Tuesday, April 24, 2007

HUKUM-HUKUM TANAH

HUKUM-HUKUM TANAH


Setiap jenis tanah mempunyai lahan sekaligus memiliki kegunaan (utility). Lahan adalah zat tanahnya itu sendiri, sedangkan kegunaan (utility) adalah penggunaannya, misalnya untuk pertanian dan sebagainya. Islam telah memperbolehkan memiliki lahan dan kegunaan (utility)-nya. Islam juga menentukan hukum bagi masing-masing kepemilikan --baik lahan maupun kegunaan (utility)-nya. Adapun tentang kepemilikan lahan tanah itu memang harus diteliti terlebih dahulu: Apabila negara, termasuk diantaranya adalah tanah setempat, telah ditaklukkan melalui peperangan secara paksa, maka lahan tanah tersebut adalah menjadi milik negara. Tanah tersebut dianggap sebagai tanah kharajiyah, selain jazirah Arab.
Apabila negara, termasuk diantaranya adalah tanah setempat, telah ditaklukkan dengan damai, maka harus diteliti terlebih dahulu: Apabila perdamaian tersebut telah menyepakati, bahwa tanah tersebut adalah milik kita (baca: kaum muslimin), dan kita membiarkan penduduknya untuk menempatinya dengan catatan mereka harus membayar kharaj sebagai kompensasinya, maka kharaj ini berlaku selama-lamanya atas tanah tersebut. Dan, tanahnya tetap menjadi tanah kharajiyah hingga hari kiamat, meskipun tanah tersebut telah ditranfer kepada kaum muslimin karena masuk Islam, dibeli ataupun dengan cara lain.
Apabila perdamaian tersebut telah menyepakati, bahwa tanah tersebut adalah milik mereka (baca: kaum kuffar), serta tetap menjadi milik mereka, dan mereka ditetapkan di sana dengan keharusan membayar kharaj tertentu yang diambil sebagai kewajiban mereka, maka kharaj tersebut statusnya adalah sama dengan jizyah. Dimana kharaj tersebut akan gugur, kalau mereka masuk Islam, atau menjual tanah tersebut kepada orang Islam. Akan tetapi kalau mereka menjual tanah tersebut kepada orang kafir, maka kharaj tersebut tetap berlaku dan tidak gugur sebagai kewajiban mereka. Sebab orang kafir memang layak untuk membayar kharaj dan jizyah.
Apabila negeri tersebut penduduknya terlebih dahulu memeluk Islam, seperti Indonesia atau jazirah Arab, maka lahan tanah tersebut adalah milik penduduk setempat. Dan status tanahnya adalah tanah usyriyah. Alasannya adalah karena status tanah itu sama dengan harta, sehingga bisa dianggap sebagai ghanimah yang didapatkan dalam peperangan. Jadi, hukumnya halal dan menjadi milik baitul mal. Hafash Bin Ghuyats dari Abi Dza'bi dari Az Zuhri yang mengatakan: [1]"Rasulullah SAW telah menerima jizyah dari orang Majusi Bahrain."[1] Az Zuhri mengatakan: [1]"Siapa saja di antara mereka yang memeluk Islam, maka keislamannya bisa diterima dan keselamatan dirinya serta hartanya akan dilindungi, selain tanah. Sebab tanah adalah harta rampasan --yang menjadi hak-- bagi kaum muslimin, apabila sejak awal dia tidak memeluk Islam, maka ia tetap dilarang (memilikinya)."[1]
Perbedaan antara tanah dengan harta ghanimah yang lain adalah, bahwa harta ghanimah yang lain bisa dibagi, dimanage dan diberikan kepada seseorang, sedangkan tanah itu lahannya tetap secara de jure dimanage oleh baitul mal. Namun, tanah tersebut tetap bisa dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Tentang status tanah yang tetap menjadi milik baitul mal dan lahannya tidak dapat dibagi, selain bisa dimanfaatkan oleh penduduk setempat, itu nampak dari status tanah tersebut sebagai harta rampasan umum bagi seluruh kaum muslimin, baik mereka yang hidup pada masa penaklukan ataupun genarasi pasca mereka.
Sedangkan status tanah jazirah Arab, semuanya adalah usyriyah. Sebab, Nabi SAW telah menaklukkan Makkah dengan paksa, lalu membiarkan tanahnya untuk penduduknya, tanpa dibebani untuk membayar kharaj. Sebab, status kharaj tanah itu sama dengan jizyah, yaitu untuk orang, padahal kharaj tanah Arab tersebut tidak ditetapkan, sama seperti tidak ditetapkannya jizyah untuk lahan-lahan mereka. Karena apabila kharaj diberlakukan atas suatu negeri, maka penduduk negeri setempat, berikut apa yang menjadi keyakinan mereka serta apa yang menjadi sesembahan mereka, tetap akan dibiarkan, sebagaimana yang terjadi di daerah Sawad-Irak. Dimana orang-orang musyrik Arab, ketika itu, tidak ada pilihan lain selain memeluk Islam atau pedang. Allah SWT berfirman:



[1]"Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan."[1] (Q.S. At Taubah: 5)

[1]"Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)."[1] (Q.S. Al Fath: 16)

Selama mereka tidak dipungut jizyah, maka tanah mereka juga tidak akan dipungut kharaj.
Oleh karena itu, lahan tanah di tiap-tiap negeri yang telah ditaklukkan oleh Islam dengan paksa atau damai, dengan perjanjian bahwa tanah tersebut menjadi milik kita (kaum muslimin), maka tanah tersebut adalah milik negara dan dianggap sebagai tanah kharajiyah, baik tanah tersebut tetap dikuasai oleh umat Islam seperti Mesir, Irak dan Turki, ataupun yang kini dikuasai oleh orang-orang kafir seperti Spanyol, Ukrania, Albania, India, Yugoslavia dan sebagainya. Sedangkan tanah yang penduduknya terlebih dahulu memeluk Islam, seperti Indonesia dan seluruh tanah di jazirah Arab adalah milik penduduk setempat dan disebut dengan tanah usyriyah.
Adapun kegunaan (utility) tanah adalah bagian dari hak milik individu (private propherty), baik status tanahnya kharajiyah maupun usyriyah; baik diberikan secara cuma-cuma oleh negara kepada mereka, atau karena hasil pertukaran dengan sesama mereka, atau karena mereka yang menghidupkannya ataupun karena mereka yang memagarinya. Kegunaan (utility) ini telah memberikan hak-hak yang yang sama kepada pemanagenya, seperti hak-hak yang diberikan kepada pemilik lahannya. Sehingga, dia berhak menjualnya, atau menghibahkan atau mewariskannya. Sebab negara berhak memberikan tanah-tanah tersebut kepada individu, baik status tanah tersebut usyriyah ataupun khirajiyah. Hanya bedanya, kalau yang diberikan tersebut adalah tanah khirajiyah, berarti yang dimiliki hanya kegunaan (utility) tanah tersebut, sedangkan lahannya tetap menjadi milik baitul mal. Sementara kalau yang diberikan adalah tanah usyriyah, maka yang dimiliki adalah lahan sekaligus kegunaan (utility)-nya.
Perbedaan antara usyur dengan kharaj adalah, bahwa usyur itu merupakan hasil tanah, yaitu pungutan yang diambil oleh negara dari pengelola tanah sebesar 1/10 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diairi dengan air tadah hujan, dengan pengairan alami. Dan negara akan mengambil 1/20 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diairi oleh orang atau yang lain dengan pengairan teknis (buatan). Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir yang mengatakan: Nabi SAW bersabda:

[1]"(Tanaman) apa saja yang diairi oleh bengawan dan hujan (harus dimabil) 1/10 (dari hasil panennya). Dan apa saja yang diairi dengan kincir air, maka (harus diambil) 1/20 (dari hasil panennya)."[1]

Usyur ini dianggap sebagai zakat dan diserahkan kepada baitul mal, serta tidak dibagikan kecuali kepada delapan ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam ayat: [1]"Sesungguhnya zakat itu hanya untuk para fakir, miskin ...."[1] (Q.S. At Taubah: 60).
Al Hakim, Al Baihaqi dan At Thabrani telah mengeluarkan hadits dari Abu Musa dan Mu'adz ketika Nabi SAW mengutus mereka berdua ke Yaman, agar mereka berdua mengajari penduduk di sana tentang masalah agama mereka. Beliau SAW bersabda:


[1]"Janganlah kalian mengambil shadaqah, selain dari empat jenis (buah-buahan), yaitu: sya'ir, hinthah, zabib (anggur) dan tamr (kurma)."[1]

Sedangkan kharaj tanah adalah harta yang diambil oleh negara dari pemilik tanah setempat, dengan kadar tertentu yang telah ditentukan dan dibatasi oleh negara, yang umumnya sesuai dengan perkiraan penghasilan tanah, bukan penghasilan riilnya. Tanah tersebut diperkirakan berdasarkan kandungannya, sehingga pemilik tanah setempat serta baitul mal tidak terdzalimi. Dan kharaj tersebut dipungut dari pemilik tanah, setahun sekali, baik tanah tersebut ditanami ataupun tidak, baik tanah tersebut subur ataupun kering. [1]"Umar Bin Khattab r.a. pernah mengirim Utsman Bin Hanif ke Sawad, dan memerintahkannya agar memungut (kharaj atas) tanah tersebut. Umar menetapkan untuk tiap satu jarib, baik yang ditempati ataupun ditanami termasuk yang bisa disamakan dengannya, (kharajnya) adalah sebesar satu dirham dan satu qafiz."[1] Riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Yusuf di dalam kitab Al Kharaj dari Amru Bin Maimun dan Haritsah Bin Mudhrib. Al Hajjaj Bin Arthi'ah menceritakan dari Amru Bin Auf:

[1]"Bahwa Umar Bin Khattab r.a. pernah memungut (kharaj) tanah Sawad, selain gunung Halwan. Lalu dia menetapkan untuk tiap satu jarib, baik yang ditempati ataupun yang ditanami, yang mendapatkan air dengan timba ataupun dengan yang lain, yang ditanami atau yang dibiarkan, adalah sebesar satu dirham dan satu qafiz."[1]

Riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Yusuf di dalam kitab Al Kharaj. Kharaj tersebut tempatkan di baitul mal pada bagian selain bagian zakat. Kemudian dibagikan untuk seluruh bagian yang sesuai dengan kebijakan negara, sebagaimana harta kekayaan yang lain.
Tanah yang telah ditaklukkan dengan cara paksa dan diambil kharaj-nya, maka kharaj tersebut tetap sepanjang masa. Apabila penghuni tanah tersebut memeluk Islam atau menjualnya kepada orang Islam, maka kharaj-nya tetap tidak akan gugur. Karena sifat tanah tersebut sebagai tanah yang ditaklukkan akan tetap hingga akhir zaman. Mereka juga wajib membayar usyur selain membayar kharaj. Sebab kharaj adalah hak yang diwajibkan atas tanah, sedangkan usyur adalah hak yang diwajibkan atas pengelola tanah yang muslim, berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang ada. Dan tidak ada kontradiksi antara kedua hak tersebut, sebab keduanya sama-sama wajib karena adanya dua sebab yang berbeda. Sementara apa yang dijadikan argumentasi oleh mazhab Imam Abu Hanifah, bahwa antara usyur dengan kharaj tidak bisa bersama-sama, yaitu hadits yang mereka riwayatkan dari Rasulullah SAW:



[1]"Tidak akan pernah bertemu, antara usyur dengan kharaj dalam satu tanah seorang muslim."[1]
Ini adalah bukan hadits, bahkan tidak satu al hafidz pun yang menetapkan bahwa riwayat di atas merupakan pernyataan Rasulullah SAW.
Kharaj harus dikeluarkan terlebih dahulu. Apabila setelah kharajnya dikeluarkan, namun hartanya masih cukup untuk membayar kewajiban zakat tanaman dan buah-buahan, semisal masih mencapai satu nishab, maka zakat tersebut harus dikeluarkan. Namun bila sisanya tidak mencapai satu nishab, maka tidak wajib zakat.

[1]Menghidupkan Tanah Mati[1]
Tanah mati adalah tanah yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, serta tidak nampak ada bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lain. Menghidupkan tanah mati (ihya'ul mawat) itu artinya mengelola tanah tersebut, atau menjadikan tanah tersebut layak untuk ditanami dengan seketika. Tiap tanah mati, apabila telah dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik orang yang bersangkutan. Syara' telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:


[1]"Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak."[1]
Imam Abu Dawud telah meriwayatkan, bahwa Nabi SAW telah bersabda:

[1]"Siapa saja yang telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya."[1]

Imam Bukhari juga meriwayatkan hadits dari Umar dari Rasulullah SAW, bahwa beliau SAW bersabda:

[1]"Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak miliknya."[1]

Jadi, baik muslim maupun kafir dzimmi adalah sama, karena hadits tersebut bersifat mutlak.
Menghidupkan tanah (ihya'ul mawat) itu berbeda faktanya dengan pemberian cuma-cuma (iqtha'). Perbedaannya adalah, bahwa ihya'ul mawat itu berhubungan dengan tanah mati, yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, juga tidak nampak adanya bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan ataupun yang lain. Ihya'ul mawat itu artinya mengelola tanah tersebut dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa tanah tersebut dikelola. Sedangkan iqtha' itu adalah memberikan tanah yang sudah dikelola dan layak ditanami, dengan seketika, atau tanah yang nampak sebelumnya telah dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan tahjir (baca: memagari tanah) itu statusnya sama dengan menghidupkan tanah. Hal itu didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW:

[1]"Siapa saja yang telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya."[1]


[1]"Siapa saja yang terlebih dahulu sampai pada suatu tempat yang belum pernah didahului oleh seorang muslim pun, maka dialah yang lebih berhak atas tempat tersebut."[1]

Juga karena dengan memagari tanah telah menjadikan orang yang memagarinya memiliki hak untuk memanagenya, berdasarkan nash hadits di atas. Begitu pula, orang yang memagarinya berhak melarang orang lain yang menginginkan untuk menghidupkan tanah yang sudah dipagarinya. Apabila orang tersebut memaksa, lalu dia menghidupkan tanah yang sudah dipagari orang tersebut, maka orang tersebut tetap tidak berhak memilikinya, dan tanah tersebut harus dikembalikan kepada orang yang memagari sebelumnya. Sebab, memagari itu statusnya sama dengan menghidupkan, yaitu berhak memanage tanah tersebut serta menguasainya. Apabila orang yang memagari tanah tersebut menjualnya, maka dia berhak mendapatkan harga dari hasil penjualannya. Sebab hal itu merupakan hak yang dikompensasi dengan harta tertentu, sehingga dia juga diperbolehkan untuk melakukan pertukaran atas tanah tersebut. Apabila orang yang memagari tersebut telah meninggal, maka pemilikannya bisa diwarisi oleh ahli warisnya, sebagaimana pemilikan-pemilikan yang lain. Mereka juga bisa memanagenya, dus akan dibagikan kepada mereka sesuai dengan ketentuan syara', sebagaimana pembagian harta-harta yang lain.
Yang dimaksud dengan memagari itu, bukan berarti meletakkan batu di atasnya, akan tetapi yang dimaksud adalah meletakkan apa saja yang bisa menunjukkan bahwa tanah tersebut menjadi kekuasaannya, atau miliknya. Sehingga memagari tanah itu bisa jadi dengan meletakkan batu di atas batas-batas tanah tersebut. Bisa jadi menggunakan selain batu, seperti menancapkan potongan dedahanan yang masih segar di sekeliling tanah tersebut, atau dengan membersihkan tanah tersebut, atau membakar duri yang ada di sana, ataupun memangkas rumput dan duri yang ada, serta menancapkan duri-duri di sekelilingnya agar orang yang ingin masuk tidak bisa, atau dengan menggali kali-kalinya dan tidak mengairinya, ataupun hal-hal lain yang serupa, maka semuanya itu termasuk dalam katagori memagari tanah.
Nampak dari hadits di atas, bahwa memagari tanah dus menghidupkannya adalah hanya berlaku untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Pernyataan Umar: [1]"Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang telah dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun."[1] adalah orang yang memagari tanah mati. Sedangkan tanah yang tidak mati, maka tidak bisa dimiliki dengan cara memagari, serta bukan dengan cara menghidupkannya, melainkan dengan cara pemberian cuma-cuma dari imam (khalifah). Sebab, menghidupkan tanah dan memagarinya telah dinyatakan hanya untuk tanah mati. Rasulullah SAW bersabda: [1]"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati."[1] Mati adalah sifat, sehingga mafhum mukhalafah-nya bisa dipergunakan. Maka, mati itu merupakan qayyid (penentu). Disamping itu, ada riwayat dari Al Baehaqi dari Amru Bin Syu'aib, bahwa Umar telah menjadikan tahjir dengan batas waktu tiga tahun, apabila tanah tersebut dibiarkan hingga lewat waktu tiga tahun, kemudian tanah tersebut dihidupkan oleh orang lain, maka dialah yang lebih berhak. Hal itu juga bisa diartikan, bahwa selain tanah mati tidak boleh dipagari serta tidak boleh dihidupkan.
Perbedaan antara tanah mati dengan tanah yang tidak mati ini menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati tersebut dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan salah satu kemubahan. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (khalifah). Sebab perkara-perkara yang dimubahkan tidak perlu minta izin dari imam (khalifah). Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, itu tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab hal itu tidak termasuk hal-hal yang mubah, melainkan hal-hal yang telah menjadi otoritas imam. Itulah yang kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah SAW, dimana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul agar beliau memberikannya.
Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati di atas tanah usyriyah, maka dia bisa memiliki lahan dan kegunaan (utility)-nya sekaligus, baik muslim maupun non muslim. Bagi seorang muslim wajib membayar usyur dari panen tanaman dan buah-buah sebagai zakat yang diwajibkan atas tanaman dan buah-buahan tersebut, apabila telah mencapai satu nishab. Sementara seorang non muslim tidak wajib membayar zakat, baik usyur maupun kharaj. Sebab, orang non muslim bukan orang yang wajib membayar zakat, sehingga dia bisa diwajibkan. Disamping karena kharaj itu tidak diwajibkan atas tanah usyur.
Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati di atas tanah kharajiyah, yang belum pernah ditarik kharaj-nya, maka dia berhak memiliki lahan dan kegunaan (utility)-nya sekaligus, bila dia seorang muslim; dan hanya berhak memiliki kegunaan (utility)-nya, apabila dia orang non muslim. Bagi seorang muslim, hanya wajib membayar usyur dan tidak wajib membayar kharaj. Sedangkan bagi orang non muslim wajib membayar kharaj, sebagaimana yang telah ditetapkan untuk penduduk tanah yang non muslim, ketika mereka dibiarkan pada saat penaklukkan, sebagai kompensasi kharaj yang harus mereka keluarkan.
Siapa pun yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, di atas tanah kharaj yang sebelumnya pernah ditetapkan kharaj-nya sebelum tanah tersebut berubah menjadi tanah mati, maka orang yang bersangkutan hanya berhak memiliki kegunaan (utility)-nya, bukan lahannya, baik muslim maupun non muslim. Maka, masing-masing tetap diwajibkan membayar kharaj, sebab tanah tersebut berstatus sebagai tanah yang ditaklukkan yang harus diambil kharaj-nya. Oleh karena itu, kharaj tersebut tetap wajib atas tanah tadi sepanjang masa, baik tanah tadi dimiliki oleh seorang



22

.rm2222

muslim maupun non muslim.
Ini adalah ketentuan menghidupkan tanah untuk ditanami. Adapun tanah yang ditempati, atau dipakai membangun industri, atau tempat-tempat penampungan, maka tanah tersebut tidak dikenakan usyur maupun kharaj. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara tanah usyriyah dengan tanah kharajiyah. Sebab, para sahabat yang telah menaklukkan tanah Irak dan Mesir telah menguasai Kufah, Basrah dan Fisthath (Cairo Lama). Mereka telah mendudukinya pada masa Umar Bin Khattab, dan bersama mereka tinggal pula orang lain (non muslim), namun mereka tidak dipungut kharaj dan tidak diharuskan membayar zakat atas tempat tinggal mereka. Sebab, zakat tersebut tidak diwajibkan atas perumahan dan bangunan.

1 comment:

Anonymous said...

Amiable fill someone in on and this mail helped me alot in my college assignement. Thank you on your information.