Tuesday, May 8, 2007

Islam dan Pemerintahan Militer

Pemerintahan (kekuasaan) dalam Islam merupakan pelayanan urusan-urusan rakyat dengan berdasarkan hukum‑hukum syara'. Pemerintahan Islam bukan pemerintahan militer. Oleh karena itu, militer dalam Daulah Islam bukan untuk melayani dan mengendalikan urusan‑urusan rakyat. Artinya, bahwa militer tidak identik dengan kekuasaan, sekalipun adanya militer, pembentukannya, pengaturan, serta penyiapannya hanya bisa diwujudkan dengan adanya kekuasaan. Militer merupakan gambaran kekuatan fisik, yang tercermin dalam angkatan bersenjata, termasuk polisi. Penguasa akan mempergunakannya untuk menerapkan hukum‑hukum syara’ serta untuk menekan tindakan para pelaku kriminal dan orang‑orang fasik. Militer juga bisa dipergunakan untuk memaksa orang‑orang yang keluar dari kekuasaan Daulah Islam serta menyeret para pembangkang. Seorang penguasa akan mempergunakannya sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, serta menjaga konsep dan pemikiran yang menjadi landasan kekuasaan tersebut. Termasuk untuk mengemban konsep dan pemikiran tersebut kepada negara lain (luar negeri).
Tampak jelas, bahwa kekuasaan tidak identik dengan militer, sekalipun kekuasaan tersebut tidak akan mungkin bisa bertahan selain dengan adanya militer. Begitu pula militer tidak identik dengan kekuasaan, sekalipun adanya militer tersebut tidak akan mungkin terwujud, selain dengan adanya kekuasaan.
Oleh karena itu, kekuasaan tidak boleh berubah menjadi militer sebab jika kekuasaan tersebut telah berubah menjadi militer, pelayanan urusan rakyat akan menjadi rusak. Karena konsep‑konsep dan standar‑standarnya telah berubah menjadi konsep‑konsep dan standar-standar otoriter dan kediktatoran. Bukan konsep dan standar melayani urusan rakyat. Begitu pula, pemerintahannya telah berubah menjadi pemerintahan militer yang hanya akan menyiratkan ketakutan kediktatoran, otoriter, dan pertumpahan darah.
Sebagaimana kekuasaan tidak boleh berubah menjadi militer, militer juga tidak boleh berubah menjadi kekuasaan. Jika demikian, rakyat akan diperintah dengan cara‑cara militer dan melayani urusan‑urusan mereka berdasarkan konsep‑konsep hukum militer serta standar‑standar otoriter dan kediktatoran. Di mana masing‑masing akan menyebabkan kehancuran dan keruntuhan serta akan melahirkan kekhawatiran dan ketakutan. Bahkan hal ini bisa mengantarkan umat ke dalam jurang yang amat dalam. Karena itu, ia akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi rakyat.
Hubungan Militer dengan Kekuasaan/Negara
Negara Islam adalah negara yang bersifat ideologis. Negara ini mengemban dan mempropagandakan ideologi (Islam)‑nya keseluruh penjuru dunia, sekaligus mempertahankan dan menjaganya dari serangan musuh‑musuhnya. Untuk itu diperlukan militer yang kuat. Sebab penyebaran risalah Islam ditakukan dengan propaganda (di’ayah atau dakwah) dan jihad fi sabilillah. Namun, yang terpenting adalah karena (keberadaan) militer merupakan tuntutan syariat Islam yang harus dipenuhi kaum Muslim, khususnya negara. Tuntutan tersebut bertolak dari beberapa fakta hukum, antara lain:
1. Adanya ayat‑ayat al‑Quran yang mengharuskan kaum Muslim berjihad fi sabilillah sehingga negara harus membentuk, mengembangkan, dan memiliki militer yang sangat kuat. Dalam konteks ini, militer berfungsi sebagai penggempur halangan‑halangan fisik yang menghambat sampainya Islam kepada umat manusia di wilayah‑wilayah darul kufur. Allah Swt. berfirman:

Perangilah mereka itu hingga tidak ada fitnah (kekufuran) lagi sehingga ketaatan itu semata‑mata hanya untuk Allah. (Q.S. al‑Baqarah [2]: 193).
2. Militer berfungsi pula mengemban dakwah di daerah‑daerah darul kufur. Hal itu terlihat dari diharuskannya kaum Muslim untuk menyampaikan dakwah terlebih dahulu kepada orang‑orang kafir sebelum membuka wilayah‑wilayah mereka. Apa yang dilakukan Rasulullah saw. dengan mengirimkan utusan‑utusan khusus kepada para pemimpin dan para raja di sekitar dan di luar jazirah Arab, membuktikan adanya ajakan lebih dahulu untuk memeluk Islam atau untuk tunduk bergabung dengan negara Islam. Jika tidak, negara mereka tetap digolongkan sebagai darul kufur atau dar al‑harb (negeri yang layak diperangi) untuk membuka hambatan-hambatan fisik yang menghalangi penduduknya dengan risalah Islam. Peristiwa Raji dan Bi’ru Ma’unah juga menunjukkan bahwa para prajurit yang dikirimkan Rasulullah saw. adalah orang-orang yang mampu mengemban dakwah, mengajarkan al‑Quran, dan mendidik masyarakat dengan Islam.
3. Militer juga berfungsi untuk menjaga ketertiban pelaksanaan syariat Islam di dalam negeri. Mereka adalah bagian terpenting yang menopang penegakan hukum berupa terlaksananya peradilan Islam hingga eksekusinya. Mereka juga menjaga masyarakat dari pemberontakan (bughat), kekacauan kriminal (seperti hirabah [pembegalan]), dan sejenisnya. Peristiwa peperangan riddah (perang melawan orang‑orang murtad) di akhir hayat Nabi saw. dan pada awal pemerintahan Abubakar ash‑Shiddiq menunjukkan aktivitas dan peranan militer untuk membasmi gerakan orang‑orang murtad dan nabi‑nabi palsu. Di samping itu, karena syurthah (kepolisian) adalah bagian dari perangkat militer di negara Islam, fungsinya yang paling menonjol adalah sebagai penjaga ketertiban dan penjaga atas dijalankannya syariat Islam oleh masyarakat.
Semua itu, merupakan tuntutan syariat yang wajib dijalankan oleh kaum Muslim, terutama kalangan militer. Jadi, adanya peranan militer yang berkenaan dengan negara dan kekuasaan adalah sesuatu yang pasti karena syariat Islam memang menghendakinya; bukan karena alasan lainnya. Dengan demikian, dikotomi antara militer dan kekuasaan/negara tidak ada kamusnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang Islami.
Hubungan Militer dengan Rakyat
Hukum jihad sama kedudukannya seperti hukum‑hukum umum lainnya; ditujukan bagi seluruh kaum Muslim, baik laki‑laki maupun wanita. Kedudukan mereka (baik militer maupun nonmiliter) di mata hukum Islam juga sama. Tidak ada kekhususan bentuk peradilan seperti yang ada sekarang ini dengan dipisahkannya peradilan militer dengan peradilan sipil. Peradilan Islam adalah satu dan hanya satu bentuk bagi seluruh kaum Muslim. Berdasarkan hal Ini, Islam tidak mengenal pula slogan‑slogan peleburan militer dengan rakyat dan semacamnya karena faktanya masyarakat adalah orang‑orang yang memiliki keterampilan (melalui wajib militer yang diselenggarakan negara) sebagai seorang prajurit yang siap‑sedia diterjunkan di medan perang.
Pada masa Rasulullah saw., mobilisasi umum dilakukan manakala peperangan memanggil kaum Muslim. Pada saat itu, para sahabat Rasulullah turut melibatkan diri dalam pelatihan dan peperangan tersebut. Setelah pertempuran usai, mereka pun kembali beraktivitas sebagaimana masyarakat biasa; ada yang menjadi petani, pedagang, dan lain-lain. Begitulah yang terjadi pada masa‑masa awal pembentukan negara Islam di Madinah. Bahkan, dalam Perang Khandaq (Perang Ahzab), keterlibatan seluruh warga negara sangat jelas; baik laki‑laki maupun perempuan. Jadi, konsep peperangan rakyat semesta sesungguhnya telah dicetuskan pertama kali dalam kehidupan bermasyarakat negara Islam 15 abad yang lalu.
Dengan demikian, militer dan rakyat adalah dua sisi mata uang; satu sama lain mampu melakukan metamorfosis seketika itu juga sesuai dengan kebutuhan jihad fi sabilillah.

Penganiayaaa dan Spionase terhadap Kaum Muslimin Haram
Islam mengharamkan penguasa untuk menganiaya dan menyiksa rakyat. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Hisyam bin Hakim yang mengatakan, “Aku bersumpah, telah mendengarkan Rasulullah Saw. bersabda:
“Allah akan menyiksa orang‑orang yang menyiksa orang di dunia.”
“Dua kelompok penghuni neraka yang tidak akan aku lihat adalah 1) suatu kaum yang membawa cambuk, seperti ekor lembu yang mereka cambukkan kepada orang‑orang.... “ (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Begitu pula, Islam telah mengharamkan tindakan yang bisa menciderai kehormatan, kemulyaan, dan kekayaan kaum muslimin, serta kehormatan istri, keluarga, dan rumah tangga mereka. Nabi Saw. bersabda:
“Setiap muslim haram atas muslim yang lain, berkaitan dengan darah, kekayaan, dan kehormatannya.“ (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Beliau juga pernah bersabda sambil berkeliling mengelilingi ka’bah:
“Alangkah bagusnya dirimu. Alangkah harumnya baumu. Alangkah agungnya dirimu dan kehormatanmu. Demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin lebih agung daripada kehormatan apapun darimu, baik berkaitan dengan harta maupun darahnya. Dan dia tidak boleh diduga selain dengan praduga yang baik.” (H.R. Ibnu Majah dari Abdullah bin Amru)
“Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya merupakan kekufuran.”
(H.R. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud)
Beliau Saw. juga bersabda:
“Siapa saja yang mengintip suatu kaum di rumah mereka, dengan, tanpa izin dari mereka, maka mereka halal untuk membutakan kedua matanya.“
(H.R. Imam Ahmad dari jalur Abu Hurairah)
Islam juga telah mengharamkan melakukan spionase terhadap kaum muslimin, mengawasi, menguntit, bahkan mengorek informasi tentang dirinya. Sebagaimana seorang muslim haram untuk menjadi mata‑mata atas kaum muslimin. Allah Swt. berfirman:
“Wahai orang‑orang yang beriman, jauhilah banyak berprasangka. Sebab, sebagian prasangka adalah dosa. Dan jangan!ah kalian memata‑matai (mengorek informasi).”
(Q.S. al-Hujurat: 12)
Rasulullah saw. bersabda:
“Hati‑hatilah kalian, terhadap prasangka. Sebab, prasangka itu adalah kata‑kata yang paling dusta. Dan janganlah kalian melakukan “tajassus”, “tahassus”, dan janganlah kalian saling mendengki, saling mengorek, dan saling bermusuh‑musuhan. Jadilah hamba‑hamba Allah itu sebagai saudara.” (H.R. Bukhari dan Mus­lim dari Abu Hurairah)
“Wahai orang‑orang yang menyatakan iman dengan mulutnya, yang tidak merasuk ke dalam hatinya, janganlah kalian membicarakan kaun muslimin. Dan janganlah kalian mengorek kejelekan mereka. Sebab, siapa saja yang mengorek aurat kaum muslimin, maka Allah akan mengorek auratnya. Dan siapa saja yang auratnya telah dikorek oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya, sekalipun (aurat) di dalam keluarganya.”
(H.R. Ahmad dari Abi Barzah Al Aslami)
Ayat dan hadits‑hadits di atas, mengharamkan kaum muslimin untuk mengorek informasi dan memata‑matai kaum muslimin sebagaimana ayat dan hadits‑hadits tersebut juga mengharamkan kepada mereka untuk mengorek kejelekan mereka. Bahkan, hadits‑hadits tersebut telah mengancam orang yang mengorek aurat kaum muslimin dengan ancaman, bahwa Allah akan mengorek dan membongkar kejelekannya. Sebagaimana ada hadits‑hadits yang mengharamkan kaum muslimin untuk bekerja pada dinas intelejen yang bertugas memata‑matai kaum muslimin. Al Miswar bin Makhrimah telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi Saw. yang menyatakan:
“Siapa saja yang makan makanan seorang muslim, maka Allah akan memberinya makan dengan makanan serupa di neraka Jahannam. Dan siapa saja yang telah memakai pakaian, seseorang muslim, maka Allah akan memakaikannya dengan pakaian yang serupa di neraka Jahannam.” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)
Sebagaimana haram hukumnya melakukan tajassus (spionase) terhadap kaum muslimin. Maka, haram pula hukumnya tajassus terhadap rakyat yang merupakan ahli dzimmah (orang kafir yang dilindungi daulah Islam), karena dia memiliki ketentuan sebagaimana kaum muslimin. Bahkan Rasulullah Saw. menasihati agar berbuat baik kepada mereka serta melarang menganiaya mereka. Beliau bersabda:
“Siapa saja yang telah menganiaya Mu’ahid (kafir yang terikat perjanjian dengan daulah Islam) atau membebaninya tidak sesuai dengan kemampuannya, maka akulah yang menjadi pelindungnya hingga hari kiamat. “
(H.R. Yahya bin Adam dalam Kitab Al Kharaj)
Umar pernah mengatakan, “Aku mewasiatkan Khalifah sepeninggalku, agar tetap menjaga ahli Dzimmah semasa Rasulullah dengan baik, agar mereka diberi sesuai dengan janji mereka. Mereka harus dilindungi, dan tidak boleh dibebani melebihi kemampuannya.”
(H.R. Yahya bin Adam).
Ayat dan hadits‑hadits di atas, sekalipun secara umum mengharamkan tajassus, tetapi tajassus kepada orang kafir harbi (yang memusuhi kaum muslimin), baik nyata‑nyata memusuhi (fi’lan) atau tidak (hukman) itu merupakan pengecualian dari keumuman ayat dan hadits di atas. Karena adanya hadits‑hadits lain yang men-takhshis keharaman tajassus kepada orang nonkafir harbi. Adapun tajassus kepada orang kafir harbi hukumnya tidak haram, justru wajib. Bahkan, daulah Islam harus melakukannya. Karena Rasulullah saw. pernah mengutus Abdullah bin Jahsy, yang disertai 8 orang Muhajirin ke suatu “kebun kurma” yang terletak antara Makkah dan Madinah, untuk memperoleh informasi tentang orang Quraisy, lalu menyampaikannya kepada beliau.
Dan spionase terhadap musuh merupakan masalah yang harus dilakukan oleh tentara kaum muslimin, begitu pula daulah Islam. Demikian halnya spionase terhadap musuh‑musuh kafir hukumnya wajib dilakukan oleh daulah Islam, begitu pula negara wajib memiliki petugas khusus untuk merintangi tugas‑tugas spionase yang dilakukan pihak musuh daulah Islam.
Dari sini, maka amat jelas bahwa pemerintahan Islam bukan pemerintahan militer. Dan sama sekali tidak diperbolehkan menjadi pemerintahan militer. Sebab, pemerintahan militer sangat berbahayabagi kaum muslimin, serta bertentangan dengan hukum‑hukum syara’, bahkan bertolak belakang dengan kaidah:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”

No comments: