Allah SWT telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya kemaslahatan manusia di dunia. Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut, Allah SWT telah mensyari'atkan cara perdagangan tertentu. Sebab, apa saja yang dibutuhkan oleh setiap orang tidak bisa dengan mudah diwujudkan setiap saat, dan karena mendapatkannya dengan menggunakan kekerasan dan penindasan itu merupakan tindakan yang merusak, maka harus ada sistem yang memungkinkan tiap orang untuk mendapatkan apa saja yang dia butuhkan, tanpa harus menggunakan kekerasan dan penindasan. Itulah perdagangan dan hukum-hukum jual beli.
Allah SWT berfirman:
[1]"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian."[1] (Q.S. An Nisa': 29)
Perdagangan itu ada dua macam: perdagangan yang halal, yang dalam bahasa syara' disebut bai' (baca: jual-beli) dan perdagangan yang haram, yang disebut riba. Masing-masing --baik bai' maupun riba-- adalah termasuk dalam katagori perdagangan.
Allah SWT telah menjelaskan tentang ihwal orang-orang kafir, dengan meng-counter mereka, karena membedakan antara bai' dengan riba tersebut dengan mengikuti akal. Allah SWT berfirman:
[1]"Hal itu adalah karena mereka menganggap bai' (jual-beli) itu sama dengan riba."[1] (Q.S. Al Baqarah: 275)
Kemudian Allah SWT memilah antara keduanya dengan perbandingan halal dan haram, dengan firman-Nya:
[1]"Padahal Allah telah menghalalkan bai' (jual-beli) dan mengharamkan riba."[1] (Q.S. Al Baqarah: 275)
Kita tahu bahwa masing-masing, baik jual-beli maupun riba, adalah jenis perdagangan. Dan perdagangan yang halal di antara keduanya menurut syara', yaitu jual-beli, hukumnya adalah mubah. Sedangkan untuk melakukan jual-beli itu harus menggunakan dua lafadz, yang salah satunya menunjukkan ijab sementara yang lain menunjukkan qabul; yaitu aku menjual dan aku membeli, atau yang senada dengan kedua pernyataan ini, baik dari segi ungkapan maupun praktiknya.
Seorang pemilik barang bisa melakukan penjualan sendiri, atau melalui wakil yang menggantikannya, atau delegasi yang ditugasi untuk melakukan penjualan tersebut. Diperbolehkan juga mengontrak seorang ajiir untuk melakukan penjualan, dengan syarat upahnya harus jelas. Apabila pemilik barang tadi mengontrak ajiir dengan upah yang diambilkan dari laba penjualan tersebut, maka ajiir tersebut statusnya adalah syarik mudharib (pesero yang merupakan pengelola), dan terhadap orang yang bersangkutan harus diberlakukan hukum mudharib (pesero) bukan hukum ajiir. Diperbolehkan pula melakukan pembelian harta tertentu sendiri, atau melalui wakilnya, atau utusannya, ataupun mengontrak orang untuk membelikannya.
Walhasil, perdagangan itu hukumnya mubah. Dan perdagangan tersebut merupakan salah satu bentuk pengembangan kepemilikan. Ketentuannya juga sangat jelas dalam hukum-hukum bai' (jual-beli) dan syirkah (perseroan). Perdagangan tersebut juga telah dinyatakan di dalam Al Qur'an dan Al Hadits. Allah SWT berfirman:
[1]"Kecuali jika mu'amalah itu adalah perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya."[1] (Q.S. Al Baqarah: 282)
Rufa'ah meriwayatkan, bahwa dia telah keluar bersama Nabi SAW ke mushalla. Kemudian beliau menyaksikan ada orang saling melakukan jual-beli. Beliau bersabda: [1]"Hai para pedagang."[1] Mereka kemudian mengangkat kepala dan pandangan mereka tertuju kepada beliau, untuk memenuhi panggilan beliau. Beliau bersabda:
[1]"Bahwa para pedagang nanti akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai orang yang durjana, kecuali pedagang yang bertakwa kepada Allah, taat dan jujur."[1] (H.R. Imam At Tirmidzi)
Abu Sa'id meriwayatkan dari Nabi SAW bersabda:
[1]"Pedagang yang jujur lagi terpercaya, kelak akan bersama-sama para nabi dan orang-orang yang jujur, serta para syuhada'."[1] (H.R. Imam At Tirmidzi)
Sedangkan perdagangan itu bisa dipilah lagi menjadi dua, yaitu perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri. Perdagangan dalam negeri adalah traksaksi penjualan dan pembelian yang terjadi di antara individu terhadap barang yang menjadi milik mereka; baik hasil produksi mereka maupun hasil produksi orang lain; baik yang berupa hasil produksi pertanian ataupun industri, namun pertukarannya terjadi di dalam negeri mereka. Perdagangan dalam negeri tersebut tidak ada masalah, dan tidak ada ketentuan-ketentuan yang macam-macam, selain hukum-hukum jual-beli yang telah dinyatakan oleh syara'. Sedangkan barang, jenis barang serta pengiriman barang dalam negeri, dari satu negara ke negara lain, adalah diserahkan kepada masing-masing orang yang akan melakukan perdagangan, sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syara'. Dalam hal ini, negara tidak berhak ikut campur dalam perdagangan dalam negeri, selain hanya berhak untuk memberikan pengarahan saja.
Adapun perdagangan luar negeri adalah pembelian barang dari luar negeri dan penjualan barang dalam negeri ke luar negeri; baik barang tersebut merupakan hasil produksi pertanian ataupun hasil industri. Perdagangan luar negeri inilah yang harus tunduk secara langsung kepada arahan politik negara. Negaralah yang mengendalikan secara langsung arahan untuk memasukkan dan mengeluarkan barang, termasuk terhadap para pedagang kafir harbi (kafir musuh) maupun kafir mu'ahid (kafir yang terikat perjanjian).
Tuesday, May 8, 2007
Jual Beli
Posted by Harist al Jawi at 12:07 PM
Labels: Artikel Ekonomi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment