Tuesday, April 17, 2007

METODE YANG BENAR BAGI KEIMANAN YANG BENAR

Bagian 1
Pemaparan
Tidak diragukan lagi bahwa sesuatu yang paling penting dan mempunyai peranan besar dalam membentuk tingkah laku manusia dalam kehidupan ini adalah akidah. Akidah merupakan ideologi yang memberikan inspirasi berupa pemikiran bagi kehidupan manusia dan masyarakat agar maju dan bangkit. Akan tetapi, pemikiran religius seperti apa yang dapat mewujudkan kebangkitan dan kemajuan pada manusia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kami jelaskan bahwa manusia itu selama hidup di muka bumi dan berinteraksi dengan segala yang ada di dalamnya, baik makhluk hidup maupun benda mati. Untuk itu, semestinya ia mempunyai pemikiran yang utuh mengenai seluruh apa yang ada; apakah itu alam semesta yang tergambar dengan keberadaan benda-benda langit dan isinya; manusia sebagai makhluk hidup yang paling sempurna; serta kehidupan yang tampak dalam gerak dan pertumbuhan seluruh makhluk hidup lainnya.
Agar pemikiran utuh ini menjadi lengkap dan sempurna, haruslah dihubungkan dengan realitas yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Dengan demikian, manusia akan mengetahui asal-usul dirinya, serta asal-usul alam semesta dan kehidupan sebagaimana juga dia akan mengetahui tempat kembalinya nanti. Walhasil, dia akan menata kehidupannya berdasarkan pemikiran yang utuh tersebut. Hal ini mengharuskan adanya perubahan dari pemikiran manusia yang sempit menjadi pemikiran yang utuh dan tentu saja harus pemikiran yang benar agar manusia dapat mencapai kemajuan dan kebangkitan. Pemikiran seperti ini akan menjadi pemahaman yang berperan membentuk tingkah laku manusia dalam kehidupannya.
Satu pendapat yang tidak bisa disangkal adalah bahwa pemahaman itu membawa pengaruh pada kehidupan seseorang dan pada saat ia berinteraksi dengan orang lain. Kita akan dapati seseorang yang bertingkah laku terhadap orang lain yang disukai akan berbeda dengan tingkah lakunya terhadap orang lain yang tidak disukai. Begitu pula kita akan lihat tingkah laku seseorang yang berbeda dengan sebelumnya ketika dia berhadapan dengan orang lain yang tidak dikenal sebelumnya karena tidak adanya pemahaman apa pun tentang orang yang tidak dikenalinya itu.
Semua contoh ini menegaskan bahwa perubahan tingkah laku manusia mengikuti perubahan pemahaman yang ada pada dirinya. Jadi, pada saat kita menginginkan perubahan tingkah laku yang rendah menjadi tingkah laku yang tinggi, maka haruslah ada perubahan pemahaman yang menyebabkan kerendahan menjadi pemahaman yang menyebabkan kemajuan. Penegasan ini tidak lagi membutuhkan dalil setelah firman Allah Swt. dalam al-Quran, surat ar-Ra’d (13) ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
Ayat ini menjelaskan bahwa terjadinya perubahan tingkah laku yang buruk pada yang baik ataupun sebaliknya, disebabkan mengikuti perubahan pemahaman, standar hidup, dan aturan-aturan yang ada.
Pertanyaannya sekarang adalah, metode apa yang digunakan untuk mengubah tingkah laku dengan pemikiran dan pemahaman? Apa pemikiran dan pemahaman itu? Perubahan tingkah laku seperti apa yang hendak dicapai ketika pemikiran dan pemahaman itu telah ada pada diri manusia?
Namun yang pasti, selamanya pemikiran itu harus berupa pemikiran yang utuh sebagaimana yang telah ditunjukkan pada paparan di awal, yaitu pemikiran tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan yang dihubungkan dengan realitas yang ada sebelum dan setelah kehidupan dunia. Dalam hal ini, mengharuskan adanya penentuan tentang hakikat kehidupan dunia ini, apakah dia hasil ciptaan (makhluk) atau bukan?, dan apakah dia punya hubungan dengan penciptanya (khalik) atau tidak?
Dari keutuhan pemikiran yang mencakup seluruh aspek kehidupan ini, maka didapatilah pada manusia apa yang dinamakan dengan al-fikrah al-kulliyyah (pemikiran menyeluruh). Pemikiran menyeluruh ini akan menjadi al-qaidah al-fikriyyah (landasan pemikiran) yang akan dibangun di atasnya seluruh pemikiran cabang. Karena itu, lengkaplah sudah pemecahan masalah (solusi) bagi manusia yang muncul dari interaksinya yang terus-menerus dengan segala yang ada di sekitarnya, yaitu tiga unsur utama kehidupan yang terdiri dari manusia itu sendiri , alam semesta, dan kehidupan, berupa pertanyaan tentang asal-usul dan tujuan penciptaan ketiganya.
Setelah manusia mampu menyelesaikan masalah mendasar atau mendapat jawaban dari pertanyaan mendasar tadi (memperoleh solusi fundamental), maka dia pun akan mendapatkan jawaban untuk masalah-masalah cabang yang pasti muncul dari interaksinya dengan ketiga unsur tadi.
Apa hubungan solusi fundamental dengan kebangkitan? Hubungan keduanya amatlah erat. Kebangkitan adalah satu proses yang diawali dengan peningkatan taraf berpikir yang kemudian diikuti oleh peningkatan materi (teknologi, sarana kehidupan, dan lain-lain). Solusi fundamental itulah yang memunculkan asas untuk peningkatan taraf berpikir. Meskipun demikian, yang penting adalah solusi fundamental dan asas tadi harus sama-sama benar (sahih) supaya terjadi kebangkitan yang benar pula.
Benar tidaknya sebuah solusi ditentukan oleh sesuai tidaknya dengan fitrah manusia--yaitu mengakui adanya kekurangan dan kelemahan manusia--dan solusi tadi dapat memuaskan akal, dari sisi manusia menyadari bahwa tidak mungkin ada akibat tanpa ada penyebabnya (dalam hal ini tidak mungkin ada makhluk tanpa ada penciptanya [khalik]). Agar solusi fundamental tadi bersifat benar haruslah berupa pemikiran cemerlang yang menjelaskan hakikat adanya alam semesta, asal-usul kehidupan, maksud diciptakannya, dan menjelaskan tempat kembali dari semua realitas tadi.
Dengan pemikiran seperti itu, akan terbentuk akidah sahih yang menjadi kaidah dalam mengatur semua masalah yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan individu ataupun masyarakat. Selain itu, akidah itu juga digunakan untuk membuat perundang-undangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat.

Diskusi
Tanya : Apa makna dari kebangkitan manusia?
Jawab: Kebangkitan adalah peningkatan taraf berpikir dan tingkah laku dalam kehidupan individu ataupun masyarakat.
Tanya : Apakah kebangkitan itu cukup hanya dengan adanya pemikiran dan pemahaman, tanpa membutuhkan yang lain?
Jawab: Tidak cukup hanya dengan itu, manusia menjalani kehidupannya di muka bumi ini dan berinteraksi dengan segala realitas yang ada, tentunya dia akan mempunyai pemikiran yang utuh tentang segalanya itu. Kemudian, manusia juga akan memikirkan kehidupan dunia yang dijalaninya. Dari situlah, dia akan mendapatkan jawaban untuk semua pertanyaannya.
Tanya : Apa perbedaan antara kehidupan sebagai salah satu dari realitas di dunia ini dengan kehidupan yang dijalani oleh peradaban manusia?
Jawab: Kehidupan yang merupakan salah satu unsur dari alam adalah penampakan segala sesuatu yang hidup, yaitu berupa gerak dan pertumbuhan. Adapun perjalanan kehidupan manusia adalah suatu periode kehidupan manusia mulai dari awal hingga akhir nanti (Kiamat).
Tanya : Mengapa al-Quran al-Karim dalam membicarakan kebangkitan pemikiran, seruannya bersifat umum?
Jawab: Hal ini karena pemberian tuntunan terhadap persoalan tadi tidak lebih dari pengantar pembahasan tentang metode yang benar dalam keimanan dan kebangkitan.
Tanya : Apakah ada metode lain untuk mengubah pemahaman manusia selain dengan pemikiran menyeluruh tentang kehidupan dunia serta hubungannya dengan relitas yang ada sebelum dan sesudahnya?
Jawab: Tidak ada. Selamanya kita harus mewujudkan pemahaman yang utuh tentang segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini agar manusia bisa menentukan sikap ketika menjalani kehidupannya.
Tanya : Apa itu uqdatul qubra (problem pokok) dan apa yang dapat menyelesaikannya?
Jawab: Munculnya problem (uqdah) ini tatkala manusia tidak menemukan jawaban dari pertanyaan yang ada pada benaknya. Jika pertanyaannya mengenai alam semesta sebagai salah satu unsur dunia, maka hal itu menjadi pertanyaan mendasar (problem pokok). Apabila pertanyaannya berkaitan dengan sesuatu yang ada di alam ini, maka hal itu menjadi pertanyaan cabang. Adapun yang disebut dengan solusi adalah jawaban dari pertanyaan tersebut. Jika pertanyaan itu tentang segala realitas yang ada, maka jawabannya dinamakan solusi fundamental.
Tanya : Seperti apa solusi fundamental itu, mengapa disebut demikian?
Jawab: Kami menyebutnya fikrah kuliyyah (pemikiran menyeluruh) karena memberi kita jawaban atas pertanyaan mengenai kehidupan dunia. Di samping itu, kami menyebutnya pula dengan qaidah fikriyah (landasan pemikiran) karena menjadi dasar untuk seluruh pemikiran cabang.
Tanya: Selama pengertian kebangkitan itu adalah peningkatan taraf berpikir yang diikuti dengan majunya perilaku dan materi, maka di mana letak kemajuan ekonomi, sosial, dan politik?
Jawab: Semua kemajuan tadi merupakan hasil dari peningkatan taraf berpikir. Jika taraf berpikir maju, maka semua yang disebutkan tadi otomatis akan mengikuti.
Tanya : Adakah kebangkitan yang keliru?
Jawab: Ada, setiap kemajuan berpikir yang tidak sesuai dengan fitrah manusia--yaitu ketika tidak diakuinya tabiat manusia yang serba-kekurangan dan selalu membutuhkan pada yang lain--dan ketika tidak mau tahu dengan keberadaan Pencipta bagi makhluk. Itu semua adalah kebangkitan yang keliru.
Tanya: Adakah contoh nyata saat ini dari kebangkitan yang keliru tersebut?
Jawab: Ada. Kemajuan Barat Kapitalis saat ini dan Rusia pada masa lalu adalah dua contoh yang ironis karena keduanya tidak mengakui fitrah manusia. Barat Kapitalis tidak melihat manusia itu sebagai makhluk yang punya kekurangan dan membutuhkan pada yang lain. Mereka mengakui keberadaan Pencipta manusia, namun Pencipta ini tidak terlibat dalam urusan hidup manusia (pada saat manusia mengatur kehidupannya). Demikian pula, Sosialis mempunyai pandangan sama seperti Barat, bahkan lebih parah lagi karena tidak mengakui adanya Pencipta. Hal ini sangat tidak memuaskan akal dan membuat manusia menjadi gelisah.
Tanya: Bagaimana caranya supaya manusia mempunyai pemikiran yang cemerlang terhadap segala sesuatu?
Jawab: Berpikir cemerlang terjadi manakala pemikiran manusia meliputi segala aspek, baik mengenai hakikat tentang sesuatu yang dipikirkannya itu maupun segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Sebagai contoh, jika seseorang bertanya kepada anda tentang segelas minuman yang disuguhkannya, kemudian anda menjawab, “Ini air atau sari buah”. Jawaban seperti ini hanyalahj sebuah pemikiran yang dangkal. Dalam konteks ini, cara berpikir anda adalah dangkal. Akan tetapi, jika jawaban anda adalah, “Ini segelas air tawar sebagai pelepas dahaga bagi orang yang kehausan karena bersifat begini dan begitu”. Dalam hal ini jawaban anda bersifat mendalam sehingga dapat dikatakan anda berpikir mendalam. Jika jawaban anda lebih luas lagi sampai pada menceritakan adanya faktor-faktor luar yang berperan dalam sifat-sifat air, sebab-sebab adanya air, atau yang lainnya sehingga memberi tambahan informasi tentang air, serta orang lain menjadi paham karenanya. Dengan demikian, jawaban seperti itu disebut pemikiran cemerlang dan anda dikatakan berpikir cemerlang.
Tanya : Bagaimana berpikir cemerlang mampu menyelesaikan problem pokok pada manusia?
Jawab: Pada saat terjadi kejelasan pada diri manusia tentang hakikat segala realitas yang ada, yaitu tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan, serta hubungan ketiganya dengan asal mula kehidupan (adanya Sang Pencipta). Lalu, Pencipta ini memiliki peran dalam mengatur urusan kehidupan manusia. Kemudian, manusia juga memahami tempat kembali nanti, maka saat itu dia sudah mampu menyelesaikan problem pokok.
Tanya : Apa itu akidah ?
Jawab: Menurut bahasa, akidah berasal dari kata kerja i’taqada, yaitu bentuk tunggal dari aqaa’id dan masuk dalam akar kata ‘aqada. Kalimat, ‘aqqada qalbahu dan ‘aqqodahu ‘alaa kadzaa artinya, “Seseorang mengikatkan hatinya pada sesuatu”. Jadi, makna i’taqada adalah keyakinan dalam diri seseorang yang memuaskan akal dan menenteramkan hatinya. Oleh karena itu, akidah diartikan sebagai sesuatu yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan ditampakkan dalam tingkah laku.
Tanya : Mengapa solusi fundamental itu dinamakan dengan akidah?
Jawab: Solusi ini memberi jawaban atas pertanyaan manusia tentang masalah keyakinan, yaitu tentang hakikat kehidupan, asal mula kehidupan, bagaimana cara mengatur dan menjalani kehidupan, serta solusi ini memberitahukan akhir dari kehidupan ini.

