Setiap gerakan atau setiap muslim yang berupaya untuk menegakkan kembali Khilafah harus memiliki gambaran yang jelas perihal sistem pemerintahan khas Islam tersebut. Berikut ini adalah penjelasan ihwal struktur negara Islam yang disarikan dari Nidzam al-Hukm fi al-Islam karya Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah.
Sistem Pemerintahan Islam
Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem pemerintahan yang sangat berbeda dengan sistem pemerintahan lain yang ada di dunia ini. Perbedaan ini terletak dalam hal asas yang menjadi landasannya, pemikiran, konsep, standar, dan hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, hingga dalam perkara undang-undang dasar dan perundang-undangan yang diberlakukan, serta dalam hal peran negara itu sendiri.
Sistem Pemerintahan Islam Bukan Monarki
Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk bentuk monarki dan tidak ada persamaannya dengan sistem tersebut. Sistem monarki mengadopsi pewarisan kekuasaan. Seorang anak mewarisi tahta dari ayahnya, lalu ia sendiri kelak mewariskan tahta itu kepada anaknya pula, begitu seterusnya. Dalam sistem pemerintahan Islam tidak ada pewarisan kekuasaan. Kekuasaan diberikan hanya kepada orang yang dibaiat oleh umat secara ikhlas dan bebas.
Sistem monarki memberi privilese dan hak-hak khusus kepada raja. Seorang raja berkedudukan di atas undang-undang dan berstatus kebal hukum. Dalam sistem monarki, raja adalah simbol negara, baik dalam bentuk monarki yang tanpa kekuasaan seperti di Eropa, maupun monarki yang berkuasa dan malah menjadi sumber hukum, serta mengendalikan negara dan rakyat dengan sesuka hati, seperti yang terjadi di Arab Saudi, Maroko, dan Yordania.
Dalam sistem Islam, khalifah tidak punya privilese ataupun hak-hak khusus tertentu. Hak dan kewajiban lhalifah sama saja dengan rakyat biasa. Khalifah juga bukan sekadar simbol yang memiliki posisi terhormat tanpa memiliki kekuasaan untuk memerintah, ataupun simbol yang berkuasa serta mengendalikan negara dan urusan rakyat dengan seenaknya. Khalifah adalah wakil umat dalam menjalankan kekuasaan. Umat secara ridha dan ikhlas memilihnya, serta membaiatnya agar menerapkan syariat Allah Swt. Artinya, khalifah harus terikat pada hukum Islam dalam semua tindakan, hukum, serta dalam aktivitasnya ketika melayani kepentingan umat. Selain itu, dalam Islam tidak ada pewarisan kekuasaan. Islam bahkan mencela pewarisan kekuasaan dan melarang pemberian kekuasaan secara waris. Seorang khalifah memiliki kekuasaan hanya setelah umat secara ikhlas memberikan baiat kepadanya.
Sistem Pemerintahan Islam Bukan Republik
Sistem pemerintahan Islam juga berbeda dengan sistem republik. Sistem republik berdasarkan pada sistem demokrasi, yang memberikan kedaulatan kepada rakyat. Rakyat berhak mengatur dan membuat hukum. Rakyat juga yang berhak memilih dan memberhentikan penguasa. Rakyat berhak membuat undang-undang dasar dan segala macam produk perundang-undangan. Selain itu, rakyat juga berhak mencabut, mengubah, atau mengganti undang-undang dasar dan perundang-undangan itu.
Sistem pemerintahan Islam berasaskan Akidah Islam dan hukum syara’. Kedaulatan berada di tangan Allah Swt., bukan di tangan rakyat. Rakyat tidak berhak membuat hukum, demikian juga khalifah. Pembuat hukum hanyalah Allah Swt. Khalifah hanya berhak mengadopsi hukum-hukum dari Kitabullah dan Sunnah Rasul untuk dijadikan undang-undang dasar dan perundang-undangan. Umat tidak berhak melengserkan khalifah. Adapun yang berhak melengserkan khalifah hanyalah syara’. Namun, memang umat berhak memilih dan mengangkat khalifah. Hal itu karena Islam telah menjadikan kekuasaan berada di tangan umat, sehingga umat berhak memilih seseorang menjadi khalifah dan membaiatnya untuk menjadi wakil mereka dalam melaksanakan kekuasaan itu.
Dalam sistem republik-presidensial, presiden memiliki wewenang selaku kepala negara sekaligus wewenang sebagai perdana menteri. Ia tidak memiliki perdana menteri dalam jajaran kabinetnya. Sebagai gantinya, presiden memiliki sejumlah menteri negara. Di antara penganut sistem ini adalah Amerika Serikat. Dalam sistem republik-parlementer, presiden memiliki seorang perdana menteri. Kekuasaan menjalankan pemerintahan berada di tangan perdana menteri dibantu para menteri kabinet, bukan presiden. Sistem ini dianut Prancis dan Jerman.
Dalam Khilafah tidak ada kementerian ataupun kabinet menteri yang bekerja dengan khalifah sebagaimana terdapat dalam sistem demokrasi yang para menterinya memiliki tugas-tugas khusus dan kekuasaannya masing-masing. Sebagai gantinya, khalifah memiliki pembantu yang fungsinya membantu khalifah menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Khalifah memimpin mereka dalam kapasitas sebagai kepala negara, bukan sebagai perdana menteri ataupun sebagai kepala lembaga eksekutif. Khalifah tidak memiliki dewan menteri atau kabinet yang bekerja bersamanya. Khalifah memiliki seluruh kewenangan kekuasaan. Para pembantu khalifah hanya bertugas membantunya dalam menjalankan kewenangan itu.
Dalam sistem republik--baik yang presidensial maupun yang parlementer, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili rakyat (deputi, perdana menteri, anggota kongres). Rakyat dan wakil rakyat berhak memberhentikan presiden, karena dalam sistem republik kedaulatan berada di tangan rakyat.
Kenyataan ini berbeda dengan sistem Khilafah. Seorang khalifah memang bertanggung jawab kepada umat dan wakil umat. Akan tetapi, umat tidak berhak memberhentikan khalifah, demikian pula wakil umat. Seorang khalifah diberhentikan hanya ketika ia melanggar hukum syara’ dengan pelanggaran yang menurut Mahkamah Madzalim memang membuatnya layak diberhentikan. Mahkamah Madzalimlah yang berhak memberhentikan khalifah.
Dalam sistem republik--baik yang presidensial maupun yang parlementer, masa jabatan kepresidenan sudah ditentukan dan tidak boleh dilebihi. Dalam sistem Khilafah, tidak ada istilah masa jabatan. Masa jabatan khalifah ditentukan oleh pelaksanaan hukum syara’. Selama khalifah melaksanakan hukum syara’ secara paripurna, serta melaksanakan hukum-hukum yang datang dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, ia tetap menjabat sebagai khalifah, tak peduli sampai kapan pun ia menjabat. Apabila khalifah meninggalkan hukum syara’, atau menyimpang dari pelaksanaan hukum-hukum Islam, maka ia akan diberhentikan dari jabatannya, meskipun masa jabatannya baru berumur sebulan, atau bahkan sehari. Dalam kondisi seperti itu, ia tetap harus diberhentikan.
Dari penjelasan di atas, kami berkesimpulan bahwa perbedaan antara sistem Khilafah dan sistem republik ibarat bumi dan langit. Demikian pula perbedaan antara khalifah dan presiden. Oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan adanya klaim bahwa sistem Islam adalah sistem republik, karena antara kedua sistem itu terdapat perbedaan yang diametral dalam hal asas yang membangun sistem itu. Belum lagi perbedaan dari segi struktur negara dan aspek kelembagaannya.
Sistem Pemerintahan Islam Bukan Kekaisaran (Imperium)
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran (imperium), bahkan sistem kekaisaran sangat jauh dari ajaran Islam. Wilayah yang diatur dengan sistem Islam tidak sama dengan wilayah yang diatur oleh sistem kekaisaran, walaupun keduanya sama-sama memiliki keberagaman ras dan suku, serta sistem administrasi pemerintahannya dilakukan secara terpusat (sentralisasi). Sistem kekaisaran tidak memperlakukan pelbagai ras yang ada di seluruh wilayah kekaisaran secara adil. Wilayah yang berada di pusat kekaisaran selalu memperoleh keistimewaan dalam urusan pemerintahan, keuangan, dan ekonomi.
Adapun sistem pemerintahan Islam menganggap sama antara rakyat yang tinggal di suatu wilayah dan yang tinggal di wilayah lain, karena mereka sama-sama warga negara. Orang-orang nonmuslim yang berstatus warga negara diberi hak dan kewajiban yang sama dengan yang diterima orang-orang muslim. Mereka menikmati hak-hak istimewa sebagaimana yang dinikmati oleh kaum muslim. Malah, setiap warga negara Khilafah--apa pun keyakinannya--sebenarnya memperoleh hak-hak yang lebih baik ketimbang yang diberikan sistem mana pun, bahkan lebih baik ketimbang muslim yang tinggal di luar wilayah Khilafah dan tidak memiliki status warga negara Khilafah.
Dengan adanya pemerataan tersebut, sangat kentara sistem Islam berbeda dengan sistem kekaisaran. Sistem Islam tidak menganggap wilayah yang berada dalam kekuasaannya sebagai daerah koloni, sebagai lahan eksploitasi, ataupun lahan subur yang hasilnya hanya dinikmati oleh pusat. Sistem Islam mengatur dan memperlakukan seluruh wilayah secara adil merata, karena Islam menganggap seluruh wilayah itu sebagai satu kesatuan wilayah negara Khilafah, tidak peduli berapa pun jauhnya wilayah itu, dan seberagam apa pun ras dan suku yang ada di sana. Setiap jengkal wilayah adalah bagian dari wilayah negara dan warga negara yang tinggal di sana berhak memperoleh hak-hak yang sama dengan yang tinggal di wilayah pusat. Dalam Islam, sistem pemerintahan, kewenangan pejabat pemerintahan, dan perundang-undangannya, berlaku sama di seluruh wilayah.
Sistem Pemerintahan Islam Bukan Federasi
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi. Sistem federasi memberikan otonomi kepada setiap daerah untuk mengatur urusannya masing-masing dan memiliki aturan-aturan otonom dalam pelbagai hal, dan bersatu hanya dalam pemerintahan secara umum. Ini berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yang merupakan sistem kesatuan. Maroko di belahan Barat dianggap sama dengan Khurasan yang terletak di Timur. Provinsi al-Fawwoum dianggap tidak ada bedanya dengan Kairo seandainya menjadi ibukota negara Khilafah.
Negara Khilafah memiliki keuangan dan anggaran yang satu dan sama bagi seluruh wilayah. Anggaran belanja dialokasikan secara adil berdasarkan keperluan rakyatnya, bukan berdasarkan wilayahnya. Misalnya, apabila pajak yang dikumpulkan dari suatu wilayah berjumlah dua kali lebih banyak dibandingkan pengeluarannya, maka wilayah tersebut akan diberi anggaran sesuai dengan kebutuhannya, bukan berdasarkan besarnya pajak yang dihasilkan. Jika di wilayah lain nilai pajaknya lebih kecil daripada nilai pengeluarannya, negara Khilafah tidak akan memperhitungkannya. Wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran sesuai dengan keperluannya, tanpa melihat kecilnya pajak yang dihasilkan.
Demikianlah, sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan, bukan federasi. Sistem pemerintahan Islam berbeda dengan sistem-sistem yang lain dari segi asas dan landasannya, walaupun dalam aspek-aspek tertentu ada yang mirip dengan sistem-sistem lain. Dengan memperhatikan hal-hal di atas, kami berkesimpulan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan yang tersentralisasi. Penguasa tertinggi berada di pusat. Pemerintah pusat memiliki otoritas dan kekuasaan yang mencakup setiap jengkal wilayah negara Khilafah, betapa pun jauhnya wilayah itu. Tidak berlakunya sistem otonomi daerah menjamin tidak adanya separatisme dan disintegrasi Khilafah. Pemegang otoritas tertinggi ialah khalifah, yang berhak mengangkat panglima, para wali, para pejabat, serta penanggung jawab masalah keuangan dan ekonomi. Dia jugalah yang mengangkat para hakim (qadhi) di seluruh wilayah. Dialah yang mengangkat orang-orang yang bertugas mengatur pemerintahan (haakim). Khalifah menangani langsung seluruh urusan pemerintahan di seluruh pelosok negara.
Itulah sistem pemerintahan Islam, sistem Khilafah. Ijma sahabat telah menetapkan perihal kesatuan Khilafah dan kesatuan negara, dan menetapkan ihwal haramnya membaiat lebih dari satu khalifah. Para imam, ulama, dan ahli fikih juga telah bersepakat dalam masalah ini. Jika ada khalifah lain yang dibaiat, padahal saat itu khalifah masih dalam masa jabatannya atau ada khalifah lain yang telah lebih dulu dibaiat, maka khalifah yang kedua harus diperangi sampai ia sendiri memberikan baiat kepada khalifah yang sah atau ia dibunuh, karena baiat secara sah telah menjadi milik orang yang pertama dibaiat.
Wewenang Khalifah
Khalifah adalah negara. Dengan sendirinya ia memiliki semua wewenang yang dimiliki negara. Berikut adalah hal-hal yang menjadi wewenang khalifah beserta penjelasannya.
1. Khalifah adalah pihak yang mengadopsi hukum-hukum syara’ dan menjadikannya hukum negara yang bersifat mengikat. Hukum-hukum yang telah diadopsi kemudian dijadikan perundang-undangan yang harus ditaati dan haram dilanggar.
2. Khalifah bertanggungj awab atas kebijakan politik negara, baik di dalam maupun di luar negeri. Khalifah menjadi panglima militer tertinggi dan memiliki wewenang penuh untuk menyatakan perang, melakukan perjanjian damai, gencatan senjata, dan seluruh perjanjian lain.
3. Khalifah memiliki wewenang untuk menerima dan menolak duta besar asing, serta mengangkat dan memberhentikan duta besar negara Khilafah.
4. Khalifah berhak mengangkat dan memberhentikan para mu’awin dan wali. Mereka bertanggung jawab kepada khalifah dan Majelis Umat.
5. Khalifah berhak mengangkat dan memberhentikan qadhi-qudhat (kepala pengadilan), para pejabat pemerintahan di daerah-daerah, panglima angkatan bersenjata, kepala staf, dan komandan pasukan. Mereka semua bertanggung jawab kepada khalifah, tidak kepada Majelis Umat.
6. Khalifah berhak mengadopsi hukum-hukum syara’. Dengan hukum-hukum itulah, khalifah menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara. Dialah yang menentukan perincian anggaran dan pengeluaran setiap departemen dengan alokasi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing departemen, baik dalam hal pemasukan maupun pengeluaran.
Dalil-dalil tentang wewenang khalifah di atas adalah hakikat Khilafah itu sendiri sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia dengan tujuan menegakkan hukum-hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Sebenarnya, kata negara (Arab: dawlah; Inggris: state) adalah sebuah terminologi yang pengertiannya berbeda-beda antara satu bangsa dan bangsa yang lain. Misalnya, bagi orang-orang Barat, negara berarti tanah/wilayah, penduduk, dan penguasa. Mereka memandang bahwa wilayah itu dibatasi oleh batas-batas teritorial tertentu yang kemudian mereka sebut tanah air. Mereka memandang kedaulatan berada di tangan rakyat. Kekuasaan juga berada di tangan rakyat secara kolektif, tidak individual. Dengan demikian, negara dalam pandangan mereka adalah satu kesatuan yang terdiri atas wilayah yang menjadi tanah air, penduduk atau rakyat yang mendiami wilayah tersebut, dan penguasa sebagai orang yang mengurusi pemerintahan. Oleh karena itu, mereka punya yang namanya kepala negara selaku kepala pemerintahan, rakyat dan wilayah tanah airnya, serta ketua lembaga eksekutif, yaitu perdana menteri.
Dalam Islam tidak ada batas-batas teritorial negara yang bersifat permanen. Risalah Islam wajib diemban ke seluruh dunia, sehingga batas-batas teritorial tersebut akan berubah seiring meluasnya kekuasaan Islam. Sementara itu, yang disebut wilayah tak lebih dari sekadar tempat yang didiami orang secara permanen, yaitu yang menjadi rumah tempat tinggalnya dan kampung halamannya. Islam memandang kedaulatan berada di tangan syara’, bukan rakyat. Karena itu, penguasa menjalankan kekuasaannya berdasarkan kehendak syara’. Demikian pula umat, atau rakyat, dikendalikan oleh syara’. Di samping itu, pemerintahan bersifat individual, tidak kolektif. Rasulullah saw. bersabda,
“Apabila kalian bertiga melakukan perjalanan, maka pilihlah salah satu di antara kalian (sebagai pemimpin)” (HR al-Bazzar dari Ibnu Umar).
“Bila tiga orang dari kalian melakukan perjalanan, maka kalian harus memilih pemimpin di antara kalian” (HR Abu Dawud dari Abi Sa’id al-Khudri).
“Jika ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya” (HR Abi Sa’id al-Khudri).
Oleh karena itu, pengertian negara dalam Islam berbeda dengan pengertiannya menurut sistem lain. Negara dalam pandangan Islam berarti kepemimpinan dan kekuasaan, sedangkan wewenangnya terletak pada penguasa. Juga, karena khalifah adalah orang yang memegang kekuasaan tersebut, maka khalifah adalah negara itu sendiri.
Kala Rasulullah saw. mendirikan negara Islam di Madinah, beliaulah yang menjadi kepala negara dan seluruh otoritas berada di tangan beliau. Seluruh kewenangan menyangkut urusan pemerintahan berada di tangan beliau. Situasi tersebut terus berlanjut hingga beliau wafat. Sepeninggal Nabi saw., ada Khulafaur Rasyidin. Mereka masing-masing memegang semua kekuasaan dan kewenangan yang menyangkut urusan pemerintahan. Ini juga menjadi dalil bahwa khalifah adalah negara.
Di samping itu, tatkala Rasulullah saw, memperingatkan tentang pemberontakan dan ketidaktaatan terhadap amir, beliau mengungkapkannya sebagai pemberontakan terhadap sulthan (kekuasaan). Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa saja yang membenci sesuatu dari amirnya, hendaklah ia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari sulthan (kekuasaan) barang sejengkal, lalu dia mati, maka matinya seperti mati jahiliah” (HR Muslim dari Ibnu Abbas).
Khilafah adalah kepemimpinan bagi seluruh kaum mukmin. Khalifah adalah penguasa, dan dia memiliki seluruh wewenang kekuasaan. Dengan kata lain, khalifah adalah negara dan memiliki seluruh kekuasaan yang dimiliki negara. Inilah dalil umum perihal wewenang khalifah. Adapun mengenai berbagai macam wewenang yang dimiliki khalifah sebagaimana disebutkan di atas, sebenarnya merupakan wewenang-wewenang yang dimiliki negara. Selanjutnya, kita perlu gali lebih dalam perihal perincian wewenang kekuasaan itu.
Dalil untuk nomor satu berupa Ijma sahabat. Undang-undang (Ar: qanun; Ing: law) merupakan istilah yang bermakna seperangkat aturan yang ditetapkan oleh penguasa dan memiliki kekuatan mengikat terhadap rakyat dalam segala bentuk interaksinya. Undang-undang didefinisikan sebagai kumpulan aturan yang dipergunakan oleh penguasa untuk mengikat semua orang agar mereka mengikutinya dalam semua bentuk interaksi yang dilakukan. Misalnya, ketika penguasa telah memerintahkan hukum-hukum tertentu, maka hukum-hukum tersebut menjadi undang-undang yang mengikat semua orang. Kalau penguasa tidak memerintahkannya, berarti tidak menjadi undang-undang dan orang-orang tidak perlu repot-repot terikat pada sesuatu yang tidak diperintahkan. Di lain pihak, kaum muslim wajib melaksanakan semua hukum syara’. Karena itu, mereka wajib mengikuti semua bentuk perintah dan larangan Allah Swt., bukan mengikuti perintah dan larangan penguasa. Dengan demikian, yang mereka lakukan ketika menaati seorang penguasa pada hakikatnya adalah melaksanakan perintah hukum syara’, bukan perintah penguasa.
Walaupun demikian, dalam menafsirkan hukum syara’ tersebut, para sahabat r.a. memang berbeda pendapat sehingga pemahaman mereka terhadap suatu hukum syara’ berbeda juga. Mereka masing-masing melaksanakan hukum syara’ sesuai dengan yang dipahaminya. Namun, pada hakikatnya konsep hukum yang mereka jalankan itu tidak lain adalah hukum Allah Swt., khususnya bagi orang yang bersangkutan.
Di samping itu, ada hukum syara’ yang berkenaan dengan pelayanan urusan umat yang harus dilaksanakan oleh seluruh kaum muslim dengan berdasarkan satu pendapat, dan tidak berdasarkan ijtihadnya masing-masing. Kenyataan tersebut secara riil pernah terjadi. Dalam perkara distribusi harta rampasan perang (ghanimah), Abu Bakar berpendapat untuk membagikannya dengan pembagian secara merata, tanpa memperhatikan senioritas dan kondisi finansial penerimanya. Abu Bakar memandang mereka semuanya memiliki hak yang sama. Umar r.a. sebenarnya tidak setuju harta tersebut dibagi dengan pembagian yang sama antara orang yang telah lama berperang bersama Rasulullah dan orang yang baru ikut berperang, serta dibagi sama rata antara yang kaya dan yang miskin. Akan tetapi, mengingat Abu Bakar r.a. pada saat itu menjabat sebagai khalifah sehingga beliau berwenang untuk mengadopsi hukum syara’ sesuai dengan pendapatnya, yaitu menetapkan pembagian ghanimah secara sama rata. Seluruh kaum muslim patuh mengikuti pendapatnya tersebut, termasuk para qadhi dan wali. Sementara itu, Umar r.a. bersikap diam dan tunduk pada pendapat Abu Bakar r.a. Umar r.a. pun akhirnya melaksanakan pendapat Abu Bakar.
Tiba giliran Umar r.a. menjadi khalifah, beliau mengadopsi pendapatnya sendiri yang berbeda dengan Abu Bakar r.a. dalam masalah pembagian ghanimah tadi. Menurut Umar, ghanimah harus didistribusikan dengan memperhitungkan perbedaan antara yang senior dan yang junior, antara yang kaya dan yang miskin, dan dibagi menurut tingkat kebutuhannya. Keputusan Umar selaku khalifah ini juga diikuti oleh kaum muslim dan dilaksanakan oleh para qadhi dan wali.
Dua peristiwa di atas menjadi Ijma sahabat bahwa seorang imam memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum syara’ tertentu, serta hak untuk memerintahkan pelaksanaannya. Pada saat yang sama, kaum muslim wajib menaati perintah imam itu, meskipun bertentangan dengan ijtihadnya sendiri. Bahkan, mereka harus meninggalkan pendapat dan ijtihad mereka. Itu terjadi manakala hukum-hukum yang diadopsi khalifah tersebut telah menjadi undang-undang. Dengan demikian, yang berhak membuat undang-undang hanyalah khalifah dan tidak ada orang lain yang memiliki hak tersebut.
Dalil untuk nomor dua bersumber dari perbuatan Rasulullah saw. Nabi saw. mengangkat para wali dan qadhi, serta beliau sendiri yang mengoreksi tindakan mereka. Beliau juga yang secara langsung membantu mengusahakan pekerjaan bagi orang yang tidak punya pekerjaan, melayani urusan-urusan umat di dalam negeri, berinteraksi dengan para raja, serta menemui para utusan dan menerima para duta mereka. Beliau juga yang melaksanakan urusan-urusan luar negeri. Selain itu, Nabi saw. secara langsung memimpin pasukan, sehingga kadang-kadang beliau menjadi panglima perang di beberapa medan pertempuran. Ketika mengirim pasukan, beliaulah yang langsung mengirimnya sekaligus mengangkat seseorang menjadi komandannya. Beliau pernah menunjuk Usamah bin Zaid sebagai komandan pasukan yang dikirim ke Syam, dan banyak sahabat yang tidak setuju karena menganggap Usamah terlalu muda untuk mengemban amanah tersebut. Namun, beliau tetap meminta mereka untuk menerima kepemimpinan Usamah. Inilah dalil yang menunjukkan bahwa khalifah adalah panglima tertinggi militer secara langsung, bukan panglima tertinggi yang sekadar simbol.
Di samping itu, Rasulullah saw. pernah mengumumkan perang terhadap Quraisy. Beliau juga mengumumkan perang terhadap Bani Quraidzah, Bani Nadhir, Bani Qainuqa’, Khaibar, dan Romawi. Setiap kali terjadi peperangan, pasti beliaulah yang mengumumkannya. Ini menunjukkan bahwa mengumumkan perang adalah kewenangan khalifah.
Nabi saw. pernah mengadakan sejumlah perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Selain itu, beliau membuat perjanjian dengan Bani Mudlij dan sekutu mereka dari Bani Dhumra, perjanjian dengan Yuhanna Ibnu Ru’ba, temannya Aila, dan perjanjian Hudaibiah. Pada saat itu kaum muslim merasa keberatan terhadap perjanjian-perjanjian tersebut. Akan tetapi, Rasulullah saw. tidak menghiraukan mereka dan menolak pendapat mereka seraya tetap melanjutkan perjanjian tersebut. Ini menjadi dalil bahwa hanya khalifah yang memiliki wewenang untuk membuat perjanjian, baik perjanjian damai maupun perjanjian lain.
Dalil untuk nomor tiga datang dari aktivitas Rasulullah saw. ketika menerima dua utusan Musailamah. Beliau juga yang menemui Abu Rafi’i, seorang utusan dari Quraisy. Beliau mengirim para utusan kepada Raja Heraklius, Kisra, Mukaukis, al-Haris al-Ghisani (Raja Hirah), al-Haris al-Humairi (Raja Yaman), serta Najasyi (Raja Habasyah). Beliau mengutus Utsman bin Affan kepada orang-orang Quraisy sebagai utusan beliau dalam perjanjian Hudaibiah. Semua itu menunjukkan bahwa khalifah berhak menerima, atau menolak utusan dari negara lain, serta mengangkat utusan negara yang akan dikirim ke negara lain.
Dalil untuk nomor empat juga berasal dari aktivitas Rasulullah saw. ketika mengangkat para wali. Nabi saw. mengangkat Mu’adz sebagai wali di Yaman. Beliau juga yang memecat wali, sebagaimana beliau lakukan terhadap al-A’la bin al-Hadhrami, yang ketika itu menjadi wali di Bahrain, karena ada pengaduan tentang dirinya dari penduduk setempat. Ini menunjukkan bahwa wali juga bertanggung jawab kepada penduduk setempat, sebagaimana dia bertanggung jawab kepada khalifah dan Majelis Umat, karena Majelis Umat merupakan perwakilan umat dari seluruh wilayah. Ini dalil yang berkaitan dengan pengangkatan, pemberhentian, dan pertanggungjawaban para wali.
Dalam hal mu’awin, Rasulullah saw. memiliki dua orang mu’awin abadi, yaitu Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. Beliau tidak pernah mengangkat orang lain selain mereka berdua sepanjang hayatnya. Selain itu, beliau tidak pernah memberhentikan salah seorang dari mereka. Meskipun begitu, karena mu’awin memperoleh kekuasaan dari khalifah dan ia bertindak dalam kapasitas mewakilinya, maka khalifah sebenarnya berhak memberhentikannya. Kasusnya sama seperti seseorang yang mewakilkan suatu urusan kepada orang lain, tentu berhak sewaktu-waktu memberhentikan wakilnya tersebut.
Dalil untuk nomor lima datang dari perbuatan Rasulullah saw. yang mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai qadhi di Yaman. Di samping itu, Imam Ahmad meriwayatkan dari Amr bin ‘Ash yang berkata, “Ada dua orang yang bersengketa datang kepada Rasulullah, lalu beliau berkata kepadaku, ‘Putuskanlah sengketa di antara mereka berdua, wahai Amr.’ Aku jawab, ‘Engkau yang lebih utama untuk melakukan itu, wahai Rasulullah.’ Beliau lalu bilang, ‘Lakukan saja.’ Aku pun bertanya, ‘Jika aku yang memutuskan sengketa mereka, lalu apa yang akan aku dapatkan?’ Rasulullah bersabda, ‘Kalau engkau benar dalam memutuskan sengketa mereka, maka engkau akan mendapatkan sepuluh kebaikan. Kalau engkau salah maka engkau hanya mendapat satu kebaikan saja.”
Khalifah Umar r.a. pernah mengangkat dan memberhentikan seorang qadhi. Beliau pernah mengangkat Syuraih menjadi qadhi di Kufah dan Abu Musa menjadi qadhi di Basrah. Beliau pernah memberhentikan Syurahbil bin Hasanah sebagai wali di Syam, lalu menunjuk Mu’awiyah sebagai penggantinya. Syurahbil sempat bertanya kepada Umar, “Apakah karena aku penakut yang membuatmu memberhentikan aku ataukah karena aku berkhianat?” “Bukan, bukan karena itu. Namun, karena aku menginginkan orang yang lebih kuat,” jawab Umar r.a.
Ali karamallahu wajhah pernah mengangkat Abu al-Aswad, kemudian memberhentikannya. Abu al-Aswad bertanya, “Mengapa engkau memberhentikan aku? Padahal, aku tidak berkhianat, juga tidak melakukan kesalahan apa pun.” Ali menjawab, “Aku perhatikan suaramu terlampau keras terhadap orang-orang yang bersengketa.”
Baik Umar r.a. maupun Ali karamallahu wajhah melakukan hal tersebut di hadapan para sahabat dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menentang atau mengingkarinya. Semua ini menjadi dalil berupa Ijma sahabat, bahwa khalifah berhak untuk mengangkat qadhi. Begitu pula khalifah berhak mewakilkan kepada orang lain untuk menunjuk qadhi tersebut, seperti halnya dalam wakalah. Khalifah berhak mewakilkan semua yang menjadi wewenangnya kepada orang lain, sebagaimana ia berhak mewakilkan tindakan-tindakan apa saja yang menjadi wewenangnya.
Dalam masalah departemen negara, Rasulullah saw. pernah mengangkat sejumlah orang untuk menangani beberapa urusan administrasi negara. Dalam konteks kekinian, mereka setara dengan direktur jenderal (Dirjen) suatu departemen. Beliau mengangkat al-Mu’aiqib bin Abi Fatimah ad-Dausi untuk mengurusi cincin beliau yang menjadi stempel negara sekaligus menjadi pencatat ghanimah. Beliau mengangkat Hudzaifah bin al-Yaman untuk menangani hasil panen penduduk Hijaz. Beliau juga mengangkat Zubair bin Awwam untuk menangani masalah zakat. Lalu, Mughirah bin Syu’bah diangkat untuk menangani masalah muamalah.
Berkenaan dengan panglima perang dan komandan pasukan, Rasulullah saw. pernah mengangkat Hafidz bin Abdul Muthalib sebagai komandan pasukan yang terdiri atas tiga puluh orang untuk menghadang orang-orang Quraisy di tepi pantai. Beliau juga mengangkat Muhammad bin Ubaidah bin Harits untuk memimpin enam puluh orang lalu mengutusnya ke suatu perkampungan yang bernama Rabigh untuk menemui orang-orang Quraisy. Beliau mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash untuk memimpin dua puluh orang untuk dikirim ke Makkah. Begitulah, beliau senantiasa mengangkat para panglima dan komandan pasukan. Ini menjadi dalil bahwa khalifah berhak mengangkat para panglima perang dan komandan pasukan.
Mereka semua, qadhi, dirjen, panglima perang, komandan pasukan, dan pejabat negara yang lain, bertanggung jawab kepada Rasulullah saw., tidak kepada Majelis Umat atau yang lain. Hanya mu’awin, wali, dan amil yang bertanggung jawab kepada Majelis Umat, karena status mereka sebagai penguasa yang mendapat mandat dari khalifah. Selain yang tiga ini, semuanya bertanggung jawab kepada Khalifah.
Mengenai dalil nomor enam, anggaran pendapatan dan belanja negara ditentukan berdasarkan hukum syara’. Dengan demikian, tidak ada sepeser pun harta yang diperoleh kecuali sesuai dengan ketentuan hukum syara’, dan tidak ada sepeser pun harta yang dibelanjakan kecuali sesuai dengan hukum syara’. Namun, penentuan perincian pengeluaran tersebut diserahkan kepada pendapat khalifah berdasarkan ijtihadnya. Begitu pula dengan perincian pendapatan. Misalnya, khalifah menetapkan bahwa kharaj yang diambil dari tanah kharajiyah tersebut besarnya sekian, lalu nominal jizyah yang diambil dari ahli dzimmah harus sekian. Khalifahlah yang berhak memutuskan anggaran yang akan dikeluarkan untuk suatu proyek, misalnya proyek pembangunan jalan, rumah sakit, dan sebagainya. Semua masalah tersebut dikembalikan kepada pendapat dan ijtihad khalifah. Jadi, khalifahlah yang menetapkannya berdasarkan pendapat dan ijtihadnya.
Hal itu disebabkan Rasulullah saw. telah menerima pendapatan negara melalui para amil, dan beliau juga yang menentukan pembelanjaannya. Bahkan, beliau juga pernah memberikan kewenangan kepada para wali untuk menerima pendapatan negara dan membelanjakannya. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Mu’adz bin Jabal yang kala itu menjadi wali di Yaman.
Demikian pula yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin. Mereka masing-masing mengambil pendapatan negara serta membelanjakannya sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya dalam kapasitas mereka sebagai khalifah. Masalah tersebut tidak diingkari atau ditentang oleh para sahabat. Jadi, tak seorang pun boleh membelanjakan sepeser harta negara kecuali atas seizin khalifah. Pada waktu mengangkat Mu’awiyah menjadi wali di Syam, Umar r.a. memberikan otoritas kewalian secara umum yang mencakup wewenang untuk mengumpulkan dan membelanjakan dana negara. Semua ini menunjukkan bahwa yang berhak menentukan perincian anggaran belanja negara hanyalah khalifah atau orang yang diamanahinya.
Inilah dalil-dalil terperinci perihal wewenang khalifah. Semuanya terangkum dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari Abdullah bin Umar yang mengatakan bahwa dirinya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pemimpin, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya”. Kata ia menandai adanya batasan atau kekhususan, yaitu setiap masalah yang berkaitan dengan penanganan urusan rakyat adalah tanggung jawab imam atau khalifah. Khalifah berhak untuk mewakilkannya kepada siapa saja yang dia kehendaki, dalam wewenang apa pun yang ia kehendaki, serta kapan saja ia mau. Masalah ini bisa dianalogikan pada perkara wakalah (perwakilan).
Sistem Pemerintahan Islam
Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem pemerintahan yang sangat berbeda dengan sistem pemerintahan lain yang ada di dunia ini. Perbedaan ini terletak dalam hal asas yang menjadi landasannya, pemikiran, konsep, standar, dan hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, hingga dalam perkara undang-undang dasar dan perundang-undangan yang diberlakukan, serta dalam hal peran negara itu sendiri.
Sistem Pemerintahan Islam Bukan Monarki
Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk bentuk monarki dan tidak ada persamaannya dengan sistem tersebut. Sistem monarki mengadopsi pewarisan kekuasaan. Seorang anak mewarisi tahta dari ayahnya, lalu ia sendiri kelak mewariskan tahta itu kepada anaknya pula, begitu seterusnya. Dalam sistem pemerintahan Islam tidak ada pewarisan kekuasaan. Kekuasaan diberikan hanya kepada orang yang dibaiat oleh umat secara ikhlas dan bebas.
Sistem monarki memberi privilese dan hak-hak khusus kepada raja. Seorang raja berkedudukan di atas undang-undang dan berstatus kebal hukum. Dalam sistem monarki, raja adalah simbol negara, baik dalam bentuk monarki yang tanpa kekuasaan seperti di Eropa, maupun monarki yang berkuasa dan malah menjadi sumber hukum, serta mengendalikan negara dan rakyat dengan sesuka hati, seperti yang terjadi di Arab Saudi, Maroko, dan Yordania.
Dalam sistem Islam, khalifah tidak punya privilese ataupun hak-hak khusus tertentu. Hak dan kewajiban lhalifah sama saja dengan rakyat biasa. Khalifah juga bukan sekadar simbol yang memiliki posisi terhormat tanpa memiliki kekuasaan untuk memerintah, ataupun simbol yang berkuasa serta mengendalikan negara dan urusan rakyat dengan seenaknya. Khalifah adalah wakil umat dalam menjalankan kekuasaan. Umat secara ridha dan ikhlas memilihnya, serta membaiatnya agar menerapkan syariat Allah Swt. Artinya, khalifah harus terikat pada hukum Islam dalam semua tindakan, hukum, serta dalam aktivitasnya ketika melayani kepentingan umat. Selain itu, dalam Islam tidak ada pewarisan kekuasaan. Islam bahkan mencela pewarisan kekuasaan dan melarang pemberian kekuasaan secara waris. Seorang khalifah memiliki kekuasaan hanya setelah umat secara ikhlas memberikan baiat kepadanya.
Sistem Pemerintahan Islam Bukan Republik
Sistem pemerintahan Islam juga berbeda dengan sistem republik. Sistem republik berdasarkan pada sistem demokrasi, yang memberikan kedaulatan kepada rakyat. Rakyat berhak mengatur dan membuat hukum. Rakyat juga yang berhak memilih dan memberhentikan penguasa. Rakyat berhak membuat undang-undang dasar dan segala macam produk perundang-undangan. Selain itu, rakyat juga berhak mencabut, mengubah, atau mengganti undang-undang dasar dan perundang-undangan itu.
Sistem pemerintahan Islam berasaskan Akidah Islam dan hukum syara’. Kedaulatan berada di tangan Allah Swt., bukan di tangan rakyat. Rakyat tidak berhak membuat hukum, demikian juga khalifah. Pembuat hukum hanyalah Allah Swt. Khalifah hanya berhak mengadopsi hukum-hukum dari Kitabullah dan Sunnah Rasul untuk dijadikan undang-undang dasar dan perundang-undangan. Umat tidak berhak melengserkan khalifah. Adapun yang berhak melengserkan khalifah hanyalah syara’. Namun, memang umat berhak memilih dan mengangkat khalifah. Hal itu karena Islam telah menjadikan kekuasaan berada di tangan umat, sehingga umat berhak memilih seseorang menjadi khalifah dan membaiatnya untuk menjadi wakil mereka dalam melaksanakan kekuasaan itu.
Dalam sistem republik-presidensial, presiden memiliki wewenang selaku kepala negara sekaligus wewenang sebagai perdana menteri. Ia tidak memiliki perdana menteri dalam jajaran kabinetnya. Sebagai gantinya, presiden memiliki sejumlah menteri negara. Di antara penganut sistem ini adalah Amerika Serikat. Dalam sistem republik-parlementer, presiden memiliki seorang perdana menteri. Kekuasaan menjalankan pemerintahan berada di tangan perdana menteri dibantu para menteri kabinet, bukan presiden. Sistem ini dianut Prancis dan Jerman.
Dalam Khilafah tidak ada kementerian ataupun kabinet menteri yang bekerja dengan khalifah sebagaimana terdapat dalam sistem demokrasi yang para menterinya memiliki tugas-tugas khusus dan kekuasaannya masing-masing. Sebagai gantinya, khalifah memiliki pembantu yang fungsinya membantu khalifah menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Khalifah memimpin mereka dalam kapasitas sebagai kepala negara, bukan sebagai perdana menteri ataupun sebagai kepala lembaga eksekutif. Khalifah tidak memiliki dewan menteri atau kabinet yang bekerja bersamanya. Khalifah memiliki seluruh kewenangan kekuasaan. Para pembantu khalifah hanya bertugas membantunya dalam menjalankan kewenangan itu.
Dalam sistem republik--baik yang presidensial maupun yang parlementer, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili rakyat (deputi, perdana menteri, anggota kongres). Rakyat dan wakil rakyat berhak memberhentikan presiden, karena dalam sistem republik kedaulatan berada di tangan rakyat.
Kenyataan ini berbeda dengan sistem Khilafah. Seorang khalifah memang bertanggung jawab kepada umat dan wakil umat. Akan tetapi, umat tidak berhak memberhentikan khalifah, demikian pula wakil umat. Seorang khalifah diberhentikan hanya ketika ia melanggar hukum syara’ dengan pelanggaran yang menurut Mahkamah Madzalim memang membuatnya layak diberhentikan. Mahkamah Madzalimlah yang berhak memberhentikan khalifah.
Dalam sistem republik--baik yang presidensial maupun yang parlementer, masa jabatan kepresidenan sudah ditentukan dan tidak boleh dilebihi. Dalam sistem Khilafah, tidak ada istilah masa jabatan. Masa jabatan khalifah ditentukan oleh pelaksanaan hukum syara’. Selama khalifah melaksanakan hukum syara’ secara paripurna, serta melaksanakan hukum-hukum yang datang dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, ia tetap menjabat sebagai khalifah, tak peduli sampai kapan pun ia menjabat. Apabila khalifah meninggalkan hukum syara’, atau menyimpang dari pelaksanaan hukum-hukum Islam, maka ia akan diberhentikan dari jabatannya, meskipun masa jabatannya baru berumur sebulan, atau bahkan sehari. Dalam kondisi seperti itu, ia tetap harus diberhentikan.
Dari penjelasan di atas, kami berkesimpulan bahwa perbedaan antara sistem Khilafah dan sistem republik ibarat bumi dan langit. Demikian pula perbedaan antara khalifah dan presiden. Oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan adanya klaim bahwa sistem Islam adalah sistem republik, karena antara kedua sistem itu terdapat perbedaan yang diametral dalam hal asas yang membangun sistem itu. Belum lagi perbedaan dari segi struktur negara dan aspek kelembagaannya.
Sistem Pemerintahan Islam Bukan Kekaisaran (Imperium)
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran (imperium), bahkan sistem kekaisaran sangat jauh dari ajaran Islam. Wilayah yang diatur dengan sistem Islam tidak sama dengan wilayah yang diatur oleh sistem kekaisaran, walaupun keduanya sama-sama memiliki keberagaman ras dan suku, serta sistem administrasi pemerintahannya dilakukan secara terpusat (sentralisasi). Sistem kekaisaran tidak memperlakukan pelbagai ras yang ada di seluruh wilayah kekaisaran secara adil. Wilayah yang berada di pusat kekaisaran selalu memperoleh keistimewaan dalam urusan pemerintahan, keuangan, dan ekonomi.
Adapun sistem pemerintahan Islam menganggap sama antara rakyat yang tinggal di suatu wilayah dan yang tinggal di wilayah lain, karena mereka sama-sama warga negara. Orang-orang nonmuslim yang berstatus warga negara diberi hak dan kewajiban yang sama dengan yang diterima orang-orang muslim. Mereka menikmati hak-hak istimewa sebagaimana yang dinikmati oleh kaum muslim. Malah, setiap warga negara Khilafah--apa pun keyakinannya--sebenarnya memperoleh hak-hak yang lebih baik ketimbang yang diberikan sistem mana pun, bahkan lebih baik ketimbang muslim yang tinggal di luar wilayah Khilafah dan tidak memiliki status warga negara Khilafah.
Dengan adanya pemerataan tersebut, sangat kentara sistem Islam berbeda dengan sistem kekaisaran. Sistem Islam tidak menganggap wilayah yang berada dalam kekuasaannya sebagai daerah koloni, sebagai lahan eksploitasi, ataupun lahan subur yang hasilnya hanya dinikmati oleh pusat. Sistem Islam mengatur dan memperlakukan seluruh wilayah secara adil merata, karena Islam menganggap seluruh wilayah itu sebagai satu kesatuan wilayah negara Khilafah, tidak peduli berapa pun jauhnya wilayah itu, dan seberagam apa pun ras dan suku yang ada di sana. Setiap jengkal wilayah adalah bagian dari wilayah negara dan warga negara yang tinggal di sana berhak memperoleh hak-hak yang sama dengan yang tinggal di wilayah pusat. Dalam Islam, sistem pemerintahan, kewenangan pejabat pemerintahan, dan perundang-undangannya, berlaku sama di seluruh wilayah.
Sistem Pemerintahan Islam Bukan Federasi
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi. Sistem federasi memberikan otonomi kepada setiap daerah untuk mengatur urusannya masing-masing dan memiliki aturan-aturan otonom dalam pelbagai hal, dan bersatu hanya dalam pemerintahan secara umum. Ini berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yang merupakan sistem kesatuan. Maroko di belahan Barat dianggap sama dengan Khurasan yang terletak di Timur. Provinsi al-Fawwoum dianggap tidak ada bedanya dengan Kairo seandainya menjadi ibukota negara Khilafah.
Negara Khilafah memiliki keuangan dan anggaran yang satu dan sama bagi seluruh wilayah. Anggaran belanja dialokasikan secara adil berdasarkan keperluan rakyatnya, bukan berdasarkan wilayahnya. Misalnya, apabila pajak yang dikumpulkan dari suatu wilayah berjumlah dua kali lebih banyak dibandingkan pengeluarannya, maka wilayah tersebut akan diberi anggaran sesuai dengan kebutuhannya, bukan berdasarkan besarnya pajak yang dihasilkan. Jika di wilayah lain nilai pajaknya lebih kecil daripada nilai pengeluarannya, negara Khilafah tidak akan memperhitungkannya. Wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran sesuai dengan keperluannya, tanpa melihat kecilnya pajak yang dihasilkan.
Demikianlah, sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan, bukan federasi. Sistem pemerintahan Islam berbeda dengan sistem-sistem yang lain dari segi asas dan landasannya, walaupun dalam aspek-aspek tertentu ada yang mirip dengan sistem-sistem lain. Dengan memperhatikan hal-hal di atas, kami berkesimpulan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan yang tersentralisasi. Penguasa tertinggi berada di pusat. Pemerintah pusat memiliki otoritas dan kekuasaan yang mencakup setiap jengkal wilayah negara Khilafah, betapa pun jauhnya wilayah itu. Tidak berlakunya sistem otonomi daerah menjamin tidak adanya separatisme dan disintegrasi Khilafah. Pemegang otoritas tertinggi ialah khalifah, yang berhak mengangkat panglima, para wali, para pejabat, serta penanggung jawab masalah keuangan dan ekonomi. Dia jugalah yang mengangkat para hakim (qadhi) di seluruh wilayah. Dialah yang mengangkat orang-orang yang bertugas mengatur pemerintahan (haakim). Khalifah menangani langsung seluruh urusan pemerintahan di seluruh pelosok negara.
Itulah sistem pemerintahan Islam, sistem Khilafah. Ijma sahabat telah menetapkan perihal kesatuan Khilafah dan kesatuan negara, dan menetapkan ihwal haramnya membaiat lebih dari satu khalifah. Para imam, ulama, dan ahli fikih juga telah bersepakat dalam masalah ini. Jika ada khalifah lain yang dibaiat, padahal saat itu khalifah masih dalam masa jabatannya atau ada khalifah lain yang telah lebih dulu dibaiat, maka khalifah yang kedua harus diperangi sampai ia sendiri memberikan baiat kepada khalifah yang sah atau ia dibunuh, karena baiat secara sah telah menjadi milik orang yang pertama dibaiat.
Wewenang Khalifah
Khalifah adalah negara. Dengan sendirinya ia memiliki semua wewenang yang dimiliki negara. Berikut adalah hal-hal yang menjadi wewenang khalifah beserta penjelasannya.
1. Khalifah adalah pihak yang mengadopsi hukum-hukum syara’ dan menjadikannya hukum negara yang bersifat mengikat. Hukum-hukum yang telah diadopsi kemudian dijadikan perundang-undangan yang harus ditaati dan haram dilanggar.
2. Khalifah bertanggungj awab atas kebijakan politik negara, baik di dalam maupun di luar negeri. Khalifah menjadi panglima militer tertinggi dan memiliki wewenang penuh untuk menyatakan perang, melakukan perjanjian damai, gencatan senjata, dan seluruh perjanjian lain.
3. Khalifah memiliki wewenang untuk menerima dan menolak duta besar asing, serta mengangkat dan memberhentikan duta besar negara Khilafah.
4. Khalifah berhak mengangkat dan memberhentikan para mu’awin dan wali. Mereka bertanggung jawab kepada khalifah dan Majelis Umat.
5. Khalifah berhak mengangkat dan memberhentikan qadhi-qudhat (kepala pengadilan), para pejabat pemerintahan di daerah-daerah, panglima angkatan bersenjata, kepala staf, dan komandan pasukan. Mereka semua bertanggung jawab kepada khalifah, tidak kepada Majelis Umat.
6. Khalifah berhak mengadopsi hukum-hukum syara’. Dengan hukum-hukum itulah, khalifah menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara. Dialah yang menentukan perincian anggaran dan pengeluaran setiap departemen dengan alokasi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing departemen, baik dalam hal pemasukan maupun pengeluaran.
Dalil-dalil tentang wewenang khalifah di atas adalah hakikat Khilafah itu sendiri sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia dengan tujuan menegakkan hukum-hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Sebenarnya, kata negara (Arab: dawlah; Inggris: state) adalah sebuah terminologi yang pengertiannya berbeda-beda antara satu bangsa dan bangsa yang lain. Misalnya, bagi orang-orang Barat, negara berarti tanah/wilayah, penduduk, dan penguasa. Mereka memandang bahwa wilayah itu dibatasi oleh batas-batas teritorial tertentu yang kemudian mereka sebut tanah air. Mereka memandang kedaulatan berada di tangan rakyat. Kekuasaan juga berada di tangan rakyat secara kolektif, tidak individual. Dengan demikian, negara dalam pandangan mereka adalah satu kesatuan yang terdiri atas wilayah yang menjadi tanah air, penduduk atau rakyat yang mendiami wilayah tersebut, dan penguasa sebagai orang yang mengurusi pemerintahan. Oleh karena itu, mereka punya yang namanya kepala negara selaku kepala pemerintahan, rakyat dan wilayah tanah airnya, serta ketua lembaga eksekutif, yaitu perdana menteri.
Dalam Islam tidak ada batas-batas teritorial negara yang bersifat permanen. Risalah Islam wajib diemban ke seluruh dunia, sehingga batas-batas teritorial tersebut akan berubah seiring meluasnya kekuasaan Islam. Sementara itu, yang disebut wilayah tak lebih dari sekadar tempat yang didiami orang secara permanen, yaitu yang menjadi rumah tempat tinggalnya dan kampung halamannya. Islam memandang kedaulatan berada di tangan syara’, bukan rakyat. Karena itu, penguasa menjalankan kekuasaannya berdasarkan kehendak syara’. Demikian pula umat, atau rakyat, dikendalikan oleh syara’. Di samping itu, pemerintahan bersifat individual, tidak kolektif. Rasulullah saw. bersabda,
“Apabila kalian bertiga melakukan perjalanan, maka pilihlah salah satu di antara kalian (sebagai pemimpin)” (HR al-Bazzar dari Ibnu Umar).
“Bila tiga orang dari kalian melakukan perjalanan, maka kalian harus memilih pemimpin di antara kalian” (HR Abu Dawud dari Abi Sa’id al-Khudri).
“Jika ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya” (HR Abi Sa’id al-Khudri).
Oleh karena itu, pengertian negara dalam Islam berbeda dengan pengertiannya menurut sistem lain. Negara dalam pandangan Islam berarti kepemimpinan dan kekuasaan, sedangkan wewenangnya terletak pada penguasa. Juga, karena khalifah adalah orang yang memegang kekuasaan tersebut, maka khalifah adalah negara itu sendiri.
Kala Rasulullah saw. mendirikan negara Islam di Madinah, beliaulah yang menjadi kepala negara dan seluruh otoritas berada di tangan beliau. Seluruh kewenangan menyangkut urusan pemerintahan berada di tangan beliau. Situasi tersebut terus berlanjut hingga beliau wafat. Sepeninggal Nabi saw., ada Khulafaur Rasyidin. Mereka masing-masing memegang semua kekuasaan dan kewenangan yang menyangkut urusan pemerintahan. Ini juga menjadi dalil bahwa khalifah adalah negara.
Di samping itu, tatkala Rasulullah saw, memperingatkan tentang pemberontakan dan ketidaktaatan terhadap amir, beliau mengungkapkannya sebagai pemberontakan terhadap sulthan (kekuasaan). Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa saja yang membenci sesuatu dari amirnya, hendaklah ia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari sulthan (kekuasaan) barang sejengkal, lalu dia mati, maka matinya seperti mati jahiliah” (HR Muslim dari Ibnu Abbas).
Khilafah adalah kepemimpinan bagi seluruh kaum mukmin. Khalifah adalah penguasa, dan dia memiliki seluruh wewenang kekuasaan. Dengan kata lain, khalifah adalah negara dan memiliki seluruh kekuasaan yang dimiliki negara. Inilah dalil umum perihal wewenang khalifah. Adapun mengenai berbagai macam wewenang yang dimiliki khalifah sebagaimana disebutkan di atas, sebenarnya merupakan wewenang-wewenang yang dimiliki negara. Selanjutnya, kita perlu gali lebih dalam perihal perincian wewenang kekuasaan itu.
Dalil untuk nomor satu berupa Ijma sahabat. Undang-undang (Ar: qanun; Ing: law) merupakan istilah yang bermakna seperangkat aturan yang ditetapkan oleh penguasa dan memiliki kekuatan mengikat terhadap rakyat dalam segala bentuk interaksinya. Undang-undang didefinisikan sebagai kumpulan aturan yang dipergunakan oleh penguasa untuk mengikat semua orang agar mereka mengikutinya dalam semua bentuk interaksi yang dilakukan. Misalnya, ketika penguasa telah memerintahkan hukum-hukum tertentu, maka hukum-hukum tersebut menjadi undang-undang yang mengikat semua orang. Kalau penguasa tidak memerintahkannya, berarti tidak menjadi undang-undang dan orang-orang tidak perlu repot-repot terikat pada sesuatu yang tidak diperintahkan. Di lain pihak, kaum muslim wajib melaksanakan semua hukum syara’. Karena itu, mereka wajib mengikuti semua bentuk perintah dan larangan Allah Swt., bukan mengikuti perintah dan larangan penguasa. Dengan demikian, yang mereka lakukan ketika menaati seorang penguasa pada hakikatnya adalah melaksanakan perintah hukum syara’, bukan perintah penguasa.
Walaupun demikian, dalam menafsirkan hukum syara’ tersebut, para sahabat r.a. memang berbeda pendapat sehingga pemahaman mereka terhadap suatu hukum syara’ berbeda juga. Mereka masing-masing melaksanakan hukum syara’ sesuai dengan yang dipahaminya. Namun, pada hakikatnya konsep hukum yang mereka jalankan itu tidak lain adalah hukum Allah Swt., khususnya bagi orang yang bersangkutan.
Di samping itu, ada hukum syara’ yang berkenaan dengan pelayanan urusan umat yang harus dilaksanakan oleh seluruh kaum muslim dengan berdasarkan satu pendapat, dan tidak berdasarkan ijtihadnya masing-masing. Kenyataan tersebut secara riil pernah terjadi. Dalam perkara distribusi harta rampasan perang (ghanimah), Abu Bakar berpendapat untuk membagikannya dengan pembagian secara merata, tanpa memperhatikan senioritas dan kondisi finansial penerimanya. Abu Bakar memandang mereka semuanya memiliki hak yang sama. Umar r.a. sebenarnya tidak setuju harta tersebut dibagi dengan pembagian yang sama antara orang yang telah lama berperang bersama Rasulullah dan orang yang baru ikut berperang, serta dibagi sama rata antara yang kaya dan yang miskin. Akan tetapi, mengingat Abu Bakar r.a. pada saat itu menjabat sebagai khalifah sehingga beliau berwenang untuk mengadopsi hukum syara’ sesuai dengan pendapatnya, yaitu menetapkan pembagian ghanimah secara sama rata. Seluruh kaum muslim patuh mengikuti pendapatnya tersebut, termasuk para qadhi dan wali. Sementara itu, Umar r.a. bersikap diam dan tunduk pada pendapat Abu Bakar r.a. Umar r.a. pun akhirnya melaksanakan pendapat Abu Bakar.
Tiba giliran Umar r.a. menjadi khalifah, beliau mengadopsi pendapatnya sendiri yang berbeda dengan Abu Bakar r.a. dalam masalah pembagian ghanimah tadi. Menurut Umar, ghanimah harus didistribusikan dengan memperhitungkan perbedaan antara yang senior dan yang junior, antara yang kaya dan yang miskin, dan dibagi menurut tingkat kebutuhannya. Keputusan Umar selaku khalifah ini juga diikuti oleh kaum muslim dan dilaksanakan oleh para qadhi dan wali.
Dua peristiwa di atas menjadi Ijma sahabat bahwa seorang imam memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum syara’ tertentu, serta hak untuk memerintahkan pelaksanaannya. Pada saat yang sama, kaum muslim wajib menaati perintah imam itu, meskipun bertentangan dengan ijtihadnya sendiri. Bahkan, mereka harus meninggalkan pendapat dan ijtihad mereka. Itu terjadi manakala hukum-hukum yang diadopsi khalifah tersebut telah menjadi undang-undang. Dengan demikian, yang berhak membuat undang-undang hanyalah khalifah dan tidak ada orang lain yang memiliki hak tersebut.
Dalil untuk nomor dua bersumber dari perbuatan Rasulullah saw. Nabi saw. mengangkat para wali dan qadhi, serta beliau sendiri yang mengoreksi tindakan mereka. Beliau juga yang secara langsung membantu mengusahakan pekerjaan bagi orang yang tidak punya pekerjaan, melayani urusan-urusan umat di dalam negeri, berinteraksi dengan para raja, serta menemui para utusan dan menerima para duta mereka. Beliau juga yang melaksanakan urusan-urusan luar negeri. Selain itu, Nabi saw. secara langsung memimpin pasukan, sehingga kadang-kadang beliau menjadi panglima perang di beberapa medan pertempuran. Ketika mengirim pasukan, beliaulah yang langsung mengirimnya sekaligus mengangkat seseorang menjadi komandannya. Beliau pernah menunjuk Usamah bin Zaid sebagai komandan pasukan yang dikirim ke Syam, dan banyak sahabat yang tidak setuju karena menganggap Usamah terlalu muda untuk mengemban amanah tersebut. Namun, beliau tetap meminta mereka untuk menerima kepemimpinan Usamah. Inilah dalil yang menunjukkan bahwa khalifah adalah panglima tertinggi militer secara langsung, bukan panglima tertinggi yang sekadar simbol.
Di samping itu, Rasulullah saw. pernah mengumumkan perang terhadap Quraisy. Beliau juga mengumumkan perang terhadap Bani Quraidzah, Bani Nadhir, Bani Qainuqa’, Khaibar, dan Romawi. Setiap kali terjadi peperangan, pasti beliaulah yang mengumumkannya. Ini menunjukkan bahwa mengumumkan perang adalah kewenangan khalifah.
Nabi saw. pernah mengadakan sejumlah perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Selain itu, beliau membuat perjanjian dengan Bani Mudlij dan sekutu mereka dari Bani Dhumra, perjanjian dengan Yuhanna Ibnu Ru’ba, temannya Aila, dan perjanjian Hudaibiah. Pada saat itu kaum muslim merasa keberatan terhadap perjanjian-perjanjian tersebut. Akan tetapi, Rasulullah saw. tidak menghiraukan mereka dan menolak pendapat mereka seraya tetap melanjutkan perjanjian tersebut. Ini menjadi dalil bahwa hanya khalifah yang memiliki wewenang untuk membuat perjanjian, baik perjanjian damai maupun perjanjian lain.
Dalil untuk nomor tiga datang dari aktivitas Rasulullah saw. ketika menerima dua utusan Musailamah. Beliau juga yang menemui Abu Rafi’i, seorang utusan dari Quraisy. Beliau mengirim para utusan kepada Raja Heraklius, Kisra, Mukaukis, al-Haris al-Ghisani (Raja Hirah), al-Haris al-Humairi (Raja Yaman), serta Najasyi (Raja Habasyah). Beliau mengutus Utsman bin Affan kepada orang-orang Quraisy sebagai utusan beliau dalam perjanjian Hudaibiah. Semua itu menunjukkan bahwa khalifah berhak menerima, atau menolak utusan dari negara lain, serta mengangkat utusan negara yang akan dikirim ke negara lain.
Dalil untuk nomor empat juga berasal dari aktivitas Rasulullah saw. ketika mengangkat para wali. Nabi saw. mengangkat Mu’adz sebagai wali di Yaman. Beliau juga yang memecat wali, sebagaimana beliau lakukan terhadap al-A’la bin al-Hadhrami, yang ketika itu menjadi wali di Bahrain, karena ada pengaduan tentang dirinya dari penduduk setempat. Ini menunjukkan bahwa wali juga bertanggung jawab kepada penduduk setempat, sebagaimana dia bertanggung jawab kepada khalifah dan Majelis Umat, karena Majelis Umat merupakan perwakilan umat dari seluruh wilayah. Ini dalil yang berkaitan dengan pengangkatan, pemberhentian, dan pertanggungjawaban para wali.
Dalam hal mu’awin, Rasulullah saw. memiliki dua orang mu’awin abadi, yaitu Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. Beliau tidak pernah mengangkat orang lain selain mereka berdua sepanjang hayatnya. Selain itu, beliau tidak pernah memberhentikan salah seorang dari mereka. Meskipun begitu, karena mu’awin memperoleh kekuasaan dari khalifah dan ia bertindak dalam kapasitas mewakilinya, maka khalifah sebenarnya berhak memberhentikannya. Kasusnya sama seperti seseorang yang mewakilkan suatu urusan kepada orang lain, tentu berhak sewaktu-waktu memberhentikan wakilnya tersebut.
Dalil untuk nomor lima datang dari perbuatan Rasulullah saw. yang mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai qadhi di Yaman. Di samping itu, Imam Ahmad meriwayatkan dari Amr bin ‘Ash yang berkata, “Ada dua orang yang bersengketa datang kepada Rasulullah, lalu beliau berkata kepadaku, ‘Putuskanlah sengketa di antara mereka berdua, wahai Amr.’ Aku jawab, ‘Engkau yang lebih utama untuk melakukan itu, wahai Rasulullah.’ Beliau lalu bilang, ‘Lakukan saja.’ Aku pun bertanya, ‘Jika aku yang memutuskan sengketa mereka, lalu apa yang akan aku dapatkan?’ Rasulullah bersabda, ‘Kalau engkau benar dalam memutuskan sengketa mereka, maka engkau akan mendapatkan sepuluh kebaikan. Kalau engkau salah maka engkau hanya mendapat satu kebaikan saja.”
Khalifah Umar r.a. pernah mengangkat dan memberhentikan seorang qadhi. Beliau pernah mengangkat Syuraih menjadi qadhi di Kufah dan Abu Musa menjadi qadhi di Basrah. Beliau pernah memberhentikan Syurahbil bin Hasanah sebagai wali di Syam, lalu menunjuk Mu’awiyah sebagai penggantinya. Syurahbil sempat bertanya kepada Umar, “Apakah karena aku penakut yang membuatmu memberhentikan aku ataukah karena aku berkhianat?” “Bukan, bukan karena itu. Namun, karena aku menginginkan orang yang lebih kuat,” jawab Umar r.a.
Ali karamallahu wajhah pernah mengangkat Abu al-Aswad, kemudian memberhentikannya. Abu al-Aswad bertanya, “Mengapa engkau memberhentikan aku? Padahal, aku tidak berkhianat, juga tidak melakukan kesalahan apa pun.” Ali menjawab, “Aku perhatikan suaramu terlampau keras terhadap orang-orang yang bersengketa.”
Baik Umar r.a. maupun Ali karamallahu wajhah melakukan hal tersebut di hadapan para sahabat dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menentang atau mengingkarinya. Semua ini menjadi dalil berupa Ijma sahabat, bahwa khalifah berhak untuk mengangkat qadhi. Begitu pula khalifah berhak mewakilkan kepada orang lain untuk menunjuk qadhi tersebut, seperti halnya dalam wakalah. Khalifah berhak mewakilkan semua yang menjadi wewenangnya kepada orang lain, sebagaimana ia berhak mewakilkan tindakan-tindakan apa saja yang menjadi wewenangnya.
Dalam masalah departemen negara, Rasulullah saw. pernah mengangkat sejumlah orang untuk menangani beberapa urusan administrasi negara. Dalam konteks kekinian, mereka setara dengan direktur jenderal (Dirjen) suatu departemen. Beliau mengangkat al-Mu’aiqib bin Abi Fatimah ad-Dausi untuk mengurusi cincin beliau yang menjadi stempel negara sekaligus menjadi pencatat ghanimah. Beliau mengangkat Hudzaifah bin al-Yaman untuk menangani hasil panen penduduk Hijaz. Beliau juga mengangkat Zubair bin Awwam untuk menangani masalah zakat. Lalu, Mughirah bin Syu’bah diangkat untuk menangani masalah muamalah.
Berkenaan dengan panglima perang dan komandan pasukan, Rasulullah saw. pernah mengangkat Hafidz bin Abdul Muthalib sebagai komandan pasukan yang terdiri atas tiga puluh orang untuk menghadang orang-orang Quraisy di tepi pantai. Beliau juga mengangkat Muhammad bin Ubaidah bin Harits untuk memimpin enam puluh orang lalu mengutusnya ke suatu perkampungan yang bernama Rabigh untuk menemui orang-orang Quraisy. Beliau mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash untuk memimpin dua puluh orang untuk dikirim ke Makkah. Begitulah, beliau senantiasa mengangkat para panglima dan komandan pasukan. Ini menjadi dalil bahwa khalifah berhak mengangkat para panglima perang dan komandan pasukan.
Mereka semua, qadhi, dirjen, panglima perang, komandan pasukan, dan pejabat negara yang lain, bertanggung jawab kepada Rasulullah saw., tidak kepada Majelis Umat atau yang lain. Hanya mu’awin, wali, dan amil yang bertanggung jawab kepada Majelis Umat, karena status mereka sebagai penguasa yang mendapat mandat dari khalifah. Selain yang tiga ini, semuanya bertanggung jawab kepada Khalifah.
Mengenai dalil nomor enam, anggaran pendapatan dan belanja negara ditentukan berdasarkan hukum syara’. Dengan demikian, tidak ada sepeser pun harta yang diperoleh kecuali sesuai dengan ketentuan hukum syara’, dan tidak ada sepeser pun harta yang dibelanjakan kecuali sesuai dengan hukum syara’. Namun, penentuan perincian pengeluaran tersebut diserahkan kepada pendapat khalifah berdasarkan ijtihadnya. Begitu pula dengan perincian pendapatan. Misalnya, khalifah menetapkan bahwa kharaj yang diambil dari tanah kharajiyah tersebut besarnya sekian, lalu nominal jizyah yang diambil dari ahli dzimmah harus sekian. Khalifahlah yang berhak memutuskan anggaran yang akan dikeluarkan untuk suatu proyek, misalnya proyek pembangunan jalan, rumah sakit, dan sebagainya. Semua masalah tersebut dikembalikan kepada pendapat dan ijtihad khalifah. Jadi, khalifahlah yang menetapkannya berdasarkan pendapat dan ijtihadnya.
Hal itu disebabkan Rasulullah saw. telah menerima pendapatan negara melalui para amil, dan beliau juga yang menentukan pembelanjaannya. Bahkan, beliau juga pernah memberikan kewenangan kepada para wali untuk menerima pendapatan negara dan membelanjakannya. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Mu’adz bin Jabal yang kala itu menjadi wali di Yaman.
Demikian pula yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin. Mereka masing-masing mengambil pendapatan negara serta membelanjakannya sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya dalam kapasitas mereka sebagai khalifah. Masalah tersebut tidak diingkari atau ditentang oleh para sahabat. Jadi, tak seorang pun boleh membelanjakan sepeser harta negara kecuali atas seizin khalifah. Pada waktu mengangkat Mu’awiyah menjadi wali di Syam, Umar r.a. memberikan otoritas kewalian secara umum yang mencakup wewenang untuk mengumpulkan dan membelanjakan dana negara. Semua ini menunjukkan bahwa yang berhak menentukan perincian anggaran belanja negara hanyalah khalifah atau orang yang diamanahinya.
Inilah dalil-dalil terperinci perihal wewenang khalifah. Semuanya terangkum dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari Abdullah bin Umar yang mengatakan bahwa dirinya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pemimpin, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya”. Kata ia menandai adanya batasan atau kekhususan, yaitu setiap masalah yang berkaitan dengan penanganan urusan rakyat adalah tanggung jawab imam atau khalifah. Khalifah berhak untuk mewakilkannya kepada siapa saja yang dia kehendaki, dalam wewenang apa pun yang ia kehendaki, serta kapan saja ia mau. Masalah ini bisa dianalogikan pada perkara wakalah (perwakilan).
No comments:
Post a Comment