Tuesday, April 24, 2007

HARTA YANG DIPEROLEH TANPA KOMPENSASI HARTA ATAU TENAGA

HARTA YANG DIPEROLEH TANPA KOMPENSASI
HARTA ATAU TENAGA


Yang juga termasuk dalam katagori sebab pemilikan adalah pemerolehan individu, sebagian mereka dari sebagian yang lain, atas sejumlah harta tertentu dengan tanpa kompensasi harta atau tenaga apapun. Dalam hal ini mencakup lima hal:
1- Hubungan pribadi, antara sebagian orang dengan sebagian yang lain, baik --harta yang diperoleh karena-- hubungan ketika masih hidup, seperti hibbah dan hadiah, ataupun sepeninggal mereka, seperti wasiat. Imam An Nasa'i dan Ibnu Ishaq di dalam sirah Nabi telah meriwayatkan dari Umar Bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa ketika delegasi Hawazin datang menuntut Rasulullah SAW agar beliau bersedia mengembalikan harta yang telah beliau rampas dari mereka, Rasulullah bersabda:

[1]"Apa yang ada padaku serta pada Bani Abdul Muthallib, itu untukmu."[1]

Maksudnya, itu adalah hibbah dari aku untuk kalian. Ibnu 'Asakir meriwayatkan dari Abi Hurairah yang mengatakan: Nabi SAW bersabda:

[1]"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai."[1]



[1]"Tidak ada orang yang membandingi kejelekan orang yang menarik hibbahnya di antara kita, (selain) seperti anjing yang menjilati ludahnya."[1] (H.R. Imam Bukhari dari Ibnu Abbas)

Maka, tidak ada bedanya antara menghibahkan dan menghadiahkan kepada orang kafir dengan menghibahkan dan menghadiahkan kepada orang Islam. Karena memberi orang kafir hukumnya adalah mubah, begitu pula menerima pemberian mereka hukumnya sama seperti menerima pemberian orang Islam. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Asma' Binti Abi Bakar yang mengatakan: Aku telah didatangi ibuku, padahal dia masih musyrik ketika masih bersama-sama orang Quraisy (di Makkah), karena dia telah berjanji dengan mereka. Kemudian aku meminta fatwa kepada Rasulullah SAW. Aku bertanya: [1]"Wahai Rasulullah, aku telah didatangi ibuku dan dia bersungguh-sungguh. Apakah aku harus menjauhi ibuku?"[1] Beliau menjawab: [1]"Benar."[1] Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abi Humaid As Sa'idi yang mengatakan:


[1]"Penguasa daerah 'Ailah telah menghadiahkan bagal betina putih kepada Nabi SAW, dan dia (penguasa itu) memakaikan kain bergaris-garis kepada beliau."[1]

Sebagaimana hibbah dan hadiah tersebut merupakan pendermaan harta pada saat masih hidup, maka begitu pula halnya dengan wasiat. Wasiat ini merupakan pendermaan harta setelah meninggal dunia. Allah SWT berfirman:

[1]"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya."[1] (Q.S. Al Baqarah: 180)

Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Sa'ad Bin Abi Waqqash yang mengatakan: Aku menderita sakit di Makkah, kemudian aku mendekati saat kematian. Lalu datanglah Nabi menjengukku, kemudian aku bertanya kepada beliau: [1]"Wahai Rasulullah, aku mempunyai harta banyak dan tidak ada yang mewarisi selain dua anak perempuanku. Apakah aku harus mensedekahkan dua pertiga dari hartaku?"[1] Beliau menjawab: [1]"Tidak."[1] Aku bertanya lagi: [1]"Separo, wahai Rasulullah?"[1] Beliau menjawab: [1]"Tidak."[1] Aku bertanya lagi: [1]"Sepertiga?"[1] Beliau menjawab: [1]"Sepertiga lebih. Sebab, apabila engkau meninggalkan anakmu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka kekurangan, sehingga mereka meminta-minta kepada orang lain."[1]
Dengan adanya hadiah, hibbah atau wasiat tersebut, maka seseorang bisa memiliki benda yang dihadiahkan, atau yang dihibbahkan, ataupun yang diwasiatkan.
2- Pemilikan harta sebagai ganti rugi (kompensasi) dari kemudlaratan yang menimpa seseorang, semisal diyat
Diyat adalah ganti rugi (blood money) yang merupakan kompensasi dari pihak pelaku kejahatan kepada penderi­ta. Ketentuan diyat ini diatur dengan tegas di dalam banyak nash Al Qur'an dan As Sunnah, [1]pent.[1]

­ orang yang terbunuh dan diyat luka --karena dilukai orang. Allah SWT berfirman:

[1]"Dan barang siapa membunuh seorang mukmin, karena keliru (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluar-ganya."[1] (Q.S. An Nisa': 92)

Imam An Nasa'i telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah menulis sepucuk surat kepada penduduk Yaman. Surat itu dikirim melalui Amru Bin Hazem, yang di dalamnya tertulis:


[1]"Bahwa di dalam (pembunuhan) jiwa itu ada diyat sebesar seratus unta."[1]

Sedangkan dalil tentang diyat luka --karena dilukai orang-- adalah hadits riwayat An Nasa'i dari Az Zuhri dari Abu Bakar Bin Muhammad Bin Amru Bin Hazem dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW telah menulis sepucuk surat kepadanya:

[1]"Dan terhadap hidung, apabila diambil batangnya, maka ada diyat (kompensasi) untuknya; terhadap lidah ada diyat; terhadap dua bibir ada diyat; terhadap dua biji mata ada diyat; terhadap kemaluan ada diyat; terhadap tulang rusuk ada diat; terhadap dua mata ada diyat; terhadap satu kaki ada setengah diyat; terhadap otak sepertiga diyat; terhadap bagian dalam tubuh ada sepertiga diyat; dan terhadap persendian ada lima belas unta."[1]

Ahli waris dari orang yang terbunuh berhak mendapatkan diyat dari si pembunuh, dalam kasus pembunuhan yang disengaja. Nabi SAW bersabda:

[1]"Orang yang melakukan tindak kriminal tidaklah mendapatkan (kejahatannya) selain menimpa dirinya."[1] (H.R. Ibnu Majah dari Amru Bin Al Ahwash)

Sedangkan dalam kasus pembunuhan yang tidak disengaja, misalnya syibhul 'amdi (seakan-akan disengaja) dan keliru, maka ahli waris orang yang terbunuh berhak mendapatkan diyat dari aqilah

Aqilah adalah keluarga yang masih mempunyai hubungan darah dengan si pembunuh, [1]pent.[1]
Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah yang mengatakan: [1]"Ada dua wanita dari suku Hudzail terlibat dalam perkelahian. Salah satu di antaranya lalu melempar yang lain dengan batu, kemudian dia berhasil membunuhnya termasuk membunuh janin yang terdapat di dalam perut korban. Mereka kemudian memperkarakan kepada Nabi SAW, lalu beliau memutuskan diyat untuk janin korban adalah (dengan memerdekakan) budak, baik laki-laki atau perempuan. Kemudian beliau memutuskan diyat bagi wanita tersebut kepada 'aqilah' si pembunuh tadi."[1] Aqilah adalah orang yang menanggung aqal. Sedangkan aqal di sini maksudnya adalah diyat. Aqilah adalah tiap orang yang masih mempunyai hubungan darah. Diantaranya adalah orang tua laki-laki si pembunuh hingga ke atas, berikut anak laki-laki si pembunuh hingga ke bawah, saudara-saudaranya, saudara-saudara ayahnya, serta saudara sepupu laki-laki dari saudara-saudara ayahnya. Apabila si pembunuh tadi tidak mempunyai aqilah, maka diyat-nya diambilkan dari baitul mal. Karena Nabi SAW telah membayar diyat orang Anshar yang membunuh di Khaibar dari baitul mal. Juga pernah diriwayatkan, bahwa ada seseorang yang telah terbunuh dalam suatu desak-desakan, pada masa Umar, dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Kemudian Ali berkata kepada Umar: [1]"Wahai Amirul Mukminin, janganlah masalah darah orang Islam dibiarkan begitu saja. Maka, berikanlah diyatnya dari baitul mal.
Adapun diyat luka --karena dilukai orang-- misalnya luka di kepala, wajah, anggota tubuh patah, daging teriris, atau dirusaknya fungsi organ tertentu, seperti hilangnya pendengaran, penglihatan, dan akal: Apabila seseorang mengalami salah satu luka tersebut, maka dia berhak memperoleh diyat atas luka tadi sesuai dengan ketentuan hukum yang terinci untuk tiap satu organ tubuh, serta tiap kondisi yang ada. Maka, dengan adanya diyat tersebut, orang yang bersangkutan kemudian memiliki harta yang dia dapatkan dari diyat orang yang terbunuh, atau diyat organ tubuh ataupun fungsi-fungsi organ yang dilenyapkan.
3- Mendapatkan mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui akad nikah. Seorang wanita akan memiliki harta (mahar) ini dengan cara yang rinci sesuai dengan hukum-hukum pernikahan. Harta ini bukan merupakan kompensasi sebuah jasa, sebab jasa tersebut saling diberikan oleh suami istri, melainkan sebuah hak yang telah ditetapkan berdasarkan nash syara'. Allah SWT berfirman:


[1]"Dan berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai suatu pemberian dengan penuh kerelaan."[1] (Q.S. An Nisa': 4)
Maksudnya adalah berikanlah dengan suka rela, ketetapan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT itu. An Nakhlah maknanya adalah pemberian, apapun bentuk pemberiannya. Sebab, masing-masing suami istri tadi saling "menikmati temannya". Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Anas yang mengatakan: Abdurrahman Bin Auf datang dan tubuhnya berbau Za'faron. Kemudian Rasulullah SAW bertanya: [1]"Bagaimana kabarmu."[1] Dia menjawab: [1]"Wahai Rasulullah, aku telah menikahi seorang wanita."[1] Beliau bertanya: [1]"Apa yang kau berikan kepadanya (sebagai mahar)?"[1] Dia menjawab: [1]"sebatang emas."[1] Beliau bersabda: [1]"Adakanlah walimah, meski hanya dengan satu kambing."[1]
4- Luqathah (baca: barang temuan). Apabila ada seseorang telah menemukan barang temuan, maka harus diteliti terlebih dahulu: Apabila barang tersebut memungkinkan untuk disimpan dan diumumkan, semisal emas, perak, permata dan pakaian, serta bukan milik orang ihram, maka barang temuan tersebut boleh dimiliki. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Dawud dari Abdullah Bin Amru Bin Ash, bahwa Nabi SAW ditanya tentang harta temuan:



[1]"Barang yang ada di jalan atau kampung yang ramai itu tidak termasuk luqhatah, sehingga diumumkan selama satu tahun. Apabila pemiliknya datang untuk memintanya, maka berikanlah barang tersebut kepadanya. Apabila tidak ada, maka barang itu adalah milikmu. Dan di dalam 'al kharab' (barang tersebut), maksudnya di dalamnya, serta di dalam rikaz (harta temuan) terdapat 'khumus' (seperlima dari harta temuan untuk dizakatkan)."[1]

Apabila barang temuan tersebut milik orang ihram, maka tidak dianggap luqathah. Sebab, barang temuan dari orang ihram itu hukumnya haram. Sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits yang diriwayatkan dengan sanad dari Abdurrahman Bin Utsman, bahwa Rasulullah SAW melarang luqathah milik orang haji. Juga tidak diperbolehkan mengambilnya, selain menyimpan untuk kemudian diserahkan kepada pemiliknya. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:


[1]"Dan hendaklah tidak dijadikan 'luqathah' (barang temuan) harta yang jatuh, kecuali disimpan."[1] (H.R. Imam Bukhari)

Apabila barang tersebut tidak memungkinkan disimpan, karena tidak tahan lama, seperti makanan dan buah, maupun yang lain, maka dia bisa memilih antara dimakan dan mengganti harganya, untuk diberikan kepada pemiliknya, apabila ketemu, dengan cara menjualnya dan menyimpan hasil penjualannya dalam kurun wantu selama satu tahun. Semuanya ini, terkait dengan barang temuan yang biasanya --kalau hilang-- pasti dicari, semisal barang yang mempunyai nilai yang tidak akan dibiarkan oleh pemiliknya apabila hilang. Namun, apabila barang tersebut berupa barang yang kalau hilang tidak akan dicari, semisal kurma, sesuap makanan dan sebagainya, maka tidak perlu diumumkan, melainkan bisa dimiliki seketika.
5- Santunan --yang diberikan kepada-- khalifah dan orang-orang yang disamakan statusnya, yaitu sama-sama melaksanakan tugas-tugas pemerintahan (baca: pejabat pemerintahan). Maka, santunan tadi tidak termasuk kompensasi kerja mereka, melainkan kompensasi dari pengekangan diri mereka untuk melaksanakan tugas --karena terlampau sibuk melaksanakan tugas negara. Sehingga, mereka bisa memiliki harta dengan langsung mengambilnya, karena Allah telah menghalalkan harta tersebut bagi mereka. Abu Bakar, misalnya, telah mengambil harta sebagai santunan dari pengekangan diri beliau terhadap bisnis --yang beliau lakukan-- ketika beliau diharuskan untuk melepaskan (melalaikan) urusan kaum muslimin, karena aktivitas bisnis tersebut. Kemudian para shahabat mendiamkannya.
Lima macam harta --yaitu karena hubungan personal, kompensasi dari kemudlaratan, mahar, luqathah, serta santunan bagi pejabat pemerintahan-- inilah yang diperoleh oleh seseorang tanpa kompensasi apapun, baik berupa harta maupun tenaga. Jadi, pemerolehan dengan cara semacam ini adalah termasuk sebab pemilikan yang disyari'atkan, dimana dengan cara semacam ini, orang yang bersangkutan berhak memiliki harta yang diperolehnya.


No comments: