa kebaikan bagi jamaah, masyarakat maupun individu; juga menjamin terwujudnya nilai-nilai akhlak yang luhur dan sekaligus menjadikan cita-cita tertinggi adalah keridlaan Allah SWT sehingga kesucian dan ketaqwaanlah yang dijadikan penentu metode interaksi antara pria dan wanita dalam kehidupan, serta menjadikan cara atau sarana yang digunakan dalam kehidupan tidak bertentangan dengan metode ini, apapun alasannya.
Islam telah membatasi hubungan lawan jenis antara pria dan wanita --yaitu hubungan antara seorang lelaki dan seorang perempuan-- dengan perkawinan dan pemilikan hamba-hamba sahaya. Islam juga telah menetapkan setiap hubungan lawan jenis selain dengan dua cara tersebut sebagai dosa besar yang layak diganjar dengan hukuman yang paling keras. Sedangkan interaksi-interaksi lain yang merupakan manifestasi dari naluri biologis, selain hubungan lawan jenis, seperti hubungan kepada bapak, kepada anak, kepada saudara, kepada paman dan kepada bibi, Islam telah membolehkannya sebagai hubungan sayang-menyayangi.
Islam juga membolehkan seorang wanita seperti yang dibolehkan terhadap pria untuk melakukan aktivitas perdagangan, pertanian, industri dan lain-lain; demikian pula mengikuti pengkajian suatu ilmu, melakukan doa, mengemban dakwah dan sebagainya. Islam telah menjadikan kerjasama antara pria dan wanita dalam berbagai segi kehidupan, juga interaksi antar sesama manusia sebagai perkara yang pasti dalam seluruh muamalat. Sebab, semuanya adalah hamba Allah SWT, semuanya saling menjamin untuk mencapai kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan beribadah kepada-Nya. Ayat-ayat Al Quran telah menyeru manusia kepada Islam tanpa membedakan apakah dia itu pria ataukah wanita. Allah SWT berfirman:

"Katakanlah: 'Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.'" (Al A'raf: 158) "Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Rabb-mu." (An Nisa: 1)

"Hai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu." (Al Anfaal: 24)

Ada juga ayat-ayat yang bersifat umum yang mencakup pria maupun wanita, seperti:

"Diwajibkan atas kamu berpuasa." (Al Baqarah: 183)
"Dirikanlah shalat." (Al Baqarah: 110)
"Ambillah sebagian dari harta mereka." (At Taubah: 103)
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang faqir, miskin." (At Taubah: 60)
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak." (At Taubah: 34)
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada Hari Kemudian." (At Taubah: 29)
"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu itu pemimpin, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan." (At Taubah: 23)

Masih banyak ayat-ayat lain yang semuanya bersifat umum, mencakup pria maupun wanita. Dalam melaksanakan berbagai taklif itu boleh jadi mengharuskan pertemuan antara pria dan wanita, bahkan dalam aktivitas yang individual sekalipun seperti ibadah shalat. Semua itu menunjukkan bahwa Islam membolehkan perte- muan antara pria dan wanita untuk melaksanakan berbagai taklif hukum dan segala aktivitas yang harus mereka lakukan.
Meskipun demikian Islam sangat berhati-hati dalam menjaga masalah ini. Karena itulah Islam melarang segala sesuatu yang menyebabkan hubungan antara dua lawan jenis yang tidak dibenarkan, dan melarang siapa pun --baik wanita maupun pria-- keluar dari sistem yang khas dalam mengatur hubungan lawan jenis. Dan Islam sangat menekankan larangan ini, sehingga menetapkan sifat 'iffah (menjaga kehormatan) sebagai suatu keharusan, dan menetapkan setiap metode, cara maupun sarana yang dapat menjaga kemuliaan dan akhlak terpuji sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan, karena suatu kewajiban tidak akan sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya adalah wajib. Lebih dari itu Islam telah menetapkan hukum-hukum syara' yang berkenaan dengan hal ini, yang banyak sekali jumlahnya, diantaranya:

1. Islam telah memerintahkan baik kepada pria maupun wanita untuk menundukkan pandangan. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya." (An Nuur: 30-31)

2. Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian sempur-na, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya; dan hen- daknya mereka mengulurkan pakaiannya sehingga mereka dapat menutupi tubuh- nya. Allah SWT berfirman:
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya." (An Nuur: 31)
"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." (Al Ahzab: 59)

Ayat di atas berarti janganlah mereka menampakkan tempat melekatnya perhiasan mereka kecuali yang boleh nampak, yaitu wajah dan dua telapak tangan. Pengar- tian Al khimar adalah penutup kepala, Al-jaib adalah bagian baju seputar dada/leher, yaitu bagian untuk membuka baju di sekitar leher dan dada. Dengan ungkapan lain ayat di atas mengatakan hendaklah mereka menurunkan khimarnya ke bagian leher dan dada. Sedangkan pengertian Al idnaau minal jilbaab adalah mengulurkan kain baju hingga ke bawah.

3. Islam melarang seorang wanita melakukan safar dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali disertai muhrimnya. Rasulullah saw bersabda:
Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali bila disertai muhrimnya."

4. Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat kecuali wanita itu disertai muhrimnya. Rasulullah saw bersabda:

"Tidak diperbolehkan antara seorang pria dan wanita itu berkhalwat kecuali apabila (wanita itu) disertai muhrimnya."

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah saw berkhutbah:

"Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita kecuali apabila wanita itu disertai seorang muhrim, dan tidak boleh seorang wanita melakukan perjalanan kecuali disertai muhrimnya." Tiba-tiba salah seorang shahabat berdiri dan berkata: "Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya isteriku hendak pergi menunaikan ibadah haji, sedangkan aku merencanakan pergi ke peperangan ini dan peperangan itu." Maka Rasulullah saw menjawab: "Pergilah engkau menunaikan haji bersama isterimu."

5. Islam melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya, karena suami memiliki hak atasnya, maka tidak dibenarkan seorang isteri keluar dari rumah suaminya kecuali atas izinnya. Apabila seorang isteri keluar tanpa seizin suaminya maka perbuatannya termasuk maksiat, dan telah dianggap nusyuz yang tidak lagi berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. Ibnu Baththah telah meriwayatkan dalam kitab Ahkaam An Nisaa dari Anas ra bahwa seorang laki-laki bepergian seraya melarang isterinya keluar, kemudian ayahnya sakit, lalu wanita itu meminta ijin Rasulullah saw agar dibolehkan menjenguk ayahnya, maka Rasulullah saw menjawab:
"Takutlah engkau kepada Allah, dan janganlah melanggar (pesan) suamimu." Tidak lama kemudian ayahnya meninggal, lau kembali wanita itu meminta ijin kepada Rasulullah agar dibolehkan melayat jenazahnya, maka beliaupun bersabda: "Takutlah engkau kepada Allah, dan janganlah melanggar (pesan) suamimu." Allah SWT kemudian menurunkan wahyu kepada Nabi saw: "Sungguh Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatan kepada suaminya."

6. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamaah kaum wanita terpisah dari jamaah kaum pria, begitu juga di dalam masjid, di sekolah dan lain sebagainya. Islam telah menetapkan seorang wanita hendaknya hidup di tengah-tengah kaum wanita, sama halnya dengan seorang pria hendaknya hidup di tengah-tengah kaum pria. Islam menjadikan shaf shalat kaum wanita di bagian belakang dari shaf shalat kaum pria, dan menjadikan kehidupan wanita hanya bersama dengan para wanita atau muhrim-muhrimnya. Wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, tetapi begitu selesai hendaknya segera kembali hidup bersama kaum wanita atau muhrim-muhrimnya.

7. Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendak- nya bersifat umum dalam urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan muhrimnya, atau jalan-jalan bersama. Sebab, tujuan kerjasama dalam hal ini agar wanita dapat segera mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, disamping untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.

Dengan hukum-hukum ini Islam dapat menjaga pergaulan pria dan wanita agar tidak menjadi pergaulan yang mengarah ke pergaulan lawan jenis semata- mata, sehingga pergaulan itu tetap dalam konteks kerjasama untuk menggapai berbagai kemaslahatan dan melakukan berbagai macam aktivitas. Dan dengan hukum-hukum inilah Islam mampu memecahkan hubungan-hubungan yang muncul dari kemaslahatan individu baik pria maupun wanita ketika masing-masing saling bertemu. Demi­kian pula hubungan-hubungan yang muncul dari pertemuan antara pria dan wanita seperti kewajiban memberi nafkah, status perwalian anak, per- nikahan, dan lain-lain dengan cara membatasi pertemuan itu sesuai dengan maksud adanya pertemuan tersebut, dan juga menjauhkan pria dan wanita dari interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis semata.