Pertanyaannya adalah sebagai berikut.
Tentang alam semesta, Dari mana asalnya? Bagaimana pengaturannya? Apa yang akan terjadi sesudahnya?
Tentang manusia, Dari mana datangnya? Bagaimana mengatur kehidupannya? Kemana dia akan kembali?
Tentang kehidupan, Berasal dari mana kehidupan ini? Bagaimana keberlangsungannya? Sampai kapan kehidupan ini berlangsung?
Pertanyaan-pertanyaan ini termasuk dalam topik akidah, yaitu mempertanyakan tentang segala sesuatu yang ada. Ketika pertanyaannya tidak berkaitan dengan topik akidah, semisal bagaimana cara manusia berpikir?, atau bagaimana hewan itu tumbuh dan berkembang?, maka jawabannya tidak bersifat keyakinan karena hanya memberi pemikiran dan pengetahuan yang tidak berkaitan dengan akidah.

Bagian 2
Pemaparan
Dari pemaparan awal telah jelas bagi kita bahwa pemikiran cemerlang tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan itulah yang mendatangkan solusi yang benar bagi problem pokok. Adapun solusi itu adalah akidah, yaitu berupa pemikiran menyeluruh serta menjadi landasan berpikir bagi manusia, baik dalam tingkah lakunya maupun dalam pengaturan kehidupannya.
Masalahnya sekarang, apa peran Islam dalam hal ini? Jawabnya adalah kita mendapati Islam membawa solusi yang benar, sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan menenteramkan hatinya. Islam telah memberikan akidah sahih bagi manusia. Islam mengajak manusia untuk memeluk akidah tanpa ada paksaan.
Islam telah menjelaskan bahwasanya ada pencipta bagi segala realitas yang ada di dunia ini yang telah menciptakan segalanya dari tidak ada menjadi ada. Dia adalah Allah Swt., Dia Pencipta dengan mengatakan, “Kun” (jadilah). Segala realitas yang ada adalah makhluk bagi-Nya. Dia wajibul wujud (wajib keberadaannya), pasti keberadaannya, serta tidak bergantung pada siapa pun dan apa pun. Sementara itu, semua makhluk mungkin keberadaannya karena ada tidaknya makhluk bergantung kepada Allah. Seandainya bukan karena kehendak dan perintah-Nya, niscaya semua makhluk itu tidak akan ada.
Islamlah yang menyerukan adanya pencipta alam ini, serta pencipta segala sesuatu yang ada di dalamnya berupa manusia, alam semesta, dan kehidupan yang semuanya bersifat lemah, serta tidak mampu menciptakan dirinya atau memusnahkannya. Semuanya bersifat serba kekurangan sehingga membutuhkan pada Zat yang Maha Pengatur.
Hal ini tampak jelas bagi siapa saja yang memperhatikan dengan cermat, bahwasanya alam semesta berupa bintang dan planet tidak saling berbenturan meskipun banyak jumlahnya serta berbeda-beda bentuknya karena semuanya tunduk pada aturan yang menguasainya. Alam semesta ini tidak punya kekuatan untuk mengganti dan mengubah dirinya. Begitu pula manusia tidak bisa melewati batas-batas kemampuan yang dimilikinya dalam hal fisik, akal, ataupun sepak terjangnya. Dia punya keterbatasan yang tidak bisa dilampauinya. Manusia membutuhkan bantuan orang lain dalam menata kehidupannya.
Demikian pula, kehidupan bersifat terbatas karena penampakannya terbatas pada individu-individu makhluk hidup dalam bentuk gerak pertumbuhan dan perkembangan, serta batas tersebut tidak bisa dilampaui. Dari pemikiran jernih inilah, manusia dapat memastikan bahwa alam semesta, kehidupan, dan dirinya sendiri yang sebelumnya tidak ada, kemudian diciptakan menjadi ada, mempunyai sifat tidak azali, dan adanya mereka bergantung dan tunduk pada zat lain, yaitu penciptanya.
Sekarang, sampailah kita dituntun pada persoalan keberadaan Sang Pencipta. Apakah pencipta ini sesuatu yang baru keberadaannya karena diciptakan oleh zat yang lain, sama saja apakah zat yang lain itu dirinya sendiri, artinya dia menciptakan dirinya atau zat itu selain dirinya, artinya dia diciptakah oleh zat selain dirinya, serta apakah pencipta ini wajib keberadaannya karena bersifat azali (tidak ada awal dan akhirnya).
Dengan menelaah dua kemungkinan pertama, kita sampai pada kesimpulan yang logis dan pasti bahwa kemungkinan itu adalah salah karena memastikan keterbatasan Sang Pencipta yang keberadaannya membutuhkan pada yang lain. Ini membuat sang pencipta menjadi makhluk dan menjadi pencipta pada saat yang bersamaan, dan hal ini mustahil karena kemungkinan ini tertolak oleh akal. Tinggallah kemungkinan kedua dan kita dapati itu benar karena dapat diterima oleh akal, yaitu bahwa pencipta tidak bersifat terbatas karena untuk mengadakan dirinya dia tidak butuh kepada yang lain. Pencipta bukan makhluk yang baru ada setelah diciptakan tapi pencipta itu azali. Inilah yang dinamakan dengan wajibul wujud, Dialah yang dalam Islam disebut Allah Swt.

Diskusi
Tanya: Apa arti bahwa Allah itu wajibul wujud (wajib keberadaannya)?
Jawab: Kata wujub di sini berarti menolak sifat ketidakpastian pada segala apa yang ada di alam ini. Eksistensi (keberadaan) Allah yang tidak terikat dan bersandar pada apa pun disifati dengan wujub, sedangkan eksistensi segala yang ada selain Allah disifati dengan ketidakpastian karena terikat dengan iradah yang lain. Jika bukan karena iradah Allah Swt.--Pencipta segala yang ada--maka alam ini tidak mungkin ada. Karena itulah, kita katakan bahwa segala realitas yang ada di alam ini bersifat tidak pasti, sedangkan eksistensi Sang Pencipta pasti adanya.
Tanya : Mengapa kita katakan alam semesta ini bersifat serba- kurang, meskipun menurut sebagian orang, alam ini tidak terbatas dimensinya?
Jawab: Alam semesta digambarkan dengan bintang, planet, dan benda angkasa lain yang jumlahnya banyak. Ilmu yang menyingkap alam semesta yang terus-menerus berkembang, tidak lebih sekadar untuk menunjukkan sejauh mana pengetahuan manusia dan keterbatasan ilmu itu sendiri. Alam semesta secara pasti diketahui terbatas karena bagian-bagian yang ada di dalamnya bersifat terbatas. Selama semua bagian dari alam semesta ini bersifat serba-kurang dan terbatas, maka kumpulan benda yang terbatas pasti terbatas pula. Bila disifati dengan kesempurnaan satu sama lain, ini adalah kiasan bagi makna saling menyempurnakan di antara bagian-bagiannya. Ada perbedaan yang sangat jauh antara kata kesempurnaan dengan saling menyempurnakan.
Tanya: Apakah mungkin pendapat di seputar serba-kurang dan sempurna diterapkan pada akal manusia yang senantiasa menciptakan hal-hal baru?
Jawab: Bisa saja. Seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang satu hal, maka dikatakan pengetahuan akalnya kurang dalam hal itu, dan akan tetap seperti itu sampai terungkap baginya pengetahuan tersebut. Artinya, akan selalu ditambahkan pada kekurangannya itu sesuatu yang baru agar saling menyempurnakan dan kekurangan itu ditambahkan satu sama lain. Namun, hal ini tidak akan menjadi satu kesempurnaan karena hanya menambah satu kekurangan dengan kekurangan yang baru. Karena itu, manusia itu membutuhkan penambahan pengetahuannya secara terus-menerus.
Tanya : Mengapa manusia butuh pada selain dirinya dalam mengatur kehidupannya?
Jawab: Manusia--sebagaimana nanti akan dijelaskan--dalam mengatur kehidupannya dipengaruhi lingkungan tempat dia tinggal. Pengaturannya itu senantiasa membutuhkan perbaikan dan pembaruan mengikuti perubahan kondisi yang terus-menerus memasukinya. Sementara itu, manusia adalah tetap manusia yang hakikatnya mempunyai naluri dan sifat butuh terhadap pengaturan.
Tanya: Kembali pada pertanyaan apa yang dimaksud dengan eksistensi yang tidak pasti (wujud mumkin) dan eksistensi yang pasti keberadaannya (wujud wajib)?
Jawab: Wujud mumkin adalah sesuatu itu bisa terjadi atau tidak terjadi, sebagaimana kondisi makhluk. Adapun wujud wajib adalah sesuatu yang pasti adanya tanpa ada perbuatan sebelumnya dan tanpa pengaruh kekuatan apa pun karena dia tidak tunduk pada waktu dan tempat. Oleh karena itu, sesuatu tersebut tidak terkait sedikit pun dengan waktu sehingga disifati dengan azali selamanya. Keazalian ini melampaui batas waktu, baik sebelum maupun sesudahnya. Adapun wujud mumkin adalah sesuatu yang baru adanya, berada dalam batas waktu dan tempat.
Tanya : Apa maksud pernyataan pencipta itu tidak terbatas, sedangkan manusia terbatas?
Jawab: Sesuatu yang bersifat terbatas tunduk terhadap batas waktu dan tempat tertentu. Eksistensi dan sifatnya tunduk pada tempat dan waktu tertentu, dia tidak bisa melampaui batas ini sehingga bersifat serba-kurang, lemah, dan membutuhkan pada yang lain. Inilah sifat-sifat yang ada pada makhluk. Sementara itu, pencipta sebaliknya, zatnya tidak tunduk terhadap waktu ataupun tempat, sifatnya juga demikian karena dia disifati dengan kesempurnaan mutlak dan kekuasaan yang mutlak. Inilah hakikat Sang Pencipta, Allah Swt.

Bagian 3

Pemaparan
Pandangan akal terhadap segala sesuatu yang terindra memastikan keberadaan khalik yang telah menciptakannya. Semua bintang, planet, semua sisi manusia, dan semua penampakan kehidupan merupakan dalil yang dapat dibaca dengan gambaran yang jelas dan tidak diliputi kesamaran akan adanya Allah Pencipta yang Maha Pengatur. Segala realitas yang ada di alam ini telah menjelaskan kebutuhan mereka terhadap zat lain.
Hal ini dikaitkan dengan pandangan akal, adapun berkaitan dengan pandangan hukum syara’--yaitu pandangan al-Quran al-Karim sebagai sumber hukum utama dalam Islam-- banyak ayat yang menegaskan keberadaan Sang Pencipta. Dalam surat Ali Imran (3) ayat 190, Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
Ayat ini menggugah akal untuk memperhatikan dengan saksama tentang adanya kekurangan, kelemahan, dan kebutuhan terhadap yang lain dari segala reaitas yang ada di alam ini.
Selain itu, dalam surat ar-Ruum (30) ayat 22, Allah Swt. berfirman, “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, serta berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.”
Ayat ini berbicara lebih jauh mengenai sisi-sisi manusia hingga fenomena alam semesta untuk menggugah pemikiran dan perhatian kita. Hal yang sama kita dapati dalam surat al-Ghaasyiyah (88) ayat 17 – 20, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Lalu Langit, bagaimana ditinggikan ? Kemudian, gunung-gunung bagaimana ditegakkan? Demikian pula bumi bagaimana dihamparkan?”
Jika diperhatikan, ayat ini menunjuk pada unta sebagai hewan yang paling dekat dengan orang yang diserukan al-Quran dan Islam. Adapun dalam surat ath-Thariq (86) ayat 5 – 7 perhatian ditujukan pada manusia saja, ketika Allah Swt. berfirman, “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”
Ayat-ayat ini dan sejenisnya meminta manusia untuk tidak melewatkan begitu saja segala sesuatu yang terindra di sekitarnya tanpa dipikirkan, dipahami, dan direnungkan. Dengan begitu, manusia akan sampai pada penarikan kesimpulan (konklusi) yang meyakinkan akan adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Kesimpulan ini bersifat pasti karena disandarkan pada sesuatu yang terindra karena sesuatu yang dapat diindra akan menunjukkan keyakinan dan kepastian pada suatu hasil. Hal seperti inilah yang menjadikan keimanan kepada Allah Swt. tidak diliputi keraguan, tetapi keimanan yang tertancap kuat setelah akal bekerja keras secara objektif dan jernih dengan mempergunakan dalil-dalil dan bukti-bukti yang rasional dan konkret.
Kendatipun telah diperoleh kepastian dari proses keimanan secara rasional, namun masih ada dua hal penting yang perlu dibahas untuk menghilangkan keraguan pada keimanan tadi. Pertama, peranan fitrah dan wijdan (perasaan hati) dan kedua, keterbatasan akal dalam memahami sesuatu yang tidak terindra dan berada di luar jangkauan akal (irasional).
Peran fitrah dalam keimanan tidak diragukan lagi, yaitu dapat menunjukkan adanya Pencipta yang Maha Pengatur, pada saat fitrah manusia yang lurus dan tabiatnya yang suci mengakui hakikat manusia yang serba kekurangan, lemah, dan butuh kepada Pencipta. Walaupun demikian, termasuk bahaya besar apabila membiarkan fitrah menjadi sumber pemutus keimanan dan bersandar pada perasaan hati semata.
Begitu pula dalam keimanan tidak boleh mencukupkan pada adanya wijdan (perasaan hati) karena wijdan merupakan akumulasi perasaan dan letupan emosi yang penuh dengan imajinasi, serta keraguan yang ditambahkan pada keimanan dengan nama hakikat. Padahal, sesungguhnya itu adalah angan-angan dan khayalan. Inilah yang menjerumuskan seorang Mukmin pada kekufuran dan kesesatan. Kalau tidak, dari mana datangnya penyembahan berhala? Dari mana jiwa-jiwa manusia itu dipenuhi takhayul dan cerita-cerita bohong? Hal itu tidak lain akibat menjadikan wijdan sebagai satu-satunya jalan bagi keimanan.
Wijdan akan menambah sifat-sifat yang bertentangan dengan ketuhanan, seperti gambaran bahwa Allah Swt. yang Maha Suci mempunyai anggota tubuh seperti manusia; adanya kemungkinan menyatunya jasad Allah dalam diri manusia atau hewan; serta adanya dugaan bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui penyembahan benda-benda yang ada di alam atau melalui makhluk hidup.
Semua itu akan menjerumuskan pada kekufuran atau syirik apabila tidak ada sikap tegas terhadap hal-hal tadi yang jelas-jelas kontraproduktif dengan keimanan yang benar dan lurus. Di sinilah kita melihat bagaimana Islam mengharuskan penggunaan akal yang disertai dengan wijdan. Dalam masalah ini, tidak boleh membiarkan wijdan sendirian. Islam mewajibkan bagi seorang Muslim untuk menggunakan akalnya dan menjadikan akal sebagai pemutus (hakim) bagi keimanannya terhadap Allah Swt. Islam tidak menerima taklid, jika tidak demikian apalah artinya ayat yang menyatakan, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS Ali ‘Imran [3]: 190).
Dengan terbatasnya akal manusia dalam memahami sesuatu yang tidak terindra dan irasional, bagaimana mungkin akal dapat memutuskan keimanan kepada Allah Swt? Pertanyaan ini muncul akibat rancunya memahami kepentingan akal yang sebenarnya dalam masalah keimanan. Memang benar, akal itu lemah untuk menjangkau sesuatu yang tidak terindra karena kemampuannya tidak bisa melebihi batas itu.
Oleh karena itu, akal tidak mampu memahami Zat Allah karena Zat Allah Swt. tidak nyata dan berada di balik alam semesta, manusia, dan kehidupan. Akan tetapi, fungsi akal dalam masalah ini dibatasi pada mengimani keberadaan Pencipta saja, yang eksistensinya dapat dipahami dari keberadaan makhluk-makhluk yang dapat dijangkau oleh akal.
Fungsi akal tidak untuk memahami Zat Pencipta karena Dia berada di luar jangkauan akal dan alat indra. Dengan demikian, tidak ada lagi kesamaran dalam masalah ini. Lebih dari itu dengan memahami hal ini, iman akan menjadi kuat. Pemahaman yang sempurna terhadap keberadaan Pencipta akan terwujud manakala keimanan kita kepada Allah diperoleh dengan jalan berpikir (metode rasional). Demikian pula perasaan yakin akan adanya Pencipta diperoleh manakala kita mengaitkan perasaan dengan akal.
Jangan kita biarkan perasaan itu berjalan sendiri. Pemahaman dan perasaan seperti itulah yang akan menambah kuat keimanan dan menjadikan kita akan menerima segala sesuatu yang akal kita tidak mampu menjagkaunya. Akal selamanya tidak dapat memahami Zat Allah Swt. atau beberapa makhluk gaib, seperti malaikat dan jin. Namun, keimanan kita terhadap keberadaan makhluk-makhluk ini diperoleh melalui penetapan akal.

Diskusi
Tanya : Apa maksud bahwa Allah itu Pencipta dan Pengatur?
Jawab: Pencipta adalah yang menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Pengatur adalah yang menciptakan sesuatu berikut dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan sesuatu itu dapat lestari dan langgeng dalam menjalankan fungsi dan tugas-tugas dirinya ataupun bagi yang lain. Begitu pula dia menciptakan semua yang dibutuhkan berupa unsur-unsur penunjang yang dapat melestarikan dan melanggengkan sesuatu itu.
Misalnya, alam semesta diciptakan berupa sekumpulan bintang dan planet, diciptakan pula tabiatnya dan lingkungannya sehingga memungkinkan bintang tadi tetap berjalan pada orbitnya dan menjalankan fungsi sebagai subjek dan objek secara bersamaan. Manusia, diciptakan berikut tabiat dan akal yang menjadikan manusia mampu menjalankan tugas dan perannya dalam kehidupan sebagai subjek dan objek sekaligus. Begitu pun kehidupan, diciptakan dengan adanya gerak dan pertumbuhan sebagai subjek dan objek sekaligus. Tidak satu pun dari ketiga unsur ini, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan bisa keluar dari pengaturan seperti ini, yang telah ditentukan oleh ketentuan alam (nidzamul wujud).
Tanya : Apa maksud dari bentuk subjek dan objek sekaligus dalam diri manusia, alam, semesta dan kehidupan?
Jawab: Alam semesta itu berperan sebagai subjek dan objek, sebagai subjek dia berpengaruh pada materi lain dan sebagai objek dia mendapat pengaruh dari lingkungan yang berupa materi (dalam konteks satu sama lain saling membutuhkan). Manusia menjadi subjek dan objek karena dia berpengaruh pada yang lain, baik manusia maupun materi, serta mendapat pengaruh dari yang lain. Kehidupan menjadi subjek dan objek karena ia berpengaruh pada kehidupan serta dipengaruhi oleh kehidupan yang lain.
Tanya: Mengapa al-Quran al-Karim menyebutkan bahwa dengan adanya perhatian akal terhadap segala sesuatu yang terindra akan sampai pada penarikan kesimpulan atas keberadaan Pencipta yang Maha Pengatur?
Jawab: Tidak diragukan lagi bahwa pembahasan ini berada dalam lingkup penarikan kesimpulan dengan menggunakan akal (berpikir) terhadap segala sesuatu yang terindra yang menunjukkan keberadaan Pencipta yang Maha Pengatur. Karena itulah, al-Quran al-Karim menggunakan penarikan kesimpulan yang sama dan sudah disebutkan di dalamnya. Begitu pula dari sisi lain, hal ini menjadi pemberitahuan bagi pendengar dan pembaca bahwa al-Quran--sebagai sumber pertama Islam--bersandar pada cara yang sama dalam mengimani keberadaan Allah yang Maha Mengatur (al-Khaliq al-Mudabbir).
Tanya: Penarikan kesimpulan tidak berhenti pada al-Quran sebagai al-Quran semata, namun pada nas-nas yang ada di dalamnya, padahal al-Quran sendiri belum sampai pada pembahasan tentang penentuan al-Quran sebagai risalah dari Allah al-Khaliq al-Mudabbir?
Jawab: Benar demikian, tetapi nas-nas yang terdapat dalam al-Quran semata-mata menguatkan bahwa risalah samawi ini bersandar pada akal sebagai satu metode dalam keimanan. Dengan demikian, apabila telah pasti bahwa nas-nas tadi datang dari Allah Swt., maka akan bertambahlah keimanan seorang Mukmin terhadap seluruh bagian yang harus diimani.
Tanya : Jika persoalannya demikian, mengapa tidak ada satu nas pun yang menunjukkan kehidupan beserta penampakannya sebagaimana ada nas yang menjelaskan tentang alam semesta dan manusia?
Jawab: Nas-nas yang memperbincangkan penciptaan manusia dari air yang terpancar sesungguhnya menunjukkan asal mula kehidupan sebagai satu isyarat. Ada banyak nas lain yang membincangkan kehidupan, di antaranya dalam surat al-Baqarah (2) ayat 259, “Lihatlah pada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.”
Tanya : Apa yang dimaksud dengan fitrah manusia di sini dan bagaimana fitrah mengakui adanya al-Khaliq al-Mudabbir?
Jawab: Ini adalah tabiat manusia yang telah Allah Swt. ciptakan sebagai makhluk hidup yang mempunyai naluri dan kebutuhan jasmani, yang mendorongnya untuk menjalani kehidupan. Manusia juga dibekali akal yang akan mengarahkan naluri dan kebutuhan jasmani tadi, serta mengaturnya agar berjalan sesuai garis-garis tertentu.
Akal, naluri, dan kebutuhan jasmani itu diatur oleh batas-batas tertentu yang tidak bisa dilanggar, baik sebagai manusia sejatinya maupun ketika manusia menjalankan fungsi-fungsinya. Dari sinilah, bisa kita katakan bahwa fitrah manusia itu secara otomatis akan mengakui bahwa manusia itu lemah dan butuh pada yang lain, berikutnya akan diakui pula bahwa manusia itu adalah makhluk bagi Sang Pencipta.
Tanya : Selama fitrah manusia itu dapat mengimani Pencipta, mengapa penting untuk menggabungkan akal dengan fitrah?
Jawab: Karakter fitrah itu dalam mengimani sesuatu dengan aspek emosi, perasaan, dan naluri tanpa melibatkan akal. Oleh karena itu, tidak bisa kita biarkan perasaan (wijdan) menjadi pemutus dalam keimanan, tapi harus disertai dengan akal supaya terjamin dari kesalahan, kekufuran, dan kesesatan.
Tanya: Mengapa wijdan dapat terjatuh dalam kesalahan, kekufuran, dan kesesatan?
Jawab: Wijdan merupakan akumulasi emosi, perasaan, dan kecenderungan yang mendorong munculnya naluri dan kebutuhan jasmani. Naluri beragama--sebagai salah satu naluri yang ada pada manusia--mempunyai kesamaan dengan perasaan (wijdan), yaitu berupa keinginan untuk menyucikan, mengagungkan, dan menyembah.
Dengan demikian, pasti akan terjadi kesamaran antara naluri dan perasaan karena semuanya satu kesatuan. Akhirnya, akan terjadi kerancuan pada diri manusia. Begitu pula naluri mempertahankan diri yang penampakannya berupa kesenangan pada sesuatu, kecenderungan untuk membela diri, dan keinginan menikmati kehidupan. Semua kecenderungan ini akan memunculkan dorongan pada manusia untuk membela dirinya tatkala ia membayangkan adanya suatu bahaya yang mengancam eksistensinya atau terhadap sesuatu yang dilindunginya.
Kemudian, manusia akan menjadikannya sebagai penyucian dan penyembahan sebagaimana yang terjadi pada penyucian beberapa hewan dan benda-benda alam semesta. Kejadian ini nyata hingga sekarang pada beberapa masyarakat dan bangsa. Dari sinilah, pentingnya peran akal untuk mencegah imajinasi dan dugaan-dugaan yang dapat menjauhkan keimanan dari jalan yang lurus.
Tanya : Apa yang dimaksud dengan sesuatu yang berada di luar pengindraan dan akal?
Jawab: Segala sesuatu yang tidak dapat diindra manusia berupa kegaiban atau apa pun yang tidak diketahui dinamakan sebagai sesuatu yang berada di luar jangkauan pengindraan. Demikian pula dapat dikaitkan pada sesuatu yang di luar jangkauan akal setiap apa pun yang tidak mungkin dipahami oleh akal.
Sesuatu yang dapat dirasakan berupa benda padat, cair, dan gas dinamakan dengan sesuatu yang terindra (konkret) dan dimasukkan pula ke dalamnya segala sesuatu yang mempunyai bentuk lain, seperti potensi-potensi yang tidak bisa dilihat zatnya. Adapun yang disebut perkara rasional adalah berupa makna-makna dan logika, seperti berbagai pemikiran dan pendapat.
Tanya: Mengapa akal dikatakan terbatas, padahal ia bisa menghasilkan penemuan-penemuan yang menakjubkan dan bisa sampai pada eksperimen-eksperimen yang aneh? Bukankah akal individu itu dapat saling menyempurnakan satu sama lain dan bisa menjadi tidak terbatas seperti akal seorang individu?
Jawab: Benar bahwa akal telah berhasil menemukan dan mengungkapkan sesuatu. Kemampuannya ini akan terus-menerus bertambah. Akan tetapi, akal tersebut tetaplah akal seorang individu manusia. Adapun yang menemukan sesuatu itu adalah si fulan salah seorang manusia, serta yang menyingkap sesuatu adalah si fulan salah seorang dari manusia juga.
Akal si fulan betapapun digabungkan dengan akal-akal si fulan-fulan yang lain dan seterusnya siapa pun dia, maka tetaplah akal milik seseorang. Dengan batasan seperti ini, mengharuskan adanya diskusi mengenai akal individu manusia yang jelas terbatas dari segi pembentukannya, penyangganya, pengetahuan, dan pengamatannya. Betapapun bertambah luas dan majunya cakupan akal seseorang yang terbatas tetaplah terbatas karena akal sendiri dan kaidah logika menyatakan sekumpulan sesuatu yang terbatas, meskipun banyak akan tetap terbatas.
Adanya anggapan sekumpulan akal akan saling menyempurnakan itu adalah pendapat yang tidak benar dan hanya berdasarkan pada kesamaran dan khayalan. Dalam hal ini tidak pernah ada sesuatu yang dinamakan dengan akal yang lengkap atau akal yang saling menyempurnakan, selain kumpulan akal individu-individu. Seluruh akal berada pada posisi yang serba-kekurangan dan tidak mampu melewati batas-batas tertentu, serta tidak akan pernah sampai bisa memahami sesuatu yang berada di luar batas kemampuannya.
Tanya: Bagaimana jika akal yang bersifat kurang ini dihilangkan perannya sebagai jalan keimanan?
Jawab: Akal mampu untuk memahami keberadaan al-Khaliq al- Mudabbir, karena itu akal dijadikan jalan bagi keimanan. Adapun keterbatasan akal dalam memahami Zat Khalik tidak ada hubungannya dengan keimanan selama keimanan itu terhadap keberadaan Khalik bukan pada Zatnya. Dalam konteks inilah pemahaman bahwa akal itu terbatas dalam menjangkau Zat Khalik tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak menjadikannya sebagai jalan menuju keimanan.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan landasan keimanan itu harus sesuatu yang ditetapkan dengan akal?
Jawab: Landasan keimanan adalah tempat rujukan yang memuat pokok atau pangkal sesuatu yang dituntut untuk diimani keberadaannya. Iman kepada keberadaan Malaikat misalnya, supaya selamat membutuhkan adanya dalil al-Quran yang menyebutkan para Malaikat dan tuntutan untuk mengimani keberadaan mereka.
Al-Qurannya sendiri, sebagai risalah dari Allah Swt. tidak diragukan lagi kebenarannya karena akal sudah menetapkan demikian. Al-Quran dianggap sebagai sumber rujukan pertama yang kita jadikan sandaran bagi dasar keimanan tentang keberadaan malaikat. Sementara itu, penetapan al-Quran sebagai kitab yang diturunkan dari sisi Allah Swt. diperoleh melalui akal, jadi ini berarti landasan yang menyebutkan keberadaan malaikat telah dipastikan kebenarannya dengan jalan akal.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan ungkapan bahwa akal itu lemah untuk menjangkau dan memahami sesuatu yang berada di balik indra dan akal?
Jawab: Maksudnya, akal itu lemah dari memahami sesuatu yang berada di luar batas-batas kemampuannya. Akal hanya bisa memahami sesuatu yang terindra dan perkara-perkara yang dapat dijangkau akal. Karena daya jangkau akal terbatas pada hal tersebut, dibutuhkan sesuatu yang terindra dan masuk akal agar bisa memahami sesuatu itu.
Karena itu, aktivitas memahami yang dijalankan oleh akal tidak terpenuhi fungsinya kecuali apabila ada benda terindra yang (citraannya) dipindahkan ke otak melalui perangkat pengindraan pada manusia. Kemudian, akal mulai bekerja, yaitu mengaitkan benda terindra tadi dengan informasi sebelumnya yang tersimpan pada akal. Saat itulah, akal melakukan proses memahami sesuatu sehingga muncul keputusan akal, begini dan begitu.
Jika tidak ada benda yang dapat diindra yang (citraannya) dipindahkan oleh pancaindra manusia, tidaklah mungkin otak dapat memahami benda itu dan melahirkan keputusan atasnya. Demikian pula dalam perkara yang dapat dijangkau oleh akal. Jika manusia mendengar kabar atau informasi tentang suatu perkara yang tidak terjangkau akal, artinya tidak bisa diterima akal, maka akal tidak dapat memahaminya dan memberi keputusan dengan sikap apa pun.
Itulah batas-batas jangkauan akal, yaitu berhenti pada benda-benda yang dapat diindra dan perkara-perkara rasional, serta tidak dapat melebihi hal itu. Zat Allah Swt. tidak dapat diindra dan dipikirkan karena tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, “Tidak sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS asy-Syuura [42]: 11). Namun, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-An’aam [6]: 103).
Karena itu, pastilah akal tidak akan mampu untuk menjangkau Zat-Nya. Peluang jangkauan akal sebatas memahami keberadaan Khalik yang Maha Suci karena keberadaan-Nya termasuk dalam jangkauan akal. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya makhluk-makhluk yang dapat bersaksi dan berbicara akan keberadaan Pencipta.

Bagian 4

Pemaparan
Kita telah menyelesaikan pembahasan tentang pengamatan akal terhadap semua aspek pada alam semesta, manusia, dan kehidupan hingga pentingnya menggabungkan fitrah dan akal dalam memahami keberadaan al-Khaliq al- Mudabbir, yaitu Allah Swt. Telah kita bahas pula keterbatasan akal dalam memahami Zat Allah Swt. sebagai motif untuk memperkuat keimanan terhadap keberadaan Allah Swt. dan semua makhluk gaib yang pada dasarnya telah ditetapkan oleh akal.
Setelah selesai dibahas keimanan yang lurus, yaitu keimanan terhadap keberadaan al-Khaliq al-Mudabbir dengan bukti yang meyakinkan, maka untuk kesempurnaan pemahaman kita, akan diamati bagaimana aktivitas pengaturan Ilahi terhadap segala realitas yang ada di alam ini, khususnya terhadap manusia.
Mengenai alam semesta, Pencipta telah menetapkan karakteristik tertentu yang melekat dan tidak akan lepas pada setiap benda, kecuali ada campur tangan Allah Swt. yang menghendaki lepasnya karakteristik dari benda tersebut. Sebagai contoh, Allah Swt. menciptakan gaya tarik pada semua planet dan menciptakan karakterisktik khusus pada setiap bintang dan materi lainnya. Pada benda-benda angkasa lainnya, Allah Swt. ciptakan garis edar dengan aturan detail yang tidak bisa dilanggar. Atom yang ada pada setiap benda punya aturan detail, bahkan mempunyai tujuan yang terperinci sehingga membuat akal yang berpikir ingin menyucikan, serta takjub. Lebih dari itu, akal ingin mengagungkan dan bertasbih terhadap Pencipta dan Pengaturnya, yaitu Allah Swt.
Adapun pada kehidupan semua makhluk hidup, Allah Swt. menetapkan pengaturan yang sesuai ketika Dia memasukkan potensi untuk tumbuh dan berkembang pada makhluk hidup. Potensi ini dikaitkan-Nya dengan kekuasaan tersembunyi yaitu roh--Allah Swt. menjadikan roh sebagai salah satu rahasia Ilahiah--serta dikaitkan pula ketika makhluk itu menjalankan fungsinya dengan kemampuan menjadikan tubuhnya tumbuh dengan memperbanyak keturunan. Di samping itu, Allah Swt. menjadikan tubuhnya dapat bergerak dan berkembang mengikuti rencana yang telah digariskan untuk semua makhluk yang hidup.
Adapun manusia adalah makhluk hidup yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan bersama makhluk hidup lainnya. Namun, manusia mempunyai keistimewaan dibanding dengan makhluk hidup lain dari segi kemampuan akal yang tidak diberikan pada yang lain. Kemampuan akal ini memungkinkan manusia untuk mengklaim bahwa ia mampu mengatur dirinya dan yang lain, serta menggambarkan ketidakbutuhannya pada aturan Pencipta. Hal ini menjadikan manusia berbuat dengan anggapan ada pemisahan antara Pencipta dan makhluknya. Meski pun demikian, sebenarnya manusia tidak mampu selain mengakui adanya kekuatan besar dan agung yang telah mengatur alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta mengatur interaksi di antara ketiganya dengan sempurna.
Akan tetapi, apakah Allah Swt., Zat yang keberadaannya bisa diterima oleh akal yang lurus bahwa Dialah yang menciptakan manusia berikut karakteristiknya, yaitu akal dan fitrah--yang keduanya punya keterbatasan sebagaimana telah dibuktikan--akan membiarkan manusia tanpa pengawasan dan pengaturan-Nya, padahal Dia Maha Mengetahui secara detail apa yang telah diciptakannya itu, dan sejauh mana kebutuhan manusia terhadap pengaturan, pemeliharaan, dan perlindungan?!
Pertanyaannya sekarang, “Bagaimana Allah Swt. mengatur dan dengan apa Dia mengatur?”
Untuk menjawabnya kami katakan, “Tidak ada keraguan lagi bahwa pengaturan itu ditujukan pada semua realitas yang ada di dunia ini”. Semua ini berada dalam jangkauan pemahaman akal dan fitrah manusia yang lurus. Demikianlah akal memahami sejauh mana kemampuannya yang terbatas dalam mengharapkan pengaturan yang dapat menutupi kelemahannya dan mencukupi kebutuhannya, serta menjaga kekurangannya. Demikian pula dengan fitrah yang menginginkan keimanan yang lurus, manusia menunggu pengaturan yang akan membawanya pada jalan yang lurus.
Dalam hubungan inilah sebenarnya pengaturan itu datang untuk memelihara eksistensi manusia, bahkan manusia dijadikan pemutus benar tidaknya pengaturan ini, yaitu pada saat pengaturan tersebut memuaskan akalnya dan selaras dengan fitrah ketika keduanya menjadi petunjuk, bahkan menjadi standar bagi kebenaran pengaturan itu.
Ini topik yang berkaitan dengan munculnya pengaturan Ilahi bagi manusia. Sementara itu, esensi dari pengaturan itu berhubungan langsung dengan sesuatu yang menjadi tuntutan fitrah dan yang dapat memuaskan akal.
Adapun tuntutan fitrah itu ada dua sebagai berikut.
Pertama, kebutuhan naluri beragama pada pengaturan. Hal ini karena naluri beragama membentuk bagian mendasar berupa potensi tersembunyi yang ditentukan oleh Zat Yang Mahaagung dan Maha Mengetahui. Dia menciptakan fitrah yang disebut dengan naluri, yaitu potensi kehidupan yang disertakan dalam penciptaan manusia. Naluri beragama ini akan tetap ada selamanya pada diri manusia.
Inilah yang terjadi dalam perjalanan sejarah manusia dengan penampakan yang bermacam-macam. Penampakan yang paling menonjol adalah pengagungan dan penyembahan (ibadah). Penampakan ini muncul karena interaksi di antara manusia yang secara terus-menerus dibatasi, serta muncul seiring dengan kontinunya interaksi antara manusia dengan Sang Pencipta. Hubungan ini dapat digambarkan dengan bentuk bermacam-macam yang pada umumnya menolak peran kepuasan akal dan pandangan akal yang lurus.
Dalam hal ini karena kebanyakan yang menjadi penampakan naluri ini berupa sesuatu yang bertentangan, yaitu penyembahan atau penyucian selain kepada Pencipta yang hakiki. Naluri beragama ini mestinya tidak dibiarkan berjalan sendiri karena sejatinya yang mempunyai kekurangan dan memerlukan aturan yang benar untuknya. Aturan ini mustahil datang dari manusia selama adanya kemustahilan pada manusia dalam memahami hakikat pencipta. Dengan demikian, bagaimana mungkin manusia bisa membuat aturan tentang hubungannya dengan Sang Pencipta? Artinya, fitrah memerlukan aturan dari Zat yang telah menciptakannya dan yang mengetahui apa yang semestinya.
Aturan ini tidak datang dari manusia yang tidak mengetahui bagaimana hubungan dirinya dengan Pencipta. Fitrah ini tidak akan memperlihatkan keridhaan dan kebahagiaannya jika tidak terikat dengan dengan aturan dari Pencipta. Tuntutan fitrah ini berarti bahwa harus ada aturan yang datang dari Allah Swt. untuk mengatur hubungan dan keterikatan antara manusia dengan Penciptanya. Aturan ini menghendaki adanya iradah Allah Swt. untuk mengutus seorang rasul dari kalangan manusia yang diberi tugas untuk menyampaikan ajaran pada manusia. Aturan ini adalah agama Allah Swt.
Kedua, pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani manusia membutuhkan pengaturan. Sehubungan ini potensi hidup yang tersimpan dalam naluri dan kebutuhan-kebutuhan jasmani perlu dipenuhi secara benar dan sesuai dengan fitrah. Bentuk pemenuhan ini harus tunduk pada aturan tertentu supaya manusia tidak jatuh dalam kesalahan atau penyimpangan, yang akhirnya bisa menyengsarakan manusia. Aturan ini harus datang dari Pencipta manusia yang Maha Mengetahui apa yang baik bagi pemenuhan kebutuhan tadi.
Aturan ini tidak boleh datang dari persepsi manusia karena persepsi manusia pasti akan memberikan solusi yang berbeda-beda sesuai dengan jauh tidaknya dia dari kebenaran. Solusi seperti itu akan banyak ragamnya ketika menghadapi satu masalah, serta dipengaruhi oleh faktor luar berupa lingkungan tempat manusia hidup. Aturan seperti inilah yang akan mendekatkan manusia pada kesengsaraan. Untuk itu-- sebagaimana telah dijelaskan--aturan dari Allah Swt. ini mengharuskan adanya iradah Pencipta untuk mengangkat utusan-utusan terpilih dari kalangan manusia yang akan menyampaikan aturan tersebut.
Dua hal inilah yang menjadi tuntutan fitrah. Adapun kepuasan akal terhadap pengaturan Ilahi terlihat nyata pada saat dilontarkan aturan atau risalah Ilahi kepada manusia yang disertai dengan mukjizat yang disesuaikan dengan setiap kaum di setiap masa. Mukjizat ini berakhir pada satu kaum di satu masa. Namun, ada mukjizat yang masa berlakunya lama dan mencakup seluruh manusia di setiap zaman hingga hari kiamat, inilah mukjizat al-Quran.
Untuk memastikan al-Quran ini turun dari sisi Allah Swt., diperlukan bukti yang disandarkan pada kepastian dan tidak ada kesamaran. Al-Quran adalah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, Kitab ini mestinya berasal dari Muhammad sendiri atau dari salah seorang atau sekelompok orang Arab, atau berasal dari Allah Swt. yang mengetahui segala sesuatu termasuk bahasa Arab. Tidak ada kemungkinan lain di luar ketiganya dalam masalah ini.
Akal yang lurus akan membatasi Kitab yang terindra ini pada tiga kemungkinan tadi, supaya diskusi ini dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Jika kita mulai dari kemungkinan bahwa al-Quran berasal dari bangsa Arab, kita dapati al-Quran telah menantang mereka untuk membuat kitab semisal al-Quran dalam surat al-Isra’ (17) ayat 88 Allah Swt. berfirman, “Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang semisal al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.
Tantangan ini tidak cukup ditujukan pada orang Arab saja, tapi pada seluruh manusia dan juga seluruh jin. Ketika mereka tidak sanggup membuat kitab semisal al-Quran, Allah Swt. menantang mereka untuk membuat beberapa surat.
Katakanlah, “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat untuk menyamainya... ” (QS Hud [11]:13).
Setelah mereka berusaha tapi mengalami kegagalan, mereka pun tidak sanggup membuat beberapa surat semisal surat dalam al-Quran. Akhirnya, mereka ditantang untuk membuat satu surat saja.
Katakanlah, “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat yang serupa dengannya... ” (QS Yunus [10]: 38).
Meskipun demikian, mereka tidak memedulikan tantangan ini karena berbeda pendapat. Mereka berusaha menjawab tantangan ini dengan membuat sesuatu yang menyamainya, namun mereka tidak sanggup melakukannya. Hal ini memastikan bahwa al-Quran bukan termasuk perkataan orang Arab, meskipun disebutkan kebodohan mereka satu sama lain hingga tidak sanggup membuat sedikit pun semisal al-Quran, selain sesuatu yang layak ditertawakan, yaitu apa yang dibuat oleh Abu Salamah al-Kadzab.
Adapun bahwa al-Quran berasal dari Muhammad saw., merupakan kemungkinan yang juga keliru karena tiga alasan berikut.
1.Muhammad saw. berasal dari bangsa Arab dan berbahasa Arab. Apabila bangsa Arab tidak sanggup membuat sedikit pun yang semisal Al-Quran, begitu pula Muhammad yang juga salah seorang dari bangsa Arab. Beliau tidak akan mampu membuatnya betapapun cerdasnya. Tantangan itu ditujukan pada seluruh bangsa Arab, tidak terkecuali seorang pun dari mereka bagaimana pun keadaannya.
2.Hadis-hadis Sahih dan Mutawatir yang diriwayatkan oleh Muhammad saw. tidak memiliki kemiripan dengan gaya penyampaian ayat-ayat al-Quran, padahal hadis itu muncul pada masa turunnya al-Quran. Ucapan seseorang bagaimanapun jenisnya akan tetap memiliki kesamaan dalam gaya penyampaiannya.
3.Orang-orang Arab yang pintar dalam beberapa gaya bahasa tidak menuduh bahwa Muhammad saw. sendiri yang membuat al-Quran. Semuanya menuduh bahwa Muhammad mendapatkannya dari seorang pemuda Nasrani yang bernama Jabr. Akan tetapi, al-Quran membantahnya dalam surat an-Nahl (16) ayat 103,
Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal, bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa ‘Ajam, sedang al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.
Dengan meniadakan dua kemungkinan pertama, tinggallah kemungkinan ketiga, yaitu al-Quran berasal dari Allah Swt., Zat yang mengetahui bahasa Arab dan gayanya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, Dialah yang telah menurunkan al-Quran kepada Muhammad saw., kemudian beliau membawa dan menyampaikannya kepada manusia. Inilah yang menjadikan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul dengan bukti rasional yang meyakinkan.
Jelas sudah bagi kita dalam empat bab tulisan ini, bagaimana kesempurnaan iman terhadap keberadaan Allah Swt., Pencipta yang Maha Pengatur, iman pada risalah yang dibawa oleh Muhammad saw., serta iman bahwa al-Quran itu adalah Kalamullah. Hujah bagi keimanan ini bersifat pasti karena disandarkan pada sesuatu yang nyata (terindra). Akal menjadi jalan untuk mengimani seluruh perkara gaib setelah dikabarkan pada kita oleh Allah Swt. dalam al-Quran yang mulia atau Hadis Mutawatir, yang keduanya ditetapkan dengan rasional dan keyakinan.
Wajib bagi setiap Muslim untuk meyakini realitas yang telah dipastikan oleh akal dan kabar yang meyakinkan, yaitu al-Quran al-Karim dan Hadis Mutawatir. Haram bagi Muslim meyakini realitas yang tidak dipastikan oleh keduanya. Karena itu, akidah (keyakinan) tidak diambil selain dari suatu keyakinan. Allah Swt. berfirman dalam surat an-Najm (53) ayat 28, “Sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikit pun terhadap kebenaran.”

Diskusi
Tanya : Apa yang dimaksud dengan sesuatu yang ditetapkan landasannya oleh akal?
Jawab: Sesuatu yang terdapat dalam al-Quran al-Karim, yaitu berupa perkara gaib. Dalam hal ini landasan dari perkara gaib ini adalah al-Quran al-Karim yang telah dipastikan (kebenarannya) oleh akal. Perkara gaib ini semisal surga, neraka, para Malaikat, Hari Kebangkitan, hari saat manusia di kumpulkan di padang Mahsyar, serta perhitungan amal dan pembalasan. Semuanya itu termasuk perkara yang landasannya ditetapkan oleh akal.
Tanya : Mengapa dua sifat Allah, yaitu Pencipta dan Pengatur diperbandingkan? Tidakkah cukup dengan sifat Pencipta saja karena sudah dipahami di dalamnya ada sifat Pengatur?
Jawab: Pencipta diartikan dengan Zat yang mengadakan sesuatu dari tidak ada. Adapun Pengatur dimaknai Zat yang membuat aturan. Menurut keyakinan mereka yang memisahkan agama dari kehidupan, bahwasanya Allah Swt. menciptakan manusia dan membiarkan mereka mengatur urusannya sendiri berdasarkan kemampuan akal manusia.
Sementara itu, Islam berpendapat Allah Swt. tidak membiarkan manusia untuk mengatur dan menata kehidupannya, tetapi Allah mengirim aturan yang sempurna untuk seluruh urusan kehidupan, dan menjadikan akal manusia sebagai sarana untuk memahami dan menerapkan aturan (syariat). Karena itulah, penting untuk membandingkan dua sifat Allah Swt., yaitu sebagai Pencipta dan Pengatur.
Tanya: Adakah contoh karakteristik (khashiyat) yang telah ditentukan Allah Swt. pada segala sesuatu yang ada di alam ini dengan semua jenisnya sebagai wujud pengaturan Allah Swt. terhadapnya?
Jawab: Setiap benda (materi) mempunyai karakter (khashiyat) yang berbeda satu dengan lainnya. Karakter air contohnya, dia akan mencair pada derajat tertentu, membeku pada derajat tertentu, dan akan menguap pada derajat yang tertentu pula. Apabila dihubungkan dengan manusia, air mempunyai karakter untuk menghilangkan haus, begitu pun jika dihubungkan dengan tumbuhan dan hewan, selama air tersebut bersih dan normal. Hal ini karena jika air dicampur dengan materi lain, karakter tadi akan hilang.
Pada manusia terdapat naluri dan kebutuhan jasmani, setiap naluri memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Karakter naluri mempertahankan diri berbeda dengan karakter naluri beragama, serta berbeda pula dengan naluri seksual. Naluri mempertahankan diri karakternya adalah cinta materi, cinta kekuasaan, cinta tanah air, membela diri, dan lain-lain. Adapun naluri beragama mempunyai karakter mengagungkan sesuatu, khusyu’, dan beribadah.
Tanya : Apakah ada contoh Allah Swt. berperan melepaskan karakter dari materi?
Jawab: Ya, ada. Ketika Allah Swt. berkata pada api yang membakar Nabi Ibrahim as, Kami berfirman, “Hai api menjadi dinginlah dan beri keselamatan bagi Ibrahim” (QS al-Anbiya’ [21]: 69). Karena itu, Ibrahim as tidak merasakan panas dan tersiksa. Seandainya Allah mengatakan, “Dinginlah” tanpa “beri keselamatan”, pasti Ibrahim as merasakan dingin.
Demikian pula ketika Allah memerintahkan air untuk membelah dan berhenti mengalir supaya Musa as dan kaumnya bisa melewatinya. Sungguh Fir’aun dan pasukannya tidak percaya dengan penglihatan mereka.
Tanya : Mengapa kita menerima bahwa karakter setiap benda itu sebagai wujud pengaturan (Allah) terhadapnya, dan tidak menerima karakter berpikir pada akal sebagai bentuk pengaturan bagi manusia?
Jawab: Karakter berpikir diberikan pada akal manusia dengan batasan tertentu yang akal tidak dapat melampauinya. Keterbatasannya adalah akal tidak bisa memahami apa yang layak bagi manusia dan aturan apa yang akan digunakan untuk urusan kehidupannya di setiap waktu dan tempat. Apabila akal membuat aturan, akan dipengaruhi oleh banyak faktor yang ada pada lingkungan di setiap zaman dan tempat.
Oleh karena itu, akal hanya diberi peran untuk memahami perintah dan larangan Allah Swt. supaya diamalkan. Inilah batasan fungsi akal dan ini benar-benar cocok bagi manusia. Sementara itu, karakter setiap materi (benda)--dalam rangka mempermudah fungsi dan pelaksanaan tugasnya--juga cocok bagi benda itu. Karena itu, karakter tidak dianggap sebagai pengatur bagi benda tapi sebagai sarana untuk mempermudah pelaksanaan fungsi dari materi itu. Selain itu, untuk membantu kelestariannya, tidak lebih dari itu.
Apabila karakter bisa mengatur materi, maka dia telah keluar dari tabiatnya dan mengemban tabiat lain. Ciri khas air misalnya, dia akan berubah menjadi penuntut bagi materi lain dan bukan melaksanakan karakternya, yaitu menguap atau membeku.
Tanya: Apa arti sifat tidak mampu (lemah), butuh, dan kekurangan yang ada pada akal?
Jawab: Akal tidak mampu menciptakan dirinya sendiri dan tidak mampu menjaga dirinya pada saat akhir. Akal ada karena adanya manusia dan berakhir pada saat kematiannya. Akal berfungsi sebagai perangkat berpikir dari orang yang berakal. Adapun proses pemahaman dan berpikir pada akal akan tumbuh pelan-pelan seiring dengan pertumbuhan manusia dan kematangan si pemilik akal hingga masa tua dengan sisa umur yang ada.
Pada saat akal menjalankan fungsinya yaitu untuk berpikir, dibutuhkan keberadaan yang lain. Akal membutuhkan banyak informasi terdahulu (ma’lumat sabiqah) mengenai sesuatu yang akan dihukuminya untuk menjadi pengetahuan atau pemahaman baginya. Akal juga membutuhkan adanya fakta yang akan dipahaminya; membutuhkan alat indra yang memindahkan (citraan) fakta itu; karena kalau tidak, mana mungkin akal dapat memahami fakta tersebut?
Jadi, supaya akal dapat menjalankan fungsinya, dibutuhkan alat indra untuk memindahkan fakta, dibutuhkan otak yang akan menerima gambaran fakta yang dipindahkan tadi, dibutuhkan fakta yang dipindahkan oleh alat indra, serta dibutuhkannya informasi terdahulu seputar fakta tersebut. Aktivitas pemahaman akal akan sempurna dengan adanya pemindahan fakta ke otak oleh alat indra dan penggunaan informasi terdahulu tentang fakta tersebut.
Akal bersifat kurang karena dia tidak mampu memahami sesuatu selain dari adanya fakta yang dipindahkan padanya dengan batas informasi seputar fakta itu. Jika informasinya kurang atau proses pengikatan antara informasi dan fakta tidak berjalan baik, maka akal tidak bisa memahami fakta dengan sempurna.
Tanya : Adakah contoh yang menunjukkan penyimpangan fitrah beragama pada manusia?
Jawab: Penyembahan manusia kepada makhluk hidup atau pada benda mati adalah contoh hal tersebut. Di samping itu, contoh lainnya adalah penyembahan manusia pada bintang, hewan, dan berhala yang tidak berhak untuk disembah karena semuanya itu tidak bisa mendatangkan kebaikan dan keburukan bagi manusia. Akan tetapi, objek penyembahan itu hanya dugaan manusia sehingga akhirnya terjadi penyimpangan. Hal ini dikaitkan dengan mereka yang bukan Muslim.
Adapun penyimpangan pada seorang Muslim misalnya, seseorang menduga bahwa kemenangan melawan musuh di medan perang dapat diperoleh dengan duduk-duduk membaca al-Quran, dzikir berulang-ulang dan berdoa sepenuh hati, atau membaca buku Hadis Sahih Bukhari. Hal itu dilakukan tanpa mengambil Sunnatullah, yaitu mempersiapkan kekuatan fisik dan materi berupa senjata sebagai pengamalan dari perintah Allah Swt., “Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS al-Anfal [8]: 60). Sesungguhnya karena dengan mengikuti sunatullah-lah kemenangan akan datang, seperti yang diraih Rasul saw. ketika perang Uhud.
Tanya: Bagaimana ketiga macam naluri bisa jatuh dalam kesalahan dan penyimpangan?
Jawab: Pemenuhan naluri beragama yang salah adalah dengan menyembah pada selain Allah Pencipta dan Pengatur. Contohnya, penyembahan pada hewan, berhala, dan sejenisnya yang dulu manusia sembah. Pemenuhan yang menyalahi aturan adalah ketika manusia menyembah Allah Swt. dengan cara yang tidak biasanya.
Pemenuhan naluri baqa’ (mempertahankan diri) yang salah adalah ketika manusia memiliki harta orang lain dengan cara yang melanggar aturan (syariat), seperti mencuri, menipu, Dan sebagainya. Sementara itu, pemenuhan yang menyimpang adalah memiliki sesuatu yang tidak biasa dimiliki seseorang.
Pemenuhan naluri seks yang salah adalah memenuhi keinginan syahwat dengan cara zina. Contoh pemenuhan naluri seks yang menyimpang adalah melakukan hubungan yang tidak biasa, seperti umat Nabi Luth as (homoseksual dan lesbian).
Tanya : Mengapa ajaran-ajaran samawi sebelum Islam dibatasi zaman dan tempat?
Jawab: Allah Swt. mengetahui apa yang cocok pada tiap tahapan kematangan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat dalam perjalanan kehidupan manusia. Dia mengetahui sejauh mana hal yang memudahkan manusia untuk bertemu antara berbagai bangsa dan umat. Karena itulah, setiap risalah ruang lingkupnya dibatasi pada kaum dan zaman tertentu.
Nabi demi nabi muncul mengikuti jejak risalah, terus-menerus seperti itu hingga muncul persoalan sulit yang tidak dihadapi risalah sebelumnya. Lalu, datanglah jalan keluar bagi persoalan itu dari Allah Swt. saat Dia mengutus rasul yang lain dan diikuti oleh para nabi selanjutnya. Ini yang terjadi pada Bani Israil dengan dua risalah yang datang bersama Musa dan ‘Isa as. Musa as menjalankan tugasnya seorang diri hingga datang ‘Isa as. Lalu, sampailah manusia pada masa vakum ketika tidak ada seorang nabi, tapi kemudian datang seorang rasul untuk seluruh manusia, yaitu Muhammad saw.
Tanya : Apa perbedaan nabi dan rasul?
Jawab: Nabi adalah orang yang diberi tugas oleh Allah Swt. untuk menyampaikan risalah rasul-rasul lain. Sementara itu, rasul adalah orang yang diberi tugas oleh Allah Swt. dengan risalah khusus. Karena itu, setiap rasul adalah nabi, namun tidak setiap nabi adalah rasul.
Bagian 5

Pemaparan
Telah kita singgung dalam bab-bab sebelumnya tentang kepastian butuhnya manusia terhadap rasul, kepastian al-Quran al-Karim datang dari Allah Swt. bukan dari makhluk, serta Muhammad saw., dialah pembawa al-Quran sebagai nabi dan rasul secara meyakinkan karena tidaklah seseorang itu datang membawa Syariat Allah Swt., kecuali dia seorang nabi dan rasul.
Selanjutnya, telah banyak kita peroleh dalil akli untuk keimanan kepada Allah Swt. yang Mahabesar Kekuasaan-Nya, serta bahwasanya Dialah Pencipta yang Maha Pengatur segala yang ada di dunia ini. Selain itu, dalil akli tentang Muhammad saw. membawa risalah untuk seluruh manusia yang membawa rahmat tidak hanya bagi manusia, tetapi juga untuk makhluk lain (jin), sebagai berita gembira dan peringatan. Beliaulah pemilik risalah untuk seluruh manusia dan penutup para nabi dan rasul.
Dengan penarikan kesimpulan berdasarkan akal, yang dibangun di atas sesuatu yang terindra dan terjamah, telah menyempurnakan perjalanan kita menuju iman yang haq dengan metode yang lurus. Selain itu, hal ini semakin menguatkan kita bahwa keimanan itu harus menggunakan metode akal (berpikir), yaitu akal yang menjadi sandaran keimanan terhadap perkara gaib yang tercantum dalam al-Quran al-Karim dan Hadis Mutawatir.
Selama kita beriman kepada Allah Pencipta dan Pengatur terhadap segala yang ada, maka wajib kita mengimani apa yang Allah Swt. kabarkan dalam al-Quran dan Hadis Mutawatir, meskipun itu perkara yang tidak dapat dijangkau akal atau akal tidak sampai untuk memahaminya. Misalnya, hari kebangkitan, berkumpul di padang Mahsyar, surga, neraka, hisab dan sangsi, malaikat, jin, syetan, dan yang lainnya.
Memang benar, bahwa Hadis Mutawatir ditetapkan kepastiannya dengan dalil naqli sam’iy (menukil dengan cara mendengar), bukan dengan akal secara langsung. Namun, dasar kebenarannya ditetapkan dengan dalil akli. Sehubungan ini al-Quran al-Karim ditetapkan kepastiannya dengan dalil akli, bahwa itu adalah Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad dan telah dipastikan pula bahwa Muhammad adalah seorang nabi dan rasul yang wajib ditaati dan dibenarkan apa yang dikabarkan dalam Sunahnya. Allah Swt telah berfirman, “ Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul” (QS Muhammad [47]: 33). Di samping itu, firman-Nya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS al-Ahzab [33]: 21). Perhatikan pula, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka ambilah dia, serta apa yang dilarang bagimu, tinggalkanlah (QS al-Hasyr [59]: 7).
Setiap akidah wajib ditetapkan dengan Sunah Mutawatir bukan dengan yang lain, supaya berada dalam ruang lingkup keyakinan dan terbebas dari prasangka (dzan). Firman Allah Swt, “Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran” (QS Yunus [10]: 10). Hadis Mutawatir landasan kebenarannya ditetapkan pula oleh akal. Ini dari satu sisi, sisi yang lain adalah Hadis Mutawatir itu dipastikan penisbahannya sampai kepada Rasul saw., termasuk kebenaran isinya dan periwayatannya yang jauh dari keraguan. Dengan demikian, akan terasa ketenangan ketika mengimani realitas yang berasal dari Hadis Mutawatir mengenai perkara akidah dan yakin bahwa hadis ini yang menyertai jalan keimanan.
Aspek iman terhadap Hari Akhir merupakan perkara penting dalam akidah yang tidak diperdebatkan lagi, sama seperti aspek keimanan lainnya. Hal ini karena iman kepada Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pengatur adalah iman kepada realitas yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah Swt. telah menciptakan kehidupan dunia ini dan mengaturnya.
Adapun iman pada Hari Kiamat, yaitu Hari berbangkit, berkumpul, perhitungan dan sangsi, azab, serta surga dan neraka sebagai balasan bagi manusia atas perbuatan baik dan buruknya, merupakan keimanan terhadap realitas yang ada sesudah kehidupan dunia. Dari sini, jelaslah bahwa perintah dan larangan Allah Swt. merupakan penghubung antara kehidupan dunia dengan Allah Swt., setelah Allah Swt. menciptakannya dan mengadakannya dari tidak ketiadaan.
Sementara itu, perhitungan amal manusia dalam kehidupan dunia dikaitkan dengan kebangkitan dan hari berkumpul adalah hubungan antara kehidupan dunia dengan sesudahnya. Hal ini sebagaimana telah jelas pula sejauh mana manusia wajib terikat dengan hubungan ini. Artinya, jelas bahwa manusia wajib mengatur hidupnya sesuai aturan Allah Swt. agar hisab di Hari Kiamat bernilai baik dan surga menjadi tempat kembalinya sebagai balasan amalnya dalam kehidupan dunia.
Adapun metode akal atau penetapan landasan kebenaran oleh akal yang digunakan pada masalah keimanan kepada Allah Swt.--yaitu Zat yang ada sebelum kehidupan dunia, iman pada Hari Kiamat yang ada setelah kehidupan dunia, serta iman pada wajibnya terikat pada perintah Allah Swt. dalam kehidupan dunia, yaitu hubungan kehidupan ini dengan realitas yang ada sebelum dan sesudahnya, akan memunculkan fikr al-mustanir (pemikiran cemerlang) tentang realitas yang ada di balik alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta realitas yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Di samping itu, hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia.
Dengan pemikiran cemerlang ini, tersedialah solusi sempurna untuk semua aspek problem pokok yang terbentuk dari pertanyaan-pertanyaan tentang tiga aspek sebelumnya, yaitu, “Dari mana saya datang?, ke mana saya akan pergi nantinya?, dan apa hubungan saya dengan hal tersebut?” Solusi sempurna yang lurus itu--yang sesuai dengan Islam--adalah Akidah Islamiyah. Adapun solusi yang lain yang ada pada akidah di luar Islam tidaklah lurus dan benar. Hal ini karena tidak sesuai dengan fitrah yang lurus dan tidak memuaskan akal yang lurus, yang insya Allah akan dijelaskan dalam bab lain.
Sementara itu, nilai dan kepentingan solusi bagi problem pokok dalam kehidupan dunia tempat solusi tadi merupakan jawaban bagi hal-hal yang dipertanyakan oleh manusia merupakan pendorong manusia agar memiliki pemikiran tentang kehidupan dunia yang semestinya. Selain itu, sebagai penguat manusia agar berpindah pada pemahaman sahih yang akan berpengaruh kepadanya. Solusi ini akan menjadi dasar ideologi umat dalam kebangkitan karena makna kebangkitan adalah kemajuan taraf berpikir yang menjadi dasar dalam hidup.
Solusi ini juga menjadi dasar (peradaban) ideologi umat karena pemikiran dan tsaqafah secara umum, serta pemahaman tentang kehidupan secara khusus adalah peradaban yang akan dibangun di atas akidah dengan ketiga aspeknya tersebut. Solusi ini juga akan menjadi aturan (sistem) pada semua aspek kehidupan, meliputi perekonomian, pemerintahan, interaksi (pergaulan) di masyarakat, politik, dan lain-lain. Sebagaimana pula, solusi ini akan menjadi asas negara selama kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip negara tersebut terikat kepada Kitabullah dan Sunah Rasul.
Kitabullah dan Sunah Rasul ini merupakan penghubung antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Semua ini berarti bahwa yang menjadi asas pemikiran Islam yang mencakup akidah; pemikiran untuk menyelesaikan urusan kehidupan; serta asas metode Islam yang mencakup tata cara pelaksanaan penyelesaian masalah, pemeliharaan, dan pengembanan dakwah adalah Akidah Islam.
Ayat-ayat al-Quran yang mulia mengisyaratkan bahwa Akidah Islam adalah aspek yang paling menonjol. Firman Allah Swt. dalam surat an-Nisaa’ (4) ayat 136, “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan Hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
Ayat yang mulia ini menyebutkan bahwa iman itu wajib kepada Allah Swt.--dari segi ketuhanan dan rubbubiyah; pada al-Quran al-Karim yang diturunkan kepada Rasul Muhammad saw.; pada Kitab yang Allah turunkan sebelum al-Quran, yaitu kepada Rasul yang lain; iman kepada Malaikat; serta yang terakhir iman pada Hari Akhir.
Untuk menutup bab ini, perlu ditegaskan apa yang sudah diraih dari pembahasan sebelumnya, yaitu segala hal yang dicakup dan dikehendaki oleh aspek-aspek Akidah Islam untuk membentuk keimanan yang lurus. Iman kepada Allah Swt. yang mengatur kehidupan manusia dengan Syariat Islam yang ada dalam al-Quran al-Karim dan Sunah yang suci, mengharuskan iman terhadap syariat secara keseluruhan. Mengingkari satu bagian dari dalil yang qath’iy tsubut (pasti sumbernya), seperti al-Quran al-Karim dan Sunah Mutawatir, ataupun dalil qath’iy dalalah (pasti penunjukannya), seperti ayat-ayat al-Quran yang Muhkamat--tidak mengandung makna lain--dapat menjatuhkan seorang Muslim pada kekufuran. Sama saja apakah terhadap hukum-hukum yang ada pada ayat dan sunah yang berhubungan dengan ibadah, seperti shalat, muamalah, seperti jual beli, uqubat (sanksi), seperti memotong tangan pencuri, atau tentang makanan, seperti memakan daging babi.
Dalam hubungan ini, dia telah kufur terhadap ayat, “Dirikanlah shalat” (QS Muzzammil [73]: 20), kufur terhadap ayat, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS al-Baqarah [2]: 275), juga terhadap ayat, “Pencuri laki-laki dan pencuri wanita, potonglah kedua tangan mereka” (QS al-Maa-idah [5]: 41), serta kufur terhadap ayat, “Diharamkan atas kalian (memakan} bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah” (QS al-Maidah [5]: 3).
Perlu dijelaskan pula bahwa iman kepada Syariat Islam, menerima dan ridha terhadap hukum-hukumnya, tidak bergantung sepenuhnya pada akal, namun harus menerima secara mutlak terhadap apa yang datang dari Allah Swt. Allah Ta’ala telah berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa suatu keberatan dalam hati terhadap putusan yang diberikan, dan mereka menerima dengan sepenuhya” (QS an-Nisaa’ [4] : 65).

Diskusi
Tanya : Mengapa kita menganggap iman kepada Allah Swt., serta iman pada al-Quran dan Rasul sudah mencukupi syarat keimanan?
Jawab: Iman pada keberadaan Allah Swt., iman bahwa al-Quran adalah Kitab Allah, dan Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah, kita peroleh melalui jalan akal. Dengan jalan seperti itu telah cukup bagi kita, sekalipun masih tersisa masalah Qadha dan Qadar yang insya Allah akan dibahas pada bab selanjutnya. Adapun apa yang Allah Swt. kabarkan kepada kita di dalam Hadis Qudsi yang Mutawatir, kita wajib mengimani semuanya sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran al-Karim berupa perkara gaib yang akal tidak mampu memahami dan menjangkaunya, seperti surga, neraka, malaikat, jin, dan lain-lain.
Demikian pula apa yang tercantum dalam Hadis Nabi yang Mutawatir kita wajib mengimaninya, meskipun akal tidak mampu menjangkaunya dan tidak bisa memastikannya. Jadi, cukuplah apa yang diisyaratkan di sini bahwa wajib menggunakan metode akal untuk sampai pada keimanan yang lurus.
Tanya : Apa yang dimaksud dengan dalil naqli dan akli?
Jawab: Dalil naqli adalah informasi-informasi tentang Akidah Islam ataupun yang lainnya, yang sampai kepada kita dengan cara berpindahnya informasi itu dari seseorang atau lebih kepada seseorang atau lebih juga hingga berakhir pada dua sumber pokok, yaitu al-Kitab dan Sunah atau salah satunya. Dalil akli adalah segala sesuatu yang sampai kepada kita berupa ajaran Islam, baik akidah maupun syariat dengan jalan akal, seperti pembuktian dan penarikan kesimpulan, atau penggalian bukti dari sesuatu yang dapat diindra.
Tanya : Apa itu Hadis Mutawatir?
Jawab: Hadis Nabi yang mulia yang sampainya kepada kita dengan cara periwayatan orang-orang yang dipercaya. Mereka ini mustahil bersepakat dalam kebohongan dan jumlah mereka empat puluh orang atau lebih.
Tanya : Adakah Hadis Nabi selain Hadis Mutawatir?
Jawab: Hadis-hadis Nabi dari segi periwayatan ada dua macam, Hadis Ahad dan Hadis Mutawatir. Hadis Ahad jumlah periwayatnya lebih sedikit dari Hadis Mutawatir, sedangkan Hadis Mutawatir periwayatnya berjumlah empat puluh orang atau lebih. Adapun yang termasuk Hadis Ahad adalah Hadis Masyhur dan Hadis Sahih. Hadis Masyhur adalah Hadis Ahad yang terkenal (Masyhur) di kalangan Kaum Muslim karena banyaknya periwayat pada generasi Tabiin (generasi setelah Sahabat) atau Tabiut-Tabiin (generasi setelah Tabiin), namun di masa generasi Sahabat, jumlah periwayat hadis ini kurang dari empat orang. Contohnya adalah hadis, “Sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung pada niatnya, dan setiap orang mendapat balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan”, yang periwayatnya adalah Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab ra. Adapun Hadis Sahih adalah Hadis Ahad yang tidak masyhur pada salah satu generasi sebagaimana Hadis Masyhur. Ada pula Hadis Maudhu’ yaitu hadis yang diakui sampai periwayatannya kepada Rasul saw., padahal tidak.
Tanya : Apa makna dirayah dalam hadis?
Jawab: Dirayah adalah makna dan kandungan hadis.
Tanya : Mengapa kita mengaitkan iman dengan kehidupan, padahal tempatnya iman adalah di dalam hati?
Jawab: Kita tidak mengaitkan iman dengan kehidupan yang faktanya adalah gerak dan tumbuh makhluk hidup. Namun, kita mengaitkan iman dengan kehidupan dunia yang manusia hidup di dalamnya dan berakhir pada Hari Kiamat, pada saat hari berbangkit, berkumpul, hari perhitungan dan sanksi, serta surga dan neraka. Kaitan iman dengan kehidupan dunia adalah pasti karena iman harus ada pada manusia berupa jawaban problem pokok.
Kaitan iman dengan kehidupan ini artinya jawaban atas pertanyaan yang berhubungan dengan asal-muasal kehidupan dan tempat kembalinya, yaitu hubungan kehidupan dunia dengan realitas yang ada sebelum dan sesudahnya.
Tanya : Bagaimana gambaran memperoleh keimanan dengan pemikiran cemerlang?
Jawab: Pemikiran cemerlang adalah pemikiran yang terbentuk dari pemikiran mendalam tentang sesuatu beserta faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadapnya agar sesuatu yang dipikirkan itu bisa dihukumi (disikapi). Manusia telah mengimani penciptaan alam semesta, serta mengimaninya keberadaan Pencipta kehidupan dunia dan Pengatur makhluk-makhluknya, yaitu Allah Swt. Allah Swt. juga yang akan mengakhiri kehidupan dunia ini, setelah itu datanglah hari berbangkit dan hisab untuk membalas apa yang dilakukan manusia.
Apakah manusia terikat dengan aturan Allah Swt. dan dengan risalah yang diturunkan pada Rasul-Nya atau tidak, ataukah dia berjalan sesuai aturan akal dan hawa nafsunya? Pemikiran menyeluruh terhadap segala realitas yang ada dalam kehidupan dunia ini, itulah akidah dan iman yang mewujudkan pemikiran cemerlang.
Tanya : Apakah mungkin solusi yang bukan berasal dari Islam disebut sebagai solusi bagi problem pokok?
Jawab: Mungkin saja, karena problem pokok telah dijawab oleh tiga akidah yang ada secara sempurna. Setiap akidah ini membentuk landasan ideologis yang dapat mengatur kehidupan manusia. Berikut penjelasannya. Pertanyaan pertama, dari mana aku datang?
Islam menjawab: Aku datang dari Allah al-Khaliq al-Mudabbir.
Kapitalisme Demokrasi menjawab: Dari Allah Sang Pencipta, tapi bukan Pengatur.
Sosialisme menjawab: Aku datang dari materi.
Pertanyaan kedua, ke mana aku akan kembali?
Islam menjawab: Ke surga atau neraka (sesuai dengan keimanan dan amal).
Kapitalisme Demokrasi menjawab: Aku tidak mencari akhirat, hanya dunia saja.
Sosialisme menjawab: Kembali pada materi.
Pertanyaan ketiga, apa hubunganku dengan realitas sebelum dan sesudah kehidupan dunia?
Islam menjawab: Taat pada Allah al-Khaliq al-Mudabbir, pasti aku akan masuk surga.
Kapitalisme Demokrasi menjawab: Aku hidup dengan akalku dan berusaha untuk memenuhi seluruh keinginanku.
Sosialisme menjawab: Tidak ada hubungan apa pun selain dengan materi.
Tanya : Bagaimana akidah atau solusi ‘uqdatul kubra (problem pokok) menjadi asas kebangkitan dalam kehidupan dunia?
Jawab: Akidah adalah sumber pemikiran atau landasan pemikiran untuk kemajuan hidup. Apabila manusia akan mengatur semua aspek kehidupannya agar menjadi bangkit, harus ada pemikiran-pemikiran sebagai solusi. Maka dari itu, pemikiran-pemikiran tersebut harus diambil dari akidahnya, artinya dari Pencipta yang Maha Pengatur yang telah diyakini apabila dia seorang Muslim. Selain itu, bisa pula diambil dari selain Pencipta jika dia bukan seorang Muslim atau dari akalnya sebagaimana terlihat pada akidah Kapitalis Demokratis. Di samping itu, pemikiran-pemikiran tersebut dapat pula di ambil dari materi sebagaimana terlihat pada akidah Sosialisme-Komunisme.
Tanya : Bagaimana akidah dapat menjadi dasar peradaban dalam kehidupan dunia?
Jawab: Akidah adalah sumber pemikiran dan pemahaman manusia. Dengan landasan akidahlah manusia berinteraksi dengan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan. Jika seseorang Muslim, dia akan menolak gambar telanjang (porno). Akan tetapi, jika bukan Muslim, dia memandang gambar itu sebagai bagian dari seni yang indah. Setiap orang mengambil pemahaman dari akidah yang dianutnya. Seorang Muslim saat memberi sedekah mengharapkan ridha Allah Swt., sementara itu seorang yang bukan Muslim akan memberi karena ada kemaslahatan berupa manfaat. Hal tersebut mengikuti pemahaman akidahnya.
Peradaban (hadharah) adalah kumpulan pemikiran, bahkan pemahaman terhadap segala sesuatu dalam kehidupan. Pemikiran dan pemahaman ini bisa terpancar dari akidah atau dibangun di atas akidah sehingga akidah adalah asas bagi peradaban.
Tanya: Bagaimana akidah menjadi asas peraturan dalam kehidupan dunia?
Jawab: Tatkala akidah menjadi sumber bagi penyelesaian urusan kehidupan, yaitu peraturan. Dengan demikian, akidahlah yang menjadi asasnya.
Tanya: Bagaimana akidah menjadi asas bagi negara dalam kehidupan dunia?
Jawab: Tatkala akidah menjadi asas aturan, maka berarti menjadi asas negara selama negara merupakan lembaga administratif bagi kehidupan dunia.
Tanya: Apa arti mengingkari salah satu ayat al-Quran al- Karim?
Jawab: Artinya, tidak adanya pengakuan terhadapnya atau mengingkari kelayakannya dengan alasan perubahan zaman atau tempat.

Ulasan
Apa kepentingan membahas metode yang benar bagi keimanan yang benar dalam kehidupan seorang Muslim--yang kenyataannya sekarang telah hancur oleh malapetaka di setiap aspek kehidupannya--agar bisa mencapai kebangkitan dan terlepas dari seluruh malapetaka ini?
Tidak diragukan lagi bahwa dengan adanya malapetaka, akan mewujudkan kebangkitan seorang Muslim sebagai individu dan sebagai bagian dari umat dalam rangka mewujudkan kebangkitan umat Islam dan masyarakat Islam. Setiap kali individu Muslim bangkit dan maju, maka ia terlepas dari bencana yang menyebabkan kesengsaraan, dan setiap kali umat Islam bangkit dan maju, maka umat telah terlepas dari sebab-sebab kesengsaraan di tempat mereka hidup. Bagaimana caranya membangkitkan seorang Muslim dan umat Islam, selanjutnya bagaimana cara membangkitkan masyarakat Islam?
Seorang Muslim bangkit tatkala mengalami kemajuan berpikir dan berperilaku dalam semua aspek kehidupannya. Hal ini terjadi apabila telah terpenuhi empat hal berikut. Akidah yang lurus; beribadah yang benar; mempunya akhlak yang utama; serta bermuamalah yang lurus.
Akidah dan ibadah mengatur interaksi manusia dengan Rabb-nya, akhlak mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan muamalat mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain. Ketika seorang Muslim yakin dan menganut pemikiran akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah tersebut, maka dia akan mengalami peningkatan pemikiran dengan cara yang benar apabila semua pemikiran yang dianutnya itu benar. Hal ini pasti tidak bisa dicapai selain dengan apa yang ada dalam Islam, bukan dengan yang lain. Kemudian, kemajuan itu bisa dicapai dengan menerapkan pemikiran-pemikiran ini secara sempurna dalam ucapan, perbuatan, atau perilakunya sehingga perilakunya akan maju secara benar apabila penerapan pemikiran ini juga benar seperti benarnya pemikiran itu sendiri.
Ketika mengikuti pembahasan metode yang benar bagi keimanan yang benar sebanyak lima bab, kita melihat bagaimana ketinggian perilaku seseorang muncul sebagai hasil dari ketinggian pemikirannya. Demikian pula dengan pembahasan bagaimana mewujudkan pemikiran sahih pada seseorang hingga dia mewujudkan perilaku yang luhur, yang berikutnya kita anggap dia telah bangkit atau maju.
Benar, bahwa kebangkitan seseorang tidak mungkin dapat mewujudkan kebangkitan umat ataupun masyarakat karena selamanya seorang Muslim adalah salah satu unsur bangunan umat dan masyarakat. Bagaimanapun unsur-unsur kebangkitan dan kemajuan pada individu akan tetap berbeda jenisnya dengan unsur-unsur yang dapat membangkitkan umat atau masyarakat. Demikianlah realitas umat mana pun. Dalam konteks ini, gambaran umat adalah kumpulan orang-orang yang menganut pemikiran ideologis tertentu, yaitu akidah yang memancarkan aturan hidup.
Hal ini tidak berarti pentingnya penganutan pemikiran ini oleh semua individu umat, sebagaimana tidak berarti pula pemikiran tentang ibadah, akhlak, dan muamalat yang diperlukan dalam kemajuan dan kebangkitan individu ada dalam kehidupan setiap individu. Akan tetapi, kepentingannya adalah pemikiran ideologis ini dianut oleh sebagian umat bukan oleh setiap individu umat. Dengan demikian, pada saat itu umat akan bangkit dan maju, meskipun setiap individunya tidak mencapai kebangkitan dan kemajuan .
Adapun unsur pembentuk masyarakat jenisnya lebih banyak dari unsur yang ada pada individu. Masyarakat adalah gambaran sekelompok orang yang diikat oleh interaksi tertentu yang mengatur semua aspek kehidupan mereka. Interaksi yang teratur ini tidak akan ada, kecuali dengan adanya penerapan aturan dan solusi yang diakui oleh akidah ideologis yang dipeluk umat dalam masyarakat itu. Dalam kondisi ini setiap kali kita membahas masyarakat Islam, aspek ekonomi akan diselesaikan dengan sistem ekonomi Islam, yaitu pemikiran tentang ekonomi yang terpancar dari Akidah Islam atau dilandaskan pada Akidah Islam, artinya apa yang diakui oleh akidah dalam masyarakat Islam.
Begitu pula aspek lainnya seperti pemerintahan, pergaulan, pendidikan, hubungan luar negeri, dan lain-lain diselesaikan dengan aturan Islam. Hal ini tidak berarti pula sangat perlu adanya pemelukan pemikiran yang akan diterapkan oleh seluruh individu masyarakat. Namun, yang terpenting bahwa sejumlah individu masyarakat menganut pemikiran yang diterapkan itu dan mereka menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan, sementara itu individu yang lainnya merasa ridha dalam mengikuti mereka. Saat itulah masyarakat akan bangkit, meskipun setiap individunya tidak mengalami kebangkitan.
Melalui penjelasan tata cara kebangkitan individu Muslim, umat Islam, dan masyarakat Islam, kita memahami kepentingan suatu pemikiran dalam diri individu dan masyarakat. Kita memahami keharusan adanya pemikiran yang bersifat ideologis karena pemikiran ini mencakup akidah yang mempunyai aturan dan juga memberi pemahaman tentang apa pun dalam kehidupan ini, berikutnya mengatur perilaku individu, umat, serta masyarakat. Dengan memahami kepentingan pemikiran ideologis, kita pun menjadi sadar akan kepentingan adanya keimanan yang lurus dalam kehidupan dengan akidah ideologis, yaitu akidah yang mempunyai aturan untuk mengatur semua aspek kehidupan. Adanya keimanan yang lurus ini secara pasti mengharuskan kita berperilaku lurus untuk sampai padanya, selanjutnya dalam hidup kita berhasil mewujudkan kaum Muslim sebagai individu ataupun masyarakat.
Di sinilah kepentingan disusunnya pembahasan ini, yang setiap babnya diawali dengan pemaparan dan dilanjutkan dengan diskusi. Semoga Allah Swt. menolong, memberi taufik, dan juga perlindungan-Nya.
Seandainya ada hal yang kami harapkan dari pemaparan dan diskusi ini, maka itu adalah agar kaum Muslim khususnya tertarik perhatiannya pada masalah ini. Selain itu, agar setiap pembaca dan pendengar umumnya untuk menuangkan pembahasan ini ke dalam bahasa Inggris atau bahasa lain. Semua ini adalah tujuan dari renungan dan keterikatan dalam rangka mencari kebaikan di dunia dan akhirat.

No comments: