Monday, May 21, 2007

MASYARAKAT KITA

Sesungguhnya masyarakat tempat kita hidup adalah masyarakat sebagaimana masyarakat lainnya. Unsur-unsur yang membentuknya adalah juga unsur-unsur yang membentuk masyarakat lainnya. Elemen-elemennya adalah juga seperti elemen-elemen dari masyarakat lainnya. Apa yang dapat memperbaiki sebuah masyarakat maka hal itu juga dapat memperbaiki masyarakat kita. Apa yang dapat menegakkan sebuah masyarakat maka hal itu juga akan dapat menegakkan masyarakat kita. Hanya saja, sebagaimana yang telah kami syaratkan yaitu keharusan adanya pengetahuan tentang fakta yang hendak kita hukumi dan kita beri solusi, maka haruslah terdapat pengetahuan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan fakta tersebut dan juga pengetahuan tentang situasi dan kondisi serta apa-apa yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu, kaidah ini harus diterapkan terhadap fakta tersebut yaitu terhadap masyarakat kita yang hendak kita beri solusi. Tidak cukup hanya dengan mengetahui unsur-unsur atau elemen-elemen yang membentuknya dan selesai sampai di situ, melainkan harus pula mengetahui masyarakat kita dengan pengetahuan yang akan menghilangkan segala kesamaran, menghapuskan semua keraguan serta dapat menemukan cahaya yang dapat menyingkapkan semua sisi yang terdapat di dalamnya. Apakah sesuatu yang senantiasa tegak di atas kesatuan pemikiran dan perasaan tersebut? Apakah adat kebiasaan dan tradisi-tradisi tersebut senantiasa ada atau akan hilang? Apakah terdapat adat kebiasaan dan tradisi-tradisi baru yang menggantikannya? Apakah sistem yang diberlakukan terhadap masyarakat tersebut dan sistem yang menjaga kesatuan politiknya itu berasal dari akidahnya atau bertentangan dan bertolak belakang dengan akidah tersebut? Apakah aparat pelaksana di dalamnya diangkat oleh umat untuk menerapkan sistem tersebut? Ataukah aparat itu merupakan kelompok pemberontak yang melakukan kudeta? Apakah mereka berkaitan dengan negara asing (antek)? Ataukah untuk kepentingan dirinya sendiri dan juga kepentingan masyarakatnya? Ataukah segala sesuatunya telah hilang dan membuat masyarakat kita tidak memiliki sifat yang membedakannya dengan masyarakat yang lain? Atau memiliki pemersatu yang menyatukannya? Sehingga pemikirannya tidak sesuai dengan perasaannya; sistemnya tidak selaras dengan akidahnya. Hal ini dilihat dari aspek pengetahuan tentang fakta dari berbagai sisinya. Adapun pengetahuan tentang situasi dan kondisi serta hal-hal yang berkaitan dengan fakta tersebut maka situasi dan kondisi yang berlangsung di masyarakat kita harus disesuaikan dengan faktanya sehingga akan dapat menjelaskannya dan menghilangkan kesamarannya. Dengan demikian, kita dapat mengetahui dan menghilangkan seluruh rintangan yang menghalangi pemberian solusi tersebut atau yang menghalangi kemajuannya.
Sesungguhnya masyarakat kita –saya mengartikan kata ‘masyarakat kita’ yakni masyarakat yang berada di dunia Islam- adalah sebagaimana masyarakat manapun, yang terdiri dari kumpulan manusia yang mempunyai hubungan-hubungan terus-menerus, yang kesatuannya dipimpin dan dijaga oleh sebuah sistem peraturan. Hanya saja, pengamatan terhadap masyarakat itu sendiri menunjukkan bahwa kesatuan pemikiran di dalamnya akan hilang walaupun terdapat kesatuan akidah yang dijadikan sebagai qaidah fikriyah yang merupakan landasan dari seluruh pemahaman-pemahaman dan pemikiran-pemikiran tersebut. Akidah tersebut masih dijadikan sebagai qaidah fikriyah sehingga menjadi asas bagi pemikiran sebagian besar anggota masyarakat, para intelektual dan para pemikir mereka. Akidah tersebut merupakan akidah yang diwariskan oleh masyarakat dan bukan merupakan hasil aktivitas berpikir dan perenugan, bukan pula hasil kesimpulan pemikiran dan pengkajian akal. Di samping itu, mereka telah mematikan akidah tersebut sebagai akidah politik dan hanya menjadikannya sebagai akidah ruhiyah. Akidah tersebut akan tetap dalam asas-asasnya yang jernih dan bersih walaupun terdapat hal-hal yang menutupi beberapa bagiannya dan terdapat penyimpangan pada beberapa individunya, khususnya setelah secara total jauh dari realitas kehidupan -yang saya maksud adalah hubungan-hubungan manusia dan peraturan masyarakat- dan membatasi aktivitasnya hanya pada aspek ruhiyah semata. Dan juga secara total telah menjauh dari lapangan politik. Oleh karena itu, yang tersisa dalam jiwa-jiwa mereka adalah akidah ruhiyah. Akidah tersebut hanya sebagai asas bagi keyakinan mereka yang bersifat keagamaan, asas bagi perkara-perkara yang berkaitan dengan hubungan-hubungan individu-individu dengan Pencipta mereka yaitu berupa ibadah atau hubungan manusia dengan diri mereka sendiri yaitu berupa akhlak, makanan dan pakaian. Oleh karena itu, pengaruhnya pun hanya bersifat indvidual dan tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat dan hubungan di antara mereka. Tidak juga berkaitan dengan peraturan masyarakat dan penanganan urusan-urusan masyarakat kecuali dalam sistem sosial yang berkaitan dengan urusan-urusan pernikahan, talak, waris, nafkah atau apa yang disebut dengan undang-undang hukum perdata. Akidah Islam hanya dijadikan sumber dalam hukum perdata tersebut saja tetapi tidak berfungsi dalam pemikiran masyarakat yang berkaitan dengan urusan-urusan mereka sebagai sebuah masyrakat.
Akibat kosongnya masyarakat dari qaidah fikriyah tersebut –akidah- maka masyarakat tersebut tidak dapat mengemban akidah siyasiyah (politik) yang menjadi landasan pemikirannya dan melahirkan sistem peraturannya. Akibatnya, masyarakat dapat disusupi oleh beberapa pandangan-pandangan filsafat, pemikiran kapitalisme atau sosialisme. Maka, lahirlah sekelompok intelektual yang tercekoki oleh pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan tersebut. Oleh karena itu, dalam masyarakat tersebut tidak terdapat kesatuan pemikiran dan metode berpikir yang produktif. Kondisi masyarakat tersebut juga telah teracuni oleh beberapa pemikiran asing seperti ide kebebasan, demokrasi, sosialisme serta pandangan-pandangan, hukum-hukum dan perundang-undangan yang tidak dapat menyempurnakan akidah masyarakat secara tuntas. Oleh karena itu, kita dapat memastikan bahwa kesatuan pemikiran masyarakat tersebut telah terkoyak-koyak dan hancur.
Adapun kesatuan perasaan yang merupakan asas ketiga dari unsur-unsur yang membentuk masyarakat, maka kami telah jelaskan bahwa perasaan-perasaan tersebut merupakan hasil yang bersifat yang alamiah ketika manusia mengemban sebuah pemikiran dan pemahaman-pemahaman yang telah tertanam dalam jiwa mereka. Mereka akan merasa resah apabila melanggar pemahaman-pemahaman tersebut, merasa senang bila dapat merealisasikannya dan merasa ridha terhadap perkara-perkara yang sesuai dengannya. Itulah fakta perasaaan dalam diri manusia. Akibat hancurnya kesatuan pemikiran dan perbedaan pemahaman maka hancur pula kesatuan perasaan. Akibat perbedaan pemikiran dan pertentangan dalam pemikiran tersebut maka akan terjadi perbedaan perasaan dan pengindraan. Tidak ada lagi sesuatu yang dapat menyatukan perasaan manusia di dalam masyarakat tersebut kecuali perkara-perkara yang masih terkait secara langsung dengan akidah mereka seperti keberadaan mereka sebagai kaum muslimin di beberapa keadaan. Adapun selain hal itu maka tidak akan membangkitkan perasaan mereka. Rasa marah mereka tidak akan berkobar walaupun mereka melihat tindakan yang mengotori kehormatan Allah atau melihat hukum yang tidak berasal dari Allah atau menyaksikan upaya pemurtadan, permisifisme dan sebagainya. Bahkan di beberapa kota, keadaan tersebut sudah sampai pada kondisi di mana perasaan gembira dan perasaan sedih sudah bergabung pada saat yang bersamaan dalam sebuah komplek perumahan. Seorang tetangga tidak lagi peduli pada perasaan tetangga lainnya.
Akibat hancurnya kesatuan pemikiran dan perasaan tersebut maka berakhir pula keberadaan adat kebiasaan umum kecuali pada beberapa bagiannya saja. Hal itu terjadi karena kebiasaan umum tersebut diawali dengan pemikiran yang dipercayai dan diyakini oleh masyarakat serta mengikat sebagian besar anggotanya sebagai pemahaman yang mengatur perilaku mereka. Sehingga apabila pemikiran itu sudah tertanam dalam diri mereka dan membangkitkan perasaan marah dan ridha atas pemikiran tersebut serta merasa tenang dengannya maka pemikiran itu itu akan menjadi adat kebiasaan. Kadang-kadang sumber pemikiran atau dalil yang diambil dari sumber pemikiran tersebut atau kaidah yang dibangun berdasarkan sumber pemikiran tersebut dilupakan. Hanya saja, pengaturan perilaku masyarakat berdasarkan pada pemikiran tersebut akan berubah menjadi undang-undang yang akan mencegah seluruh anggota masyarakat untuk melanggarnya. Mereka akan marah ketika sesorang melanggarnya. Adat kebiasaan tersebut akan mendarah daging dan tertanam dengan kuat sehingga menjadi kebiasaan umum seluruh anggota masyarakat. Misalnya:
Rasulullah SAW bersabda: [“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya.”](catatan kaki: H. R. Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, An-Nasai dan Ibnu Majah dari Abi Syuraih dan dari Abu Hurairah. Telah dishahihkan oleh As-Suyuti dalam kitab Al-Jami’ush Shagir. Teks lengkap hadits tersebut adalah: [“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berbuat baiklah kepada tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah dengan baik atau diam.”]. Sabda Rasulullah SAW tersebut adalah sebuah pemikiran yang bersumber dari wahyu yang pembicaranya dipercayai dan diikuti. Hal itu terjadi karena faktanya telah dipahami dan terdapat pembenaran atas fakta tersebut sehingga menjadi sebuah pemahaman yang akan mengatur perilaku orang-orang yang meyakininya. Ketika hal itu terjadi dalam jangka waktu yang lama maka penghormatan kepada tamu menjadi sebuah kebiasaan yang berjalan di tengah-tengah masyarakat dan mengatur masyarakat tersebut, yakni menjadi adat. Adat kebiasaan tersebut mencakup pula sektor publik dalam masyarakat. Mereka sudah terbiasa dengan perkara tersebut sehingga tertanam dalam diri mereka dan tidak ada seorang pun yang berani melanggarnya. Apabila seseorang berani melanggarnya maka dia akan dihadapkan pada kemurkaan dan kemarahan masyarakat serta kebencian mereka. Mereka akan mensifati orang tersebut dengan berbagai tuduhan yang akan mengurangi kehormatan dan kemuliaannya.
Padahal seandainya kita bertanya kepada sebagian besar anggota masyarakat tersebut mengenai dalil dari kebiasaan itu dan juga fikrah yang dibangun di atas dalil tersebut serta sumber dari fikrah tersebut, niscaya kita tidak akan menemukan jawaban apa-apa kecuali segelintir orang saja yang dapat menunjukkan dalilnya, mengetahui sumbernya dan berargumentasi dengan hadits Rasulullah SAW tersebut. Masyarakat kita pada saat ini tidak dihukumi oleh adat kebiasaan dan tidak dibimbing oleh pemikiran serta tidak mempunyai dorongan perasaan terhadap suatu perkara. Itulah hakekat yang begitu jelas yang harus diketahui sebelum menetapkan sebuah solusi.
Adapun sistem peraturan adalah asas yang keempat dari unsur-unsur yang membentuk masyarakat dan juga merupakan pilar yang mendasar dalam memelihara kesatuannya dan menangani urusan-urusannya. Dengan demikian, sistem peraturan yang terdapat dalam masyarakat kita memiliki peran penting yang sangat vital yaitu untuk menjaga agar umat tidak tercerai berai dan memelihara keberlangsungan bagian-bagian dari masyarakat tersebut. Sistem peraturan itu merupakan simbol dari institusi yang bersifat politik dan dinamis. Dilihat dari pernyataan bahwa sistem peraturan tersebut merupakan pilar penjaga dan pemelihara kesatuan masyarakat maka pernyataan itu tidak terwujud dalam masyarakat kita. Adapun dari aspek hakekat masyarakat kita dan keterkaitannya dengan akidahnya sendiri maka sistem peraturan masyarakat kita adalah sistem peraturan asing yang tidak terkait dengan akidahnya dan tidak pula berasal dari adat kebiasaan, pemahaman-pemahaman dan pemikiran-pemikiran mereka melainkan merupakan sistem kapitalisme yang dipaksakan kepada mereka. Mereka tidak punya pilihan selain mengikuti dan terikat dengan sistem kapitalisme tersebut, mengikatkan kemaslahatan mereka dengan sistem tersebut dan menangani urusan-urusan mereka sesuai dengan sistem tersebut. Sistem peraturan yang diberlakukan di seluruh penjuru dunia -di manapun- akan membatasi keinginan dan perilaku masyarakat sehingga mereka akan terikat dengannya dan dipaksa mengikuti hukum-hukumnya tanpa melihat apakah hukum-hukum itu sesuai atau tidak dengan pemikiran yang ada di tengah-tengah mereka atau dengan akidah yang mereka anut. Oleh karena itu, kami menemukan sebagian besar anggota masyarakat menunjukkan ketidaksukaan terhadap sistem tersebut dan menganggapnya sebagai biang keladi dari semua kerusakan dan bencana. Mereka berkeinginan untuk mengubahnya bahkan memohon kepada Allah SWT agar mengubahnya dan melepaskannya dari pundak mereka walaupun mereka belum memiliki penggantinya bahkan belum memikirkan penggantinya itu dengan serius. Hal itu itu bahkan terjadi pada orang-orang yang menyerukan perubahan itu sendiri. Hal itu terjadi karena mereka –sebagaimana yang telah kami sampaikan- tidak memiliki qaidah fikriyah yang dijadikan sebagai titik tolak mereka serta sebagai sumber pemikiran-pemikiran dan sistem peraturan mereka. Mereka juga tidak memiliki thariqah (metode) pemikiran yang tepat dalam upaya menempuh jalan untuk mengetahui sebab-sebab kerusakan tersebut, membatasi tujuannya dan menetapkan pengganti sistem yang rusak tersebut. Oleh karena itu, kami menemukan banyak -bahkan banyak sekali- gerakan dan kelompok yang berupaya untuk mengubah sistem yang ada akan tetapi sangat disayangkan mereka belum menetapkan program-programnya atau metode-metodenya sebagai pengganti dari sistem tersebut ketika mereka hendak mengubahnya. Di dunia Islam telah berlangsung perlawanan rakyat, kudeta dan revolusi yang bertujuan untuk mengubah sistem yang ada di tengah-tengah masyarakat. Banyak di antara mereka telah menguasai pemerintahan melalui revolusi dan kudeta akan tetapi mereka belum mampu mengubah sistem tersebut karena mereka tidak memiliki penggantinya. Kalaupun terjadi beberapa perubahan hal itu hanya merupakan solusi yang bersifat sementara atau hanya menetapkan sesuatu yang baru yang merupakan tiruan dari masyarakat-masyarakat lain atau hanya menerapkan beberapa simbol yang dianggap modern. Maka kudeta itu pun mengalami kegagalan. Sementara orang yang menjadi kepala negara sudah merasa bangga padahal pada saat itu dia belum memiliki konstitusi negara yang akan mengatur pemerintahannya. Dia merasa bangga bahwa konstitusi yang dia pilih dan dia berlakukan kepada masyarakat adalah campuran dari konstitusi-konstitusi yang berasal dari lima puluh satu negara.
Itulah tiga unsur pokok yang membentuk masyarakat kita yaitu pemikiran, perasaan dan sistem peraturan. Hal itu belum tercapai sehingga masyarakat kita seperti air yang tidak memiliki warna, wangi dan rasa tertentu. Itulah penyakit utama yang telah merusak kesehatannya, melemahkan tubuhnya dan menghancurkan kekuatannya. Semoga hal itu dapat segera berakhir sampai di situ saja karena penyakit sampingan (turunan dari penyakit utama) yang diakibatkan oleh penyakit utama tersebut, juga tidak kalah berbahaya dari penyakit utamanya.
PENYAKIT SAMPINGAN
Betul, semoga hal itu segera berakhir sebatas pada kerusakan dan kehancuran unsur-unsur pokok yang membentuk masyarakat itu saja. Akan tetapi, ternyata masalahnya lebih dari itu, yakni munculnya penyakit sampingan (turunan dari penyakit utama) yang tidak kalah bahayanya dari penyakit utama. Dengan demikian, tidak mungkin melakukan pengobatan terhadap penyakit utama kecuali dengan cara menghilangkan penyakit sampingan itu juga karena penyakit sampingan itu akan menjadi rintangan yang menghalangi jalan menuju pemecahan masalah secara tuntas. Faktor yang menyebabkan parahnya penyakit tersebut ada dua. Faktor pertama adalah sisa-sisa masa kemunduran. Sedangkan faktor kedua adalah hancurnya Daulah Islam dan adanya hegemoni negara-negara Barat terhadap dunia Islam secara keseluruhan serta memerintah dunia Islam secara langsung atau tidak langsung. Akibat yang ditimbulkan oleh kedua faktor tersebut tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada hanya satu aspek kehidupan kita saja, melainkan menimbulkan akibat yang sangat besar bahkan berisifat menyeluruh terhadap unsur-unsur pokok yang membentuk masyarakat kita. Akibat dari kedua faktor tersebut kaum muslimin berdiam diri melihat hancurnya negara mereka, terkoyak-koyaknya masyarakat mereka dan tercerai berainya kesatuan mereka. Akibat kedua faktor itu pula kaum muslimin telah kehilangan metode mereka yang tepat dalam melakukan aktivitas berpikir. Akibat kedua faktor itu pula, menyusuplah pemikiran-pemikiran yang rusak ke tengah-tengah masyarakat dan timbullah perasaan patriotisme, kesukuan dan kebangsaan. Kedua faktor itu telah memungkinkan orang-orang barat dapat menghancurkan Daulah Islam dan menjauhkan Islam dari realitas kehidupan. Kedua faktor itu pula yang menyebabkan Barat sebagai kiblat dan pusat rujukan kaum intelektual. Mereka tersilaukan oleh tsaqafah Barat. Mereka mengadopsi akidah orang-orang Barat atau hampir-hampir menjadi penganut akidah Barat tersebut kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah. Kedua faktor itu pula yang telah membuat dunia Islam tunduk terhadap sistem peraturan yang kufur dan tunduk kepada para antek Barat. Para antek Barat itu diangkat untuk mengawasi masyarakat, menjalankan perintah-perintah dari tuannya, mengurusi kemaslahatan tuannya dan mewujudkan tujuan-tujuan tuannya. Oleh karena itu, harus terdapat pengetahuan tentang penyakit sampingan tersebut dengan pengetahuan yang lengkap dan harus terdapat pula upaya untuk menghilangkannya sehingga kita dapat memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut dengan tepat. Pada saat yang sama, juga harus terdapat pencurahan kemampuan yang sungguh-sungguh untuk mengobati penyakit utamanya.
Faktor yang pertama: sisa-sisa masa kemunduran, yaitu pengaruh masa kemunduran terhadap pemikiran yang menjadi landasan tegaknya masyarakat.
Masyarakat Islam telah sampai pada batas paling bawah dari kemerosotannya sehingga anak-anak bangsa mereka meminta bantuan kepada orang-orang kafir untuk menghancurkan negara mereka dan mengoyak-ngoyak masyarakat mereka Perang Dunia Pertama. Kemerosotan yang sangat drastis itu dimulai setelah Perang Mogul. Sejumlah gerakan tidak mampu melakukan perubahan yang besar untuk membangkitkannya atau paling tidak menghentikan keterpurukannya. Hal itu terjadi karena gerakan-gerakan tersebut belum memahami makna kebangkitan dan belum mengetahui tentang pengaruh pemikiran terhadap kehidupan masyarakat. Bahkan masalahnya semakin rumit ketika kekuatan bangsa Arab dipisahkan dari kekuatan Islam dan ditutupnya pintu ijtihad. Maka, akal-akal mereka menjadi beku dan semakin jauh dari pemikiran produktif yang dibangun berdasarkan kaidah yang sudah mapan. Secara keseluruhan umat dikuasai oleh mentalitas taklid dan ikut-ikutan.
Pandangan masyarakat tersilaukan oleh cahaya revolusi insdustri di Eropa tetapi negara dan para penguasanya tidak memberikan perhatian pada aspek pemikiran atau tsaqafah dalam kehidupan masyarakat. Mereka menduga bahwa kemajuan di bidang militer lah yang merupakan sebuah kebangkitan dan kunci kemajuan. Oleh karena itu, mereka mencurahkan seluruh perhatiannya pada aspek militer. Futuhat terhadap Eropa Tengah pun dihentikan sehingga justru dirinya sendiri yang menjadi target anak panah dan menjadi korban berikutnya. Sementara itu, dia sendiri tidak menyadarinya, bahkan dalam kekuatan militer negaranya sendiri terdapat penyakit internal yang akan membunuhnya. Sebuah gambaran global mengenai sejauh mana kemerosotan pemikiran dan mentalitas taklidnya, kami ambil contoh yaitu para khatib di mesjid-mesjid yang notabene adalah orang-orang yang berkedudukan sebagai tokoh intelektual di tengah-tengah umat. Para khatib di mesjid-mesjid, pada saat ibadah shalat jumat yang dianggap sebagai pendidikan politik dalam rangka pembentukan opini umum, membacakan khutbah-khutbah yang diambil dari kitab Ibnu Nabatah yang berisi khutbah-khutbah yang berkaitan dengan sejumlah perkara-perkara sunah dan sesuai dengan moment yang ada. Di dalam kitab tersebut terdapat khutbah-khutbah tentang bulan ramadhan dan keutamaan-keutamaan shaum. Di dalamnya juga terdapat khutbah jumat al-yatimah (yang sangat berharga) di akhir bulan ramadhan, khutbah lailatul qadar, khutbah-khutbah bulan haji dan arafah serta keutamaan-keutamaannya, khutbah tentang Asy-syura, hijrah, maulid Nabi, nishfu syaban dan sebagainya yang berkaitan dengan perkara-perkara sunah. Apabila para pemikir dan para tokoh di tengah-tengah umat keadaanya seperti itu, lalu seperti apa keadaan umat yang mereka tuntun menuju arah tersebut? Apabila engkau bertanya kepada mereka tentang sesuatu yang mereka telah katakan maka dia tidak akan meninggalkan perkataan orang-orang terdahulu yang telah mengatakannya.
Adapun pengaruh dari masa kemunduran terhadap perasaan, hal itu dapat dilihat dari paparan sebagai berikut. Akibat hilangnya pemikiran dinamis yang merupakan solusi bagi permasalahan mereka dan lahir dari akidah mereka, maka pada banyak keadaan, dalam diri umat terdapat perasaan yang berbeda-beda, saling bertentangan dan saling bertolak belakang dengan akidahnya. Misalnya mensucikan kuburan para wali, orang-orang saleh dan para imam serta mensifati mereka dengan sifat-sifat yang melebihi kedudukan para nabi dan rasul sampai-sampai mengatakan bahwa nabi tidak mencapai kedudukan mereka dari aspek kesungguhannya karena seorang nabi adalah utusan Allah. Tidak ada kelebihan dalam dirinya karena dia memperoleh wahyu dari-Nya. Sementara mereka (para wali) mencapai kedudukan mereka melalui upaya mereka yang sungguh-sungguh serta melalui usaha mereka untuk melatih diri, mendekatkan diri dan beramal. Mereka menyatakan (Berapa banyak orang yang penampilannya tidak rapi dan berdebu tetapi apabila dia berjanji kepada Allah niscaya dia tepati) (Wahai hamba-Ku, sembahlah Aku maka engkau akan seperti Aku. Apabila engkau menginginkan sesuatu katakan,”Jadilah!” maka jadilah sesuatu itu) dan pernyataan-pernyataan lainnya yang mendorong orang-orang untuk bertawasul kepada para imam atau para wali atau para siswa dan murid mereka. Tersebar pula beberapa perasaan sufi yang terpengaruh oleh filsafat India yang menyeru pada perilaku menjauhi dunia dan menyiksa diri agar ruh mereka memperoleh kedudukan yang tinggi di langit. Pada masa itu muncul sekelompok syekh dan darwis (pertapa) yang menyatakan bahwa siapa saja yang tidak mempunyai seorang syekh (guru) maka syekh orang itu adalah syetan. Dan banyak lagi perasaan yang seperti itu sehingga perasaan masyarakat campur aduk. Mereka kehilangan perasaan mereka terhadap kemuliaan Islam, perasaan untuk hidup dengan kemuliaan Islam itu, hidup demi Islam serta demi ketinggian dan kekuasaan Islam atau paling tidak mereka telah kehilangan perasaan wajibnya melakukan perubahan. Di samping itu, tersebar pula perasaan al-qodariyatul ghaibiyah (fatalisme) yang sangat parah dan menganggap bahwa apa yang terjadi dan menimpa pada mereka adalah takdir mereka. Mereka merasa wajib untuk merasa ridha dengan apa yang telah Allah tetapkan itu. Hal itu sebagaimana tersebarnya pemikiran untuk menunggu Imam mahdi yang akan melakukan perubahan tersebut. Maka, bumi ini harus dipenuhi oleh kefasikan dan kejahatan terlebih dahulu agar kemunculannya semakin cepat. Muncul pula beberapa perasaan patriotisme atau kebangsaan atau madzhabisme atau fanatisme golongan.
Adapun pengaruh masa kemunduran terhadap sistem peraturan atau para penguasa maka penjelasannya adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya sebuah sistem peraturan tidak akan terpengaruh oleh terjadinya perubahan apapun sekalipun berlangsung selama beberapa abad. Walaupun perubahan tersebut dimulai oleh perubahan sebagian kaidah mendasar yang ada pada sistem peraturan tersebut dan walaupun sudah dimasuki oleh pemahaman-pemahaman asing. Karena yang menyebabkan terjadinya kemunduran itu adalah kelemahan yang begitu parah yang menimpa pada benak-benak kaum muslimin dalam memahami Islam akibat diremehkannya bahasa Arab yang merupakan bahasa Islam dan bahasa yang mau tidak mau harus dikuasai ketika hendak memahami Islam. Ditutupnya pintu ijtihad telah mengantarkan pada penetapan hukum perundang-undangan sebagai teks yang kaku, terbatas pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada masa itu saja dan terbatas pada pemecahan yang diberikan sitem peraturan terhadap masalah tersebut saja. ditutupnya pintu ijtihad itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan para pelaksana sistem tersebut (penguasa) merasa behwa mereka memerlukan beberapa peraturan dan perundang-undangan untuk memecahkan permasalahan pada masa itu. Hal itu telah dibantu oleh fatwa yang dikeluarkan oleh para tokoh Islam. Pernyataan (Sesungguhnya apa-apa yang tidak bertentangan dengan Islam maka hal itu adalah berasal dari Islam) merupakan salah satu pernyataan yang telah menyebabkan masuknya sejumlah kaidah dan peraturan yang berasal dari hukum Romawi atau Perancis pada sistem peraturan kaum muslimin dengan alasan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan Islam sehingga hal itu berarti berasal dari Islam juga.
Padahal Islam adalah ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW sebagai wahyu dari Allah SWT. Wahyu tersebut ada yang berupa lafazh sekaligus makna yaitu Al-Quran, ada pula yang berupa makna dan diungkapkan oleh Rasulullah dengan lafazh beliau sendiri atau dengan perbuatan beliau atau dengan diamnya beliau untuk tidak memberikan komentar. Sistem peraturan yang digali dari nash-nash tersebut –Al-Quran maupun Al-Hadits- itulah yang disebut dengan Islam. Islam tidak dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan Islam. Yang menjadi pembahasan adalah sumber dari sesuatu tersebut bukan sesuai atau tidaknya sesuatu tersebut dengan Islam. Maka, kebolehan kepemilikan individu dalam sistem kapitalisme, tidak berarti bahwa hal itu berasal dari Islam dengan alasan karena hal itu tidak bertentangan dengan Islam sebab Islam sendiri membolehkan kepemilikan individu tersebut. Kebebasan kepemilikan dalam sistem kapitalisme adalah hukum kufur dan merupakan produk akal semata. Sedangkan, kebolehan kepemilikan dalam Islam adalah hukum syara yang dalilnya diambil dari nash yang berasal dari wahyu. Dengan demikian, yang menjadi pembahasan adalah sumber dari sesuatu tersebut bukan pada manthuqnya (hal yang tersurat dari sesuatu tersebut, pen.), bukan pula pada madlulnya (hal yang tersirat dari sesuatu tersebut, pen.), bukan pula pada hasil yang dicapainya dan bukan pula dilihat dari bersesuaian atau tidaknya dengan Islam. Itu ditinjau dari aspek pengaruh masa kemunduran tersebut terhadap sistem peraturan. Adapun dilihat dari aspek pengaruh masa kemunduran tersebut terhadap para pelaksana sistem peraturan tersebut, maka hal itu dapat dilihat dengan jelas dalam pengelolaan dan penerapan sistem peraturan tersebut oleh mereka. Mereka adalah penyakit dan cacat yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Keadaan mereka tidak lebih baik dari kebanyakan anggota masyarakat lainnya jika dilihat dari aspek pemahaman, kesadaran dan rasa tanggung jawabnya bahkan termasuk orang-orang yang dianggap bertakwa dan dapat dipercaya dari kalangan mereka sekalipun. Mereka memfokuskan perhatian pada bidang militer dan kekuatan yang bersifat fisik. Itu adalah keadaan terbaik dalam pandangan mereka tetapi mereka tidak mengetahui apa yang wajib ada dibalik semua kekuatan militer tersebut yaitu kebangkitan pemikiran dan kesadaran terhadap fakta sehingga seluruh umat bersedia berada di belakang kekuatan militer tersebut. Akibat keadaan para pelaksana sistem yang seperti itu maka negara dan sistem peraturannya pun menjadi termarjinalkan dari tengah-tengah masyarakat. Hal itu menjadikan sistem peraturan, para pelaksana sistem tersebut dan para aparat mereka dalam pandangan umat sebagai suatu hal sedangkan umat sendiri adalah hal yang lain lagi. Maka semakin bertambahlah jurang pemisah antara keduanya sehingga berubah menjadi permusuhan dan kebencian. Para penguasa beserta aparat mereka pun membalas pandangan tersebut sehingga hakekat yang sebenarnya terlupakan. Masing-masing dari kedua pihak itu bertindak sesuai dengan pandangan masing-masing. Para penguasa dan aparat mereka ingin memaksakan kekuasaan dan kekuatan mereka serta hendak memberlakukan perintah-printah mereka dengan kekuatan senjata serta menggunakan semua sarana untuk menekan dan melakukan teror. Maka mereka bertindak keji dalam pemberlakuan sistem peraturan, baik yang bersifat global maupun yang bersifat parsial. Mereka berbuat lalim kepada umat dengan cara-cara sekehendak mereka. Akibatnya, umat hidup dalam kesewenang-wenangan para penguasanya. Seseorang berkata kepada temannya,”Selamatlah si Saad dan celakalah si Said.” Sesungguhnya fakta yang terjadi pada penguasa tersebut akan memudahkan orang yang berkeinginan untuk menghancurkan institusi negara tersebut. Hal itu juga menjadikan umat mencari bantuan kepada orang-orang di sekitarnya untuk menghancurkan institusi tersebut dengan anggapan bahwa hal itu merupakan jalan keselamatan dan pembebasan. Oleh karena itu, melalui bantuan orang-orang yang telah belajar tsaqafah di London dan Paris dan orang-orang yang telah menjual dirinya kepada syetan dalam rangka mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan atau untuk meraih jabatan atau memperoleh kemaslahatan, Barat mampu menggerakan umat melalui perantaraan mereka serta mampu menghancurkan Khilafah, mengoyak-ngoyak umat dan menduduki negeri-negeri kaum muslimin. Mereka seolah-olah melakukan hal itu untuk membebaskan umat dari kezaliman para penguasa otoriter dan diktator. Barat telah memotong-motong negeri-negeri kaum muslimin untuk mendirikan negara-negara boneka yang lemah. Kemudian mengangkat para antek dan kroninya sebagai penguasa. Mereka menjalankan apa yang dikehendaki oleh Barat dan merealisasikan apa yang diinginkan oleh Barat tersebut.

No comments: