Oleh Asmaul Husna

Beberapa hari terakhir, isu terorisme kembali ramai dibincangkan oleh beragam kalangan. Pembahasan seputar terorisme tampaknya masih terus bergulir dan seakan tak pernah berakhir. Terorisme kembali menjadi topik hangat dikarenakan tertangkapnya beberapa oknum yang diduga terlibat dengan aksi jaringan terorisme. Keberhasilan dan prestasi pihak kepolisian tersebut langsung mengundang pujian dan decak kagum dari AS dan Australia yang gencar memerangi aksi terorisme dunia.

Jihad bukan Terorisme

Barangkali tak ada yang menolak, bahwa secara teologis semua agama melarang terhadap tindakan yang menyengsarakan manusia dan menghilangkan nyawa tanpa alasan yang tepat. Islam sebagai agama yang paripurna juga telah melarang dengan tegas tindakan menghilangkan nyawa seseorang. Bahkan sanksi yang tegas dan berat akan diberikan kepada pelaku pembunuhan baik obyeknya muslim maupun non muslim. Jihad yang merupakan salah satu bentuk perintah dari Sang Khalik seringkali disalahtafsirkan oleh sebagian pihak untuk melegalkan tindakan terorisme. Ironisnya, makna jihad pun mengalami penyempitan makna menjadi hanya sekedar makna bahasa berupa aktivitas kesungguh-sungguhan belaka.

Makna jihad yang sekedar untuk menyenangkan pihak penuduh (defensif apologetik) tersebut akhirnya justru mengerdilkan peran jihad untuk meninggikan kalimat tauhid. Jihad bukanlah tindakan terorisme begitu juga sebaliknya. Pelaksanaan jihad haruslah dilandasi dengan konsepsi teologis dan ideologis hingga dampak jihad sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah dapat dirasakan oleh kaum muslim maupun non muslim. Jihad, menurut syariat Islam, adalah ‘ital alKuffar fi sabilillah li I’lai kalimatillah, yang memiliki hukum dan akhlak yang mulia (sumber: al-Jazairi, al-Fi’ih ala al-Madzahib al-Arba’ah).

Dalam berjihad, diharamkan membunuh anak-anak, wanita, orang tua, merusak bangunan, rumah ibadah, pohon, dll. Bandingkan dengan invasi AS, Inggris dan sekutunya. Di Irak , ratusan ribu nyawa anak-anak, wanita, orang tua dan penduduk sipil yang tidak bersalah melayang; ribuan anak-anak lahir cacat, akibat radiasi senjata pemusnah masal yang mereka gunakan; ribuan bangunan hancur dan porak-poranda; kesucian Al-Qur’an dan masjid diinjak-injak, serta kehormatan wanita dicabuli.

Terorisme: Perang Ideologi

Terorisme adalah kosa kata yang populer ketika peristiwa serangan terhadap menara kembar WTC di New York 2001, pada saat itu Presiden AS George W Bush menegaskan sikapnya: ‘Perang kita terhadap teror akan dimulai dengan Al-Qaida, namun tidak akan berakhir dengan sampai di situ. Perang ini tidak akan berakhir hingga setiap kelompok teroris secara global dapat ditemukan, dihentikan dan dikalahkan.’ Penegasan Bush tersebut juga disertai pilihan bernada ancaman, anda bersama kami atau bersama teroris. Selanjutnya Dewan Keamanan PBB merespon dengan mengeluarkan Resolusi 1373 yang dikeluarkan pada 28 September 2001.

Resolusi tersebut bertujuan untuk membatasi segala aktivitas gerakan, organisasi dan pendanaan berbagai kelompok teroris. Negara-negara anggota PBB didorong untuk saling berbagi informasi intelijen yang berkenaan dengan kelompok-kelompok teroris. Namun resolusi tersebut belum memberikan definisi apa yang dimaksud dengan terorisme. Resolusi DK-PBB 1566 kemudian dikeluarkan pada tanggal 8 Oktober 2004 untuk melengkapi kekurangan Resolusi DK-PBB 1373 dengan mendefinisikan bahwa Terorisme menurut DK-PBB ialah: ‘tindakan-tindakan kriminal, termasuk dari negara terhadap warganegara, yang menyebabkan kematian atau siksaan fisik atau penyanderaan yang dilakukan dengan tujuan menciptakan keadaan teror di tengah-tengah masyarakat umum atau sekelompok orang atau orang-orang tertentu, mengintimidasi suatu populasi atau memaksa suatu pemerintahan atau suatu organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.’

Terorisme kini tak hanya sekadar perang melawan kejahatan oknum anak manusia, namun telah beralih menjadi sebuah perang ideologi. Sidney Jones, peneliti dari ICG (International Crisis Group) dalam sebuah acara dialog di televisi swasta mengakui bahwa perang melawan terorisme ini adalah perang ideologi. Perang ideologi ini juga ditegaskan oleh Pimpinan AS, Presiden George Bush saat dia berpidato di depan National Endowment of Democracy (Kamis, 6 Oktober 2005) dan dihadapan undangan the Ronald Reagan Presidential Library (dalam kesempatan lain). Bush menyebutkan secara jelas ideologi Islam di balik aksi-aksi terorisme dunia internasional, yang menjadi musuh nyata Amerika Serikat saat ini, ia mengatakan: ‘The murderous ideology of the Islamic radicals is the great challenge of our new century. Like the ideology of communism, our new enemy teaches that innocent individuals can be sacrificed to serve a political vision (Ideologi pembunuh Islam radikal adalah tantangan terbesar dari abad baru kita. Seperti ideologi komunis, musuh baru kita mengajarkan bahwa individu yang tidak bersalah bisa dikorbankan untuk melaksanakan sebuah visi politik).

Memenangkan Perang Ideologi

Perang ideologi sebagai bagian dari upaya membentuk tata dunia baru oleh negara adidaya sepantasnya untuk diWaspadai oleh ummat Islam. Tentu saja kita tak menginginkan pertumpahan darah dan kesengsaraan serta ketakutan masih melanda negeri ini. Karena itu, sangat dibutuhkan upaya untuk memenangkan perang ideologi tersebut yakni: pertama, persatuan dan kesatuan umat yang solid, jangan sampai dipecah-belah dengan istilah Islam Radikal-Islam Moderat. Islam hanya satu yakni bersumberkan dari Al-Qur’an dan As Sunnah.

Kedua, umat Islam harus memiliki kesadaran yang sahih tentang Islam, dan kesadaran politik yang tinggi. Aksi-aksi terorisme di Indonesia dengan mengatasnamakan jihad adalah wujud tidak adanya dua kesadaran di atas. Kesadaran yang sahih (benar) tentang Islam dapat dibentuk dengan menggiatkan edukasi syariah yang utuh dan menyeluruh. Sedangkan arah kesadaran politik ummat adalah upaya menyadarkan ummat tentang Islam sebagai ideologi yang solutif dan menjadi rahmat bagi seluruh manusia. Ketiga, meniru metode dakwah Nabi SAW. Metode dakwah untuk melakukan perubahan dan menerapkan risalah Islam adalah: fikriyah (intelektual) yakni senantiasa mengedepankan argumentasi logis, siyasiyyah (politis) yakni berupaya untuk mewujudkan masyarakat Islam (Khilafah Islamiyyah), la madiyah (non-kekerasan) dan harus berjamaah.

Akhirnya, tindakan terorisme siapapun pelakunya sewajarnya untuk diantisipasi dengan pemikiran yang jernih dan ideologis bukan dibalas dengan tindakan terorisme yang berefek pada kebencian dan permusuhan yang tak pernah berakhir. Wallahu’alam bishshawab.

(Penulis adalah Ketua Umum Muslimah Peduli Ummat Sumut) (wns)

WASPADA Online : http://www.waspada.co.id