Wednesday, April 18, 2007

JENIS-JENIS HUKUM SYARA’

Pemaparan

Setiap hukum, apa pun sumbernya, berkaitan dengan salah satu perbuatan yang dilakukan manusia. Artinya, hukum tersebut merupakan solusi bagi sebuah persoalan kehidupan manusia. Hukum tersebut bisa bersumber dari akal manusia tanpa berpegang pada satu rujukan apa pun, selain pada perundang-undangan yang dibuat manusia. Hukum seperti ini disebut hukum positif (hukum buatan manusia). Selain itu, bisa bersumber dari ijtihad manusia yang disandarkan pada nas-nas syara’ sebagai rujukan dalam penggalian hukum. Nas syara’ ini di antaranya adalah al-Quran dan Sunah. Hukum yang bersumber dari ijtihad ini dinamakan hukum syara’.
Dengan demikian, definisi hukum syara’ adalah seruan Syaari’, yaitu Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia). Artinya, seruan itu adalah tuntutan Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya yang berkaitan dengan perbuatan mereka serta pengaturannya. Jika tidak berkaitan dengan perbuatan--seperti halnya akidah--maka tidak dikatakan sebagai hukum syara’, tetapi akidah saja.
Maksud dari berkaitan dengan perbuatan adalah manusia dituntut untuk melakukannya atau tidak melakukannya (meninggalkannya). Misalnya, tuntutan untuk melakukan usaha mencari rezeki dan tidak boleh berpangku tangan, juga tuntutan bahwa rezeki yang didapat itu harus halal, tidak boleh rezeki yang haram. Adapun tuntutan kepada manusia untuk meyakini ini dan jangan meyakini itu, bukanlah termasuk hukum syara’, melainkan termasuk perkara yang dituntut dalam keimanan.
Ini dari sisi definisi hukum syara’ dan realitasnya. Adapun dari sisi ketetapan dan keberadaan dalalahnya (penunjukannya), adakalanya bersifat qath’iy (pasti), seperti apa yang tercantum dalam al-Quran dan Hadis Mutawatir. Contohnya, seperti jumlah rakaat shalat fardhu yang ada di dalam Hadis Mutawatir. Di samping itu, adakalnya bersifat dzanni (dugaan kuat), seperti hukum-hukum yang ada pada Hadis selain Mutawatir.
Al-Quran dan Hadis Mutawatir keduanya bersifat qath’iy tsubut (pasti sumbernya). Nas-nas (teks-teks) yang ada di dalamnya ada yang qath’iy dalalah (penunjukan dalil bersifat pasti), seperti jumlah rakaat shalat fardhu, ada pula yang dzanni dalalah (penunjukan dalil bersifat dugaan kuat). Hukum yang dikandung oleh nas qath’iy tsubut dengan dzanni dalalah ini bersifat dzann (dugaan kuat), contohnya adalah ayat tentang jizyah. Dari sisi sumber, bersifat qath’iy tsubut karena tercantum dalam al-Quran, namun dari sisi penunjukannya bersifat dzanni. Dalam hal ini, penunjukan ayat tersebut memungkinkan untuk ditujukan pada jizyah sebagaimana pendapat mazhab Hanafi ketika disyaratkan pemberian jizyah itu harus menampakkan kehinaan dari si pemberi jizyah. Sementara itu, mazhab Syafi’i menamainya dengan zakat berganda dan tidak disyaratkan adanya kehinaan, tetapi cukup dengan sikap tunduk pada hukum Islam ketika membayarnya.
Ada pula Khithab Syaari (seruan Allah pada hamba) ini yang bersifat dzanni tsubut (sumbernya masih dugaan kuat), seperti Hadis-hadis di luar Mutawatir sehingga hukum yang bersumber darinya tidak bersifat qath’iy (pasti), tetapi bersifat dzanni. Dari sisi dalalahnya ada yang qath’iy, seperti hukum shaum enam hari di bulan Syawal, dan ada yang dzanni seperti hukum larangan menyewakan lahan untuk pertanian.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara menggali hukum syara’ dari Khithab Syaari (seruan Allah) atau dari nas syara’?
Jawabnya, dengan ijtihad yang benar. Artinya, seorang mujtahid mencurahkan segenap upayanya dalam meng-istinbath (menggali) hukum dari nas-nas syara’. Dengan upaya ini, muncul hukum syara’ yang telah digali, yaitu hukum Allah yang ada pada dirinya, selama dia mencurahkan segenap upayanya sehingga sampai pada satu hukum yang diduga kuat olehnya.
Tidak disebut seorang mujtahid apabila tidak memiliki keahlian yang sempurna untuk berijtihad dalam satu masalah ataupun banyak masalah yang akan diijtihadinya. Keahlian ini tidak terwujud, kecuali apabila dia memiliki ilmu-ilmu yang diakui dan harus dimiliki oleh seorang mujtahid, seperti ilmu tentang al-Quran, Sunah dan ilmu tata bahasa Arab.
Namun, termasuk perkara yang mustahil jika keahlian ini dapat dimiliki oleh semua mukalaf (orang dewasa yang dibebankan hukum atasnya). Karena itu, mukalaf terbagi menjadi dua sebagai berikut.
Pertama, orang yang punya keahlian untuk berijtihad yang selanjutnya dinamakan dengan mujtahid. Mujtahid adalah orang yang berijtihad dalam satu masalah sampai dia menemukan hukum untuk masalah tersebut. Dalam hal ini, semua ulama fiqih sepakat bahwa bagi seorang mujtahid tidak boleh mengikuti (taklid) kepada mujtahid lain dalam masalah yang sama, kemudian dia meninggalkan hasil ijtihadnya sendiri.
Hal ini diperbolehkan hanya pada satu kondisi, yaitu ketika seorang khalifah telah mengadopsi satu hukum syara’ yang berbeda dengan hukum yang dihasilkan dari ijtihadnya. Dalam hal ini, mujtahid tersebut wajib mengamalkan perkara yang telah diadopsi khalifah dan meninggalkan hasil ijtihadnya. Berkaitan dengan masalah ini, perintah atau keputusan khalifah dapat menghilangkan perselisihan di antara dua mujtahid. Para mujtahid diharuskan untuk mengikuti keputusan khalifah dan meninggalkan hasil ijtihadnya.
Hal ini terjadi apabila seorang mujtahid telah berijtihad dalam satu masalah. Apabila dia belum berijtihad dalam masalah tersebut, diperbolehkan baginya untuk mengikuti mujtahid lain. Hal ini berdasarkan Ijma Sahabat ra ketika mereka berpendapat tentang kebolehan seorang mujtahid meninggalkan hasil ijtihadnya, yaitu pada saat mujtahid tersebut tidak mencurahkan upayanya untuk menggali hukum, lalu bertaklid kepada mujtahid yang lain.
Kedua, orang yang tidak punya keahlian untuk berijtihad yang dinamakan dengan muqallid (pengikut). Muqallid terbagi menjadi dua, pertama muqallid muttabi’, yaitu orang yang mempunyai sebagian ilmu yang diperlukan dalam berijtihad, seperti baru memahami sebagian ilmu Hadis, sebagian ilmu tentang al-Quran, atau sebagian ilmu bahasa Arab, jadi ilmunya itu belum sempurna. Orang tersebut diperbolehkan mengikuti seorang mujtahid setelah diketahui dalilnya. Pada saat itu hukum Allah atas muttabi’ tersebut adalah pendapat mujtahid yang diikutinya. Kedua, muqallid ‘ammi, yaitu orang yang tidak mempunyai ilmu untuk berijtihad sehingga mengikuti seorang mujtahid tanpa mengetahui dalil yang digunakan oleh mujtahid tersebut. Berdasarkan hal ini, muqallid ‘ammi diharuskan mengikuti ucapan atau pendapat para mujtahid, serta menerima hukum-hukum yang digali oleh mereka. Hukum Allah yang berlaku pada dirinya adalah hukum yang digali oleh mujtahid yang diikutinya.
Bolehkah bagi muqallid muttabi’ atau ‘ammi berpindah mengikuti mujtahid lain sesuai dengan yang diinginkan, baik dalam satu maupun beberapa masalah?
Pada faktanya, mayoritas kaum Muslim adalah muqallid. Adapun seorang muqallid yang mengikuti sebagian mujtahid dalam satu masalah dari berbagai masalah yang ada, serta bertindak sesuai dengan pendapat mujtahid dalam masalah tersebut, maka dia tidak boleh meninggalkan pendapat mujtahid itu dalam hukum tersebut. Seorang muqallid boleh mengikuti mujtahid lainnya dalam masalah yang lain sebagaimana ketetapan dari Ijma Sahabat tentang kebolehan seorang muqallid meminta fatwa kepada orang ‘alim dalam masalah yang lain. Jadi, jika seorang muqallid telah menentukan satu mazhab, maka dia terikat untuk mengikuti satu masalah di antara masalah dalam mazhab tersebut. Adapun dalam masalah lainnya yang belum dilakukan, diperbolehkan mengikuti pendapat di luar mazhab tersebut.
Hal di atas berkaitan dengan berpindahnya seorang muqallid dalam satu tingkatan, baik sebagai muqallid ‘ammi ataupun muttabi’. Adapun apabila berpindah dari derajat bawah ke derajat yang lebih tinggi, yaitu dari muqallid ‘ammi ke muttabi’, maka muqallid boleh meninggalkan taklidnya dalam satu hukum ataupun mazhab apabila dia mengetahui dalil hukum baru yang diikutinya.
Sementara itu, bagi seorang mujtahid, boleh meninggalkan hasill ijtihadnya dalam satu masalah tertentu dan mengikuti mujtahid lain, selama hal itu untuk kesatuan pendapat kaum Muslim. Misalnya, seperti yang terjadi pada saat Umar ra dibaiat. Beliau bersedia untuk meninggalkan ijtihadnya dan mengambil ijtihad Abu Bakar ra demi mempersatukan pendapat kaum Muslim. Dalam hal ini tidak ada seorang pun dari Sahabat yang mengingkarinya.
Demikianlah penjelasan mengenai hukum syara’ dan keharusan untuk terikat padanya. Apa saja jenis hukum syara’ tersebut?
Hukum syara’ terdiri dari lima macam, yaitu fardhu, haram, mandub, makruh, dan mubah. Hukum syara’ bisa berbentuk tuntutan untuk melakukan sesuatu atau tuntutan untuk meninggalkannya, serta tuntuan untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Tuntutan untuk melakukan satu perbuatan adakalanya bersifat pasti sehingga hukumnya menjadi fardhu atau wajib. Adakalnya juga bersifat tidak pasti dan hukumnya adalah mandub atau nafilah. Adapun saat tuntutan untuk meninggalkan perbuatan bersifat pasti, hukumnya adalah haram atau terlarang, serta apabila tuntutannya tidak pasti, hukumnya adalah makruh. Sementara itu, hukum mubah adalah ketika ada pilihan untuk melakukan atau meninggalkan satu perbuatan.
Apa konsekuensi dari setiap hukum tersebut?
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang diwajibkan, akan mendapatkan pujian. Setiap orang yang tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan tersebut, maka akan mendapat celaan. Setiap orang yang meninggalkan perbuatan yang diharamkan, akan mendapatkan pujian, dan setiap orang yang melakukan keharaman, akan mendapatkan celaan. Adapun setiap orang yang melakukan perbuatan yang disunahkan, akan mendapat pujian, sedangkan orang yang tidak melakukannya, tidak akan mendapat celaan.
Bagi setiap orang yang menjauhi hal yang dimakruhkan, akan mendapat pujian, sedangkan orang yang melakukannya tidak akan mendapat celaan karena meninggalkan hal yang makruh lebih utama daripada melakukannya. Sementara itu, melakukan atau meninggalkan perkara yang mubah, keduanya adalah sama, tidak akan mendapat pujian ataupun celaan.





Diskusi

Tanya : Apakah keimanan dianggap sebagai satu perbuatan?
Jawab: Tidak, itu tidak termasuk perbuatan, tetapi keimanan ada dalam diri manusia. Adapun perbuatan adalah sesuatu yang tampak dari anggota tubuh manusia.
Tanya : Mengapa sumber hukum yang bersifat pasti (qath’iy tsubut) hanya terbatas pada al-Quran dan Hadis Mutawatir?
Jawab: Memang, hanya dua sumber itulah yang layak untuk disifati demikian. Keduanya sudah dipastikan secara mutlak diturunkan dari Allah Swt. sebagai sumber Syariat Islam.
Tanya : Apa arti qath’iy dan dzanni dalalah?
Jawab: Qath’iy dalalah artinya nas syara’ yang hanya mempunyai satu penunjukan dalam bentuk yang tidak diragukan lagi. Misalnya, firman Allah Swt.,“Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS al-Baqarah [2]: 275). Hukum halalnya jual beli dan haramnya riba adalah hukum yang bersifat qath’iy dalalah.
Dzanni dalalah artinya nas syara’ yang mempunyai lebih dari satu penunjukan sehingga mungkin untuk mengambil penunjukan lain dengan dasar tarjih (memilih yang terkuat) dari beberapa penunjukan itu. Contohnya, firman Allah Swt., “Apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmu hendaknya kamu berharap” (QS Alam Nasyrah [94]: 7-8). Nas tersebut bisa saja menunjukkan apabila selesai dari ibadah, harus bersungguh-sungguh dalam berdoa dan memohon kepada Allah Swt., serta bisa juga menunjukkan apabila selesai dari satu pekerjaan tertentu, kerjakan dengan sungguh-sungguh pekerjaan selanjutnya.
Tanya: Bagaimana Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i memahami berbeda ayat tentang jizyah?
Jawab: Ayat jizyah berbunyi, “Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (QS at-Taubah [9]: 29). Penggalan ayat inilah yang memunculkan perbedaan di antara dua mazhab. Imam Hanifah berpendapat pemberian harta tersebut tetap disebut sebagai jizyah dan disyaratkan penampakan kehinaan serta ketundukan sebagaimana tercantum dalam teks ayat tersebut. Imam Syafi’i berpendapat mungkin untuk menyebutnya dengan zakat berganda tanpa memperlihatkan kehinaan karena dengan mengeluarkan harta jizyah saja sudah menunjukkan kehinaan (orang kafir dzimmi).
Tanya : Mengapa tidak dibenarkan seorang muqallid berpindah dari taklidnya dalam satu masalah, dari seorang alim (ulama) kepada alim yang lain selama berada dalam derajat taklid yang sama?
Jawab: Berpindahnya seorang muqallid dari taklidnya, adakalanya bertujuan untuk lebih banyak lagi mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tujuan ini dapat dicapai dengan pindahnya muqallid ‘ammi ke muqallid muttabi’, artinya dia berpindah dari kondisi tidak mengetahui dalil perbuatan menjadi mengetahui dalilnya. Adakalanya juga berpindah taklid itu karena untuk mencari kemudahan dan keringanan. Ini berarti dia mengikuti hawa nafsunya, bukan untuk taqarrub dan taat kepada Allah Swt.
Tanya : Bolehkah seorang muqallid mazhab Hanafi berpindah pada mazhab Syafi’i atau sebaliknya?
Jawab: Seorang muqallid ‘ammi atau muttabi’ diperbolehkan untuk mengikuti seorang yang alim atau mazhab tertentu dalam satu masalah, kemudian mengikuti orang alim atau mazhab lainnya dalam masalah yang berbeda.
Tanya: Apakah boleh seorang muqallid meninggalkan pendapat Imam Syafi’i mengenai batalnya wudhu karena menyentuh kulit wanita asing, kemudian ia mengambil pendapat Imam Hanafi dalam masalah tersebut?
Jawab: Selama muqallid tersebut berada pada derajat taklid yang sama, dilarang untuk melakukan hal tersebut. Saat seorang muqallid mengikuti pendapat Imam Syafi’i berada dalam kondisi muqallid ‘ammi, kemudian ingin mengikuti pendapat Imam Hanafi--yaitu tidak batal wudhunya jika bersentuhan dengan wanita asing--maka boleh baginya melakukan itu. Akan tetapi, dengan syarat dia harus mengkaji dalil yang dipergunakan oleh Imam Hanafi dalam masalah shalat, wudhu, dan rukunnya.
Pada saat itu dia telah berpindah dari muqallid ammi’ menjadi muqallid muttabi’. Dia berada pada derajat yang lebih baik dari sebelumnya dalam hal interaksi dengan hukum syara’. Allah Swt. berfirman, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS az-Zumar [39]: 9).
Tanya: Apabila hukum-hukum syara’ berkaitan dengan perbuatan manusia, maka bagaimana halnya dengan kisah-kisah umat masa lalu yang tercantum dalam al-Quran?
Jawab: Hukum-hukum syara’ merupakan perintah dan larangan Allah Swt. yang berhubungan dengan perbuatan hamba. Allah Swt. memerintahkan hambanya untuk berbuat sesuatu dan memintanya untuk meninggalkan sesuatu. Adapun kisah-kisah dalam al-Quran merupakan nasihat dan pelajaran bagi Rasul saw. dan juga bagi umatnya. Allah Swt. meminta kita untuk meyakini kebenaran kisah dan peristiwa tersebut sehingga terhadap kisah-kisah tadi al-Quran meminta kita untuk membenarkannya.
Tanya: Apa perbedaan antara fardhu dan wajib yang merupakan salah satu hukum syara’?
Jawab: Mayoritas kalangan ulama fiqih (fuqaha) mengartikan sama. Meskipun Abu Hanifah berpendapat fardhu itu statusnya lebih kuat dari wajib. Beliau mencontohkan shalat sunah witir ba’da ‘Isya hukumnya wajib, sedangkan ulama lain mengatakan sunah muakkad. Namun, dalam hal status hukum shalat ‘Isya semua ulama mengatakan fardhu, bukan wajib.
Tanya : Apa perbedaan antara mandub dengan nafilah?
Jawab: Mandub dalam hukum syara’ bermakna apabila perbuatan itu dilakukan akan mendapat pujian dan apabila ditinggalkan tidak mendapat cela. Jadi, melakukannya lebih utama daripada meninggalkannya. Sementara itu, nafilah sesuatu yang diperoleh dari perkara ibadah mandub sehingga dalam ibadah mandub disebut nafilah, sedangkan dalam muamalah dikatakan mandub.
Tanya : Apa perbedaan antara mahram (yang diharamkan) dengan mahdzur (yang dilarang)?
Jawab: Tidak ada bedanya, keduanya punya makna yang sama.
Tanya : Apa yang dimaksud dengan dalil sam’iy dalam definisi mubah, bahwasanya mubah itu adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil sam’iy berupa pilihan untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan?
Jawab: Dalil-dalil hukum syara’ ada yang sam’iy, yaitu dalil tersebut disampaikan oleh mereka yang mendengarnya dari satu ke generasi ke generasi selanjutnya, hal seperti ini disebut pula dalil manqul. Ada pula dalil ‘aqli, yaitu dalil yang digali dari nas-nas syara’ melalui proses ijtihad, hal ini disebut dalil ma’qul.
Tanya : Selama hukum mubah tidak menuntut untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, mengapa dimasukkan ke dalam hukum syara’?
Jawab: Selama hukum tersebut berkaitan dengan perbuatan hamba, maka itu dimasukkan ke dalam hukum syara’, sebagaimana definisi hukum syara’ itu sendiri. Mubah adalah permintaan untuk memilih antara melakukan sesuatu atau tidak melakukannya, dan permintaan ini berhubungan dengan perbuatan manusia.
Tanya: Apa pengaruh yang ditimbulkan dari pelaksanaan hukum-hukum syara’ dengan adanya pujian dan celaan?
Jawab: Benar, orang yang mendapat pujian karena melakukan satu perbuatan atau meninggalkan perbuatan (yang dilarang), di akhirat nanti akan dibalas dengan Surga. Begitu pula orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diwajibkan, di akhirat nanti akan dibalas dengan Neraka.
Akan tetapi, pada sebagian besar manusia, sanksi (siksaan) bagi orang yang mendapat celaan dan balasan bagi orang yang mendapatkan pujian di dunia, lebih penting dari akhirat. Hal ini disebabkan hukum yang dapat diindra dan dirasakan lebih kuat pengaruhnya daripada hukum yang gaib. Menurut prasangka mereka, hukum yang dekat lebih kuat pengaruhnya daripada yang jauh.
Pada hakikatnya sanksi di dunia akan mencegah seseorang untuk melakukan kesalahan dan juga mencegah masyarakat dari hal serupa. Sanksi tersebut juga akan membersihkan dosa pelakunya. Namun, pengertian seperti ini tidak terbayang pada mayoritas orang sebagaimana rasa takut turunnya sanksi terhadap mereka atau keinginan memperoleh balasan yang baik bagi amal mereka.
Sehubungan dengan itu, maka jika ada balasan Surga atau Neraka di akhirat bagi sekelompok kecil orang Mukmin, hal ini karena sanksi di dunia berupa qishash, hudud, atau ta’zir mempunyai banyak kelemahan. Bahkan, adanya balasan tersebut karena hilangnya keimanan; kelonggaran manusia dalam melakukan perbuatan mereka berdasarkan syara’; serta karena kelalaian mereka dalam menjalankan perintah dan larangan Allah Swt.







No comments: