Monday, July 30, 2007

Menyoal Jalan Demokrasi (Pelajaran dari Krisis Politik Turki)

Pertarungan kubu AKP yang berkuasa degan kelompok oposisi yang sekular semakin memanas menjelang Pemilu Parlemen Turki yang dipercepat menjadi 22 Juli tahun ini. Situasi tersebut berawal dari Pemilihan Presiden di Parlemen yang nyaris dimenangkan oleh Abdullah Gul, kandidat dari AKP yang berkuasa di Turki. Dalam pemilihan putaran pertama di Parlemen, Gul hanya kurang 10 suara untuk dapat terpilih sebagai presiden, sehingga perlu dilakukan pemilihan putaran kedua. Bagaimanapun, hasil itu menebar kekhawatiran pro-sekularis. Jika terpilih, Gul dikhawatirkan akan mengganti prinsip sekularisme yang dibangun oleh Mustafa Kemal Ataturk dengan syariah Islam.
Lepas dari pro kontra di atas, krisis Turki sepertinya kembali menggambarkan standar ganda demokrasi. Dalam sistem demokrasi, seharusnya suara mayoritas di parlemenlah yang menjadi penentu. Karenanya, tidak ada alasan untuk menghalangi kandidat AKP, Abdullah Gul, menjadi presiden. Namun, tuduhan memilik agenda islami tersembunyi, termasuk istrinya yang berkerudung, telah digunakan untuk menggagalkan kemenangannya.
Situasi semakin memanas karena militer Turki mengeluarkan ancaman untuk mempertahankan sekularisme di Turki. Peringatan ini bukan sekadar gertakan, mengingat sudah tiga kali militer melakukan kudeta militer. Terakhir pada tahun 1997, militer melakukan kudeta hingga jatuh putusan mahkamah konstitusi yang membubarkan Partai Refah dan melarang Erbakan terjun ke dunia politik. Padahal Partai Refah merupakan pemenang Pemilu. Lagi-lagi alasannya, Refah mengancam sekularisme. Campur tangan militer jelas sangat tidak demokratis, mengingat dalam sistem demokrasi militer seharusnya di bawah kontrol sipil, bukan sebaliknya.
Masihkah Efektif?
Dalam konteks internal perjuangan gerakan Islam, krisis Turki kembali memunculkan perdebatan apakah perjuangan via parlemen dengan ikut dalam sistem demokrasi masih efektif. Selama ini pihak yang pro dengan sistem demokrasi untuk memperjuangkan syariah Islam berargumentasi, dengan menguasai parlemen atau pemerintahan, adalah langkah mudah untuk menerapkan syariah Islam. Logikanya: ikut Pemilu, raih suara terbanyak, mayoritas di perlemen, ubah sistem menjadi syariah Islam.
Namun, realitasnya tidaklah sesederhana itu. Di Turki, meskipun menang Pemilu, lewat intervensi militer pemerintahan di bawah pimpinan Partai Reffah pun dibubarkan. Hal yang sama pernah terjadi di Aljazair, meskipun FIS menang secara demokratis, lagi-lagi digagalkan oleh militer yang pro sekular. Kondisi Turki sekarang tidak jauh beda Partai AKP harus menghadapi tekanan militer dan kelompok sekular yang curiga pada agenda islami partai ini.
Krisis Turki juga menjadi pelajaran, bahwa meskipun partai AKP ingin menampilkan diri sebagai partai sekular, tetap saja kelompok sekular mencurigai agenda islaminya. Padahal Erdogan pimpinan AKP saat berbicara dengan anggota Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (17/4), secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap sekularisme. “Demokrasi, sekularisme, dan kekuasaan negara yang diatur oleh undang-undang adalah prinsip utama dalam sebuah negara republik. Jika ada salah satunya yang hilang maka pilar bangunan negara akan runtuh. Tidak ada kelompok manapun yang meresahkan pilar-pilar itu. Dengan keinginan masyarakat, maka pilar-pilar itu akan hidup selamanya,” tegasnya. (Eramuslim, 18/04/2007)
Segera setelah AKP dideklarasikan, Erdogan pun pernah menegaskan, AKP bukan partai agama, melainkan partai yang ingin menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Turki. Erdogan juga menyatakan sangat mendukung masuknya Turki sebagai anggota Uni Eropa (UE) dan pelaksanaan program Dana Moneter Internasional (IMF) bagi reformasi ekonomi Turki yang mengalami krisis serius selama dua tahun terakhir ini. Lebih dari itu, Erdogan menegaskan, bersedia mempertahankan hubungan saling menguntungkan antara Turki dan Israel. (Kompas, 5/11/2002).
Namun, tetap saja Erdogan dicurigai dan ditolak oleh kelompok sekular. Artinya, upaya menutup-nutupi agenda perjuangan penegakan syariah Islam tidaklah menjamin kelompok sekular memberikan kesempatan kepada kelompok Islam untuk menegakkan syariah Islam.
Upaya kelompok sekular dengan berbagai cara mempertahankan sekulerisme bisa dimengerti (meskipun bukan berarti benar). Sebab, sistem apapun pastilah memiliki imunitas untuk mempertahankan sistemnya. Hal yang sama terjadi dalam sistem demokrasi; silakan bebas bicara dan menuntut apa saja, asal jangan bertentangan dan menghancurkan sistem demokrasi.
Dua Kunci Penting
Walhasil, realita politik tidaklah berhenti pada tataran doktrin. Meskipun dalam doktrin demokrasi, setiap pihak memiliki hak yang sama untuk menyuarakan apapun, bukan berarti elit pendukung demokrasi membiarkan sistemnya diganti dengan sistem Islam. Realita politik juga tidak melulu bicara hukum. Secara hukum, yang menjunjung tinggi supremasi sipil, militer seharusnya tidak boleh mengintervensi proses politik. Namun, militer yang pro sekular mempunyai kepentingan mempertahankan sistem sekular. Realita politik akhirnya kembali bersandar pada siapa yang memiliki kekuataan politik yang real, dialah yang berkuasa.
Kekuatan real politik ini pada dasarnya ada pada dua pihak: masyarakat dan elit strategis (ulama, politisi, cendekiawan, jurnalis, terutama militer). Siapa dan sistem apa yang mendapat dukungan masyarakat dan elit politik, dialah yang berkuasa. Karena itu, yang lebih penting dilakukan oleh gerakan Islam dalam upaya penegakan syariah Islam adalah upaya penyadaran masyarakat dan meraih dukungan elit strategis, termasuk militer.
Untuk bisa menyadarkan masyarakat, mau tidak mau, syariah Islam harus secara terbuka disampaikan. Tentu saja akan muncul penolakan, bisa jadi sangat keras. Namun, penolakan itu sebenarnya hal yag wajar karena kekurangpahaman tentang syariah Islam. Di sinilah pentingnya dialog dan berdiskusi secara terbuka tentang syariah Islam hingga muncul pahamanan yang komprehensif dan benar. Menutupi atau tidak mensuarakan syariah Islam secara terbuka justru akan menghalangi upaya penyadaran ini.
Hal yang sama harus dilakukan pada elit strategis. Dengan melakukan kontak dan diskusi rutin, kekhawatiran tentang syariah Islam akan bisa dikurangi. Pasalnya, selama ini yang lebih dominan adalah propaganda negatif terhadap syariah Islam, bukan pembahasan syariah Islam secara obyektif. Harus dijelaskan bahwa penerapan syariah Islam merupakan solusi bagi persoalan bangsa dan akan mendatangkan rahmat, tidak akan pernah menjadi ancaman terhadap bangsa dan negara. [Farid Wadjdi]

No comments: