PEMIKIRAN DAN PEMAHAMAN
Pemikiran adalah ungkapan yang berkaitan dengan fakta tertentu yang dapat diindra di luar atau fakta yang tergambar dalam benak bahwa hal itu ada. Maksudnya, pemikiran adalah penilaian terhadap fakta tertentu yang diungkapkan dengan sebuah sarana pengungkapan. Apabila makna pemikiran itu sudah dapat dipahami, yakni fakta yang hendak dihukumi itu sudah dipahami dan ternyata sesuai dengan hukumnya secara tepat serta terjadi pembenaran terhadap fakta itu karena adanya kesesuaian antara pemikiran itu dengan faktanya maka jadilah pemikiran itu sebagai pemahaman yang akan mengarahkan tindakannya terhadap fakta tersebut. Maksudnya, apabila makna sebuah pemikiran sudah dapat dipahami dan terjadi pembenaran atas pemikiran tersebut maka jadilah pemikiran itu sebagai pemahaman. Adapun apabila makna pemikiran itu belum dapat dipahami atau belum terjadi pembenaran atas pemikiran itu maka pemikiran atau ungkapan pemikiran itu tetap semata-mata pengetahuan yang tersimpan dalam otak. Kadang-kadang manusia membutuhkan pengetahuan itu ketika menghadapi faktanya atau ketika hendak membantah pengetahuan itu sendiri. Adapun apabila ungkapan atau kata-kata itu tidak ada faktanya atau fakta tersebut tidak logis secara akal atau fakta tersebut tidak dapat dibayangkan maka ungkapan itu hanya khayalan, imajinasi dan ilusi semata.
Itulah kumpulan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Ringkasnya adalah sebagai berikut:
Pengetahuan yang faktanya dapat dipahami dengan pemahaman yang nyata dan terjadi pembenaran terhadapnya karena adanya kesesuaian antara pengetahuan itu dengan faktanya dengan pembenaran yang pasti. Maksudnya, terdapat keyakinan karena adanya kesesuaian antara pengetahuan tersebut dengan faktanya berdasarkan pada dalil akli. Maksudnya, penilaian akal manusia telah memastikan bahwa terdapat kesesuaian antara pengetahuan tersebut dengan faktanya. Bisa jadi penilaian itu dilakukan secara langsung berdasarkan akal seperti penilaian terhadap benda yang dapat diindra dan diraba keberadaannya.
Termasuk ke dalam jenis ini adalah pemikiran akidah yang mendasar seperti keimanan kepada Allah SWT, keimanan terhadap Al-Quran Al-Karim bahwa itu adalah kalam Allah, keimanan terhadap kenabian Muhammad SAW dan keimanan terhadap qadha dan qadar. Atau pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan benda-benda yang dapat diindra dan diraba serta dapat kita rasakan keberadaannya.
Atau bisa jadi berdasarkan penilaian akal yang disandarkan kepada dalil naqli, yang sumbernya sudah ditetapkanlah berdasarkan akal. Misalnya pemikiran yang berkaitan dengan akidah, yang tidak dapat diindra seperti keimanan kepada malaikat, hari kebangkitan, surga, neraka, hari perhitungan dan sebagainya; atau hadits-hadits yang dapat dipastikan oleh akal dengan yakin bahwa itu tidak mungkin salah atau dusta yaitu hadits mutawatir.
Selanjutnya tingkat kedua dari pengetahuan-pengetahuan itu, yaitu pengetahuan yang sudah dibenarkan dan sudah dipahami faktanya. Akan tetapi, dalam pembenaran itu masih terdapat sesuatu yang diragukan karena belum mencapai tarap yakin. Dengan demikian, akal belum dapat memastikan kebenaran perkara yang dikutip dari pengetahuan tersebut dengan yakin sehingga belum dapat dihilangkan dari pengetahuan tersebut kemungkinan keliru atau lupa. Atau bahwa perkara yang dikutip dari pengetahuan tersebut masih mengandung lebih dari satu makna sehingga harus memilih salah satu makna yang dikandung oleh nahs tersebut. Hal itu seperti pemahaman yang bersifat syar’i yang digali dari dalil-dalil syara. Misalnya pengetahuan yang berkaitan dengan akidah yang digali dari hadits ahad atau hukum syara yang digali dari dalil-dalil yang terperinci atau pengetahuan yang berkaitan dengan sejarah atau bahasa dan sebagainya yang harus dikaji aspek kebenarannya.
Pengetahuan yang tidak dapat dipahami faktanya atau tidak dapat dipahami kesesuaiannya dengan fakta. Akal tidak dapat menolak keberadaan fakta dari pengetahuan tersebut atau menolak kemungkinan adanya kesesuaian pengetahuan itu dengan faktanya. Maksudnya, bahwa akal masih memungkinkan untuk dapat membayangkan fakta pengetahuan tersebut dan mungkin pula terdapat kesesuaian antara pengetahuan itu dengan faktanya. Dengan demikian, pengetahuan tersebut adalah sebuah pemikiran juga yaitu hukum atas fakta tertentu. Akan tetapi belum terjadi pembenaran terhadapnya. Maksudnya, belum terjadi pembenaran bahwa pengetahuan itu sesuai dengan faktanya. Pemikiran-pemikiran seperti itu sangat banyak terdapat dalam kehidupan kita. Misalnya, pengetahuan sejarah yang bersifat umum serta pengetahuan yang berkaitan dengan geografi dan astronomi. Dalam perkara tersebut, adanya pembenaran ataupun tidak, statusnya tetap sama. Pengetahuan seperti itu bisa disebut sebagai pemikiran, yaitu hukum atas fakta-fakta tertentu. Semua pengetahuan tersebut dapat berubah menjadi pemahaman ketika terdapat dalil yang dapat membuktikan kebenaran pemikiran-pemikiran tersebut dan adanya kesesuaian pemikiran itu dengan faktanya. Baik dalil itu bersifat aqli seperti penglihatan misalnya atau dalil naqli yang disampaikan oleh orang yang kita percayai.
Pengetahuan yang faktanya tidak dapat dipahami atau pengetahuan yang tidak sesuai dengan faktanya. Pengetahuan seperti itu akan tetap tersimpan dalam benak sebagai pengetahuan semata sehingga tidak berubah menjadi pemikiran atau pemahaman. Dalam kondisi-kondisi tertentu, kadang-kadang manusia membutuhkan pengetahuan seperti itu. Misalnya ketika hendak menjelaskan kebatilannya atau mengungkapkan kesalahannya. Contohnya, pengetahuan berkaitan dengan ideologi kapitalisme, ide kebebasan, demokrasi, sosialisme dan sebagainya.
Misalnya, fakta yang dibicarakan oleh ideologi sosialisme berkaitan dengan pemikiran adalah fakta yang dapat dipahami. Akan tetapi, penetapan hukum atas fakta tersebut -yaitu bahwa pemikiran itu merupakan refleksi materi terhadap otak- adalah penetapan hukum yang salah, yang tidak sesuai dengan fakta pemikiran tersebut.
Demikian pula fakta yang dibicarakan oleh ideologi kapitalisme berkaitan dengan ide demokrasi, bahwa demokrasi itu adalah pemerintahan dari rakyat untuk rakyat. Fakta tersebut dapat diindra akan tetapi penetapan hukum yang dilakukan oleh ideologi kapitalisme terhadap hal itu adalah penetapan hukum yang salah karena pemerintahan dari rakyat untuk rakyat tidak ada wujudnya. Hal itu karena kenyataannya rakyat bukanlah pihak yang menetapkan undang-undang dasar dan perundang-undangan lainnya, melainkan hanya segelintir orang saja.
Pengetahuan yang tidak memiliki fakta dan tidak mungkin dibayangkan faktanya. Dengan demikian, tidak perlu dibahas apakah pengetahuan tersebut sesuai dengan fakta atau tidak. Inilah yang disebut dengan mitos, khurafat dan tahayul. Misalnya pengetahuan yang berkaitan dengan hantu dan binatang hayalan yang berbadan singa sedangkan kepala dan sayapnya seperti elang, kehidupan di bintang dan sebagainya.
Itulah hakekat pengetahuan yang mungkin diperoleh manusia dalam kehidupannya, baik diperoleh melalui pengalaman dan penarikan kesimpulan atau hasil pembelajaran atau hasil penemuan atau membacanya dari buku atau mendengarnya dari orang lain atau melalui sarana lainnya. Hanya saja, ketika seseorang memperoleh pengetahuan apapun maka sesungguhnya pada dasarnya dia menerima pengetahuan tersebut dalam bentuk sebuah pemikiran, dilihat dari aspek bahwa pengetahuan tersebut telah menjadi miliknya walaupun sumbernya berasal dari orang lain. Maksud pernyataan “dia menerima pengetahuan tersebut dalam bentuk sebuah pemikiran” adalah bahwa dia telah memahami makna kata-kata dan kalimat yang dia baca atau yang dia dengar atau yang dia lihat itu. Kemudian dia berusaha membayangkan fakta yang dapat diindra dari hal itu. Selanjutnya, dia berusaha mencocokkan apa yang dia baca atau yang dia dengar dengan fakta yang dibayangkan atau digambarkan tersebut. Apabila sesuai maka dia akan menerima bahwa hal itu adalah benar sehingga akan menjadi pemahaman baginya, yang akan mempengaruhi perilakunya dan mengarahkan tingkah lakunya ketika dia hendak memenuhi kebutuhannya atau memuaskan keinginannya. Sedangkan apabila dia tidak dapat membayangkan faktanya atau tidak terdapat kesesuaian antara apa yang dia baca atau yang dia dengar itu dengan fakta yang dia bayangkan maka dia akan menolaknya dan akan tetap berada dalam benaknya sebagai sebuah pengetahuan semata, yang sudah terbukti kesalahannya atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, tidak terjadi pembenaran terhadapnya sehingga hal itu tidak menjadi pemahaman dan tidak berpengaruh terhadap tindakan dan perilakunya.
Faktor yang mendorong dilakukannya pembahasan mengenai pengetahuan manusia dan pembedaan diantara pengetahauan-pengetahuan tersebut adalah karena adanya pengaruh pemahaman terhadap tindakan dan perilaku manusia. Baik pemahaman terhadap benda maupun pemahaman terhadap kehidupan. Perilaku dan tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya dan merealisasikan keinginannya adalah tanda dari tinggi atau rendahnya manusia. Bisa jadi tinggi sehingga lebih baik dari malaikat atau bisa juga rendah sehingga lebih sesat daripada binatang ternak. Allah SWT berfirman: {“Tidaklah mereka itu kecuali bagaikan ternak bahkan lebih sesat lagi.”}(Q. S. Al-Furqan: 44). Oleh karena itu, adalah suatu keharusan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pemikiran dan pemahaman dengan pengetahuan yang akan membuat kita dapat membedakan antara pemikiran yang benar dan pemikiran yang salah, antara pemikiran yang tinggi dan pemikiran yang rendah, antara pemikiran yang dangkal dan pemikiran yang mendalam serta pemikiran yang mustanir (cemerlang). Hal itu akan membuat pemikiran dan pemahaman manusia menjadi pemikiran dan pemahaman yang benar dan tinggi, juga dapat menerimanya dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dengan demikian, dapat ditingkatkan hingga derajat yang dikehendaki oleh Allah SWT yakni mencapai derajat sebagai manusia.
Agar dapat membedakan pemikiran dan pemahaman dilihat dari aspek tinggi rendahnya, maka harus terdapat kaidah atau beberapa kaidah yang dijadikan sebagai landasan dalam melakukan penilaian terhadap pemikiran dan pemahaman tersebut. Berdasarkan kaidah atau beberapa kaidah tersebut maka dapat dilakukan pengklasifikasian pemikiran dan pembedaan antara yang baik dan yang buruk, antara yang kuat dan yang lemah, antara yang benar dan yang salah. Dengan demikian, kaidah itu merupakan standar yang akurat, yang harus digunakan ketika kita hendak memahami setiap pemikiran dan ketika kita hendak mengetahui setiap pemahaman. Jika tidak, maka jenis-jenis pemikiran itu akan campur aduk dan pandangan terhadapnya pun akan keliru. Manusia akan mengalami kebingungan untuk menentukan antara amal saleh dan amal salah, antara yang baik dan yang buruk, antara yang bagus dan yang jelek. Lalu, apa yang dimaksud dengan kaidah dan standar yang hendak kita kaji tersebut? Yang dengannya kita akan menetapkan apakah sebuah pemikiran itu tinggi atau rendah? Jawabannya adalah sebagai berikut:
Topik pembahasan kita adalah manusia yang berada di alam ini dan berada di dalam kehidupan ini, yang menginginkan sebuah kebangkitan dan kemajuan serta ingin berada pada jalan yang lurus. Dengan demikian, apakah manusia mampu untuk merealisasikan keinginannya itu tanpa mengetahui makna keberadaannya dalam kehidupan ini dan juga makna kehidupan duniawi yang dijalaninya ini? Khususnya ketika dia menyadari bahwa dia merupakan seorang individu manusia yang hidup bersama kumpulan manusia lainnya dan juga bersama makhluk hidup lainnya di muka bumi ini, mengisi kumpulan planet di alam yang sangat luas ini.
Dengan demikian, terdapat perbedaan yang sangat jauh antara pandangan manusia terhadap dirinya bahwa dia adalah Zaid bin Amr dan pandangan manusia terhadap dirinya sebagai manusia. Perbedaan yang sangat jauh itu akan nampak dengan sangat jelas apabila kita memperhatikan sebagian perilaku manusia. Pangkal kemunduran terjadi ketika menusia memandang dirinya dengan pandangan egoisme individual yaitu pandangan yang merujuk kepada naluri mempertahankan diri. Penampakan dari naluri mempertahan diri tersebut banyak sekali. Kadang-kadang pandangannya meluas sedikit sehingga dia keluar dari sikap egoisnya dan memandang dirinya sebagai Zaid bin Amr. Dia memiliki saudara dan keluarga. Maksudnya, dia menempatkan dirinya sebagai anggota sebuah keluarga dimana dia mencintainya dan mencintai kepemimpinannya. Ini adalah penampakan lain dari naluri mempertahankan diri. Dengan demikian, dia masih tetap bertindak mengikuti nalurinya. Kadang-kadang pandangannya semakin luas meliputi keluarga besarnya atau marganya; atau meliputi desa dan kota tempat dia tinggal. Hal ini nampak dengan sangat jelas dalam diri mereka yang mencantumkan nama kotanya atau kampungnya pada nama dirinya sehingga dia dipanggil Zaid Al-Khalili atau Amr Al-Baghdadi. Kadang-kadang lebih luas dari hal itu sehingga meliputi negeri yang dikaitkan dengan tanah air. Maka, dia dipanggil dengan sebutan Al-Mishri atau Asy-Syami atau Al-Hindi dan sebagainya. Kadang-kadang semakin meluas meliputi wilayah yang lebih luas yaitu mencakup sebuah bangsa tempat dia berasal (misalnya bangsa Arab, yang mencakup waliayah Timur Tengah, pen.). Semua pandangan itu belum mencapai derajat manusia, yang telah Allah muliakan dan telah Allah ciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk. Dengan demikian, dia belum memandang dirinya sebagai manusia yang hidup bersama dengan sesama manusia lainnya.
Berdasarkan pandangan yang mendasar terhadap alam, kehidupan dan manusia tersebut kita dapat membedakan antara pemikiran yang tinggi dan pemikiran yang rendah atau mundur. Seandainya kita menuliskannya dalam sebuah grafik dan kita tempatkan posisi paling bawah untuk individu yang pemikirannya tinggi dengan angka nol, niscaya angka nol itu menunjukkan kepada ‘pandangan terhadap manusia sebagai manusia’. Adapun selain titik itu maka dia adalah titik permulaan kemunduran, mulai dari kebangsaan kemudian kesukuan kemudian marga dan seterusnya hingga titik akhir yaitu egoisme individual sebagai titik yang paling bawah. Adapun pemikiran yang tinggi dimulai dari ‘pandangan terhadap manusia sebagai manusia’ hingga dia dapat mencapai kedudukan yang paling tinggi akibat pandangannya itu, yaitu sebagai hamba Allah. Dengan demikian, pandangan terhadap manusia sebagai manusia adalah pemikiran yang paling tinggi atau titik awal pemikiran yang paling tinggi. Sedangkan pandangan lainnya adalah pemikiran yang rendah atau mundur. Adapun proses menuju tangga yang paling tinggi dan upaya untuk membangkitkan manusia maka hal itu merupakan jawaban atas pertanyaan yang lain yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai makna keberadaan manusia dalam kehidupan. Pembahasan atau pemikiran apapun yang digunakan untuk mendefinisikan makna kehidupan dan makna keberadaan manusia dalam kehidupan tersebut adalah pembahasan atau pemikiran yang tinggi tanpa memperhatikan hasil yang dicapainya. Pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang akan mengantarkan kepada kebangkitan, tanpa memperhatikan apakah kebangkitan itu merupakan kebangkitan yang benar atau kebangkitan yang salah.
Dengan demikian, kriteria awal berkaitan dengan tinggi dan rendahnya atau mundurnya pemikiran adalah cakupannya yang bersifat menyeluruh. Apabila pemikiran tersebut mencakup fakta pembahasan mengenai manusia bukan seorang individu atau sebuah kondisi atau sebuah keadaan dari manusia maka pemikiran itu termasuk ke dalam kriteria pemikiran yang tinggi –yakni bersifat menyeluruh- sedangkan apabila tidak bersifat menyeluruh maka itu bukan pemikiran yang tinggi. Adapun kriteria kedua dari sebuah pemikiran yang tinggi adalah kedalaman dalam pembahasan hingga mencapai hakekat sesuatu yang dibahas. Maksudnya, ketika dia melihat alam atau kehidupan atau manusia maka dia tidak hanya memperhatikan penampakkan luarnya saja akan tetapi juga akan memperhatikannya dengan pandangan yang mendalam untuk mengetahui hakekat dari fakta yang dilihatnya tersebut. Misalnya, apabila seseorang melihat manusia maka sejak awal dia harus memandangnya sebagai jenis manusia dan ini mengharuskan adanya pengetahuan apakah manusia itu bersifat azali atau makhluk yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta. Kemudian dia berupaya untuk mengetahui unsur-unsur yang membentuk manusia dan perkara yang membedakannya dengan makhluk hidup lain. Selanjutnya berupaya untuk mengetahui dorongan-dorongan yang memaksanya bergerak dan berbuat. Apakah perbuatannya itu dipaksa atau atas dasar pilihannya sendiri, dan perkara lainnya yang akan membuatnya menjadi pemikiran yang mendasar dan medalam berkaitan dengan manusia tersebut. Ketika dia melakukan pembahasan seperti itu maka dia tidak melakukannya hanya untuk kepuasan intelektual atau berfilsafat atau untuk menambah pengetahuan semata, melainkan melakukannya karena dia manusia yang hidup di tengah-tengah alam yang luas ini, yang berkeinginan untuk mengetahui makna keberadaannya di alam tempat dia hidup ini dan kemana dia akan pergi. Berdasarkan jawaban atas pertanyaan tersebut –tanpa memperhatikan benar dan salahnya- dia akan mengarahkan tindakannya dan mengatur perilakunya. Pembahasan yang mendalam merupakan kriteria kedua bagi sebuah pemikiran yang tinggi. Dengan demikian, dia akan sampai pada kejelasan hakekatnya, yaitu bahwa pemikiran yang tinggi adalah pemikiran yang memenuhi dua kriteria: mendalam dan menyeluruh. Pemikiran itu merupakan pemikiran yang layak bagi manusia sebagai manusia, yaitu pemikiran yang akan menghantarkan kepada kebangkitan. Pemikiran itu juga merupakan pemikiran yang benar bagi manusia apabila ingin menempuh jalan kebangkitan dan kemajuan. Apabila tidak memiliki pemikiran seperti itu, maka dia akan terpuruk hingga derajat hewan. Bahkan, hewan lebih baik daripada dirinya. Allah SWT berfirman: {“Tidaklah mereka itu kecuali seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya.”}(Q. S. Al-Furqan: 44).
Oleh karena itu, kita telah mendapatkan pengarahan dari Allah SWT untuk menuju jenis pemikiran seperti itu dalam ratusan ayat Al-Quran. Di antaranya firman Allah SWT: {“Apakah mereka tidak memperhatikan langit yang ada di atas mereka bagaimana Kami membangun dan menghiasnya dan langit tersebut tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Dan Kami turunkan dari langit, air yang banyak manfaatnya kemudian Kami tumbuhkan dengan air itu, pohon-pohonan dan biji-bijian yang dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun. Untuk menjadi rizki bagi hamba-hamba dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati. Seperti itulah terjadinya kebangkitan.”}(Q. S. Qaf: 6-11). {“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),”Wahai Rabb kami, tidaklah Engkau semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”}(Q. S. Ali Imran: 190-191). {“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan.”}(Q. S. Yasin: 33). {“Wahai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan yang disembah.”}(Q. S. Al-Hajj: 73). {“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri).”}(Q. S. Ath-Thur: 35). {“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kalian minum. Apakah kalian yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkannya?”}(Q. S. Al-Waqiah: 68-69). {“Wahai manusia, apakah yang telah memperdayakanmu (berbuat durhaka) terhadap Rabb-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan dirimu kemudian menyempurnakan kejadianmu dan menjadikanmu seimbang.”}(Q. S. Al-Infithar: 6). {“Wahai manusia, sesungguhnya engkau telah beramal dengan sungguh-sungguh menuju Rabb-mu, maka engkau pasti akan menemui-Nya.”}(Q. S. Al-Insyiqaq: 6). Dan ayat lainnya yang menyeru kepada manusia yang akalnya sehat. Ayat-ayat itu menyeru manusia sebagai manusia, untuk memperhatikan kehidupan yang ada di sekitarnya dan untuk memperhatikan alam semesta yang sangat luas ini, yang menjadi tempat dimana dia hidup, sebagaimana dia memperhatikan suatu benda dan asal mulanya. {“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri).”}(Q. S. Ath-Thur: 35). {“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air.”}(Q. S. Al-Anbiyai: 30).
Itu dilihat dari aspek tinggi dan rendahnya pemikiran. Adapun dilihat dari aspek perbedaan antara pemikiran dangkal dan pemikiran yang mendalam serta pemikiran mustanir (cemerlang), maka dalam hal itu terdapat kriteria-kriteria dan kaidah-kaidah yang menjadi rujukan untuk mengetahui tingkat pemikiran tersebut. Walapun demikian, semua itu adalah pemikiran dan bahwa semua itu adalah penetapan hukum atas sebuah fakta. Bagaimanapun dangkalnya pemikiran tersebut tetap merupakan pemikiran, yang berbeda dengan reaksi naluri serta berbeda dari tradisi dan peniruan. Pemikiran seperti itu akan mengangkat pemiliknya kepada derajat manusia. Pandangan terhadap manusia dilihat dari sisi dia sebagai manusia adalah produk akal yang bersifat manusiawi dan buah keseriusan akal. Hanya saja, pemikiran seperti itu tidak akan menghantarkan kepada kebangkitan dan jalan yang lurus atau mengubah sebuah masyarakat dan individu dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain yang lebih baik. Dengan demikian, pemikiran yang dangkal adalah tindakan melakukan penetapan hukum terhadap penampakkan luar benda-benda atau fakta-fakta tanpa memiliki pengetahuan tentang benda atau fakta tersebut; dan tanpa memahami hakekat yang sebenarnya atau asas-asas yang berasal darinya atau keadaan yang melingkupinya atau faktor-faktor yang mempengaruhinya; dan tanpa berupaya memperoleh informasi untuk menafsirkan fakta atau pandangan yang terdapat dalam dirinya itu yaitu informasi yang digunakan untuk menafsirkan benda dan fakta tersebut. Terdapat perbedaan antara pemilik pemikiran yang dangkal ini dengan pemilik pemikiran yang sederhana. Orang yang memiliki pemikiran yang sederhana sangat mudah terkecoh oleh penampakkan yang menipu, perkataan yang manis dan janji dusta. Hal itu sebagaimana sebuah masyarakat yang dipimpin oleh pemikiran yang dangkal. Masyarakat tersebut akan tetap berada di bawah dominasi kekuasaan para pemimpin dan penguasanya. Masyarakat seperti itu hanya dipimpin oleh retorika, dibangkitkan oleh sentimentil perasaan dan merasa tenang dengan produktivitas yang minim. Sungguh tepat komentar seseorang yang mensifati sebuah bangsa yang seperti ini dengan perkataan,”Mereka disatukan oleh genderang dan dipisahkan oleh tongkat pemukul.” Sungguh banyak contoh di tengah-tengah masyarakat kita berkaitan dengan pemikiran yang dangkal itu. Sungguh banyak faktor yang mendorong manusia melakukan sesuatu berdasarkan pemikiran yang secara zahir (tersurat) nampak seolah-olah terdapat rahmat di dalamnya tetapi pada hakekatnya adalah siksa. Dengan demikian, hal itu memungkinkan para pemimpin dan penguasa untuk mendominasi masyarakat dan menghantarkan masyarakat tersebut kepada kondisi tidak berdaya dan putus asa. Masyarakat seperti itu akan menerima apapun yang dilakukan oleh para pemimpin dan penguasa. Contoh yang paling dekat berkaitan dengan pemikiran manusia yang dangkal itu adalah sikap mereka yang gampang tunduk terhadap fatamorgana yang memperdaya dan penampakkan yang menipu. Hal itu berlangsung berkali-kali. Contoh yang paling tepat mengenai hal itu adalah masalah Palestina. Keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sana -sejak munculnya hingga hari kiamat nanti, selama tempat itu berada dalam genggaman para pemimpin dan penguasa yang menjadikannya sebagai sarana untuk mencapai tujuan mereka atau untuk mewujudkan keinginan mereka atau keinginan tuan-tuan mereka- telah mengahantarkan umat pada keputusasaan dan kepasrahan diri. Padahal Palestina itu tidak jauh berbeda dengan negeri-negeri muslimin lainnya. Masalah Palestina adalah masalah kaum muslimin juga, tidak berbeda kecuali dari aspek penampakan yang bersifat kasat mata. Oleh karena itu, seluruh wilayah kaum muslimin harus merasakan penderitaan yang dialami oleh orang-orang Palestina. Upaya untuk memperdaya umat itu adalah satu walaupun penampakannya berbeda-berbeda. Oleh karena itu, Suriyah, Libanon, Irak, Iran, Pakistan, Maroko, Aljazair, Saudi Arabiya dan Yaman adalah sama yaitu sebagai bangsa yang diupayakan untuk diperdayai dan agar mereka meresa rela dengan hukum-hukum kufur.
Sesungguhnya pemikiran yang dangkal sebagaimana telah kami katakan adalah menetapkan hukum atas penampakkan sebuah fakta tertentu tanpa memperhatikan hakekatnya atau mencurahkan kesungguhannya untuk mengetahui fakta tersebut dengan pengetahuan yang sebenar-benarnya disertai pengetahuan sebab musababnya dan pengetahuan berkaitan dengan asasnya. Di samping itu, pemikiran itu tidak diikuti oleh pengetahuan tentang keadaan dan kondisi yang berkaitan dengan hal itu. Contoh: ketika kita mendengar keributan di jalan, kita akan keluar untuk melihat kumpulan manusia mengangkat papan sambil berteriak-teriak. Dengan pemikiran yang dangkal, kita cukup mengatakan bahwa itu adalah sebuah demonstrasi. Sedikit lebih tinggi dari itu kita akan mengetahui apa yang diinginkan mereka dengan melakukan demonstrasi itu dengan mengerahkan upaya untuk membaca apa yang tertulis di papan tersebut atau mendengar apa yang mereka teriakan. Lebih tinggi lagi dari itu adalah mengerahkan upaya untuk mengetahui siapa dan kelompok apa yang ada di belakang orang-orang tersebut. Lebih tinggi lagi dari itu adalah mengerahkan upaya untuk mengetahui tujuan sebenarnya yang tersembunyi di balik demonstrasi tersebut serta keadaan dan kondisi yang mendorong kelompok tersebut melakukan demonstrasi tersebut. Di samping itu, juga harus mengerahkan upaya untuk mengetahui motivasi dan tujuan yang mendorong kelompok itu memimpin demonstrasi.
Semuanya itu mestilah ada sehingga apabila kita menetapkan hukum atas kejadian itu, kita akan menetapkannya dengan benar atau mendekati kebenaran. Cukuplah itu menunjukkan bahwa penetapan hukum yang kita lakukan itu adalah pemikiran yang mendalam sehingga tidak sebatas pada penampakkan dari fakta tersebut saja, melainkan mengerahkan upaya untuk mengetahui fakta dengan pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pembahasan mengenai dorongan dan tujuan, keadaan dan kondisi serta apa yang berkaitan dengan peristiwa tersebut kemudian baru menetapkan hukum atas fakta tersebut.
Contoh lain:
Seorang pemuda yang ingin menikah. Kemudian, dia melihat seorang gadis cantik. Maka dia akan menetapkan hukum atas penampakkan luarnya bahwa gadis itu pantas untuk dinikahi. Tindakan itu adalah penetapan hukum yang bersifat dangkal. Lebih tinggi dari itu adalah berupaya mengetahui terlebih dahulu apakah dia sudah menikah atau belum? Apakah dia sehat jasmani atau mempunyai penyakit? Apakah dia bisu atau tidak? Apakah dia wanita solehah yang subur atau mandul? Lebih tinggi dari itu adalah berupaya mengetahui keluarganya. Siapakah orang tuanya? Bagaimana keadaan rumah tempat tinggalnya? Lebih tinggi lagi dari itu adalah berupaya mengetahui sudut pandangnya tentang kehidupan dan apa yang diyakininya? Pemikirna seperti apa yang dia miliki? Apabila pembahasan itu sudah terpenuhi dan memahami betul fakta wanita tersebut maka penetapan hukum atas fakta wanita tersebut merupakan pemikiran yang tinggi dan mendekati kebenaran.
Ketika kita mendengar sebuah bunyi teks atau membaca sebuah topik, apabila pembacaan atau pendengaran kita terhadap teks tersebut dilakukan dalam rangka menghabiskan waktu dan bersenang-senang atau tanpa pandangan yang mendalam untuk memahami makna-maknanya atau kita tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu, maka penetapan hukum yang kita lakukan terhadap teks tersebut adalah penetapan hukum yang dangkal. Adapun ketika kita memperhatikan bentuk sastranya dan mengerahkan upaya untuk mengetahui kesesuaiannya dengan kaidah-kaidah bahasa maka kita katakan bahwa kita telah menetapkan hukumnya dari aspek sastra. Akan tetapi ketika kita berusaha mengkaji makna-maknanya, mengetahui fakta yang sesuai dengannya, mengetahui orang yang mengatakannya dan sebab pembuatannya maka kita telah menjadikan teks atau pembahasan tersebut sebagai sebuah pemikiran yang tidak dangkal. Demikian pula, penetapan hukum yang kita lakukan terhadap teks tersebut adalah penetapan hukum yang mendalam dan jauh dari penetapan hukum yang dangkal.
Adapun pemikiran yang mendalam maka hal itu adalah penetapan hukum atas sebuah fakta juga. Hanya saja, pemikiran yang mendalam itu memerlukan pengetahuan mengenai fakta dengan pengetahuan yang sebenarnya dan tidak terbatas pada penampakkan atau khasiyat (potensinya) semata.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang benda-benda menuntut adanya pengetahuan mengenai bagian-bagiannya dan juga potensi yang dimilikinya hingga bagiannya yang yang paling kecil. Adapun pengetahuan tentang fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa maka hal itu memerlukan pengetahuan mengenai permasalahannya dan perkara yang dipermasalahkan dalam peristiwa tersebut, kondisi atau keadaan yang terjadi dalam perselisihan tersebut serta sebab-sebab langsung maupun yang tidak langsung berkaitan dengan fakta tersebut. Adapun pengetahuan tentang teks maka hal itu membutuhkan perkara lain yaitu informasi yang luas untuk menafsirkan dan memahami teks tersebut, mengerahkan upaya untuk membedakan antara teks yang bersifat syar’i, teks yang bersifat sastra, teks yang bersifat ruhani dan sebagainya sebagaimana diperlukannya informasi yang luas untuk memahami makna kata-kata yang terdapat di dalamnya apakah makna yang sebenarnya atau makna majazi (konotatif) serta mengetahui makna-makna kalimat dan susunan kalimatnya. Apabila semua pengetahuan itu sudah kita miliki dan kita sudah mengerahkan kemampuan untuk mengkaji dan memahami teks tersebut maka penetapan hukum yang kita lakukan atau pemahaman kita terhadapnya adalah pemahaman yang benar atau mendekati kebenaran. Itulah yang dimaksud dengan pemikiran yang mendalam.
Hanya saja, hal itu belumlah sempurna dan masih memiliki keterbatasan dilihat dari aspek belum terpenuhinya semua yang dituntut oleh pembahasan tersebut. Karena sesungguhnya benda-benda atau fakta-fakta memiliki kondisi atau keadaan yang mempengaruhinya dan juga hal-hal yang berkaitan denganya yang harus dipahami bersamaan dengan keadaan atau kondisi tersebut. Hal-hal yang berkaitan dengan semua itu bukanlah bagian dari benda atau fakta dan peristiwa itu sendiri. Oleh karena itu, pembahasan tentang qashidah (jenis puisi dalam bahasa Arab, pen.) bukan berarti sebatas pengetahuan mengenai pembuat qashidah tersebut, bukan pula pengetahuan mengenai keadaan yang diungkapkannya. Pengetahuan tentang ledakan yang menghancurkan bukan berarti pengetahuan mengenai lokasi terjadinya, bukan pula tujuan dari ledakan tersebut serta orang yang menjadi dalang peledakkan tersebut. Pembahasan yang mendalam belum mencapai perkara-perkara tersebut karena pembahasan yang mendalam hanya terbatas pada bagian-bagian benda, susunannya dan aturan-aturannya. Adapun apa yang ada di sekitarnya dan apa-apa yang berkaitan dengannya maka hal itu berada di luar pembahasan yang mendalam tersebut. Sesungguhnya pembahasan tersebut memerlukan cakupan yang lebih luas meliputi perkara-perkara yang berada di sekitar objek yang dibahas tersebut untuk mengetahui apa yang berada di sekitarnya dan apa-apa yang berkaitan dengannya karena hal itu bukanlah bagian dari pembahasan tersebut.
No comments:
Post a Comment