Monday, May 21, 2007

MENAPAKI JALAN KEBANGKITAN

MENAPAKI JALAN KEBANGKITAN
Kami telah mengatakan bahwa kebangkitan tidak mungkin terwujud kecuali setelah manusia mengetahui makna keberadaannya dalam kehidupan. Dengan demikian, manusia mampu untuk membentuk pemahaman yang benar tentang kehidupan tersebut, yakni manusia mengetahui bagaimana mengatur hubungan-hubungannya, mengendalikan perilakunya dan memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhannya itu harus dilakukan bersama dengan sesamanya atau makhluk hidup lainnya atau benda-benda yang dibutuhkannya. Manusia adalah makhluk yang hidup dengan sesamanya dari kalangan manusia juga dan bersama umat-umat lainnya dari kalangan makhluk hidup yang lain di muka bumi ini dalam alam semesta yang luas ini. Lalu bagaimana tata cara berinteraksi dengan masyarakat atau bersama makhluk hidup lainnya atau bersama benda-benda dalam rangka memenuhi kebutuhannya atau memuaskan keinginannya apabila manusia tidak memiliki sudut pandang dalam kehidupan di mana dia tinggal ini serta tidak memiliki pengetahuan tentang kehidupan dan kedudukannya dalam kehidupan tersebut. Oleh karena itu, harus didahului dengan menjawab pertanyaan tentang makna keberadaannya dalam kehidupan dan mengetahui hakekat benda-benda tersebut secara keseluruhan. Maksudnya, manusia harus memiliki fikrah (pemikiran) mendasar tentang manusia, makhluk hidup dan alam semesta, yakni dia harus memiliki fikrah mendasar yang lengkap tentang benda-benda seluruhnya. Fikrah mendasar tersebut merupakan kaidah bagi proses berpikirnya, titik tolak bagi setiap pemahamannya tentang kehidupan ini serta sebagai pengatur bagi setiap perilaku atau hubungannya. Hal itu harus dilakukan jika dia ingin meraih kebangkitan yang benar dan meraih kedudukan tinggi yang telah Allah karuniakan kepadanya, yaitu untuk mencapai derajat manusia. Manusia akan meraih kedudukan yang tinggi dengan apa yang telah Allah berikan yaitu akal untuk memikirkan unsur-unsur pembentuk tubuhnya yakni yang sama-sama membentuk tubuh manusia lainnya yaitu adanya susunan unsur atau materi. Adapun apabila dia ingin bertahan berada di bumi, berpadu denganya dan hidup sebagaimana kehidupan makhluk hidup lainnya seperi binatang misalnya, maka tulikanlah kedua telinganya dari apa-apa yang dapat didengar, dan tutuplah pandangannya dari apa-apa yang dapat dilihat, dan lepaskanlah nikmat yang telah Allah karuniakan kepadanya yakni hati sehingga akan berlaku baginya apa yang telah Allah firmankan: {“Mereka memiliki hati tetapi tidak digunakan untuk memperoleh pemahaman, mereka memiliki mata tetapi tidak digunakan untuk melihat, mereka memiliki telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka seperti binatang bahkan mereka lebih sesat lagi.”}(Q. S. Al-Araaf: 179). Atau firman-Nya: {“Bacakanlah kepada mereka berita yang telah Kami sampaikan kepadanya ayat-ayat Kami. Kemudian, dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syetan maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan derajat dengan ayat-ayat itu tetapi dia cenderung pada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing. Jika engkau menghalaunya diulurkannya lidahnya dan apabila engkau membiarkannya dia menjulurkan lidahnya juga.”}(Q. S. Al-Araaf: 175-176).
Oleh karena itu, orang yang menginginkan terwujudnya kebangkitan harus memiliki fikrah (pemikiran) menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan; tentang sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan seluruh hubungan kehidupan dunia itu dengan sesuatu yang ada sebelumnya serta seluruh hubungannya dengan sesuatu yang ada setelah kehidupan dunia. Maksudnya, mereka harus memiliki akidah akliyah yang menjadi landasan bagi proses berpikir mereka, menjadi sumber bagi seluruh peraturan dan perundang-undangan mereka serta menjadi pandangan hidup mereka terhadap kehidupan yakni mengendalikan perilaku mereka terhadap sesama mereka dan terhadap benda-benda. Itu dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain, qaidah fikriyah itu harus mencakup asas-asas yang menjelaskan tata cara menerapkan peraturan dan perundang-undangan. Qaidah fikriyah itu juga harus mengandung metode yang menjelaskan tata cara mewujudkan fikrah tersebut dalam realitas kehidupan dan tata cara menyampaikannya kepada seluruh manusia. Dengan kata lain, mereka harus memiliki ideologi yang dianut dan diikuti mereka serta diikuti orang-orang selain mereka. Hal itu mengharuskan mereka semua seolah-olah seperti ideologi yang hidup dan berjalan di tengah-tengah masyarakat. Mereka, tsaqafah mereka dan perlaku mereka merupakan cermin yang merefleksikan gambaran ideologi yang mereka emban tersebut dan gambaran pemikiran yang mereka serukan. Mereka –aktivitas mereka adalah membangkitkan umat dan mengubah masyarakat menuju keadaan yang lebih baik- juga harus mengetahui realitas masyarakat tempat mereka beraktivitas itu dengan pengetahuan yang memungkinkan mereka memberikan solusi yang tepat atau menyiapkan solusi yang tepat bagi setiap masalah atau peristiwa atau fakta yaitu penyakit-penyakit utama ataupun penyakit sampingan yang telah merusak umat dan menceraiberaikan masyarakat dan meracuni kondisinya. Hal itu tidak cukup hanya semata-mata adanya akidah serta pemahaman tentang pemikiran dan hukum-hukumnya seperti yang mereka ketahui dan mereka serukan. Untuk merinci hal itu, kami sampaikan apa yang harus mereka lakukan yaitu:
1. Merupakan sesuatu yang sudah diketahui secara umum bahwa pengembanan dakwah Islam adalah kewajiban setiap muslim. Islam merupakan risalah yang dibebankan penyampaian dan penyebarannya di antara manusia. Rasulullah SAW bersabda: [“Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui dirimu, itu lebih baik bagimu daripada terbit dan terbenamnya matahari.”]. Atau dalam riwayat lain dikatakan: [“Lebih baik bagimu daripada terbitnya matahari untuknya.”]. (H. R. Ath-Thabrani dari Ibnu Rafi’). Allah SWT berfirman: {“Serulah kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah, nasehat yang baik dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui orang yang sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”}(Q. S. An-Nahl: 125). Hanya saja, masalahnya bukanlah masalah pengembanan dakwah semata melainkan masalah pengembanan dakwah dalam rangka meraih tujuan tertentu yakni membangun dan membangkitkan umat berdasarkan landasan tertentu pula dan menegakkan daulah yang akan menjadikan Islam eksis dalam realitas kehidupan. Dengan kata lain, masalahnya adalah bagaimana menyadarkan kaum muslimin untuk menerapkan hukum syara yang selama ini tidak dijalankan yaitu dengan dengan cara mengangkat seorang khalifah. Rasulullah SAW bersabda: [“Siapa saja yang mati dalam keadaan tidak ada baiat di pundaknya maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.”]. (catatan kaki: H. R. Muslim dalam shahihnya dari Abdullah bin Umar. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani –dalam kitan Majmauz Zawaid jilid 5 halaman 218- dari Muawiyah. Dalam riwayat lain dikatakan: [“Siapa saja yang mati dalam keadaan tidak ada seorang Imam maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.”].). Maksudnya, pengembanan dakwah dalam rangka meraih tujuan tertentu dan untuk merealisasikan tujuan tersebut tidak akan mungkin terwujud dengan aktivitas yang bersifat individual serta berupa nasehat dan petunjuk semata. Dengan demikian, aktivitas tersebut harus dilakukan dalam sebuah partai politik dan menjauhkan aktivitas yang bersifat individual dari benak masyarakat. Inilah makna keberadaannya dalam kehidupan yakni bahwa dia hidup demi Islam, dalam rangka mengungkapkan dan menyampaikan risalah Islam tersebut kepada manusia serta mewujudkannya dalam realitas kehidupan.
2. Memahami ideologi tersebut, baik fikrah (konsep pemikiran) maupun thariqah (metode)nya. Saya mengartikan hal itu sebagai pengambilan akidah dengan pengambilan yang bersifat akal dan meyakinkan serta dibangun berdasarkan akal, memahami hukum-hukum dan solusi-solusi yang berasal dari akidah tersebut, serta mengetahui media dan cara-cara yang dapat mengantarkan pada penyebaran dan penyampaian ideologi itu kepada manusia. Saya juga mengartikan pemahaman atas apa-apa yang terkandung dalam akidah tersebut dan hukum-hukum yang lahir dari akidah tersebut sebagai adanya penjelasan mengenai tata cara memelihara ideologi itu sendiri, tata cara menerapkan solusi dan hukum-hukum yang dikandungnya serta mengetahui tata cara dalam penyebarannya, memeliharanya dan menyebarkannya kepada manusia secara keseluruhan. Yakni memperluas kekuasaan Islam –ideologi- atas manusia hingga mereka mengimaninya.
3. Mengetahui tata cara –thariqah (metode)- yang memungkinkan digunakan untuk merealisasikan ideologi tersebut dalam kehidupan. Hal itu dimulai dari titik awal dimana fikrah tersebut mengkristal pada diri seseorang atau beberapa orang individu. Kemudian, dilanjutkan dengan terbentuknya sebuah kelompok yang menjalankan fikrah tersebut. Bangunan kelompok tersebut adalah bangunan yang bersifat pemikiran, yaitu melakukan pembinaan terhadap para pengemban ideologi tersebut dan para anggotanya dengan tsaqafah tertentu yang merupakan satu kesatuan. Sehingga setiap individu yang berada di dalamnya menjadi ideologi itu sendiri. Hal itu terjadi dengan adanya interaksi dengan masyarakat dan seruan terhadap mereka untuk mengambil ideologi tersebut. Dengan adanya kepercayaan mereka terhadap ideologi dan adanya pengembanan ideologi tersebut –adanya interaksi- maka akan tercapai keadaan yang memungkinkan diterapkannya hukum-hukum dan solusi-solusi tersebut secara nyata yakni dalam pemerintahan. Dengan demikian, ideologi tersebut benar-benar terwujud dalam realitas kehidupan secara sempurna sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Hal itu mengharuskan adanya pembedaan antara tata cara penyampaian ideologi tersebut menuju kehidupan nyata yakni dalam pemerintahan, dengan tata cara penerapan hukum-hukum ideologi tersebut atau penerapan solusi-solusi dan penanganan urusan masyarakat serta penyebaran ideologi tersebut ke seluruh dunia melalui jihad.
Rasulullah SAW telah menempuh tata cara yang pertama yaitu diawali dengan turunnya wahyu untuk melakukan hijrah dan menegakkan daulah, yakni untuk mewujudkan ideologi tersebut dalam realitas kehidupan. Setelah itu beliau melakukan tahap kedua yaitu pelaksanaan thariqah (metode) secara praktis. Maka beliau secara langsung menerapkan hukum-hukum ideologi tersebut. Berdasarkan ideologi tersebut beliau membangun sebuah masyarakat yang paling maju sepanjang sejarah dan menciptakan kebangkitan yang tidak pernah ada tandingannya di dunia ini. Dengan demikian, thariqah Rasulullah SAW tersebut wajib diikuti dengan terlebih dahulu memiliki kejelasan tentang perbedaan kedua tahap tersebut tadi sehingga dapat meletakkan setiap tahap itu pada tempatnya. Thariqah itu pula yang wajib dijalankan dalam pengembanan dakwah pada saat sekarang ini.
4. Dengan memperhatikan thariqah Rasulullah SAW, kita akan menemukan bahwa beliau telah membentuk sebuah kelompok yang bersifat politik yang tegak berdasarkan mabda yaitu berdasarkan pada akidah yang satu dan juga fikrah yang satu. Hal itu sangat jelas tersurat dalam pernyataan Umar bin Khathab ra,”Tidak ada Islam tanpa adanya jamaah. Tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan. Tidak ada kepemimpinan tanpa adanya ketaatan.” Pernyataan itu telah menegasikan aktivitas yang bersifat individual. Melakukan aktivitas yang bersifat individual ketika hendak meraih tujuan tertentu itu (mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan) adalah aktivitas yang tidak sesuai dengan Islam. Apalagi apabila tujuan itu telah ditentukan oleh ideologi itu sendiri. Karakteristik aktivitas tersebut menuntut adanya jamaah yang memiliki kepemimpinan. Yang dimaksud di sini bukan sembarang jamaah dan sembarang kepemimpinan melainkan sebuah jamaah yang bersifat politik dan kepemimpinan yang bersifat politik juga. Adapun keberadaannya sebagai jamaah yang bersifat politik adalah sebagai berikut:
a. Bahwa tujuan dan juga kewajiban yang harus diwujudkan oleh kutlah (partai politik) tersebut adalah melakukan taghyir (rekonstruksi) masyarakat dan mengubah masyarakat tersebut menuju keadaan yang lebih baik yaitu membangkitkan masyarakat tersebut. Karena masyarakat itu terdiri dari sekelompok manusia maka mereka mempunyai adat kebiasaan yang bersifat umum dan sistem peraturan yang mengatur urusan-urusannya. Hanya saja, adat kebiasaan dan sistem peraturan tersebut tidak berada pada kedudukan yang layak. Untuk meningkatkan kondisi masyarakat tersebut harus dilakukan peningkatan kondisi adat kebiasaan mereka –yaitu pemikiran, perasaan dan sistem peraturan mereka- dan menerapkan sistem peraturan yang dapat memperbaiki kondisi mereka serta sesuai dengan akidah dan pemikiran yang mereka anut. Dengan kata lain, harus melakukan taghyir (rekonstruksi) terhadap institusi politik yang rusak serta pemikiran, perasaan dan sistem peraturannya. Kemudian, menerapkan institusi politik yang baik sebagai penggantinya. Oleh karena itu, kutlah (partai politik) yang beraktivitas untuk mewujudkan kebangkitan tersebut harus merupakan institusi yang bersifat pemikiran dan politik sehingga mampu untuk merealisasikan tujuannya dan meraih targetnya. Hal itu karena orang yang tidak memiliki sesuatu tidak akan dapat memberikan sesuatu tersebut.
b. Adapun aktivitas-aktivitas yang harus dijalankan oleh kutlah (partai politik) dalam rangka melakukan taghyir (rekonstruksi) –kebangkitan- tersebut semuanya adalah aktivitas yang bersifat politik. Dengan demikian, aktivitas untuk melakukan rekonstruksi terhadap adat kebiasaan, tradisi dan pemikiran yang dijadikan sebagai hukum dalam hubungan masyarakat tersebut menuntut adanya tatskif (pembinaan) terhadap masyarakat dengan tsaqafah yang bersifat politik yang meliputi seluruh pemikiran dan hukum. Berdasarkan tsaqafah itulah masyarakat tersebut dibangun, yaitu menjadikan tsaqafah itu sebagai pengatur bagi hubungan-hubungan yang terus menerus, yang akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang istimewa baik dalam hal pemikiran di bidang pemerintahan atau ekonomi atau sosial atau pertahanan atau pendidikan atau bidang lainnya. Semuanya itu didasarkan pada qaidah fikriyahnya yaitu akidah. Hal itu itu berarti menjadikan akidah yang dianut oleh umat sebagai akidah siyasiyah (akidah yang bersifat politik) yang mencakup seluruh aspek kehidupan mereka, hubungan internal mereka dan juga hubungan eksternal mereka.
c. Bahwa kutlah (partai politik) tersebut beraktivitas untuk membangkitkan umat. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan cara mengungkapkan kerusakan hubungan di tengah-tengah umat serta sistem peraturan dan perundang-undangan yang mengatur hubungan tersebut. Hal itu berarti pula mengungkapkan kerusakan struktur aparat pelaksana yang menjalankan peraturan dan perundang-undangan tersebut. Dengan demikian, penindasan negara terhadap kutlah tersebut adalah perkara yang pasti terjadi dan itulah yang disebut dengan kifahu siyasi (perjuangan politik).
d. Bahwa kutlah tersebut beraktivitas untuk membangkitkan umat. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan cara mengungkapkan kerusakan pemikiran atau adat kebiasaan atau tradisi atau pemahaman yang ada di tengah-tengah masyarakat tersebut atau kerusakan pemikiran yang terdapat dalam kelompok dan partai-partai politik. Hal itu berarti terjadinya shiraul fikri (pergolakan pemikiran) antara kutlah tersebut dengan partai politik lainnya yang ada di masyarakat, yang mengemban pemikiran yang rusak dan pandangan yang keliru. Aktivitas itu juga merupakan aktivitas yang bersifat politik.
e. Rasulullah SAW bersabda: [“Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia tidak memperdulikan urusan umat maka dia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).” (cataran kaki: H. R. Al-Hakim dari Ibnu Mash’ud. Diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi dalam kitab “Sya’bil Iman”. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani dan Abu Na’im.). Atau sabda beliau: [“Siapa saja yang melihat penguasa lalim yang melanggar kehormatan Allah, berkhianat terhadap janji-janji Allah dan memutuskan perkara dengan aturan yang bukan berasal dari Allah; tetapi orang tersebut tidak mengubah perbuatan penguasa itu baik dengan perkataan ataupun dengan perbuatan maka Allah akan memasukan orang tersebut ke tempat masuknya.”]. (catatan kaki: H. R. Ath-Thabrani dalam kitab “At-Tarikh” dan Ibnu Al-Atsir dalam kitab “Al-Kamil” dan yang lainnya yang berasal dari Husein bin Ali ra.). Dan puluhan hadits lainnya yang mewajibkan setiap muslim untuk melakukan aktivitas amar ma’ruf dan nahyi munkar. Dan itu adalah aktivitas politik juga.
Atau firman Allah SWT: {“Harus ada di antara kalian, sekelompok orang yang menyeru kepada al-khair (Islam) serta melakukan amar ma’ruf dan nahyi munkar. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.”}(Q. S. Ali Imran: 104). Kewajiban yang paling utama adalah menjadikan para aparat yang menangani urusan masyarakat yaitu para penguasa sebagai orang-orang yang pertama kali dijadikan objek dalam melakukan amar ma’ruf dan nahyi munkar. Aktivitas tersebut adalah aktivitas politik juga.
Itulah sebagian aktivitas yang harus dilakukan oleh sebuah kutlah (partai politik) yang berjuang untuk membangkitkan masyarakat dan umat. Dengan demikian, partai politik tersebut menjadi partai politik yang sebenarnya. Seluruh aktivitas dan pemikirannya adalah aktivitas dan pemikiran yang bersifat politik.
5. Kutlah (Partai politik) tersebut harus menetapkan pemikiran dan tujuan tertentu, yang dapat menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan. Hal itu untuk menjaga kejernihan dan kebersihan fikrahnya. Hal itu dilakukan dengan cara senantiasa mengkaitkan setiap pemikiran atau hukum atau pendapatnya dengan dalil syara yaitu Al-Quran dan As-Sunnah atau dengan apa-apa yang ditunjuki oleh keduanya yaitu Ijma dan Qiyas. Sehingga nampak dengan jelas bahwa pemikiran, hukum dan pendapatnya itu digali dari sumber yang berasal dari wahyu. Untuk menjaga kejernihan fikrahnya maka harus dijauhi adanya pemikiran atau hukum atau pendapat yang tidak berasal dari Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian, hal itu akan menghilangkan apa yang terjadi pada masa kemunduran kaum muslimin atau akan menghilangkan hukum-hukum, pemikiran-pemikiran, pandangan-pandangan, kaidah-kaidah dan akidah-akidah yang tidak dikaitkan dengan fikrah tersebut atau dikaitkan tapi lemah. Itu dari aspek kejernihan dan kebersihan fikrah. Adapun dari aspek penentuan tujuannya, pemikiran-pemikirannya, hukum-hukumnya dan pandangan-pandangannya maka harus terdapat ketentuan mengenai tata cara untuk mengendalikan aktivitas-aktivitasnya berdasarkan pada fikrah tersebut. Maksudnya, harus terdapat kaidah praktis yang berifat permanen. Misalnya “Setiap perbuatan harus didahului oleh pemikiran serta dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu dan dilakukan dalam suasana keimanan yang kondusif”. Maksudnya, berpikir adalah hal pertama yang harus dilakukan, baru kemudian dilanjutkan dengan perbuatan. Perbuatan itu dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu dan dilakukan dalam kondisi keimanan yang kondusif. Hal itu berarti harus terdapat pengadopsian terhadap pemikiran-pemikiran tertentu. Pemikiran-pemikiran tersebut harus merupakan pemikiran yang bersifat praktis (dapat dilaksanakan) yang jauh dari sifat khayali dan teoritis. Pemikiran semata tanpa perbuatan adalah khayalan, teori dan bersifat filsafat yang tidak akan memberikan faedah apapun. Gudang-gudang kaum muslimin dipenuhi oleh buku-buku seperti itu. Perpustakaan Islam adalah perpustakaan yang paling lengkap yang pernah ada di muka bumi ini. Oleh karena itu, pemikirannya itu harus merupakan pemikiran yang bersifat praktis dan pemikiran tersebut diambil untuk dilaksanakan. Hanya saja, pemikiran yang diikuti oleh perbuatan semata tanpa adanya penentuan tujuan atau target dari perbuatan tersebut, maka hal itu hanya akan menjadi lingkaran setan (tidak ada ujung pangkalnya). Itulah yang telah menimpa umat Islam. Di tengah-tengah kaum muslimin terdapat kumpulan orang-orang yang memberikan nasehat dan petunjuk yang ‘berteriak-teriak’ di tengah-tengah umat agar mereka bertakwa dan kembali kepada Rabb mereka, akan tetapi mereka tidak dapat mengubah realitas umat dan masyarakat sedikitpun. Hal itu terjadi karena mereka berdakwah tanpa tujuan. Oleh karena itu, harus ada penetapan tujuan dari pemikiran dan perbuatan tersebut. Adapun tujuan atau target tersebut sudah ditetapkan oleh akidah itu sendiri. Semuanya itu yakni pemikiran, perbuatan dan tujuan yang hendak dicapai tersebut haruslah berada pada kondisi keimanan yang kondusif. Hal itu karena kesulitan yang terdapat dalam perjalanan, rintangan yang menghadang dan pertentangan yang keras kadang-kadang dapat melemahkan motivasi yang terdapat dalam partai politik tersebut. Oleh karena itu, harus ada upaya memohon perlindungan kepada Zat Yang Maha Penolong dan Maha Membantu yakni Allah SWT agar Dia menuntun ‘tangan’ partai politik tersebut dan mengokohkan pijakannya. Hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan cara mengakaitkan setiap fikrah yang dijadikan landasan perbuatan tersebut dengan perintah Allah SWT, yakni menyertai setiap hukum dengan dalilnya dan dengan akidah. Hal itu dilakukan dalam rangka menempuh manhaj Qurani yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum ketika ayat tersebut diakhiri dengan pengkaitan perkara tersebut dengan Allah SWT dan dengan sifat yang dituntut oleh hukum tersebut. Misalnya firman Allah SWT: {“Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”}(Q. S. Al-Maidah: 38). Hal itu menunjukan bahwa penetapan fikrah, perbuatan, tujuan, tata cara untuk mencapai tujuan tersebut dan kaidah yang dijadikan sebagai titik tolak fikrah itu adalah seperti rancangan bangunan. Kaidahnya adalah akidah. Penentuan bentuk bangunan dan tata cara membangunnya sama persis seperti yang dilakukan oleh seorang arsitek. Ketika dia mengambil putusan untuk membangun sebuah bangunan apapun yakni ketika dia menetapkan tujuannya maka dia akan membuat rancangan bangunan –peta- yang akan menjelaskan karakteristik tanah yang akan dijadikan lahan bangunan tersebut. Kemudian, menjelaskan desain bangunan baik interior maupun eksteriornya, lantainya, bentunya dan material yang dibutuhkannya.
Ketika akidah menetapkan kewajiban agar akidah tersebut diwujudkan dalam realitas kehidupan dan mengharuskan partai politik terikat dengan tujuan tersebut maka partai politik itu harus memiliki kesadaran terhadap tujuan tersebut dengan kesadaran yang penuh sehingga dapat menularkan kesadaran dan kepedulian tersebut kepada umat. Dengan demikian, umat secara keseluruhan akan semakin meningkat kesadarannya dan sekaligus dapat merealisasikan kesadaran tersebut. Umat tidak boleh luput dari kesadaran tersebut dan kesadaran itu tidak boleh hanya terdapat dalam dada-dada para pemimpinnya saja melainkan harus menampakkan tujuan tersebut baik secara keseluruhan maupun secara parsial di bawah pengawasan umat. Dengan demikian, sebaiknya seluruh aktivis, para simpatisan dan masyarakat umum, yang berkeinginan untuk membawa masyarakat menuju kesadaran tersebut, untuk memperhatikan hal itu dan memahaminya. Tujuan tersebut tidak boleh memiliki kesamaran atau bersifat terlalu umum. Misalnya, ketika tujuannya adalah untuk membangun umat dan melanjutkan kehidupan Islam maka hal itu tidak akan terwujud sama sekali kecuali melalui penegakkan daulah Islam. Pernyataan itu masih bersifat umum sehingga belumlah cukup melainkan yang pertama kali harus ada adalah kesadaran partai politik tersebut bersama umat terhadap makna membangun umat dan membangkitkannya. Hal itu dilakukan dengan cara menjelaskan dan menerangkan makna tersebut kepada masyarakat. Makna pernyataan itu singkatnya adalah bahwa umat harus mempunyai qaidah fikriyah dan thariqah dalam melakukan aktivitas berpikir yang produktif. Ketika kita kita menyatakan kalimat,”Melangsungkan kehidupan Islam” maka pernyataan dan makna dari pernyataan tersebut akan dipahami dengan jelas yaitu adanya keharusan untuk kembali menerapkan hukum Islam dalam hubungan-hubungan masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri. Juga akan dipahami bahwa pernyataan ‘melangsungkan kehidupan Islam’ artinya adalah kembali menerapkan Islam sebagaimana yang telah diterapkan sejak masa Rasulullah SAW hingga masa-masa terakhir daulah khilafah. Dengan demikian, aktivitas melangsungkan kehidupan Islam telah dapat dipahami dan bukan merupakan masalah baru yang hendak direalisasikan, akan tetapi merupakan masalah melangsungkan kehidupan yang telah berlangsung sejak lama. Ketika kita menyatakan hal itu maka akan tergambar dengan jelas bahwa hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan menegakkan daulah Islam dan membaiat seorang khalifah. Maka partai politik harus mempunyai kejelasan berkaitan dengan tujuan tersebut. Faktor yang menyebabkan terwujudnya tujuan tersebut adalah terwujudnya Islam dalam realitas kehidupan dan adanya kebangkitan umat. Benar, harus terdapat kejelasan dalam benak dan pikiran partai politik tersebut sebagaimana kejelasan itu juga harus terdapat dalam benak dan pikiran umat. Dengan demikian, harus pula menetapkan makna dari daulah Islam. Apa saja kaidah-kaidah yang menjadi landasannya, apa saja rukun-rukunnya, bagaimana strukturnya dan seperti apa aturan yang mengaturnya. Dengan kata lain, partai politik harus memiliki ‘gambar rancangan bangunan’ secara lengkap. Hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan menempatkan beberapa individu pada jabatan-jabatan yang tepat untuk mereka. Maksudnya, harus terdapat konstitusi baik bersifat menyeluruh maupun yang bersifat parsial yang sangat jelas, sama jelasnya dengan matahari pada siang hari. Adapun menyeru kepada perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya atau menuntut umat untuk menuju sebuah keadaan yang dia sendiri tidak mengetahuinya serta meminta kepercayaan dan dukungan dari umat maka hal itu merupakan tindakan menghayal dan sangat bodoh serta bertentangan dengan firman Allah SWT: {“Katakanlah,”Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku menyeru kalian kepada Allah berdasarkan hujah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang musyrik.”}(Q. S. Yusuf: 108).
Merupakan hal yang sudah sangat diketahui bahwa seseorang yang tidak memiliki sesuatu maka dia tidak akan dapat memberikan sesuatu itu. Ini dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain, merupakan hal yang sudah sangat diketahui pula bahwa dalam sebuah masalah seringkali terdapat banyak pendapat. Kadang-kadang sampai pada keadaan yang saling bertentangan baik dalam perkara yang pokok dan kaidah-kaidah maupun dalam perkara yang bersifat cabang dan parsial. Oleh karena itu, partai politik harus menentukan pilihan ketika mengadopsi hukum, pendapat dan pemikiran kemudian berjalan sesuai dengan apa yang diadopsinya itu dan berupaya untuk menerapkannya. Dengan demikian, partai politik tidak akan mencampur adukan dua hal yang bertentangan. Merupakan sesuatu yang sudah pasti bahwa tidak adanya penetapan pemikiran itu akan menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertentangan pendapat di antara para anggota partai politik tersebut. Selanjutnya, hal itu bisa jadi akan menyebabkan perpecahan dalam partai politik tersebut menjadi banyak partai dan kelompok sehingga tidak terdapat pemersatu kecuali hanya nama partai semata. Hal itu karena setiap pendapat memungkinkan untuk menyebabkan timbulnya sebuah faksi (kelompok) dimana mereka akan menyeru pada kelompoknya itu. Selanjutnya, hal itu akan mengoyak-oyak kesatuan jamaah. Penjelasan ini cukup kiranya untuk menunjukkan perlunya adopsi serta penetapan pemikiran, tujuan dan rencana perjalanan.
Misalnya: dalam Islam terdapat pandangan fikih yang berbeda-beda berkaitan dengan seorang khalifah yang merupakan kekuatan utama yang menjadi landasan penerapan dan perwujudan Islam dalam realitas kehidupan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa seorang muslim yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut maka dia dia boleh menjadi seorang khalifah dan kaum muslimin boleh menyerahkan urusan mereka kepadanya. Syarat-syarat tersebut yaitu dia seorang muslim, laki-laki, berakal, baligh, merdeka dan adil. Setiap syarat itu memiliki dalil yang berasal dari Al-Quran dan As-sunnah. Tidak harus dilihat dari aspek nasab, kebangsaan dan keluasan ilmunya. Ada pula pendapat kedua yang menyatakan bahwa seorang khalifah harus memenuhi enam syarat tersebut dan satu syarat lagi yaitu dia berasal dari keturunan Quraisy. Dalilnya adalah sabda Rasulullah: [“Para Imam itu berasal dari kalangan Quraisy.”]. (Catatan kaki: Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dalam “Kitabul Ahkam”, dari Muawiyah bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: [“Sesungguhnya urusan kekuasaan ini ini ada di tangan orang Quraisy. Siapa saja yang memusuhi mereka selama mereka masih menegakkan agama ini niscaya Allah akan membuatnya jatuh tersungkur.”]. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah ra dengan bunyi teks: [“Orang-orang senantiasa mengikuti orang Quraisy dalam urusan kekuasaan ini. Kemusliman mereka bergantung kemusliman orang Quraisy. Kekafiran mereka bergantung pada kekafiran orang Quraisy.” Teks yang terdapat dalam halaman ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam musnadnya dari Anas. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Amr bin Ash dan Imam Ahmad dari Anas bin Malik.). Ada juga pendapat ketiga yang menetapkan syarat tambahan dari keenam syarat tersebut yaitu harus Alul Bait (keturunan Rasul) berdasarkan firman Allah SWT: {“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.”}(Q. S. Al-Ahzab: 33). Ada pula pendapat keempat yang menyatakan bahwa seorang khalifah itu harus mujtahid sehingga dia tidak akan bergantung pada ijtihad mujtahid lain. Dengan demikian, tidak akan terbentuk pemerintahan yang disetir pihak lain. Seandainya kita memperhatikan partai politik manapun, kita akan menemukan bahwa partai politik-partai politik itu tidak pernah menetapkan pendapatnya dalam masalah ini sehingga di antara para anggotanya, para simpatisan dan para pendukungnya terdapat orang-orang yang mengemban keempat pendapat tersebut. Berdasarkan keempat pendapat tersebut sekelompok pemikir membentuk sebuah partai politik dan menjadi pemimpinnya. Masing-masing mereka memandang bahwa pendapatnya adalah benar sehingga tidak boleh menafikan yang lainnya. Apabila partai politik tersebut dapat meraih pemerintahan dan menerapkan hukum-hukum, pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikiran yang dimilikinya maka pendapat mana yang akan diambil? Dan merupakan keniscayaan bahwa setiap orang yang memiliki pendapat akan berupaya untuk menerapkan pendapatnya dan menafikan pendapat lainnya. Maka akan seperti apakah hasilnya? Akan terjadi pertentangan dan perbedaan dalam partai politik tersebut walaupun mungkin tidak sampai terjadi pertumpahan darah. Berdasarkan hal itu dan berdasarkan hukum syara, ada orang yang mengatakan,”Sesungguhnya hukum Allah untuk seorang individu itu tidak boleh lebih dari satu.” Partai politik merupakan individu yang bersifat maknawi, hukumnya adalah hukum untuk seorang individu dilihat dari aspek perkara-perkara yang dapat memperbaikinya. Oleh karena itu, tidak boleh sama sekali adanya terdapat beberapa hukum, pendapat, pemikiran dan keyakinan di dalam sebuah partai politik. Dengan demikian, adopsi terhadap pemikiran, hukum dan keyakinan adalah gambaran yang sebenarnya dari sebuah partai politik dan juga merupakan cerminan dari ruh partai politik tersebut. Pada hal itu pula eksistensinya bergantung. Dengannya pula kepercayaan masyarakat dapat diraih. Perubahan pemikiran dan pandangan mereka akan bergantung pada hal itu. Dengan demikian, partai politik tersebut harus menetapkan pendapat yang bersifat umum yang akan menjadi landasan adat kebiasaan dan tradisi mereka, dimana adat kebiasaan dan tradisi mereka itu merupakan pilar mendasar dari perkara-perkara yang membentuk sebuah masyarakat.
6. Partai politik itu harus melakukan pergolakan dengan pemikiran-pemikiran yang rusak dan adat kebiasaan yang buruk yang terdapat dalam masyarakat. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan pemikiran dan adat kebiasaan yang rusak tersebut serta memberikan alternatif penggantinya. Hal itu mengharuskan adanya pengetahuan tentang pemikiran yang rusak, pandangan yang keliru dan akidah-akidah yang batil yang terdapat di tengah-tengah masyarakat sehingga memungkinkan partai politik itu untuk membantahnya, mengungkapkan kerusakannya serta menyingkapkan kepalsuan dan kebatilannya. Semua itu tidak boleh hanya bersifat global saja dan menyatakan,”Kekufuran itu adalah milah (keyakinan) yang satu.” –walaupun perkataan itu memang benar- melainkan harus dilakukan pembantahan terhadap setiap pemikiran atau pendapat atau keyakinan tersebut dengan bantahan yang bersifat pemikiran, yang dapat menjelaskan kesalahannya dan dapat menyingkapkan kekeliruannya. Memang betul bahwa kekufuran itu adalah keyakinan yang satu. Hal itu merupakan hakekat yang pasti kebenarannya dan merupakan pernyataan yang bersifat fakta. Dengan demikian, ad-din (agama) itu tidak terbagi-bagi. Yang ada hanyalah Islam dan kekufuran, tidak ada yang lain lagi dalam hal ini. Akan tetapi, masalahnya bukanlah dari aspek pernyataan yang benar tersebut melainkan dari aspek upaya untuk menghilangkan kerusakan, kesalahan dan kebatilan tersebut. Hal itu dilakukan dengan cara menjelaskan semua kekeliruan tersebut dan menegakkan hujah (argumentasi) yang berdasarkan dalil, bukti yang nyata dan pandangan yang mendalam yang berdasarkan Al-Quran Al-Karim yang tidak terdapat kebatilan di dalamnya dari sisi manapun, yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana Maha Terpuji. Di dalam Al-Quran terdapat pandangan yang membantah kelompok-kelompok kekufuran yang ada tersebut baik secara global maupun secara rinci. Al-Quran telah membantah setiap kelompok tersebut bersama semua pernyataan dan propagandanya serta apa-apa yang diyakininya. Telah turun ayat-ayat mulia untuk menegaskan kebatilan pernyataan dan keyakinan-keyakinan tersebut, menegakkan hujah berdasarkan dalil yang tegas atas hakekat yang hendak diungkapkannya sehingga keimanan orang yang meyakininya senantiasa dilandasi oleh akal dan pembuktian. Al-Quran tidak cukup hanya mengungkapkan akidah Islam dan menjelaskan hal-hal yang dikandung oleh akidah Islam tersebut yaitu kebenaran dan bukti yang nyata serta membiarkan manusia untuk memikirkan hal itu sendiri, melainkan Al-Quran juga memberikan pukulan mematikan terhadap mereka (orang-orang kafir). Maka, Al-Quran pun menyerang keyakinan-keyakinan mereka, merendahkan angan-angan mereka serta menjelaskan kebodohan dan kejumudan mereka. Ayat-ayatnya menyeru setiap kelompok kekufuran tersebut dengan segala pemikiran dan keyakinannya dan menyeru orang-orang musyrik Arab dengan semua perselisihan golongan dan madzhab mereka serta penyembahan mereka terhadap berhala. Ayat-ayat Al-Quran itu menyerang penyembahan berhala dan patung-patung tersebut dengan serangan yang tanpa basa basi, mengecam keyakinan mereka itu dan menjelaskan kesalahannya dilihat dari aspek tidak digunakannya akal-akal mereka berkaitan dengan hal itu. Tindakan itu dilakukan agar mereka dapat melihat bahwa berhala-berhala tersebut tidak memberikan madharat tidak pula memberikan manfaat. Oleh karena itu, Al-Quran mensifati mereka seperti binatang bahkan mereka lebih sesat lagi. Allah SWT berfirman: {“Mereka memiliki hati tapi tidak digunakan untuk memahami. Mereka memiliki mata tetapi tidak digunakan untuk melihat. Mereka memiliki telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang bahkan mereka lebih sesat.”}(Q. S. Al-Araaf: 179). Bukankah dalam ayat tersebut terdapat provokasi dan pukulan mematikan sebagaimana bantahan terhadap setiap pemikiran baik terhadap orang-orang yang mengingkari keberadaan Allah atau orang-orang yang mengambil hawa nafsu mereka sebagai Tuhan ataupun terhadap orang-orang yang menyembah berhala dengan dalih untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian, Al-Quran menjelaskan kepada mereka mengenai penyembahan pada berhala yang terjadi sejak jaman lampau. Maka Al-Quran pun mengungkapkan berhala-berhala pada jaman Nabi Ibrahim as dan bagaimana kehancurannya tanpa mempunyai kekuatan untuk membela dirinya sendiri. Al-Quran juga telah mengungkapkan berhala-berhala yang ada pada kaum Nabi Nuh beserta nama-namanya. {“Mereka berkata,”Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan wadd, suwa’a, yaguts, ya’uq dan nasr.”}(Q. S. Nuh: 23). Sebagaiman pula Al-Quran menyebutkan nama beberapa tuhan Quraisy: {“Apakah patut bagi kalian menganggap al-lata, al-uzza dan manat yang ketiga yang paling terkemudian sebagai anak perempuan Allah?”}(Q. S. An-Najm: 19-20). Sebagaimana AL-Quran juga membantah ketuhanan orang yang mengklaim sebagai tuhan seperti percapakan Nabi Ibrahim dengan Namrud. Firman-Nya: {“Apakah kalian tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya karena Allah telah memberikan kekuasaan kepada orang itu ketika Ibrahim mengatakan,”Tuhanku adalah Yang menghidupkan dan mematikan.” orang itu berkata,”Aku dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata,”Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur maka terbitkatlah matahari itu dari barat.” Maka terdiamlah orang itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”}(Q. S. Al-Baqarah: 258). Atau dialog Nabi Musa dengan Firaun dan seterusnya. Tidak ada yang terlewatkan satu kelompok pun dan tidak bersikap lemah lembut terhadap mereka serta tidak mencukupkan hanya dengan memaparkan pemikiran, akidah dan apa yang manusia kehendaki semata.
Al-Quran juga tidak membatasi serangannya terhadap agama dan keyakinan mereka melainkan termasuk pula apa yang mereka katakan atau apa yang mereka lakukan serta interaksi-interaksi yang mengatur kehidupan mereka. Pada saat menyerang agama-agama tersebut, pada saat itu juga Al-Quran menyerang perbuatan-perbuatan dan sifat-sifat mereka. Kita akan menemukan sebuah surat pendek yang mencakup semua perkara itu. Seperti firman Allah SWT: {“Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang yang melaksanakan shalat yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan menolong dengan barang yang berguna.”}(Q. S.Al-Ma’un: 1-7). Sebagaiimana firman-Nya: {“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila mereka menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mreka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.”}(Q. S. Al-Muthaffifin: 1-6).
Hendaklah kita membaca Al-Quran Al-Karim untuk mentadaburi bagaimana ayat-ayat dan surat-surat Makiyah membahas masyarakat, akidah, peribadatan dan perbuatan yang terdapat di dalamnya, yang muncul di kalangan orang-orang musyrik Arab. Hal itu dilakukan agar kita dapat memperdalam dan mengokohkan akidah Islam dengan hujah dan bukti yang nyata bahwa Allah SWT lah yang menciptakan segala sesuatu, bahwa Dialah yang telah menurunkan Al-Quran itu, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Dia lah yang telah mengutus Rasul-Nya bersama petunjuk dan agama yang benar untuk mengalahkan semua agama yang ada walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya, dan bahwa hari kiamat tidak diragukan lagi kedatangannya.
Hendaklah juga mentadaburi bagaimana surat-surat dan ayat-ayat tersebut membahas tentang sekelompok orang kafir lainnya. Mereka adalah ahlul kitab. Ayat-ayat tersebut kadang-kadang menggabungkan antara ahlul kitab itu dan orang-orang musyrik Arab ketika mengharuskan adanya penggabungan. {“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (yaitu) seorang Rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan.”}(Q. S. Al-Bayyinah: 1-2). Juga seperti firman Allah SWT: {“Dan tidak Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi al-kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi al-kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir mengatakan,”Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?”}(Q. S. Al-Mudatsir: 31). Al-Quran juga kadang-kadang menggabungkan antara orang-orang Yahudi dan Nashrani serta menyeru mereka: {“Katakanlah,”Hai ahli kitab, marilah (berpegang) pada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian bahwa kita tidak akan menyembah kecuali kepada Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun serta tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.”}(Q. S. Ali Imran: 64). Al-Quran kadang-kadang juga menjelaskan bantahan untuk masing-masing dari Yahudi dan Nashrani dengan jenis bantahan yang khusus dan menyampaikan dalil atas kebatilan yang dikatakan oleh maisng-masing dari mereka itu. Al-Quran membantah Bani Israil dan menyeru mereka dengan kata-kata,”Wahai Bani Israil” ketika perkara itu berkaitan dengan apa yang diklaim oleh orang-orang Yahudi. Al-Quran membantah mereka dalam masalah akidah, tingkah laku dan perkataan mereka, apa yang mereka ada-adakan dalam agama mereka, apa-apa yang mereka ubah dari kitab mereka, pembunuhan yang mereka lakukan terhadap para nabi dengan penuh kezaliman dan rasa permusuhan serta azab yang telah menimpa mereka. Al-Quran menyebut mereka dalam lebih dari dua puluh tujuh surat dalam tempat yang berbeda-beda.
Ketika Al-Quran menyeru orang-orang Nahrani secara tersendiri, hal itu pun mencakup apa-apa yang mereka ada-adakan dalam agama mereka, apa yang mereka ubah dari akidah mereka, baik yang dikatakan oleh orang di antara mereka: {“Sesungguhnya Allah itu Tuhan ketiga dari tiga Tuhan.”)(Q. S. Al-Maidah: 73). Atau orang yang berkata dari kalangan mereka: {“Sesungguhnya Allah itu adalah Al-masih bin Maryam.”}(Q. S. Al-Maidah: 17). Atau orang-orang yang mengatakan bahwa Al-Masih itu adalah anak Allah. Al-Quran mengungkapkan tentang apa yang mereka bawa itu untuk menegakkan hujah atas mereka. Al-Quran memaparkan kepada mereka tentang kisah kelahiran Isa as dalam surat Maryam atau dalam surat Ali Imran bersama dengan kisah Nabi Zakariya, Nabi Yahya dan Maryam dengan bantahan yang halus yang tidak akan diketahui kecuali oleh orang yang menelaahnya. Kebanyakan orang Arab pun tidak mengetahuinya walaupun tentu tidak semuanya {“Tidaklah engkau mengetahuinya tidak juga kaummu.”}(Q. S. Hud: 49). Al-Quran juga menjelaskan perkataan-perkataan orang-orang Yahudi berkaitan dengan Isa bin Maryam dan apa yang mereka katakan kepada orang-orang Nahrani. Demikiran pula apa yang dikatakan oleh orang-orang Nashrani berkaitan dengan orang-orang Yahudi. {“Dan orang-orang Yahudi berkata,”Orang-orang Nashrani itu tidak mempunyai suatu pegangan.” Dan orang-orang Nashrani pun berkata,”Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan.”}(Q. S. Al-Baqarah: 113). Tidak ada sedikitpun yang tertinggal kecuali Al-Quran menjelaskan kepada mereka bantahan atas argumentasi mereka dan membodoh-bodohkan angan-angan mereka. Kemudian, Al-Quran mengungkapkan ketetapan untuk masing-masing dari mereka itu bahwa Muhammad Rasulullah SAW telah disebutkan dalam kitab mereka masing-masing. {“Muhammad itu utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dan bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikana tanaman tersebut kuat kemudian menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati orang-orang yang menanamnya karena Allah hendak membuat jengkel hati orang-orang kafir dengan keadaan mereka itu.”}(Q. S. Al-Fath: 29).
Al-Quran tidak mencukupkan hanya sampai batas apa yang terdapat dalam diri mereka, melainkan lebih dari itu juga menjelaskan tentang percakapan di antara mereka, perkataan-perkataan yang mereka lontarkan, tindakan yang mereka lakukan dan persekongkolan yang mereka rencanakan.
Ketika orang-orang Yahudi mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Yahudi dan juga orang-orang Nashrani mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah orang Nashrani, maka Al-Quran menjelaskan dengan ungkapan pendek tentang kebodohan apa yang mereka katakan itu: {“Bukanlah Ibrahim itu seorang Yahudi, bukan pula seorang Nashrani.”}(Q. S. Ali Imran: 67). Juga firman-Nya: {“Tidaklah Taurat dan Injil itu diturunkan kecuali setelahnya.”}(Q. S. Ali Imran: 65). Maksudnya adalah bahwa agama Yahudi dan Nashrani keduanya ada setelah kedatangan Nabi Ibrahim. Lalu bagaimana mungkin orang yang terdahulu mengikuti orang yang terkemudian. Itu adalah kebodohan yang amat sangat.
Al-Quran juga telah menjelaskan kepada mereka tentang tindakan yang telah mereka lakukan seperti pembunuhan yang mereka lakukan terhadap para nabi, memakan riba dan memperoleh harta dengan cara haram padahal mereka telah dilarang melakukannya. Al-Quran juga menjelaskan persekongkolan mereka terhadap kaum muslimin ketika mereka berkata kepada kelompoknya,”Berimanlah kalian pada pagi hari dan kafirlah kalian pada sore harinya” untuk membuat kaum muslimin merasa ragu atas kebenaran kenabian Muhamad SAW, dan sebagainya.
Pada saat terbentuk sebuah kelompok baru yang sebelumnya belum pernah ada dalam masyarakat, maka Al-Quran pun mengungkapkan dan menjelaskan persekongkolan yang terdapat dalam jiwa kelompok tersebut. Al-Quran membahas secara tersendiri tentang mereka dalam surat yang dinamai dengan nama kelompok tersebut ‘Al-Munafiqun”, Di samping itu, Al-Quran juga mengungkapkan keadaan mereka, sifat-sifat mereka dan persekongkolan mereka dalam banyak tempat dalam surat yang berbeda. Dalam surat Al-Baqarah misalnya, Al-Quran menyebutkan orang-orang mukmin dalam empat ayat dan menyebut orang-orang kafir dalam dua ayat serta menyebutkan orang-orang munafik dalam tiga belas ayat. Al-Quran juga mengungkapkan upaya mereka membangun masjid Dhirar dan tipu daya yang mereka rencanakan melalui pembuatan mesjid tersebut. Maka Rasulullah SAW pun membakar mesjid tersebut. Bahkan ketika salah seorang di antara mereka mengatakan sebuah perkataan maka Allah membantahnya melalui ayat Al-Quran. Misalnya ketika salah seorang di antara mereka berkata: {“Berilah aku ijin (untuk tidak berperang) dan janganlah engkau jerumuskan aku ke dalam fitnah.” Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus dalam fitnah. Sesungguhnya jahanam itu benar-benar meliputi mereka.”}(Q. S. At-Taubah: 49). Atau perkataan mereka: {“Mengapa Allah tidak mengazab kami atas apa yang telah kami katakan itu?”}(Q. S. Al-Mujadilah: 8). Dan perkara-perkara lainnya yang telah dibahas oleh Al-Quran Al-Karim, seperti dorongan untuk mengokohkan kekuatan Rasulullah SAW dan orang-orang mukmin melalui pemaparan perjalanan para nabi yang terdahulu dan apa yang mereka temui dari kaum-kaum mereka.
Dari gambaran singkat ini, wajib bagi kelompok yang mengklaim bahwa mereka beraktivitas untuk membangkitkan umat dan mengangkat martabatnya, untuk menempuh jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian, kelompok tersebut harus terjun dalam perang pemikiran menghadapi pemikiran yang hendak diubah yang berada di tengah-tengah masyarakat. Hal itu sama sekali tidak mungkin kecuali kelompok tersebut memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai pemikiran-pemikiran dan keyakinan-keyakinan tersebut sehingga memungkinkan untuk menjelaskan kebatilannya dan kerusakan pandangan-pandangannya, tidak boleh hanya mencukupkan diri dengan menawarkan apa-apa yang dimilikinya kepada masyarakat. Karena hal itu tidak sesuai dengan thariqah yang ditempuh Rasulullah SAW dan thariqah Al-Quran Al-Karim dalam melakukan perang pemikiran dan bantahan dengan hujah dan bukti yang nyata.
7. Al-Quran Al-Karim diturunkan kepada Rasul kita SAW secara bertahap dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun dan tidak diturunkan secara sekaligus. Al-Quran diturunkan sesuai dengan situasi, kondisi dan fakta yang terjadi. Dengan demikian, wajib bagi setiap kelompok yang beraktivitas untuk membangkitkan umat, untuk hidup bersama dengan situasi, kondisi dan fakta-fakta yang terjadi sehingga kelompok tersebut akan mampu untuk memberikan pendangan Islam dalam semua masalah atau peristiwa atau keadaan tersebut. Mutaba’ah (monitoring) terhadap fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa tersebut menuntut adanya pengetahuan atas fakta atau peristiwa tersebut dengan pengetahuan yang memungkinkan dia untuk memahami situasi dan kondisi yang ada di sekelilingnya serta sebab-sebab dan ‘ilat-‘ilat yang berkaitan dengan hal tersebut. Dengan demikian, pandangan atau hukum atas hal itu pun adalah pandangn dan hukum yang benar atau mendekati kebenaran. Hal itu menuntut adanya pengetahuan fakta masyarakat kita terlebih dahulu, kemudian diikuti adanya pengetahuan mengenai kekuatan objek yang hendak diperangi dan negara-negara yang berlomba untuk meraih kepentingannya, meluaskan hegemoni dan pengaruhnya atas masyarakat tersebut. Kita mempunyai kisah tentang Abu Bakar ra dan “pertaruhan” (adu prediksi) nya dengan orang-orang kafir Makkah berkaitan dengan hasil akhir dari peperangan antara Persia dan Romawi. Dalam kisah tersebut, Al-Quran menampilkan sebaik-baiknya dalil atas kewajiban untuk melakukan mutaba’ah terhadap fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa. Kisah tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersamanya merupakan kelompok yang bersifat politik yang memiliki kesadaran atas fakta kelompoknya itu dan memahami masyarakatnya sebagaimana kesadarannya atas keadaan yang ada di sekitarnya. Itulah tindakan Abu Bakar yang melakukan adu prediksi dengan orang-orang kafir Makkah atas fakta militer dan politik antara dua negara besar di dunia pada masa itu yaitu Persia dan Romawi. Kemudian Allah mempertegas perbincangan tersebut: {“Alim lam mim. Bangsa Romawi telah dikalahkan, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah lah urusan mereka sebelum dan sesudah (kemenangan itu). Dan di hari itu, orang-orang yang beriman bergembira karena pertolongan Allah.”}(Q. S. AR-Rum: 1-3). Ini merupakan pergolakan yang bersifat internasional dan berkaitan dengan politik luar negeri.
Adapun berkaitan dengan keadaan dalam negeri, maka Al-Quran juga telah mengungkapkan fakta berkaitan dengan persekongkolan orang-orang kafir Makkah. Hal itu diungkapkan agar kaum muslimin dapat menbantah orang-orang kafir tersebut, mengkaji keadaan mereka dan membuat rencana untuk menghadapi mereka. Allah SWT senantiasa mengawasi mereka. Pada suatu waktu, orang-orang kafir Makkah berkumpul di Darun Nadwah membicarakan keadaan Rasulullah SAW dan dakwah beliau serta melontarkan pendapat mereka tetang beliau dan tentang respon orang-orang Arab terhadap orang yang diutus ke pasar yaitu pasar ‘Ukazh. Rapat itu dipimpin oleh Walid bin Al-Mughirah yang merupakan pemimpin Bani Makhzum atau pemimpin Makkah. Mereka bertanya,”Wahai Abu Walid, apa yang akan kita katakan kepada masyarakat?” Walid menjawab,”Berikanlah pendapat kalian hingga aku dapat mendengarnya.” Mereka pun mengajukan pendapat mereka masing-masing. Walid mengoreksi pendapat mereka karena tidak sesuai denga fakta. Ketika mereka kebingungan menghadap perkara itu, mereka berkata,”Kalau begitu, katakanlah pendapatmu!”. Maka Walid pun mengerutkan dahi dan kedua alisnya. Dia memeras otaknya dan berjalan mondar mandir ke sana kemari hingga dia sampai pada sebuah kesimpulan yang sangat menyesatkan. Dia berkata,”Kita katakan saja tentang Muhammad itu bahwa dia adalah penyihir yang menggunakan kata-kata (Magic words). Dia (Muhammad) telah mengeluarkan perkataan yang dapat memisahkan seseorang dengan keluarganya.” Melalui wahyu yang mengabarkan apa-apa yang mereka perbincangkan itu kepada Rasulullah SAW, turunlah Al-Quran yang menyingkapkan persekongkolan itu dan mengomentari apa yang terjadi pada Walid tersebut dengan pemberian sifat yang rinci dan detil. Allah SWT berfirman: {“Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang telah Aku ciptakan sendiri. Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak dan anak-anak yang selalu bersamanya. Aku telah melapangkan rizkinya dengan selapang-lapangnya. Kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya. Sekali-kali tidak. Karena sesungguhnya dia telah menentang ayat-ayat kami. Aku akan membebaninya dengan pendakian yang memayahkan. Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menentukan. Maka celakalah dia. Bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian celakalah dia. Bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan. Sesudah itu dia bermuka masam dan merengut. Kemudian dia berpaling dan berlaku sombong. Lalu dia berkata,”Ini (Al-Quran) tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari. Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia. Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.”}(Q. S. Al-Mudatsir: 11-26). Inilah yang mewajibkan adanya kesadaran terhadap peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta tersebut sehingga mampu menetapkan hukum Allah terhadapnya atau untuk menjelaskan kepada umat apa yang terjadi dalam sebuah peristiwa atau persekongkolan yang telah direncanakan atas kaum muslimin dan rintangan yang akan menghadang jalan dakwah. Kadang-kadang hal itu berasal dari anak-anak umat sendiri atau berasal dari musuh-musuh umat melalui tangan anak-anak umat atau berasal dari musuh-mush umat secara langsung.
8. Telah kami katakan bahwa unsur-unsur yang menegakkan sebuah masyarakat adalah adat kebiasaan dan sistem peraturan. Kutlah (partai politik) wajib melakukan interaksi dengan pemikiran-pemikiran yang rusak dan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung agar dapat menjelaskan kerusakan, menampakkan kebatilannya dan menjauhkannya dari kehidupan dan pemikiran masyarakat. Kutlah juga harus berupaya untuk mewujudkan pemikirannya di tengah-tengah masyarakat agar terbentuk opini umum di tengah-tengah masyarakat tersebut, yang akan menciptakan sebuah kebiasaan umum. Itulah yang mewajibkan adanya interaksi dengan masyarakat. Kutlah juga wajib berinteraksi dengan unsur kedua yang menegakkan sebuah masyarakat. Yang kami maksud adalah sistem peraturan yang digunakan untuk mengatur interaksi dan penanganan urusan-urusan masyarakat. Kemudian, kutlah menjelaskan kerusakan sistem peraturan tersebut, kepalsuan dari solusi-solusi yang diberikannya, keburukan penanganannya terhadap urusan-urusan masyarakat serta pertentangannya dengan akidah dan hukum-hukum mereka (kaum muslimin). Kemudian, menghancurkan asas-asas yang melandasi sistem peraturan tersebut sambil menawarkan penggantinya dan menyertakan dalil atas kebenaran dan kebaikan sistem pengganti itu serta meletakkan garis lurus di hadapan garis yang bengkok. Dengan demikian, masyarakat akan kehilangan kepercayaannya terhadap sistem yang rusak tersebut dan terhadap para aparat yang menjalankannya. Itu dari satu sisi. Dari sisi lain, kutlah juga harus melakukan pengungkapan fakta dari para antek yang diangkat oleh orang-orang kafir sebagai pengawas masyarakat dalam rangka menjaga kepentingan orang-orang kafir tersebut, sebagai aparat pelaksana sistem peraturan mereka dan penyebar tsaqafah mereka. Dengan demikian, kutlah dapat membeberkan pengkhianatan para antek tersebut terhadap umat dan kesetiaan mereka terhadap musuh umat. Dengan demikian, masyarakat akan menjatuhkan mereka bahkan akan membantu kutlah untuk meruntuhkan mereka dan mendongkel mereka dari pemerintahan. Inilah yang kami namai dengan kifahu siyasi (perjuangan politik). Hal itu dilakukan dalam rangka meneladani Rasulullah SAW dan sebagai pelaksanaan dari thariqah yang digunakan Al-Quran dalam perkara tersebut. Pada saat menjelaskan kerusakan sistem tersebut, dijelaskan pula kerusakan para penguasanya, kesewenang-wenangan mereka dan kelaliman mereka. Di antara mereka ada yang diserang dengan disebutkan namanya. Di antara mereka ada yang diserang dengan menyebutkan sifatnya. Di antara mereka ada yang diserang dengan memaparkan perkataannya atau perbuatan yang dilakukannya. Allah SWT berfirman berkaitan dengan orang yang disebutkan namanya: {“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah baginya harta bendanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan begitu pula istrinya pembawa kayu bakar yang di lehernya terdapat tali dari sabut.”}(Q. S. Al-Lahab). Padahal dia adalah orang yang dimuliakan dan mempunyai kedudukan yang terhormat di kalangan Bani Hasyim dan Quraisy. Hal itu sama dengan apa yang Allah firman berkaitan dengan pemuka Makkah dan pemuka Bani Makhzum yaitu Walid bin Mughirah dalam surat Al-Mudatsir ayat 11 sampai 26 dan surat Al-Qalam ayat 16. Allah SWT juga berfirman tentang Al-Akhnas bin Syariq: {“Sekali-kali tidak. Apabila dia tidak berhenti, niscaya akan Kami tarik ubun-ubunnya. Yaitu ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.”}(Q. S. Al-‘Alaq: 16). Allah SWT juga berfirman berkaitan dengan orang-orang selain mereka: {“Kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu. Kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu.”}(Q. S. Al-Qiyamah: 34-35). Dengan demikian, perjuangan politik itu -yaitu penyerangan terhadap sistem peraturan dan penjelasan atas kerusakannya, penyerangan terhadap para penguasa dan mengungkapkan pengkhianatan mereka serta menyingkap rencana-rencana busuk tuan-tuan mereka- adalah aktivitas terpenting yang wajib dilakukan oleh kutlah yang bermaksud membangkitkan umat. Hal itu karena aktivitas tersebut merupakan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Muhammad SAW dan orang yang diberi petunjuk oleh Allah SWT. Ayat yang memerintahkan kita untuk mengikuti beliau adalah firman-Nya: {“Katakanlah,”Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang musyrik.”}(Q. S. Yusuf: 108).
Dengan demikian, jalan yang akan mengantarkan pada tujuan yang dicita-citakan tersebut adalah dakwah menuju Allah dengan berdasarkan fikrah yang menjelaskan pemikiran, hukum, sistem peraturan, perundang-undangan dan keyakinan yang dikandungnya. Hal itu dilakukan berdasarkan jalan yang dapat diketahui langkah demi langkah yang ditapakinya dan diketahui pula tata cara menerapkan fikrah dan hukum-hukumnya itu serta berdasarkan pada fakta yang hendak diubahnya yaitu menguasai ilmu yang berkaitan dengan fakta tersebut seperti akidah, pemikiran sistem peraturan serta adat kebiasaan dan tradisinya. Dengan demikian, akan diketahui bagaimana mencerabut akidah, pemikiran dan hukum yang batil dari jiwa-jiwa masyarakat dan bagaimana menanamkan penggantinya yang hak dalam jiwa-jiwa mereka.

No comments: