Showing posts with label Artikel Nafsiyah. Show all posts
Showing posts with label Artikel Nafsiyah. Show all posts

Saturday, August 25, 2007

MERINDUKAN MATI SYAHID

Read More..

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Nadhar pernah berkata, “Pamanku tidak turut serta di dalam Perang Badar sehingga ia sangat kecewa sekali.”

Lalu Anas bin Nadhar berkata, “Di dalam Perang Badar aku tidak turut serta. Akan tetapi, kelak jika ada lagi peperangan, pasti Allah akan melihat apa yang akan kulakukan.”

Tatkala Perang Uhud terjadi, ia turut serta bersama Nabi saw. Lalu ia ditemui oleh Sa’ad bin Mu'adz. Anas bin Nadhar kemudian berkata kepadanya, “Abu Amrullah, aku mendapatkan, harumnya surga telah kucium di dekat Uhud.”

Setelah itu, ia maju ke dalam kancah pertempuran hingga gugur. Ketika dilihat, dijumpai pada tubuhnya delapan puluh lebih luka bekas tusukan.

Saudara perempuan Anas berkata selanjutnya, “Aku tidak mengenal wajah saudaraku, Anas bin Nadhar, kecuali melalui jari tangannya.”

Sehubungan dengan peristiwa Anas bin Nadhar ini, Allah Swt. menurunkan ayat-Nya:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً

Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Lalu di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu. Mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya). (QS al-Ahzab [33]: 23).

Para sahabat berpendapat bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Anas bin Nadhar. (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, jld. IV/32).

Sementara itu, Imam ath-Thabrani menukil riwayat dari Sa’ad bin Abi Waqash yang menuturkan bahwa ‘Abdullah bin Jahsy, pada hari terjadinya Perang Uhud, berkata pada Sa’ad, “Maukah engkau berdoa?”

Lalu, kedua orang itu menepi dan berdoa.

Sa’ad berdoa, “Ya Allah, jika aku berperang, datangkanlah kepadaku seorang musuh yang paling kuat dan bengis, yang memerangiku dan akupun memeranginya, kemudian aku memenangkannya sehingga dia terbunuh dan hartanya kurampas.”

‘Abdullah bin Jahsy pun mengiyakan permintaan Sa’ad tersebut.

Giliran ‘Abdullah bin Jahsy berdoa, “Ya Allah, datangkanlah kepadaku seorang musuh yang paling kuat dan paling bengis. Aku akan memeranginya dan dia pun memerangiku sehingga dia berhasil membunuhku dan memotong-motong hidung dan telingaku. Dengan begitu, jika kelak Engkau menanyaiku, aku akan menjawab, bahwa si Fulanlah yang telah memotong-motong hidung dan telingaku di jalan Allah. Lalu Engkau akan menjawab, ‘Benar, wahai hamba-Ku.’”

Sa’ad berkata (kepada putranya yang diceritai tentang kisah ini, pen.), “Putraku, doa ‘Abdullah bin Jahsy ternyata lebih baik daripada doaku. Aku lalu melihat pada siang harinya (pada pertempuran tersebut), hidung dan telinganya telah terpotong dan diikat pada seutas tali.”

Duhai kaum Muslim, adakah generasi umat ini merindukan kesyahidan sebagaimana para sahabat Rasulullah saw. merindukannya? Ataukah kesenangan dunia telah menjerat umat ini hingga memunculkan rasa takut mati? [AF]

Read More..

Wednesday, August 8, 2007

Meraih ‘Izzah

Read More..

ejarah Islam telah mencatat dengan tinta emas arti sebuah persatuan (wihdah) dan persaudaraan (ukhuwah). Ketika Rasulullah saw. dan para Sahabat berhijrah dari Makkah ke Madinah, yang pertama kali Beliau lakukan, selain membangun masjid, adalah mempertautkan tali persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar. Abdurrahman bin Auf, Sahabat dari Muhajirin, misalnya, dipersaudarakan dengan Saad bin Rabi dari kalangan Anshar. Abdurrahman bin Auf dikenal sebagai saudagar yang kaya-raya. Hanya saja, saat berhijrah ia tidak memiliki apa-apa, karena semua kekayaan dan barang dagangannya ia tinggalkan di Makkah. Melihat saudaranya yang tidak mempunyai apa-apa lagi, Saad bin Rabi berkata kepada Abdurrahman bin Auf, “Saudaraku, aku adalah salah seorang penduduk Madinah yang kaya-raya. Kalau engkau mau, silakan ambil setengah hartaku. Aku juga punya dua orang istri. Engkau boleh memilih, mana yang paling menarik hatimu. Sekarang juga ia akan kuceraikan dan engkau bisa menikahinya.”

Kisah Abdurrahman bin Auf dan Saad bin Rabi yang terkenal di atas hanyalah contoh kecil yang mempresentasikan fenomena ukhuwah sekaligus wihdah antara kaum Muhajirin dan Anshar yang demikian kuat. Mereka tidak hanya saling bersimpati, bahkan saling berempati satu sama lain, yang mewujud dalam bentuk saling berkasih-sayang yang amat tulus.

Padahal penduduk Madinah sebelum memeluk Islam, jangankan terhadap penduduk luar Madinah, sesama mereka sendiri—khususnya di antara dua suku terbesar Madinah: Aus dan Khazraj—sering berlaku keras. Konflik dan peperangan bahkan seakan telah menjadi tradisi mereka, yang telah berjalan puluhan tahun. Hanya dengan Islamlah konflik dan peperangan itu bisa diakhiri, diganti dengan ukhuwah (persaudaraan). Ukhuwah lalu melahirkan wihdah (persatuan), mahabbah (saling cinta) hingga bahkan quwwah (kekuatan). Dengan kekuatan atas dasar persatuan itulah kaum Muslim (Muhajirin dan Anshar) mampu menyebarluaskan risalah Islam dengan dakwah dan jihad ke seluruh jazirah Arab, sekaligus menaklukan segala kekuatan kufur yang menghalangi dakwah serta mengancam keselamatan mereka dan akidah mereka.

*****

Sesaat setelah Baginda Nabi saw. wafat, kaum Muhajirin dan Anshar memang sempat terlibat dalam sebuah ‘ketegangan’ di Saqifah Bani Saidah yang nyaris mengarah pada konflik berkepanjangan. Ketegangan terjadi terkait dengan siapa yang layak menjadi pemimpin (imam/khalifah) pengganti Rasulullah saw., apakah dari kaum Muhajirin atau Anshar. Masing-masing mengklaim, yang paling berhak memimpin adalah dari kelompok mereka.

Namun, setelah sempat saling beradu argumentasi, pada akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mengangkat sekaligus membaiat Abu Bakar ra. sebagai khalifah, yang diridhai oleh seluruh kaum Muslim, baik Muhajirin maupun Anshar.

Ada kisah lain. Suatu ketika, seorang Yahudi bernama Syash bin Qais lewat di hadapan orang-orang Aus dan Khazraj yang saat itu tengah bercakap-cakap. Yahudi tersebut benci melihat keakraban mereka. Ia lalu menyuruh seseorang untuk turut terlibat dalam percakapan mereka, seraya membangkit-bangkitkan cerita Jahiliah pada masa Perang Bu’ats. Orang-orang Aus dan Khazraj pun terprovokasi. Aus bin Qaizhi dari kabilah Aus dan Jabbar bin Sakhr dari kabilah Khazraj akhirnya saling mencaci pihak lainnya dan membangga-banggakan golongannya. Nyaris saja terjadi baku-hantam dengan pedang terhunus.

Berita itu sampai kepada Rasulullah saw. Beliau kemudian menghampiri mereka seraya bersabda: Wahai kaum Muslim, ingatlah Allah; ingatlah Allah. Apakah kalian akan bertindak layaknya para penyembah berhala? Padahal aku hadir di tengah-tengah kalian dan Allah telah menunjuki kalian dengan Islam sehingga dengan itu kalian menjadi mulia, jauh dari penyembahan terhadap berhala dan kekufuran, dan kalian menjadi bersaudara?

Seketika mereka pun sadar bahwa mereka telah tergoda setan dan terperdaya musuh. Akhirnya, segera mereka menurunkan senjatanya, kemudian berpelukan dan bertangisan.

Tidak berselang lama, turunlah firman Allah Swt. (yang artinya): Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian berpecah-belah…(QS Ali Imran [3]: 103).

*****

Terkait frasa tali Allah dalam ayat di atas, Abu Said al-Khudri menyatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Kitabullah adalah tali Allah yang memanjang dari langit hingga bumi. (HR at-Tirmidzi).

Adapun frasa jangan berpecah-belah, maksudnya, jangan berselisih dalam agama sebagaimana yang terjadi di kalangan kaum Yahudi dan Nasrani dalam agama mereka. Frasa tersebut juga bisa bermakna, jangan bergolong-golongan mengikuti hawa nafsu dengan berbagai macam tujuan duniawi. (Al-Qurthubi, IV/159).

Karena itulah, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Jika terjadi perselisihan pada umat Islam dan mengakibatkan pertikaian, bahkan permusuhan, maka ketahuilah bahwa hawa nafsu telah berperan di sini dan bukan lagi kebenaran.” (Ibnu Taimiyah, Al-Majmû’, IV/53).

Imam Abul Qasim Al-Isbahani juga mengatakan, “Kelompok yang selalu merujuk dalam segala sesuatu pada al-Quran dan as-Sunnah akan selalu menjaga persatuan.”

Ini sejalan dengan isi teks Piagam Madinah yang ditulis Rasul saw. pasca tegaknya Daulah Islamiyah, yang di antaranya menyatakan:

Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm…Kaum Mukmin seluruhnya adalah satu umat, yang berbeda dari umat manusia lainnya… Sesungguhnya kaum Mukmin itu, sebagian mereka adalah pelindung sebagian yang lain…dan sesungguhnya apapun yang mereka perselisihkan maka tempat kembalinya adalah kepada Allah (al-Quran) dan Muhammad Rasulullah (as-Sunnah)…

Karena itu, mari kita eratkan ukhuwah (persaudaraan), kuatkan wihdah (persatuan) dan rekatkan mahabbah (saling cinta); niscaya akan lahir al-quwwah (kekuatan). Dengan itulah kita secara bersama-sama akan mampu mengalahkan semua kekuatan kekufuran dan orang-orang kafir hingga kita meraih ‘izzah (kemuliaan) di dunia dan akhirat. Insya Allah.[Arief B. Iskandar]

Read More..

Monday, July 30, 2007

Kegelisahan Nabi Saw.

Read More..

Suatu ketika, Baginda Nabi Muhammad saw. mendapat hadiah harta dari kaum Fadak yang dibawa oleh empat ekor unta. Saat itu, kebetulan Beliau memiliki sejumlah utang kepada seorang musyrik yang sudah jatuh tempo. Bilal—yang selama ini memang melalui dialah Nabi saw. memperoleh pinjaman dari orang musyrik itu—segera Beliau tugasi untuk membayarkan utang tersebut, sementara Beliau menunggu di masjid.>
Setelah seluruh utang itu dibayar, Bilal segera kembali menemui Beliau. Baginda Nabi saw. kemudian bertanya, “Apakah masih ada harta yang tersisa?”
“Ya, masih ada sedikit,” jawab Bilal.
Beliau lalu memerintahkan, “Bagikanlah harta itu sampai habis hingga aku bisa merasa tenang. Aku tidak akan pulang ke rumah sebelum harta itu dibagikan semuanya.”
Bilal pun pergi untuk membagi-bagikan harta yang tersisa kepada fakir miskin. Selepas shalat isya, Baginda Nabi saw. bertanya lagi, “Masih adakah harta yang tersisa?”
“Masih, karena belum ada lagi orang yang memerlukannya,” kata Bilal.
Baginda Nabi saw. kembali tidur di masjid.
Keesokan harinya, Beliau bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Lalu dijawab oleh Bilal, “Tidak ada, ya Rasulullah. Allah telah memberkati Anda dengan ketenteraman jiwa. Semua harta itu telah habis dibagikan.”
Rasulullah saw. lalu memuji Allah. Pada malam itu, barulah Beliau pulang ke rumah menemui istri-istri Beliau, setelah beberapa malam tidur di masjid. (Al-Kandahlawi, Fadhâ’il al-A‘mâl, hlm. 576)

****
Begitulah sikap Rasul yang mulia. Beliau senantiasa gelisah dan tidak bisa merasa tenteram jika di rumahnya masih ada harta tersisa, karena Beliau tidak suka jika menghadapi maut, di tangannya masih ada harta, walau hanya satu dirham.
Sama dengan Baginda Nabi saw., para pemimpin di negeri ini tampaknya sering mengalami hal yang sama; sama-sama gelisah. Bedanya, jika Baginda Nabi saw. selalu gelisah jika ada harta tersisa di rumahnya, maka para pemimpin saat ini selalu gelisah jika harta tak kunjung menumpuk di rumah-rumah mereka. Padahal gaji mereka sebagai penguasa, pejabat atau wakil rakyat sudah sangat tinggi. Mereka juga rata-rata sangat makmur, paling tidak, jika dibandingkan dengan umumnya rakyat mereka saat ini.
Jika Baginda Nabi saw. enggan tidur di rumah kalau masih ada harta yang tersisa walau hanya 1 dirham di rumahnya, maka para penguasa, pejabat atau wakil rakyat kita juga mungkin banyak yang enggan tidur di rumah. Bedanya dengan Nabi saw., mereka tidak tidur di rumah bukan karena sedang membagi-bagikan harta mereka, tetapi justru sedang berusaha terus menumpuk-numpuk harta sebanyak-banyaknya. Bagi mereka, gaji setiap bulannya, meski puluhan juta rupiah jumlahnya, seolah tidak pernah mencukupi.
Karena itu, mereka tidak akan segera pulang ke rumah sebelum berhasil mengumpulkan harta yang banyak. Mereka terus menumpuk harta, bahkan tidak peduli dengan cara apa. Korupsi akhirnya biasa mereka jalani. Menerima suap, itu yang selalu mereka harap. Mendapat hadiah apalagi; itu yang senantiasa mereka upayakan dengan sangat bergairah.
Singkatnya, semua itu karena mereka gelisah jika semasa menjabat, mereka tidak berhasil menjadi kaya, apalagi jika sebelum menjabat mereka sudah banyak mengeluarkan biaya yang banyak; misalnya untuk biaya kampanye Pemilu, Pilpres atau Pilkada, untuk sumbangan ke konstituen, untuk lobi-lobi politik demi menduduki jabatan tertentu, dll. Konon, untuk sekadar dicalonkan menjadi wakil rakyat (padahal belum tentu jadi), mereka harus mengeluarkan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah. Apalagi jika mereka mencalonkan diri menjadi kepala daerah seperti walikota atau gubernur. Karena itulah, pada saat mereka duduk di kursi wakil rakyat atau menjadi penguasa/pejabat, mereka tidak akan merasa tenteram sebelum berhasil menumpuk harta kekayaan, atau sebelum ‘balik modal’ plus dengan ‘keuntungan’ yang berlipat ganda.
Demikianlah, hitung-hitungan bisnis, untung-rugi, akhirnya menjadi prinsip hidup mereka dalam dunia politik. Dalam sistem demokrasi seperti saat ini, politik bagi mereka bukanlah bagaimana mengurusi berbagai urusan dan kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. Politik justru merupakan ‘lahan bisnis’ yang harus menghasilkan uang, bagaimanapun caranya, untuk kepentingan pribadi.
Wajar jika di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini, tingkat korupsinya paling tinggi. Semakin banyak saja penguasa, pejabat atau wakil rakyat melakukan korupsi hingga bahkan puluhan miliar rupiah. Tidak aneh jika kekayaan sejumlah menteri dan pejabat di negeri ini naik miliaran bahkan puluhan miliar rupiah hanya beberapa tahun saja sejak menjadi menteri/pejabat.

****
Sebagai rakyat, kita jelas merindukan para pemimpin negara seperti Baginda Rasulullah saw. yang sederhana dan zuhud. Suatu ketika, Umar bin al-Khaththab bertandang ke rumah Baginda Rasulullah saw. Saat itu Rasul sedang tiduran di atas tikar di kamar Beliau. Ketika Umar datang, Beliau bangkit. Umar melihat sekeliling kamar Rasul. Tiba-tiba Umar menangis. Ia sangat sedih menyaksikan kebersahajaan Rasul. Di kamar Beliau yang sempit itu tidak ada apapun selain tiga lembar kulit binatang yang sudah disamak dan sedikit gandum di sudut kamar. Saat Rasul bangkit dari tidurannya, bekas-bekas tikar tampak menempel di tubuh Beliau. Padahal saat itu Beliau, di samping seorang rasul, juga telah menjadi pemimpin negara. Kalau Beliau mau, Beliau bisa hidup bekecukupan dan bahkan mewah. Namun, begitulah Nabi yang mulia. Bagi Beliau, kebahagiaan di negeri akhiratlah yang lebih Beliau rindukan ketimbang kesenangan duniawi. Itu pula yang kemudian diteladani oleh Khulafaur Rasyidin, para Sahabat, dan generasi salafush-shâlih setelah mereka. Sebagaimana halnya Baginda Rasulullah yang mulia, mereka bukan saja tidak suka menyimpan apalagi menumpuk harta, bahkan mereka cenderung takut terhadap banyaknya harta.
Meski begitu, Rasul yang mulia memang tidak pernah melarang kita kaya, asal dengan cara yang halal. Yang Beliau larang hanyalah mencintai dunia hingga melupakan upaya meraih kebahagiaan akhirat. Itulah sejatinya yang harus dipraktikkan oleh para pemimpin negeri ini, termasuk kita, tentu saja. Sudahkah? Jika belum, itulah sejatinya yang harus selalu menggelisahkan kita! [Arief B. Iskandar]
Wamâ tawfîqi illâ billâh. 

Read More..

Saturday, June 30, 2007

PENDERITAAN

Read More..

PENDERITAAN

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang: {“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan rugi kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling bertaushiyah dalam kebenaran dan kesabaran.”}(Q. S. Al-Ashr).

1. Setelah turunnya wahyu yang pertama kepada Rasulullah SAW, istri beliau yaitu Khadijah ra pergi bersama beliau kepada paman Khadijah yaitu Waraqah bin Naufal untuk bertanya kepadanya tentang apa yang beliau lihat dan beliau dengar. Waraqah berkata,”Sesungguhnya itulah An-Namus (malaikat Jibril) yang juga telah turun menemui Musa bin Imran. Mudah-mudahan aku masih ada ketika kaummu mengusirmu sehingga aku dapat membantumu dengan bantuan yang memberi kekuatan.” Rasulullah SAW bertanya,”Apakah mereka akan mengusirku, wahai paman.” Waraqah berkata,”Benar. Tidak seorang pun yang datang membawa ajaran seperti yang engkau bawa kecuali dia dimusuhi.”

Rasulullah SAW bersabda: [“Ketahuilah bahwa kepemimpinan Islam senantiasa beredar. Maka bergabunglah kalian di manapun dia berada. Ketahuilah bahwa kekuasaan dan Al-Quran kelak akan terpisah maka berpegang teguhlah dengan Al-Quran. Ketahuilah bahwa kalian akan dipimpin oleh para penguasa yang sesat dan menyesatkan. Apabila kalian mengikuti mereka maka mereka akan menyesatkan kalian dan apabila kalian menentang mereka maka mereka akan membunuh kalian. Para sahabat bertanya,”Apa yang harus kami lakukan, wahai Rasulllah SAW?” Beliau menjawab,”Lakukanlah sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat Isa. Mereka memberikan dukungan dan menyebarkan seruan. Demi Zat yang menggenggam jiwa Muhammad, sungguh kematian di jalan Allah adalah lebih baik daripada hidup dalam kemaksiyatan.”]. (H. R. Abu Nuaim, berkaitan dengan dalil-dalil kenabian.). Allah SWT telah menyampaikan kisah-kisah para Nabi kepada Rasul-Nya sebagai penjelasan baginya tentang apa yang telah dialami oleh para nabi tersebut seperti penolakan, pendustaan dan penganiayaan serta apa yang membuat beberapa orang di antara mereka memperoleh predikat ulul ‘azmi. Kisah-kisah itu disampaikan dalam rangka meneguhkan hati Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman kepada beliau: {“Maka bersabarlah sebagaimana kesabaran ulul ‘azmi dari kalangan para Rasul.”}(Q. S. Al-Ahqaf: 35). Dengan demikian, masyarakat adalah masyarakat (kapanpun dan di manapun berada) sehingga upaya untuk mengubahnya pun akan menghadapi apa yang dihadapi orang-orang terdahulu seperti penghinaan, penolakan, pendustaan, penentangan dan penyerangan. Bahkan, kita hampir-hampir mendengar perkataan orang-orang pada saat ini sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Nabi Nuh as: {“Tidaklah kami melihat orang-orang yang mengikutimu kecuali hanya orang-orang rendah yang bodoh di antara kami dan kami tidak melihat kelebihan kalian dibandingkan dengan kami.”}(Q. S. Hud: 27). Itu pula perkataan yang akan didengar oleh para pengemban dakwah saat ini.

Oleh karena itu, wajib bagi para aktivis untuk membangkitkan umat, mengangkat martabatnya dan mengubah apa-apa yang yang terdapat dalam jiwa-jiwanya sehingga Allah akan mengubah keadaannya: {“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat dalam sebuah kaum hingga mereka sendiri mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka itu.”}(Q. S. Ra’du: 11). Para aktivis harus membulatkan tekad dan menjaga semangatnya untuk menghadapi lawan-lawan mereka, mengalahkan musuh-musuh mereka, senantiasa meneladani Rasulullah SAW dan bertawakal kepada Allah SWT. Allah telah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia sebagai peringatan bagi orang-orang mukmin berkaitan dengan penderitaan yang akan mereka alami dan bahaya yang akan mereka hadapi. {“Dan ingatlah ketika kalian masih berjumlah sedikit dan tertindas di muka bumi. Kalian takut orang-orang akan menculik kalian maka Allah memberi kalian tempat menetap dan menguatkan kalian dengan pertolongan-Nya.”}(Q. S. Al-Anfal: 26). Benar, merupakan kewajiban bagi mereka -yaitu orang-orang yang menghendaki kebangkitan- untuk mengkaji apa yang telah dialami oleh Rasulullah SAW dan para sahabat beliau. Bagaimana ujian yang telah Allah berikan kepada mereka bagaimana kedudukan mereka. Ujian itu diberikan dalam rangka menempa dan membangun jiwa mereka, mengemban apa yang diperintahkan Allah kepada mereka yaitu ilmu dan amal serta mengetahui apa yang diinginkan dan apa yang didakwahkan mereka. Aktivitas untuk mewujudkan kebangkitan itu dalam realitas kehidupan harus disertai dengan kesungguhan dan kerja keras serta kesanggupan menghadapi ujian dan cobaan. Dengan demikian, kesiapan jiwa, rasa tanggung jawab dan kepemimpinan atas umat tersebut mengharuskan adanya pengetahuan mengenai apa-apa yang dituntut oleh tanggung jawab dan kepemimpinan itu sendiri.

Salah satu kewajiban terpenting yang dituntut oleh pertanggungjawaban dan kepemimpinan adalah pertanggungjawaban atas satu milyar lebih orang Islam dan pertanggungjawaban atas masa depan dunia secara keseluruhan, untuk merealisasikan firman-Nya: {“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian umatan wasathan (umat pilihan) agar kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian.”}(Q. S. Al-Baqarah: 143).

Salah satu kewajiban terpenting yang dituntut oleh pertanggungjawaban adalah ilmu mengenai apa yang diinginkan. Apabila tidak, maka bagaimana mungkin seorang penanggung jawab dapat menjadi orang yang memikul tanggung jawab apabila dia tidak mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya? Dan bagaimana mungkin kaumnya mau mengikuti pemimpin seperti itu yakni orang yang tidak mengetahui ke arah mana mereka akan dia pimpin? Adalah benar perkataan yang berbunyi,”Sesungguhnya sebuah umat tidak akan memberikan kepemimpinannya kepada orang yang bodoh dan pengecut.” Hal itu bukan berarti saya tetap diam menunggu hingga menguasai seluruh ilmunya, melainkan saya akan membulatkan tekad untuk mengetahui apa yang merupakan kewajiban saya, mengetahui apa yang saya butuhkan berkaitan dengan tanggung jawab yang saya pikul serta melakukan aktivitas berdasarkan pengetahuan yang telah sampai kepada saya atau telah saya ketahui itu. Rasulullah SAW menyampaikan apa yang beliau dengar dari wahyu dan semua yang telah diwahyukan Allah kepada beliau tanpa menunggu sampai pengetahuan dan ilmu beliau sempurna. Beliau terus berdakwah, melakukan tabligh dan menjalankannya selama dua puluh tiga tahun. Beliau senantiasa menyampaikan ayat atau surat atau hadits. Rasulullah SAW telah bersabda: [“Sampaikankanlah dariku walaupun satu ayat.”](H. R. Bukhari, Muslim, imam ahmad dan Tirmidzi, dari Ibnu Umar). Rasulullah SAW juga bersabda: [‘Allah memuliakan seseorang yang telah mendengar dariku sebuah hadits kemudian dia menghafalnya sehingga dia dapat menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang menyampaikan masalah fikih kepada orang yang lebih mengetahui daripada dirinya. Dan banyak orang yang menyampaikan masalah fikih padahal dia bukan ahli fikih.”](H. R. Imam Ahmad dalam musnadnya, Tirmidzi dan Ibnu Hibban dalam shahihnya, dari Ibnu Mash’ud). Itu berkaitan dengan individu. Adapun berkaitan dengan kutlah (partai politik) maka kutlah pun sama wajibnya untuk memahami apa yang hendak dituju, untuk memahami tanggung jawabnya serta untuk mengetahui posisi dan kepemimpinannya atas para pengemban dakwah dan juga umat, bahkan bagi dunia ketika kutlah tersebut berada di pusat kepemimpinan yang bersifat riil. Hal itu mengharuskan kutlah untuk menetapkan grand design secara lengkap berkaitan dengan apa yang hendak ditujunya agar dapat membina para kadernya berdasarkan grand design tersebut dan agar dapat meraih kepercayaan dan kepemimpinan umat dengan grand design tersebut. Kutlah juga harus memahami fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia sekelilingnya agar partai politik itu dapat menganalisisnya dengan akurat dan memberikan solusi yang tepat. Peristiwa dan fakta-fakta tersebut tidak akan pernah berhenti sehingga tindakan mengambil posisi atau membuat analisis dan solusi atas hal itu merupakan perkara yang harus dilakukan. Hal itu dilakukan dalam rangka mengikuti apa yang terdapat dalam Al-Quran Al-Karim. Al-Quran turun mensikapi fakta dan peristiwa yang ada serta menyingkapkan tipu daya dan persekongkolan yang terjadi. Kemudian, membantahnya dengan bantahan yang bersifat pemikiran atas hal-hal yang terjadi itu. Maka, ketika ada seseorang yang melarang orang lain untuk melaksanakan shalat, turunlah ayat Al-Zajirah: {“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran atau dia menyuruh untuk bertakwa? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah melihat segala perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti niscaya Kami akan menarik ubun-ubunnya. Yaitu ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.”}(Q. S. Al-‘Alaq: 9-16). Oleh karena itu, wajib bagi kutlah (partai politik) untuk menyampaikan pendapatnya berkaitan dengan peristiwa dan fakta yang terjadi serta mengambil posisi yang seharusnya atas hal itu. Partai politik itu tidak boleh gentar menerima celaan dari orang yang suka mencela ketika berada di jalan Allah sehingga tidak tunduk kepada penguasa dan tidak pula menjilat kepada para pemimpin serta tidak berdiam diri terhadap kemungkaran. {“Mereka menginginkan supaya engkau bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak juga.”}(Q. S. Al-Qalam: 9). Itulah tindakan bersungguh-sungguh dalam meraih ilmu dan sabar dalam mengahadapi rintangan. Hal itu sebagaimana yang terjadi pada Bilal. Suatu waktu dia dipukuli dan disiksa sehingga hatinya merasa sedih. Dia pergi menemui Rasulullah SAW untuk mengadu. Dia berkata,”Wahai Rasulullah, seandainya engkau mendoakan mereka agar binasa.” Maka Rasulullah SAW pun diam dan berjalan dengan Bilal hingga beliau bersandar pada dinding Kabah dan berkata kepada Bilal,”Wahai Bilal, sesungguhnya aku berdoa kepada Allah agar seorang penggembala dapat menggembalakan ternaknya dari negeri Yaman hingga Al-Farat tanpa merasa takut kecuali oleh Allah dan srigala.” Ini adalah pelajaran yang disampaikan Rasulullah SAW kepada para sahabat beliau hingga mereka terangkat sampai tingkatan para pemimpin dan tokoh. Adapun perkataan beliau kepada keluarga Yasir,”Bersabarlah, wahai keluarga Yasir. Sesungguhnya imbalan bagi kalian adalah surga.” Sumayah ibu Amr menjawab perkataan beliau,”Seakan-akan aku telah melihatnya di hadapanku, wahai Rasulullah.” (Sirah Ibnu Hisyam –Mukhtashar Sirah Ibnu Hisyam- Darun Nafais halaman 57). Itulah pelajaran yang lain dan dengan jenis yang lain yaitu tahan menghadapi siksaan dan sabar dalam menghadapi cobaan.

2. Penderitaan yang berkaitan dengan permusuhan yang dilakukan anak, keluarga dan karib kerabat.

Sebuah syiir mengatakan:

Kezaliman karib kerabat lebih menyakitkan jiwa

dibandingkan tusukan ujung pedang yang tajam

Sesungguhnya hal itu merupakan sunatullah yang terjadi pada orang-orang terdahulu. Allah telah menyampaikan kisah-kisah kepada Rasulullah SAW berkaitan dengan peristiwa yang menimpa para nabi terdahulu. Nabi Nuh yang diuji dengan istri dan anaknya: {“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya.”}(Q. S. At-Tahrim: 10). Allah SWT juga berfirman: {“Dan Nuh memanggil anaknya sedangkan anaknya itu berada di tempat yang jauh terpencil,”Wahai anakku, naiklah bersma kami dan janganlah engkau berada bersama orang-orang yang kafir. Anaknya berkata,”Aku akan mencari perlindungan ke atas gunung yang dapat menyelamatkan aku dari air bah.” Nuh berkata,”Hari ini tidak ada yang dapat berlindungi dari azab Allah Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya. Maka jadilah anak itu termasuk golongan orang-orang yang ditenggelamkan.”}(Q. S. Hud: 42-43). Allah SWT juga telah menyampaikan kisah-kisah beberapa kaum dan perilaku mereka terhadap para nabi. Allah menyampaikan kepada beliau kisah tentang perilaku Bani Israil dan pembunuhan mereka terhadap para nabi mereka tanpa alasan yang dibenarkan. {“Tidak akan engkau temukan perubahan dalam sunatullah.”}(Q. S. Fatir: 43). Lalu ujian apa yang dialami oleh Rasulullah SAW dari keluarga beliau? Ada paman beliau yang bernama Abu Lahab dan istrinya. Ada kaum Quraisy dan para tokohnya. Ada orang-orang Arab yang melempari beliau. Inilah doa beliau ketika kembali dari Thaif,”Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan diriku, sedikitnya kekuatanku serta kelemahanku di hadapan manusia, wahai Zat Yang Maha Penyayang. Engkau adalah Tuhan dari orang-orang yang lemah dan Engkau adalahTuhan-ku. Kepada siapa aku bersandar? Apakah kepada orang yang menganiayaku? Apakah kepada orang yang jauh dan menerimaku dengan muka masam? Ataukah kepada musuh yang telah menghalangi urusanku? Apabila kemurkaan-Mu tidak akan menimpa diriku aku tidak akan peduli, tetapi pengampunan-Mu untukku lebih luas lagi. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang telah menerangi kegelapan dan memperbaiki urusan dunia dan akherat, dari turunnya kemurkaan-Mu atau dari datangnya kemarahan-Mu atas diriku. Engkaulah yang berhak memberikan peringatan hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali karena-Mu.” (lihat Sirah Ibnu Hisyam jilid I hal. 420).

Dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap para sahabat dan penentangan anak-anak mereka atau bapak-bapak mereka atau ibu-ibu mereka atau karib kerabat mereka terhadap mereka, akan ditemukan contoh-contoh yang baik (patut dijadikan renungan). Ada Abu Bakar yang diuji dengan ayah dan anaknya. Abu Ubaidah yang diuji dengan ayahnya. Said bin Abi Waqash yang diuji dengan ibunya. Orang-orang yang melakukan hijrah ke Habsyi dengan meninggalkan agama mereka terdahulu. Mereka tidak mempunyai penolong dari kalangan keluarga dan karib kerabat mereka kecuali Allah. Cukuplah Allah sebagai penolong. Inilah yang akan dialami juga oleh partai politik (kutlah) dan para kadernya yaitu penderitaan. Dengan demikian, dituntut adanya kesabaran menghadapi keluarga dan karib kerabat. Sikap yang harus diambil mereka dalam posisi seperti itu adalah menghadapi keadaan tersebut. Dengan demikian, seorang individu atau partai politik tidak boleh berharap akan menjadi kuat, kokoh dan memperoleh kemenangan kecuali setelah mengalami ujian dan cobaan.

3. Penderitaan dan sikap sabar dalam menghadapi masyarakat. Merupakan sesuatu yang sudah diketahui bahwa sebuah masyarakat akan menampakkan sikap permusuhan dan penentangan terhadap setiap pemikiran baru yang hendak mengubah model kehidupan yang telah mereka bentuk dan tata kehidupan yang telah mereka jalankan. Hal itu terjadi apabila berkaitan dengan perubahan yang menyeluruh dalam ‘alaqat (hubungan) yang mengikat sebagian mereka dengan sebagian yang lain dan apabila berkaitan dengan asas yang melandasi terbentuknya masyarakat mereka dan asas yang melahirkan kemaslahatan dan sistem peraturan mereka. Dalam hal itu perasaan dan pengindraan mereka adalah satu. Kita memiliki suri tauladan yang baik dalam diri Rasulullah SAW. Dakwah beliau yang mengajak untuk mengesakan penyembahan kepada Allah bukanlah hal yang membangkitkan kemarahan orang-orang Quraisy dan orang-orang Arab. Sebelumnya telah terdapat orang yang menyeru pada hal tersebut misalnya yang dilakukan oleh sekelompok orang yang hanif seperti Waraqah bin Naufal dan Al-Qas bin Saadah al-Ibadi yang melakukan orasi di pasar ‘Ukazh. Dia berkata,”Qas bersumpah kepada Allah dengan sumpah yang tidak mengandung dosa di dalamnya bahwa Allah memiliki agama yang lebih baik dari agama yang kalian anut.” Tetapi orang-orang Arab tidak memusuhi dia dan tidak menentangnya. Hal itu terjadi karena tidak menyinggung hubungan yang berlangsung di antara mereka. Tidak pula menyinggung kemaslahatan mereka serta model dan tata kehidupan mereka. Tetapi ketika mereka mendengar Rasulullah SAW berkata kepada mereka,”Katakanlah oleh kalian,”Tidak ada Tuhan selain Allah” maka kalian akan memperoleh kebahagiaan.” Dan juga ketika mereka mendengar dari beliau apa yang terdapat dalam Al-Quran maka mereka memahami lebih jauh dari itu dan menjadi jelas bagi mereka bahwa beliau hendak mengubah pandangan hidup mereka, menghancurkan institusi tersebut dan membangun institusi baru dengan landasan yang juga baru serta pandangan hidup yang baru pula. Semua itu akan menghancurkan kepentingan mereka dan meruntuhkan kepemimpinan mereka serta menjadikan kekuasaan berada di tangan Allah atau di tangan orang selain mereka. Oleh karena itu, perlawanan dan permusuhan mereka serta upaya yang mereka lakukan adalah dalam rangka untuk menghentikan dakwah. Maka terjadilah pergolakan antara Rasulullah dan para sahabat di satu pihak dengan orang-orang Quraisy dan orang-orang Arab di pihak yang lain. Terjadi penganiayaan terhadap orang-orang seperti Bilal, Amar, Yasir, Sumayah, Abdullah bin Mash’ud dan yang lainnya. Terjadi pula hijrah yang dilakukan oleh orang-orang yang mampu melakukannya seperti Jafar, Utsman, Abdullah bin Jahsyi dan yang lainnya. Sungguh indah apa yang disampaikan Allah berkaitan dengan penderitaan yang mereka alami dan juga kesabaran mereka atas penderitaan tersebut, melalui firman-Nya: {“Dan ingatlah ketika kalian masih berjumlah sedikit dan tertindas di muka bumi. Kalian takut orang-orang akan menculik kalian. Maka Allah memberi kalian tempat menetap dan dijadikan-Nya kalian kuat dengan pertolongan-Nya.”}(Q. S. Al-Anfal: 26). Keadaan tersebut membuat individu dan juga partai politik merasa khawatir atas dirinya yaitu khawatir bahwa orang-orang akan menganiayanya dan menghancurkan keberadaannya. Pemboikotan dan pengucilan yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah, orang-orang yang bersama beliau dan orang-orang yang mendukung beliau, di bukit-bukit yang berada di pinggiran kota Makkah merupakan salah satu pukulan saja dari pukulan-pukulan yang dilancarkan mereka dan merupakan salah satu cara untuk melakukan penentangan.

Oleh karena itu, wajib bagi kutlah atau hizb apapun untuk melakukan aktivitas mengubah masyarakat atau mengubah hubungan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, mengubah sistem peraturan yang mengatur hubungan-hubungan tersebut, mengubah pandangan hidup masyarakat, membangun masyarakat berdasarkan pemikiran dan perasaan yang baru, mengatur hubungan yang terjadi dalam masyarakat dengan hukum-hukum yang baru, menjaga sistem peraturan yang mengatur hubungan dalam masyarakat tersebut dengan landasan dan kaidah yang baru, melakukan penanganan urusan-urusan masyarakat dengan model yang baru dan mewujudkan pandangan hidup tertentu yang dapat menjelaskan makna keberadaan mereka dalam kehidupan ini.

Kutlah atau hizb apapun yang menempuh semua aktivitas tersebut harus menyadari bahwa pengucilan, pemboikotan, penganiayaan dan pemutusan mata pencaharian merupakan sebagian perkara yang akan ditemui pada saat berupaya dan beraktivitas untuk mewujudkan fikrahnya dalam realitas kehidupan. {“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan dicukupkan pahalanya tanpa batas.”}(Q. S. Az-Zumar: 10). Mereka memiliki sifat: {“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta salaing bertaushiyah dalam kebenaran dan kesabaran.”}(Q. S. Al-Ashr: 3). Atau firman-Nya: {“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya. Keadaannya telah melampaui batas.”}(Q. S. Al-Kahfi: 26).

{“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan dicukupkan pahalanya tanpa batas.”}(Q. S. Az-Zumar: 10).


Penderitaan Bersama Sistem Peraturan dan Para Penguasa

Sesungguhnya yang menjadi tujuan kita adalah mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan, yakni menjadikan hukum-hukum Islam sebagai pengatur bagi perilaku individu dan sebagai pengatur bagi hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat. Kedaulatan harus berada di tangan hukum syara dan Islam harus diemban ke seluruh dunia hingga hujah dapat ditegakkan terhadap manusia dan dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya kebenaran. Itulah makna perwujudan Islam dalam realitas kehidupan. Itu berarti terciptanya bangunan umat, terciptanya perubahan dalam masyarakat serta tegaknya negara yang memberlakukan Islam di dalam negeri dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Aktivitas tersebut, disamping dilakukan dalam rangka membangun umat serta mengubah pemikiran dan perasaan masyarakat, aktivitas itu juga dilakukan dalam rangka menjelaskan kerusakan hubungan-hubungan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Baik hubungan yang terjadi antara sebagian individu dengan individu lainnya ataupun hubungan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pelaksana –penguasa- ataupun rusaknya hubungan antar struktur aparat pelaksana itu sendiri maupun rusaknya kewenangan setiap bagian dari struktur tersebut. Sesungguhnya aktivitas tersebut walaupun dilakukan dalam bentuk pemikiran saja dan berupa penetapan garis lurus di hadapan garis yang bengkok semata, tetapi hal itu akan membuat cemas para aparat pelaksana sistem, membangkitkan kemarahan mereka dan mendorong mereka untuk menghentikan dakwah tersebut dengan berbagai cara termasuk menjebloskannya ke dalam penjara. Hal itu terjadi karena mereka menyadari bahwa eksistensi fikrah tersebut di tengah-tengah umat berarti kehancuran bagi kekuasaan mereka dan terganggunya kepentingan mereka.

Sesungguhnya Firaun merupakan contoh yang tepat di tengah-tengah manusia dari aspek tindakannya yang melampaui batas dan sewenang-wenang, yaitu pada saat dia berbuat kezaliman dan bersikap arogan serta pada saat dia menganggap orang lain lebih rendah dan lebih hina dibandingkan dirinya sehingga dia meminta dirinya disembah oleh orang-orang: {“Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagi kalian selain aku.”}(Q. S. Al-Qashsash: 38). Allah SWT telah mensifati Firaun sebagai orang yang termasuk golongan pembuat kerusakan, orang yang telah bertindak melampaui batas dan sebagainya. Akan tetapi, Firaun yang sewenang-wenang dan arogan ini masih mau mengadu hujah dengan hujah dan mengadu bukti dengan bukti. Allah berfirman melalui lisan Firaun: {“Siapakah Tuhan kalian berdua, wahai Musa?” Musa menjawab,”Tuhan kami adalah Tuhan yang telah memberikan kepada setiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk.” Firaun bertanya,”Bagaimana keadaan umat-umat terdahulu?” Musa menjawab,”Pengetahuan tentang hal itu berada pada sisi Tuhanku di dalam sebuah kitab. Tuhan kami tidak akan salah dan juga tidak akan lupa.”}(Q. S. Thaha: 50). Pada keadaan seperti itu Firaun menoleh kepada orang-orang terdekatnya dan para penasehatnya. Mereka pun berkata: {“Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukanmu yang mulia.”}(Q. S. Thaha: 63). Para penasehatnya berkata kepadanya: {“Tundalah dia dan saudaranya. Kirimkanlah orang-orang yang akan mengumpulkan (para ahli sihir) ke seluruh negeri. Niscaya mereka akan mendatangkan ahli sihir yang mahir kepadamu.”}(Q. S. Asy-Syuara: 37). Kemudian Firaun menoleh kepada Musa dan berkata: {“Apakah kamu datang kepada kami untuk mengusir kami dari negeri kami dengan sihirmu, wahai Musa?” Dan kami pun pasti akan mendatangkan kepadamu sihir semacam itu. Maka buatlah suatu waktu untuk pertemuan kami dan kamu. Kami tidak akan menyalahinya dan tidak pula kamu berada pada tempat yang pertengahan.” Musa berkata,”Waktu untuk pertemuan dengan kalian itu adalah di hari raya dan kumpulkanlah manusia pada saat dhuha (matahari naik sepenggalan).”}(Q. S. Thaha: 57-59). Sungguh indah dialog yang terdapat dalam surat Thaha itu, yaitu antara Nabi Musa as dengan Firaun yang melampaui batas itu.

Maha Suci Allah, Firaun yang digelari dengan orang yang melampaui batas dan lalim masih bersedia untuk mengadu argumentasi dan bukti dengan disaksikan dan didengarkan oleh masyarakat. Apabila seperti itu keadaan orang yang digelari sebagai orang yang zalim dan sewenang wenang, lalu apa sebutan bagi para penguasa masa sekarang yang tidak mau menerima kritikan atas hukum atau perundang-undangan atau sistem peraturan yang mengatur hubungan-hubungan di antara masyarakat. Tidak ada balasan bagi orang yang melakukan kritik tersebut kecuali penjara dan penyiksaan atau pembunuhan atau pengusiran. Itulah fakta yang harus dihadapi oleh kutlah yang beraktivitas membangkitkan umat. Selain jalan tersebut, tidak ada jalan lain yang dapat mengantarkan pada tegaknya bangunan umat, perbaikan masyarakat, perubahan sistem peraturan dan terwujudnya fikrah dalam realitas kehidupan. Hal itu karena masyarakat hanya dapat tegak di atas hubungan-hubungan yang terus-menerus di tengah-tengah masyarakat tersebut. Kritik terhadap hubungan tersebut berarti kritik terhadap sistem peraturan yang sedang diberlakukan. Kritik terhadap sistem peraturan yang berlaku berarti upaya untuk menghancurkannya. Upaya untuk menghancurkan sistem peraturan, dalam pandangan seorang penguasa adalah kejahatan. Pelakunya, dalam pandangan undang-undang adalah seorang pelaku kriminal yang berhak untuk di jatuhi sanksi. Upaya untuk mengubah hubungan-hubungan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat menuntut adanya pengungkapan tentang kerusakan hubungan-hubungan dan sistem peraturan tersebut. Dengan demikian, penderitaan dan sikap sabar menghadapi penderitaan tersebut merupakan suatu keniscayaan. Oleh karena itu, imbalannya sangat tinggi dan pahalanya pun sangat besar. [“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan orang yang berdiri (melakukan koreksi) di hadapan seorang penguasa zalim lalu dia dibunuh.”]. Adakah imbalan yang lebih tinggi dan pahala yang lebih besar dari orang yang menempati posisi sebagai pemimpin para syuhada –yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib- singa Allah dan paman dari Rasulullah SAW.

Lalu bagaimana memadukan dua hal yang bertentangan itu? Di satu sisi, aktivitas tersebut berupaya mengungkapkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan sedangkan di sisi lain mesti mengungkapkan kerusakan hubungan-hubungan yang terjadi di antara masyarakat dan kerusakan sistem peraturan yang menjaga hubungan-hubungan tersebut; baik itu hubungan yang bersifat ekonomi atau sosial ataupun tsaqafah. Berkaitan dengan hal itu, penejelasam adalah sebagai berikut. Konstitusi dan perundang-undangan lainnya merupakan ketentuan yang membatasi hubungan-hubungan tersebut dan menjelaskan tata cara menjalankannya. Mulai dari pengaturan di jalan raya hingga peraturan mengenai perkataan yang diucapkan seseorang. Juga yang berkaitan dengan barang-barang dagangan yang dijualbelikan atau rumah yang disewakan atau barang yang diambil manfaatnya atau mobil yang dikendarai atau wanita yang dinikahi atau harta warisan yang ditinggalkan atau sekolah yang dibuka untuk umum atau materi yang dipelajari. Semuanya itu merupakan hubungan-hubungan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dan dijalankan oleh para penguasa. Upaya mengungkapkan kerusakan apapun dalam perkara tersebut berarti mengungkapkan kerusakan penguasa dan para aparat pelaksana negara. Hal itu merupakan tindakan kejahatan yang akan mengantarkan pelakunya ke penjara atau pada kematian. Tindakan yang mengutamakan keselamatan menuntut sikap berdiam diri dari melakukan aktivitas tersebut. Lalu, bagaimana kita menyelaraskan antara aktivitas tersebut dengan keselamatan? Di satu sisi, aktivitas tersebut berarti penjara dan kebinasaan. Di sisi lain, sikap berdiam diri berarti dosa dan kemurkaan dari Allah SWT.

Allah SWT telah memerintahkan kita untuk melakukan aktivitas tersebut: {“Harus ada di antara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan (Islam) serta memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebahagiaan.”}(Q. S. Ali Imran: 104). Rasulullah SAW bersabda: [“Lakukanlah amar ma’ruf dan nahyi munkar oleh kalian atau Allah akan menjadikan kalian dikuasai oleh orang-orang jahat di antara kalian sehingga ketika orang-orang baik di antara kalian berdoa, doa mereka itu tidak dikabulkan.”](H. R. Al-Bazar dan Thabrani dalam kitab Al-Ausath). Rasulullah juga bersabda: [“Orang yang berdiam diri dari (menyampaikan) kebenaran adalah syetan yang bisu.”]. Lalu bagaimana kita menyelaraskan antara aktivitas tersebut dengan penjara dan antara ketaatan kepada Allah dengan keselamatan?

Inilah perkara yang akan menyebabkan penderitaan serta menuntut sikap sabar menghadapi penderitaan tersebut. Hal itu juga mengharuskan adanya sikap saling menasehati dalam kesabaran. Inilah yang menentukan makna keberadaan manusia dalam kehidupan. Ada yang mengalami kerugian yang sangat besar. Ada pula yang melakukan aktivitas tersebut serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dan itu merupakan keuntungan yang sangat besar.

Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan,”Demi Allah, seandainya aku tidak mendapatkan penentangan dari keluargaku dan orang-orang bersikap akrab terhadapku; seandainya aku tidak menemukan halangan dan rintangan dari manusia, tidak mendapatkan penganiayaan dan penyerangan dari sistem peraturan yang diberlakukan di negeri-negeri Islam niscaya aku akan merasa ragu apakah aku sudah berada di jalan yang telah Rasulullah tempuh. Hal itu karena yang menjadi ukuranku adalah sabda Rasulullah SAW: [“Tidak ada lagi kata istirahat setelah ini, wahai Khadijah.”] Manhajku adalah satu yaitu jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW, kisah-kisah yang telah disampaikan Allah berkaitan dengan perjalanan para nabi dan rasul terdahulu serta perkara-perkara yang dialami mereka dari kaum dan keluarga mereka. Sungguh tepat perkataan Waraqah bin Naufal ketika dia berkata kepada Rasulullah SAW,”Semoga aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu sehingga aku dapat menolongmu dengan pertolongan yang dapat memberikan kekuatan.” Rasulullah SAW bertanya,“Apakah mereka akan mengusirku, wahai paman?” Waraqah menjawab,”Benar. Tidak ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran seperti yang engkau bawa itu kecuali dia dimusihi.” Allah SWT berfirman: {“(Itu) merupakan sunatullah yang berlaku atas orang-orang yang terdahulu sebelum(mu) dan kamu tidak akan menemukan perubahan pada sunatullah itu.”}(Q. S. Al-Ahzab: 62).

Allah SWT berfirman: {“Demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat pilihan agar kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian.”}(Q. S. AL-Baqarah: 143). Allah SWT juga berfirman: {“Kalian adalah sebaik-baik umat yang diciptakan untuk manusia. Kalian memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.”}(Q. S. Ali Imran: 110). Umat manakah yang dimaksud itu?

Itu adalah umat Islam. Dalilnya adalah apa yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib dan apa yng didiktekan oleh Muhammad Rasulullah SAW pada pembukaan konstitusi yang ditandatangani oleh para tokoh kaum pada saat Rasulullah SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Pasal pertama dari konstitusi tersebut adalah definisi umat itu. Dalam pasal itu tertulis: “Muhammad Rasulullah serta orang-orang muslim dan mukmin yang bersamanya adalah umat yang satu di hadapan manusia.” Inilah umat yang telah Allah jadikan sebagai umat pilihan yakni sebaik-baiknya umat yang diciptakan untuk manusia dan menduduki posisi terhormat di dunia sehingga mampu menjalankan peran penting yang diembannya yaitu sebagai saksi atas seluruh manusia sebagaimana peran yang telah diemban oleh Muhammad SAW. Dalam posisi umat yang terhormat tersebut risalah disampaikan, amanah ditunaikan, umat diberi bimbingan dan jihad fi sabilillah dijalankan dengan sebenar-benarnya. Dalam keadaan seperti itu, umat terjamin keamanannya dan terjaga dari kesesatan. Rasulullah SAW bersabda: [“Telah aku tinggalkan bagi kalian perkara yang apabila kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya setelah aku pergi, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.”](H. R. Al-Hakim dengan periwayatan dari Hurairah ra).

Itulah kesaksian Rasulullah SAW atas umatnya dan hujah beliau bagi mereka. Lalu manakah kesaksian umatnya atas manusia? Rasulullah SAW pernah menangis ketika beliau mendengar firman-Nya: {“Dan Kami datangkan dirimu sebagai saksi atas mereka.”}(Q. S. An-Nisa: 41). Kemudian berkata kepada orang yang membaca ayat tersebut,”Cukuplah itu bagimu.”

Rasulullah memegang kekuasaan dalam jangka yang cukup lama sampai beliau meninggal dunia. Kemudian, beliau meninggalkan kekuasaan itu untuk umatnya. Umat pun bangkit karena kekuasaan tersebut. Kemudian kepemimpinan itu dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Maka dia pun menjadi saksi atas Persia dan Romawi. Berikutnya Umar mengikuti jejak Abu bakar Ash-Shiddiq. Kemudian setelahnya diikuti oleh para khalifah dan amir sehingga mereka tegak menjadi saksi atas manusia pada masa itu dengan berpegang pada kebenaran. Mereka adalah umat yang satu. Mereka adalah negara adi daya yang menduduki posisi terhormat di dunia dan menegakkan hujah atas manusia serta menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. {“Tidaklah Kami mengutusmu kecuali untuk seluruh manusia sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.”}(Q. S. As-Saba: 28). Maka dakwah Islam pun disebarkan dan disampaikan kepada umat-umat yang ada di muka bumi tanpa kecuali; mulai dari perbatasan Cina di sebelah Timur hingga perairan Atlas di sebelah Barat; mulai dari Turkistan, Samarkan dan Azerbaijan yang terbentang di Asia Tengah hingga Aswara Fina (?) di Eropa Tengah; mulai dari selat Jabal Thariq (Gibraltar) hingga dataran Bawatiyih dekat kota Paris. Hal itu terus berlangsung hingga masa dimana mereka masih menjalankan perintah Allah yaitu melakukan amar ma’ruf dan nahyi munkar. Pada saat mereka melakukan penyimpangan dan dihinggapi sifat al-wahn (cinta dunia dan takut mati), menjauhi perkara yang telah diperintahkan kepada mereka, melakukan apa yang dilarang, semakin lemahnya keimanan dalam jiwa mereka, semakin buruknya pemahaman mereka terhadap makna keberadaan mereka dalam kehidupan dan makna keberadaan mereka sebagai kaum muslimin sebagaimana lemahnya pemahaman mereka terhadap Islam, serta semakin merosotnya tarap pemikiran mereka bahkan dalam beberapa hal sudah sangat terpuruk maka tersebarlah di tengah-tengah mereka virus yang menyebabkan terjadinya keterpecahbelahan, kebodohan dan keterbelakangan seperti faham kebangsaan, kesukuan, patriotisme, primordialisme dan fanatisme golongan. Semua itu telah menyebabkan runtuhnya negara mereka, hancurnya kekuatan mereka dan luluh lantaknya negara mereka. Bahkan, mereka sendiri yang telah meruntuhkan negara mereka, mengoyak-ngoyak panji kemuliaan mereka dan merobohkan peninggalan umat-umat terdahulu kemudian memungut bagian-bagiannya yang masih dapat disatukan dan meluruskan yang bengkoknya.

Hari ini, kita mewarisi tugas tersebut. Tugas yang dimaksud adalah {“Agar kalian menjadi saksi atas manusia”}(Q. S. Al-Baqarah: 143). Apakah kita mampu menjadi saksi atas manusia tanpa terwujudnya Islam dalam realitas kehidupan? Apakah kita mampu menjadi saksi atas manusia apabila kita tidak dapat melanjutkan kehidupan Islam? Apakah kita dapat melanjutkan kehidupan Islam tanpa adanya sebuah negara yang menegakkan hudud (hukum-hukum yang ditetapkan Allah, pen.), menjaga benteng pertahanan, menangani urusan-urusan masyarakat, menerapkan hukum-hukum Islam di dalam negeri dan mengemban Islam kepada umat-umat di muka bumi. Dengan adanya negara yang menjalankan semua hal itu, kita dapat menegakkan hujah sehingga kesaksian pun dapat direalisasikan. Maksudnya, negaralah yang mampu menyampaikan dakwah tersebut kepada seluruh umat, memperluas kekuasaan Islam di muka bumi, menampakkan hukum-hukumnya serta menjelaskan akidah dan pemikirannya. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang dapat mengajukan hujah kepada Allah dan umat akan menjadi saksi atas hal itu.

Tugas itu telah diwariskan kepada lebih dari satu milyar orang Islam, yang tersebar di lebih dari lima puluh negara di mana kekuasaannya bukan milik Islam bahkan tidak ada perwujudan Islam sama sekali dalam kehidupan yang bersifat publik. Orang-orang mukmin di antara mereka hanya membatasi diri pada ibadah dan akhlak –kecuali orang yang dirahmati Allah- sementara masyarakatnya dipimpin oleh pemikiran-pemikiran Kapitalisme dan Sosialisme serta pandangan-pandangan yang rapuh, hipokrit dan apatis. Masyarakat juga sudah terkontaminasi oleh perasaan patriotisme, kebangsaan dan fanatisme golongan yang bersifat ruhiyah semata. Negeri-negeri muslim itu juga diatur oleh sistem peraturan Kapitalisme dan Kapitalisme tambal sulam. Bencana yang paling besar adalah bahwa semua negeri-negeri muslim tersebut berjalan di bawah perintah orang-orang kafir dan para antek mereka.

Para pemimpin politik dan juga partai-partai politik dengan berbagai kepentingannya, berlomba-lomba dan saling sikut untuk memperoleh keuntungan yang bersifat sepele dan untuk meraih tujuan sesaat dan bersifat emosional. Mereka tidak mengetahui asas dari sebuah kebangkitan dan juga tidak memiliki thariqah (metode) yang jelas. Tidak ditemukan di dalam partai-partai politik tersebut kecuali simbol-simbol berupa pemikiran-pemikiran yang masih bersifat umum. Partai-partai politik itu juga belum menetapkan manhaj (metode) yang hendak dijalankan atau paling tidak dapat menjelaskan hendak dibawa ke arah mana masyarakat itu dan asas apa yang dijadikan landasan kebangkitannya. Partai-partai politik itu juga belum memiliki thariqah yang jelas kecuali hanya slogan dan simbol saja. Partai-partai politik tersebut justru memihak kepada penguasa dan menjilat mereka; atau kalaupun bersikap memusuhi dan menentang para penguasa tersebut, hal itu dilakukan sesuai dengan keadaan dan demi kepentingan sesaat; atau bersikap tunduk kepada penguasa dengan menyatakan kepada masyarakat bahwa politik itu kotor, hina dan penuh kemunafikan. Partai-partai politik itu juga bersikap menjilat demi meraih tujuan dan merealisasikan cita-citanya. Lebih parah dari itu, mereka memandang bahwa meminta bantuan kepada orang-orang kafir merupakan keharusan. Hal itu dilakukan dalam rangka merealisasikan keinginan mereka dan meraih tujuan mereka. Ataupun kalau tidak seperti itu, mereka tidak memandang hal itu sebagai aib tanpa menyadari bahwa hal itu merupakan tindakan bunuh diri politik.

Itulah tugas yang kita warisi dan itu pula fakta umat yang hendak kita bangkitkan.


Read More..

Monday, May 21, 2007

Meneladani Rasulullah saw.

Read More..

Meneladani Rasulullah saw.

Aktivitas Rasulullah saw. menjadi contoh metode sejati penegakan Khilafah dan pendirian Negara Islam, atau dengan kata lain mengubah Darul Kufur menjadi Darul Islam. Untuk itu, kita perlu memahami bagaimana rukun-rukun dari metode yang dilakukan Rasulullah saw. Setelah itu, kita terapkan ke dalam situasi kita untuk meniti jalan menuju kembalinya Khilafah.
Prinsip ta’asi atau meneladani perbuatan Rasulullah saw. senantiasa mendapat bagian tersendiri dalam buku-buku yang membahas masalah Ushul ketika memahami Sunnah Nabi saw. Adapun yang jadi soal dalam hal ini adalah bagaimana cara kita meneladani perbuatan Rasulullah saw. dan apa hukumnya. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik” (QS al-Ahzab [33]: 21).
Allah Swt. juga memerintahkan kepada Nabi saw. untuk berkata kepada orang-orang beriman:
Katakanlah: “Apabila kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran [3]: 31).
Dengan demikian, kaum muslim wajib meneladani dan mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. jika mereka mengharapkan ampunan Allah Swt. dan surga yang dijanjikan-Nya. Oleh karena itu, meneladani dan mengikuti perbuatan Rasulullah saw. adalah wajib. Akan tetapi, kaum muslim harus meneladani beliau dengan benar dan dalam hal-hal yang memang Allah perintahkan. Berikut adalah klasifikasi perbuatan Rasulullah saw.

Perbuatan Jibiliyyah

Perbuatan jibiliyyah adalah perbuatan yang dilakukan Nabi saw. sebagai bagian dari karakter kemanusiaannya. Misalnya, Bukhari meriwayatkan bagaimana merahnya wajah beliau ketika marah. Menurut Imam Tirmidzi dalam Syama’il, beliau saw. berjalan begitu cepatnya seolah-olah sedang menuruni bukit. Hal-hal seperti ini boleh-boleh saja kita tiru demi menunjukkan kecintaan kita terhadap Rasulullah saw, karena itu memang perbuatan beliau. Namun, perbuatan semacam itu tidak memiliki konsekuensi hukum, sehingga status hukum perbuatan-perbuatan seperti itu adalah mubah.

Perbuatan Khas

Perbuatan khas adalah perbuatan yang memang khusus dan dikhususkan bagi Nabi saw. Misalnya, di dalam al-Quran dinyatakan bahwa istri-istri beliau dilarang menikah lagi setelah menjanda, sedangkan wanita-wanita beriman dapat menikah lagi setelah suami mereka meninggal atau setelah bercerai. Nabi saw. juga dibolehkan menikahi lebih dari dari empat wanita, sementara itu lelaki muslim dilarang. Rasulullah saw. berpuasa siang dan malam non-stop, tapi beliau melarang kaum muslim melakukan hal yang sama. Status hukum shalat tahajud itu wajib bagi Nabi saw, tapi bagi kaum muslim sunnah nafilah (Syakhshiyyah Islamiyyah, Jilid 3). Kaum muslim dilarang mengikuti Rasulullah saw. dalam perbuatan-perbuatan semacam ini. Jadi, kita tidak boleh melakukan tahajud sebagai sebuah kewajiban. Kita pun tidak boleh melarang seorang muslimah menikah kembali setelah mereka bercerai atau menjanda. Demikian pula laki-laki muslim tidak boleh memiliki lebih dari empat istri. Mengikuti Rasulullah saw. dalam perbuatan-perbuatan semacam ini adalah haram.

Perbuatan Umum (Tasyri’)

Perbuatan tasyri’ adalah perbuatan, perkataan, atau persetujuan Rasulullah saw. yang mengandung konsekuensi hukum. Perbuatan itu bisa jadi berstatus wajib, mandub, atau mubah. Apabila perbuatan yang Rasulullah saw. lakukan adalah penjelasan atas suatu kewajiban, maka perbuatan itu adalah wajib. Misalnya, Allah Swt. menyatakan dalam banyak ayat al-Quran tentang wajibnya menegakkan shalat lima waktu. Dalam hadis masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw. bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat”. Jadi, fakta bahwa Nabi saw shalat dalam urutan yang sama (tartib) dan berulang-ulang (ta’addud) merupakan penjelasan atas kewajiban shalat lima waktu tadi, karena itu cara shalat kita pun wajib mengikuti shalatnya Rasulullah saw.
Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
“Siapa saja yang melihat bulan, berpuasalah” (QS al-Baqarah [2]: 184).
Lalu, dalam sebuah hadis yang masyhur kita dapati Nabi saw bersabda, “Berpuasalah kalian manakala melihat bulan dan berbukalah tatkala melihat bulan. Adapun jika bulan tertutup awan, maka genapkanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari” (Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Bulugh al-Maram). Riwayat ini menjelaskan kapan mulai berpuasa dan kapan berhenti berpuasa. Artinya, hadis ini merupakan penjelasan atas perintah Allah Swt. dalam al-Quran tadi. Hukum perbuatan yang dijelaskan dalam hadis ini sama dengan perbuatan yang diperintahkan dalam al-Quran, yaitu wajib. Selin itu, yang juga termasuk wajib adalah melihat hilal atau menggenapkannya menjadi tiga puluh hari ketika mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan.
Contoh lain ialah firman Allah Swt. dalam al-Quran:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (QS al-Maa-idah [5]: 38).
Dalam sebuah hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Jami’u ash-Shahih dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Pemotongan tangan dilakukan dalam pencurian yang mencapai seperempat dinar”. Hadis ini menjelaskan hukum sebelumnya, yaitu tentang kewajiban memotong tangan seorang pencuri.
Demikian pula dalam masalah dakwah. Rasulullah saw. wajib melakukan aktivitas dakwah dan beliau diwajibkan untuk menegakkan agama ini. Hal ini dapat kita tinjau dari fakta bahwa beliau siap mengorbankan hidupnya demi melaksanakan kewajiban tersebut. Rasulullah saw. berkata kepada pamannya, “Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku berhenti dari perkara ini, niscaya aku tidak akan berhenti darinya hingga Allah memenangkan perkara ini atau aku mati karenanya” (Imam Thabari, Sirah, Jilid 6, par. 1179).
Dengan demikian, setiap perbuatan dan pernyataan yang menjelaskan metode itu harus dipandang sebagai bagian kewajiban dari metode untuk melangsungkan kehidupan Islam.
Aktivitas Qurbah (Mendekatkan Diri kepada Allah Swt.)

Mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan memperoleh ridha-Nya adalah tujuan orang-orang beriman dan menjadi landasan dasar dari seluruh perbuatannya. Setiap perbuatan yang jika dilakukan akan mendatangkan ridha Allah Swt. dan jika ditinggalkan akan mengundang azab-Nya dikategorikan sebagai wajib. Perbuatan yang mendekatkan seorang muslim kepada Allah Swt., tapi jika tidak dilakukan tidak mengundang hukuman dipandang sebagai perbuatan yang mandub. Perbuatan Rasulullah saw. yang mengindikasikan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. (taqarrub illa Allah) juga berstatus mandub. Misalnya, aktivitas zikir dan doa dapat mendatangkan ridha Allah Swt., sehingga keduanya berstatus hukum mandub. Dalam Syama’il, Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis bahwa Nabi saw. terbiasa membaca basmallah sebelum makan. Aktivitas seperti ini mengingatkan diri kepada Allah Swt. dan menunjukkan rasa syukur. Oleh karena itu, membaca doa sebelum makan adalah mandub.


Mubah

Perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung indikator qurbah atau tidak menunjukkan pahala atau siksa, berstatus hukum mubah. Kaum muslim boleh melakukannya sesuai dengan kehendak mereka. Misalnya, Nabi saw. terbiasa meminta juru tulis untuk menuliskan al-Quran di pelepah daun kurma. Cara ini tidak mengandung konsekuensi pahala atau siksa, karena itu status hukumnya adalah mubah. Dalam konteks ini, menggunakan cara lain, seperti CD dan mencetaknya juga mubah-mubah saja.
Relevansi dari semua ini dengan topik yang kita bahas adalah, kita harus dapat memilah-milah perbuatan-perbuatan yang Rasulullah saw. lakukan. Aktivitas mana yang beliau lakukan semata-mata sebagai manusia sehingga tak wajib diikuti dan aktivitas mana yang memang wajib diikuti, yang memang beliau lakukan sebagai sebuah kewajiban dan bagian dari metode beliau dalam menegakkan Diinullah.

Read More..

Friday, May 18, 2007

KHAASHIYATUL AL-INSAN ( POTENSI MANUSIA )

Read More..

Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadianya, kemudian memberinya petunjuk (QS. Thaaha.50)

Tiga potensi yang merupakan tiang penyangga utama dalam aktifitas, mobilitas dan kreativitasnya itu adalah :
1. Al-GHARIZATU / NALURI
2. AL-HAAJAATUL AL’UDWIYYAH / KEBUTUHAN JASMANI
3. AL-TAFKIR / PEMIKIRAN
Manusia tersusun dari materi, Allah telah meletakan di dalamnya ruh-sirru al-hayah, dan dalam diri manusia terdapat thooqotu al-hayawiyyah (potensi kehidupan) yang terkumpul di dalam tiga khaasiyah sebagai berikut: al-gharizah, al-hajah al-‘uwwiyyah,al-tafkir.

Al-Gharizah ( Naluri )

Naluri adalah salah satu potensi yang ada pada diri manusia, yang mampu mendorongnya bertendensi pada al-asyya dan al-a’maal, atau punya tendensitas untuk menahan dari al-asyya dan al-a’maal. Semua itu mengacu kepada pemenuhan semua perkara yang terdapat dalam diri manusia.
Para pembahas dan para pakar telah berbeda pendapat tentang kuantitas gharizah-gharizah ini, sebab perbedaan ini dikembalikan atas ketidakmampuan indera dalam menjangkau realitas naluri ini, dan tiadanya kemampuan akal untuk memikirkan realitas ini secara langsung.
Para pakar dan pembahas menyatakan bahwa madhohir dari gharizah-gharizah ini beragam, dan kesimpulannya jumlah naluri itu banyak, seperti gharizah al-khauf (naluri takut), gharizatu al-maili al-jinsi ( instink senang lawan jenis ), gharizah al-tamalluk (naluri ingin memiliki, sense of belonging ), gharizah al-taqdis (naluri beragama), dan gharizah hubbi al-istithla (pamer, suka menampakkan sesuatu) dan lain-lainnya.
Setelah faham madhohir dari naluri di atas, dapat dimengerti madhohir tersebut bisa diklasifikasikan di dalam tiga kelompok, dan tiap kelompok mengacu kepada satu gharizah.
Jenis pertama dari tiga kelompok gharizah adalah madhohir / penampakan khauf, hubbu al-tamalluk, hubbu al-istithla’, hubbu al-wathan (cinta negeri), hubbu al-qaum (bangsa, kaum), hubbu al-siyadah (cinta kemuliaan), hubbu al-saitaroh (cinta kepada kekuasaan), dan lain sebagainnya. Semua di atas dikembalikan kepada satu gharizah yakni gharizah baqa, sebab seluruh penampakan ini mengantarkan kepada perbuatan-perbuatan yang membantu baqa (langgengnya) manusia yaitu diri pribadinya.
Adapun jenis kedua dari madhohir ini adalah: al-mailu al-jinsi (senang lawan jenis), al -umuumah (keibuan), ­al-abuwwah (kebapakan), hubbu al-bana (cinta kepada anak), al-‘athfi ‘ala al-insan (kasih sayang kepada sesama manusia), kecendrungan untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan dan lain sebagainya. Semua itu di atas dikembalikan kepada gharizah Nau’. Sebab semua penampakan di atas mengantarkan kepada perbuatan-perbuatan baqa al-nau’ (kelanggengan jenisnya).
Sedangkan yang ketiga dari madhohir ini adalah al-mailu li al-ihtirom al-abthol (kecendrungan untuk menghormati pahlawan), al-mailu li’ibaadatillah (kecendrungan untuk ibadah kepada Allah), perasaan kurang dan lemah dan membutuhkan serta lain sebagainya dikembalikan kepada gharizah tadayyun sebab penampakan di atas mendorong manusia untuk membahas, mencari kepada al-Khaliq yang kuasa dan sempurna, tidak menyandarkan wujud-Nya kepada orang lain dan makhluklah yang bersandar kepada sang Pencipta.
Adapun naluri adalah suatu khaasiyah yang fitri dan ada di dalam diri manusia yang berguna untuk memelihara kepada baqanya dan untuk menjaga kepada nau’nya juga untuk memahami wujud dari Khaliq. Naluri ini tidak bisa diketahui oleh indera secara langsung, akan tetapi bisa di jangkau oleh akal lewat indikasi madhohirnya.
Allah telah menciptakan khasiat-khasiat dan mengilhamkan penggunaannya kepada manusia ataupun hewan, Allah berfirman kepada lisan Musa di dalam menghindari dan menolak keganasan Fira’un, firman Allah:
“Berkata Musa: “ Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadian-Nya, kemudian memberikan petunjuk.”(QS. Thaahaa 50)
Yakni Allah meletakkan pada tiap sesuatu sebuah khasiat, dan memberinya petunjuk melalui khasiat ini, di dalam melakukan aktifitas untuk memenuhi rasa ketidakcukupan dan kekurangan oleh gharizah dan haajaah ‘udwiyahnya. Sebagian ulama telah menafsirkan ayat di atas demikian: sesungguhnya Allah telah menciptakan setiap sesuatu terdiri dari jenis jantan dan betina dan Allah mengilhamkan cara perkawinannya, maka selanjutnya sebagian ulama tersebut menafsirkan kata kholqohu dengan penafsiran kemiripannya di dalam penciptaan.
Adapun makna yang awal adalah lebih ‘aam (umum) dan lafadz-lafadz nash mencakup segala kholqohu, ini adalah lebih sahih sebab ayat tersebut redaksinya berbunyi kullu syaiin adalah ‘aam yang mencakup segala macam makhluk. Firman Allah:
“Dan Tuhannu mewahyukan kepada lebah:” Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan ditempat-tempat yang dibuat oleh manusia.”(QS. An Nahl 68)
Yakni Allah telah memberi dan mengilhamkan kepada lebah khasiat untuk membangun sarang di gunung, pohon dan rumah. Dan Allah telah mengisyaratkan sebagian madhohir gharaiz ini, firman-Nya:
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?” (QS. Yaa Siin 71).
Maka Allah menciptakan segala sesuatu bagi manusia, salah satunya adalah binatang untuk dimilikinya sebagai pemuas hubbu al-tamalluknya, sebagai penampakan gharizah baqa. Firman Allah yang ditujukan kepada nabi Ibrahim AS:
“ Berfiman Allah: sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: JanjiKu (ini) tidak mengenai orang yang dholim.”(QS. Al Baqarah 124).
Dari ayat ini terlihat Ibrahim cinta kepada keturunannya dengan memohon kepada Allah agar keturunannya juga dijadikan Imam manusia, apa yang dilakukan Ibrahim adalah penampakan dari gharizah nau’. Hal ini adalah untuk memnuhi gharizah nau’ yang telah Allah fitrahkan kepada manusia, dan terbukti Allah mengabulkan doa Ibrahim, banyak keturunannya yang dijadikan Rasul-Rasul tetapi Allah juga menolak dengan Firman-Nya : ‘ Janjiku ini tidak mengenai orang-orang yang dhalim.” (QS.Al Baqarah 124)
Firman Allah diatas menegaskan kepada Ibrahim bahwa imamah diberikan kepada keturunannya yang shalih, dan janji tersebut tidak mencakup kepada keturunan Ibrahim yang dhalim. Firman Allah:
“ Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata ia tidak melihat tanda (dari) Tuhan-Nya. Demikian agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf 24).
Maka kecenderungan suka kepada lawan jenis adalah penampakan gharizah nau’, yang juga pada isteri Raja Mesir dengan menyukai Yusuf, dan hal ini adalah untuk memenuhi gharizah nau’nya.
Penampakan ini juga terdapat pada Yusuf, akan tetapi Yusuf tidak melakukan perbuatan tersebut dengan berpaling dari ajakan isteri Raja Mesir, sebab Allah telah memperlihatkan kepada Yusuf apa yang bisa mencegahnya dari keinginan dengan wanita itu. Maka kata “laula” pada firman Allah diatas berfungsi sebagai sekat dan alat pencegah adanya perbuatan kekejian, Yusuf telah menahan dari “keinginan” dengan Isteri Raja Mesir disebabkan telah melihat sinyal yang berupa “tanda” dari Allah, sehingga makna ayat diatas sebagai berikut, seandainya Yusuf tidak melihat tanda dari Tuhannya, maka ia akan “berkehendak” dengan isteri Raja Mesir sebagai hasil dari al-mailu al-junsinya kepada wanita tersebut, akan tetapi Yusuf tidak berkehendak kepada wanita isteri Raja Mesir, sebab ia melihat tanda dari Allah yang menghalanginya dari perbuatan keji dan munkar.
Firman Allah :
“ Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya, dengan kembali kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar 8 ).
Firman-Nya lagi :
“ Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang (hari itu) orang-orang bermuka asam penuh kesulitan.”(QS. Al-Insaan 10).
Maka kembali kepada Allah dan takut siksa-Nya adalah penampakan dari gharizah tadayyun.
Tiga naluri di atas ada pada setiap manusia, dan tidak mungkin diganti dan tidak mungkin disilangkan atau didistribusikan dari manusia satu ke manusia lainnya, tetapi dimungkinkan sebagian penampakan dari salah satu naluri terhimpun dan bertempat salah satunya pada posisi yang lain. Maka dimungkinkan hubbu al-zaujah (cinta isteri) menempati tempat hubbu al-um (cinta kepada ibu), hubbu al-siyaadah menempati tempat hubbu al-tamalluk, dan taqdiisul al-basyar (pengutusan manusia) dan tasdiisul al-asnaam (pemujaan pada patung) menempati tempat ibadah kepada Allah.
Akan tetapi tidak mungkin menghapus dan memutus tiga naluri di atas dari manusia, sebab gharizah adalah bagian dari esensi manusia. Sedangkan penampakan dari gharizah bukanlah bagian dari esensi manusia.
Adapun bagaimana manusia mengetahui penisbatan penampakan ke gharizah, maka sesungguhnya hal itu adalah dengan mempelajari realitas dari penampakan (madhhar), maka jika madhhar condong atau menahan yang menghasilkan perbuatan untuk membantu baqanya dzat manusia , maka madhhar seperti itu dinisbatkan kepada gharizah baqa seperti takut, kikir berani dan sebagainya. Maka jika madhhar menghasilkan perbuatan yang membantu baqanya al-nau’ al insaaniy maka madhhar ini dinisbatkan ke gharizah nau’ seperti mengasihi, lemah lembut, senang kepada lawan jenis dan lain sebaginya.
Jika madhhar menghasilkan perbuatan yang membantu perasaan manusia seperti lemah dan membutuhkan kepada Khaliq, maka madhhar ini dinisbatkan ke gharizah tadayyun seperti takut kepada hari akhir, menghormati sesuatu yang lebih kuat dan kagum dengan nidhomu al-kaun dan sebagainya.
Maka madhhar adalah tanpa perbuatan, seperti kecenderungan untuk memiliki (al-mailu al tamalluk) bukanlah al-tamalluk (memiliki), karena al-mailu li al-tamalluk adalah rasa yang ad di dalam diri manusia ketika menghadapi sesuatu itu dan menyimpannya, sedangkan “memiliki” adalah hasil pelaksanaan suatu aktifitas. Seperti menjual mobil atau mencuri harta, jadi madhhar itu tidak memuaskan gharizah, karena sesungguhnya aktivitas yang mendorong kepada madhhar itulah memuaskan gharizah atau yang merealisasikan bagian dari pemuasan, maka kecenderungan mendapatkan keridloan dari Allah bukanlah ibadah, sebab ibadah itu memuaskan gharizah tadayyun, sedangkan kecenderungan semata-mata tidaklah bisa memuaskan gharizah tadayyun dan kecenderungan senang lawan jenis tidaklah bisa memuaskan gharizah nau’, sedangkan berkumpulnya suami isteri (jima’) bisa memuaskan sebagian dari gharizah nau’ ini, sehingga walaupun jima’ ini dilakukan berulang-ulang tanpa menghasilkan anak, maka aktivitas tersebut tidak memuaskan secara total gharizah nau’ dari aspek madhhar ini. Karena pada asalnya suatu aktifitas sebagai hasil dari madhhar adalah untuk membantu gharizahnya, yang madhhar menisbatkan pada naluri… sedangkan jima’ tanpa menghasilkan anak tidak bisa menguatkan pemuasan secara sempurna, karena jima’ tidak bisa berpengaruh pada kelangsungan tetapnya al-nau’ al insany maka tidak bisa membatu gharizah nau’.
Penampakan (madhaahir) adalah kekuatan yang bisa menarik dalam rangka pemuasan naluri manusia yang sifatnya dari dalam manusia, berdasarkan kekuatan yang menyamai pada madhoohir gharizah baqa (seperti al-mailu li al-tamalluk, al-siyaadah, al-saitaroh, keberanian dan lainnya) adalah untuk menarik segala sesuatu yang lazim untuk memuaskan gharizah ini.
Naluri dan cabang-cabang dari madhoohirnya berbeda dalam kuat lemahnya diantara manusia yang satu dengan yang lain, dan berbeda di dalam lemah serta kuatnya diri manusia itu sendiri. Perbedaan lemah serta kuatnya mengikuti pengaruh ekstern darinya dan perbedaan dalam tingkatan umur manusia.
Maka kita mendapatkan manusia yang hidupnya penuh dengan keinginan dalam pemuasan tiga naluri sekaligus secara kuat, juga kita dapati manusia lain yang di dalam umurnya malas dan lemah sehingga merasa cukup dengan sedikit demi sedikit untuk memuaskan naluri ini.
Juga dari sudut pandang yang lain kita dapatkan manusia yang mencurahkan diri di dalam memuaskan gharizah baqa, gharizah nau’ dan tidak memperhatikan dalam pemuasan gharizah tadayyun. Atau kita bisa memperhatikan kasih sayang ibu dicurahkan kepada suaminya karena kecenderungannya suka kepada lawan jenis dan cintanya kepada pasangannya atau sebaliknya.
Juga kita bisa memperhatikan kecenderungan suka kepada lawan jenis pada umumnya timbul secara kuat pada waktu muda kemudian mulai menjadi lemah pada usia tua, yang biasanya dilanjutkan dengan pemusatan ibadah serta takut kepada hari akhir dan ini umumnya terjadi pada waktu tua dibanding pada usia muda.
Tingkat perbedaan naluri ini, baik dari skala intensitas, prioritas dan aktualitasnya menjadikan sebagian orang mendahulukan salah satu gharizah daripaa gharizah lainnya. Hal ini kadangkala disebabkan kuat dan lemahnya naluri dan kadangkala disebabkan perbedaan pengaruh-pengaruh yang ada …yakni berbeda dan bertentangan hukum-hukum yang dibuat manusia atas al-af’aal dan al-asyya yang berhubungan dengan pemenuhan gharizahnya juga pengaruh lingkungan serta pengaruh ekstern lainnya. Manusia telah memberikan macam-macam cara di dalam pemenuhan, salah satunya adalah pemenuhan yang benar yakni aktivitas seseorang di dalam memenuhi gharizahnya pada tempat pemenuhan yang sesuai, yakni denga jalan yang telah ditentukan oleh nidhom yang shahih dalam pemenuhan ini. Sehingga bila mendatangi perempuan dengan aqad yang shahih untuk pemenuhan mailu al-jinsi maka pemenuhan seperti itu adalah pemenuhan gharizah nau’ yang benar sebab perempuan menjadi pendorong ekstern bagi mailu al-jinsi dan hal ini adalah tempat yang memang telah diciptakan Allah sebagai pemenuhan al mailu al-jinsi laki-laki dan Allah telah mengatur aktivitas ini dengan satu-satunya legalitas yang absah yakni dengan jalan pernikahan.
Adapun bila seorang laki-laki mendatangi perempuan yang tidak halal baginya yakni mahram atau mendatangi perempuan yang tanda aqad yang sah maka pemenuhan mailu al-jinsi tersebut adalah salah, sebab ia telah melakukan pemenuhan dengan menyalahi dengan norma yang shahih walaupun ia telah tepat di dalam pemilihan tempat pemenuhan mailu al-jinsi yaitu perempuan. Sedangkan bila laki-laki mendatangi binatang atau sesama laki-laki misalnya maka pemenuhan mailu al-jinsi tersebut adalah syad / menyimpang karena hal itu adalah pemenuhan gharizah yang bukan pada tempatnya sekaligus bertentangan dengan nidhom yang shohih di dalam pemenuhan, sebaliknya begitu pula dengan perempuan.
Sedangkan pemenuhan ghaizah tadayyun yang datang dari Allah kepada manusia dengan suatu aktifitas ibadah yang telah ditentukan baik norma fundamen, format sekaligus mekanismenya seperti shalat ini adalah pemenuhan yang shahih, tetapi apabila beribadah kepada Allah dengan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan seperti berputar-putar di sekitar diri sendiri hal ini adalah pemenuhan yang salah walaupun maksud orang yang berputar tadi adalah beribadah untuk mencari ridlo Allah. Disini kita semakin faham tentang legalitas syahadatain yang sifatnya primordial yakni Islam, sehingga berangkat dari konsep di atas kita bisa menjawab lontaran orang-orang substansial yang biasanya beragumen yang penting tujuan, yang penting baik walaupun itu tidak diatur dalam Islam, lebih-lebih yang memang orangnya tidak melegalisasikan dirinya dengan syahadat.
Demikian juga beribadah kepada berhala yang dianggap sebagai Tuhan. Hal ini adalah pemenuhan yang menyeleweng, karena dengan demikian bukanlah tempat pemenuhan gharizah tadayyun sebab penyembahan terhadap berhala tidaklah memuaskan pemenuhan perasaan serba kurang dan lemah yang ada pada diri manusia , karena sesungguhnya berhala lebih lemah dibanding manusia.
Dan pemenuhan gharizah baqa seperti al-tamalluk dengan jalan jual-beli adalah pemenuhan yang shahih, sedangkan pemenuhan dengan jalan mencuri harta benda orang lain adalah pemenuhan yang salah, sebab pencurian adalah aktifitas yang dilarang Syara. Adapun pemenuhan gharizah baqa seseorang dengan jalan perdagangan semisal khamr atau babi, ini adalah pemenuhan yang menyeleweng sebab aktivitas ini diharamkan, tiada nilainya di mata Islam dan dilarang memilikinya, seperti itu bukan sebagai tempat untuk pemenuhan yang benar dalam kerangka pandang Islam.



AL-HAAJATUL AL-‘UDWIYYAH
(KEBUTUHAN JASMANI)


(Allah) yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk (QS. Al-A’laa 2-3)

Jasad manusia adalah materi dalam dirinya ada thaaqotu al-hayawiyyah (potensi hidup) yang terbagi pada naluri, al-haajatul al udwiyyah dan al-tafkir dan khasiat ini tetap ada selama manusia hidup serta akan hilang bila ia mati.
Kita telah membahas tiga naluri dan penampaknnya dalam bab terdahulu sedangkan sekarang adalah pemabahasan al-haajatul al-udwiyyah dengan kebutuhannya serta pembahasan tentang tubuh manusia, yakni materi yang membentuk jasad manusia.
Jasad manusia yang dapat diraba /disentuh terbentuk dari sel-sel yang bermacam-macam baik bentuk warna dan fungsi. Jumlahnya mencapai lebih dari 300.000 juta sel. Tiap sel tersusun dari dinding sel yang di dalamnya berisi materi-materi makanan yaitu sitoplasma di tengahnya ada inti sel terbentuk dari kromosom-kromosom berjumlah 46 kromosom saja, tidak berkurang dan tidak bertambah kecuali pada sperma laki-laki dan ovum wanita masing-masing berjumlah 23 kromosom.
Adapun susunan manusia tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain jika dilihat dari aspek susunan anggota dan fungsi, bilamana berbeda mungkin di dalam warna kulit, postur tubuh dan penampakan gerak tubuh. Setiap diri manusia terdiri dari kepala, jantung perut / lambung, paru-paru, usus dan lain sebagainya dan seluruh tubuhnya terbentuk dari sel-sel yang sama sifatnya seperti yang telah diterangkan di atas. Tiap anggota tubuh membutuhkan zat-zat makanan, pernapasan dan butuh istirahat, berhenti, bergerak, melepaskan sisa-sisa kerja organ dengan jalan yang sama.
Khasiyat kebutuhan tubuh manusia hanya pada hal-hal tertentu, dan manusia mencari hal-hal ini, yakni khasiat yang Allah telah menitipkan pada diri manusia yang disebut dengan al-haajatul al-‘udwiyyah.
Dan kebutuhan di atas membutuhkan pemenuhan, untuk memenuhi pemuasan ini tubuh membutuhkan kepada audloo’ (tempat / kondisi), asyya (sesuatu) dan a’maal (perbuatan) tertentu. Adapun kondisi yang dibutuhkan tubuh adalah tempat tidur, istirahat dan derajat panas tertentu serta suhu udara yang sesuai dengan tubuh manusia.
Sedangkan sesuatu yang dibutuhkan tubuh adalah makanan, minuman dan udara. Dan a’maal yang dibutuhkan tubuh adalah bernafas, aktivitas makan dan buang air. Jika kebutuhan jasmani ini tidak dijaga untuk kelangsungan proses mekanisme tubuh manusia maka akan mengalami kerusakan.
Kondisi dan sesuatu ini dituntut oleh tubuh agar bisa melaksakan fungsi-fungsi tubuh. Maka bila tubuh kekurangan air, melalui otak akan mengirimkan sinyal akan kekurangan air ini, kemudian indera mencari air untuk menutup kekurangan ini. Jika tidak di dapatkan air secara perlahan tapi pasti tubuh tersebut akan rusak. Dan demikian dengan kebutuhan yang lain seperti kebutuhan pada makanan, udara dan tidur.
Dalam waktu tertentu tubuh membutuhkan melepas sisa-sisa proses tubuh yang berbahaya bila tidak dikeluarkan seperti keringat, urine, berak dan karbondioksida.
Kebutuhan jasmani tetap didapat dari dalam tubuh manusia Allah telah memberi syinyalemen tentang hal ini di dalam Al-quran surat Al-Ruum 23:
“ Dan diantara tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya.”
Dan firman Allah selanjutnya yang menerangkan bahwa Rasul juga manusia biasa:
“(Nabi) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan dan minum dari apa yang kamu minum.”(QS.Al-Mukminun 33).
Allah telah membolehkan kepada manusia memakan terhadap segala makanan yang telah disediakan Allah untuk pemenuhan kebutuhan jasmani, kecuali yang diharamkan namun ketika hal itu tidak dipenuhi dan akan menyebabkan rusaknya tubuh, Allah membolehkan memakan yang haram, firman Allah SWT:
“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan yang haram) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al Baqarah 173).
Demikan juga khalifah “Umar bin Khaththab tidak memotong tangan pencuri pada waktu musim paceklik yang melanda daerah kekuasaan Islam, karena kebutuhan si pencuri untuk memenuhi Al Haajatul Al-‘Udwiyyahnya.














PERSAMAAN, PERBEDAAN, HUBUNGANNYA
GHARIZAH DAN KEBUTUHAN JASMANI

Gharizah dan kebutuhan jasmani mempunyai persamaan jika ditinjau dari karakter khasiat fitriyyah yang ada dari pemberian Allah pada manusia, seperti khasiat banjir pada air, khasiat membakar pada api. Tidak ada seorangpun yang mampu menyilangkan ataupun menghilangkan kecuali Allah Rabbul ‘Alamin.
Sedangkan perbedaan antara kebutuhan jasmani dengan naluri ada dua segi:
Segi pertama, pelaksanaan pemenuhan kebutuhan jasmani adalah wajib tidak bisa ditinggalkan, sehingga jika tidak dipenuhi, tubuh dan aparatur mekanisme akan rusak, jika seseorang tidak tidur atau tidak makan atau tidak bernafas dan lainnya maka lama kelamaan akan rusak.
Adapun naluri pelaksanaan pemenuhan tidak suatu keharusan, jadi bisa ditinggalkan, sehingga jika tidak dipenuhi tidak akan berpengaruh pada kerusakan tubuh dan mekanismenya, tetapi hanya sebatas pada keguncangan, kacau, gelisah serta tidak tenang. Sehingga bila seseorang tidak memenuhi gharizah tadayyun tidak akan merusak dirinya tetapi akan merasa gelisah, sempit dan goncang, perasaan seperti ini nyata dan jelas pada pasangan suami isteri yang tidak menghasilkan keturunan karena mandul salah satunya atau keduanya.
Segi kedua, Sesungguhnya kebutuhan jasmani munculnya dipengaruhi dari faktor intern tubuh, seseorang merasa butuh makan atau minum jika ia lapar atau haus disebabkan tubuh membutuhkan pasokan materi-materi makanan atau minuman yang diuraikankan tubuh untuk kebutuhan internnya, serta merasa butuh tidur atau istirahat jika sangat menagantuk atau payah.
Anggota tubuh tidak akan bisa melaksanakan fungsi-fungsinya jika tidak tidur atau tidak beristirahat, setiap kekurangan di dalam kebutuhan jasmani dari tempat dan sesuatu, manusia merasa sendiri dari dalam tubuhnya, jadi bukan tugas indera untuk memberikan syinyalemen bila tubuh memerlukan pemenuhan ini.
Lalu bagaimana manusia merasakan kebutuhan anggota tubuhnya kepada kondisi dan sesuatu ?
Maka jika kekurangan di dalam kebutuhan jasmani hal ini di mulai dari pengaruh sebagian sel-sel yang tersebar diseluruh jaringan tubuh, kemudian pengaruh ini berpindah melalui syaraf-syaraf menuju pusat tertentu di dalam otak, kemudian otak bekerja dengan pengkaitan Al-ma’luumaatu al-sabiiqoh dari rasa ini mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang bisa memenuhinya, maka hal ini mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang bisa memenuhinya.
Sedangkan naluri dipengaruhi dari faktor ekstern tubuh, maka jika melihat harta yang banyak, berpengaruh baginya hubbu al-tamalluk (untuk memiliki) yang muncul dari gharizah baqa, jika melihat mayat akan berpengaruh baginya pemikiran bahwa manusia itu lemah, dan ini adalah penampakan dari gharizah tadayyun, jika melihat seseorang perempuan yang cantik berpengaruh baginya al-mailu al-jinsi dan ini adalah penampakan dari gharizah nau’, dan kadang-kadang naluri dipengaruhi dari cara berfikir (thoriiqu al-tafkir) pada sesuatu yang mempengaruhi, yang kembali kepada naluri, maka akan tergambar kepada sesuatu yang mempengaruhi tersebut dan menghadirkan sesuatu itu di dalam otak, yang kemudian akan mempengaruhi naluri, sebab manusia telah mengindera sesuatu yang terjadi itu sebelummya, maka terpengaruhlah gharizahnya kepada sesuatu itu, disini terjadi peran persepsi.
Dari uraian tersebut ternyata ada hubungan antara kebutuhan jasmani dengan gharizah baqa yaitu apabila sesuatu yang memenuhi kebutuhan jasmani manusia membantu baqa / langgenya manusia pada rantai kehidupannya, seperti makanan, minuman ,bernafas, tidur, buang air dan berkeringat adalah untuk menjaga langgengnya manusia. Semua itu adalah kebutuhan yang merupakan keharusan bagi tubuh dalam menjalankan fungsi-fungsi alamiahnya, akan tetapi mekanisme organ tubuh di atas juga merupakan keharusan bagi kelangsungan rantai kehidupannya. Maka kecenderungan memiliki makanan atau kecenderungan untuk makan adalah penampakan grarizah baqa, karena kecenderungan ini kadang-kadang terdapat pada manusia walaupun organ tubuhnya tidak sedang membutuhkan makanan, hal ini karena adanya ma’lumat sabiqah tentang lezatnya makanan ini dan bergunanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani.
Maka jika pengaruh-pengaruh datang dari luar manusia saja tanpa adanya anggota tubuh membutuhkan makanan maka itu adalah al-istijaabatu ghariiziyyah (reaksi gahrizah), dan kecenderungan untuk makan adalah madhhar ghariiziyyah (penampakan yang sifatnya naluri). Dan jika stimulus yang datang dari intern tubuh karena adanya organ tubuh yang membutuhkan makanan maka itu adalah reaksi kebutuhan jasmani, maka aktifitas makan menjadi sifat sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan jasmani jika manusia merasa lapar, dan makanan juga sebagai sarana pemenuhan gharizah baqa, jika aktifitas makan manusia semata hasil dari cintanya manusia kepada makanan, walaupun sebenarnya ia tidak lapar dan organ tubuhnya tidak membutuhkan kepada penguraian materi atau gizi-gizi makanan, atau istilah lain memberi makan nafsu, bukan memberi makan perut.
Kebutuhan jasmani yang terdapat pada manusia juga terdapat pada hewan, walaupun al-audlo’ dan al-asyya yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani manusia tidak sama dengan kondisi dan sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani hewan, maka makanan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia bukanlah makanan yang bisa memenuhi laparnya perut dari sebagian besar hewan. Bejana dan tempat yang biasa sebagian hewan hidup seperti ikan dan burung bukanlah bejana dan tempat yang biasa manusia hidup, dan hal ini disebabkan perbedaan organ tubuh diantara keduanya.
Sedangkan naluri juga terdapat pada hewan, seperti juga yang terdapat pada manusia, semisal gharizah nau’ dan apa yang muncul dari penampakannya seperti al-mailu al-jinsi dan juga seperti gharizah baqa dan penampakannya seperti takut kepada bahaya.
Kecuali penampakan sebagian dari gharizah nau’ dan gharizah baqa tidak ada pada hewan, seperti hubbu al-istithla’, dan kecenderungan menyelamatkan diri dari kerusakan dengan berada pada tempat yang tinggi.
Atau antara manusia dengan hewan sama-sama memiliki gharizah baqa dan gharizah nau’ tapi berbeda seperti hubbu al-tamalluk.
Sedangkan gharizah tadayyun, antara manusia dengan hewan berbeda penampakannya dan punya cara tersendiri. Manusia tidak bisa mengetahui penampakan gharizah tadayyun hewan, hal ini hanya bisa kita ketahui dari dalil qath’I yang keabsahannya terjamin, yakni dalil yang datangnya dari Al-Qur’an yang mengabarkan tasbih dan shalatnya segala macam kehidupan lainnya, firman Allah:
“ Dan tak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka, sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Israa 44).
Firman Allah SWT:
“ Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya Allah: Kepadanya bertasbih apa yang ada di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) shalat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. An Nuur 41)
Maka tasbih dan shalat adalah aktivitas sebagai hasil dari kecenderungan manusia untuk mentaqdiskan Khaliq, dan ini adalah sebagian penampakan dari gharizah tadayyun yang semua makhluk melakukan, dan informasi ini datang langsung dari Allah, tetapi kita tidak bisa mengetahui esensi ibadanya, firman-Nya :
“ Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.”(QS. Al-Israa 44).


AL-IDRAAK
(PEMIKIRAN)


Firman Allah SWT:
”Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi kaum yang memikirkan.”(QS. Ar Ra’d 3).
“Sesungguhnya yang demikian terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang menggunakan akalnya.”(QS. Ar Ra’d 4).
“Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al ‘Ankabuut 43).
Al-Idraak, al-fikr, al-‘aql bermankana satu yaitu khasiat yang telah diletakan Allah kepada manusia yang merupakan hasil dari khoosiyatu al-ribthi (khasiat pengkaitan) yang ada di dalam otak manusia yaitu berfungsi sebagai hukum atas realitas berupa pemindahan penginderaan dari realitas kepada otak beserta adanya ma’luumat saabiqoh (informasi sebelumnya) yang menafsirkan realitas itu.
Kelebihan manusia dari hewan ada pada khasiat al-Idraaknya (akal), dan inilah yang menjadikan manusia pada derajat lebih utama dari hewan, firman Allah:
“ Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).”(QS. Al Furqaan 4).
Ayat tersebut menunjukan binatang itu tidak berfikir. Proses berfikir harus memenuhi empat syarat, yaitu :
1. Al-dimaagh al-shaalih (otak yang baik)
2. Al-waaqi’ al-mahsus (realita yang terindera)
3. Al-ihsaas (alat indera)
4. Al-ma’luumaatu al-saabiqah (informasi yang sebelumnya telah masuk)
Al-dimaagh adalah materi yang ada pada tengkorak kepala. Otak ini dikelilingi tiga lapisan / selaput secara baik, yang menembus dari sela-sela lapisan ini syaraf-syaraf yang banyak, yang menghubungkan dengan otak, al-hawaas dan seluruh organ tubuh. Serabut-serabut syaraf ini menyebar sampai batas yang sulit dipercayai, karena telah diketahu bahwa urat syaraf / darah tersebar pada seluruh jaringan tubuh yang panjangnya mendekati 200.000 mil. Dalam tugas otak menjaga tubuh melalui 76 urat syaraf kepala.
Berat otak manusia dewasa sekitar 1200 gram, yang menghabiskan 25 % dari oksigen yang masuk melalui paru-paru. Para pakar ilmu syaraf telah menguji dengan menggunakan alat dari listrik pada otak manusia, dan berkesimpulan bahwa otak adalah salah satu organ yang berfungsi untuk berfikir pada manusia, serta dari penelitian tersebut diketahui munculnya gelombang listrik secara tiba-tiba dari sel otak, pada saat manusia mengkonsentrasikan fikirannya atau ketika dipengaruhi emosi dan mendengar kegaduhan yang sangat atau ketika menghitung sesuatu yang rumit.
Juga para pakar belum tahu tempat secara pasti di dalam otak yang bertanggung jawab pada memori penghafalan informasi. Dan diketahui putusnya sebagian dimaagh pada sebagian orang sakit tidak menghilangkan ingatannya. Juga telah diprediksi oleh sebagian pakar bahwa tempat penyimpan memori dari informasi yang memungkinkan manusia menguasai informasi tersebut sama kapasitasnya dengan 90 juta jilid buku yang penuh berisi dengan tulisan, ini adalah suatu penciptaan yang mengagumkan pada otak manusia sebagai argumen Maha hebatnya kekuasaan Allah, firman Allah :
“Dan bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang yakin, dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan ?” (QS. Adz Dzaariyaat 20-21).
Adapun realitas yang bisa dideteksi indera kadang-kadang realias yang sifatnya materi seperti bulan, buku dan kuda dan juga kdang-kadang realitas yang terdeteksi hanya bekas atau pengaruh dari realitas yang sifatnya materi seperti suara angin, suara kapal terbang dan bau harumnya bunga. Akan tetapi kadang-kadang ada juga realitas yang sifatnya immateri hanya terdeteksi dari indikasi dan bekasnya saja seperti sifat pemberani, muruuah (malu), takut dan penyayang.
Adapun sesuatu yang diketahui wujudnya kadang-kadang mempunyai sifat mahsuusah dan malmuusah (terindera dan terpegang) seperti tali, pohon dan himar / kuda. Dan kadang-kadang hanya mahsuusah tanpa malmuusah seperti gembira, sakit. Juga kadang-kadang tidak mahsuusah dan tidak malmuusah hanya bisa diketahui wujudnya dari wujud penampakannya saja, seperti tiga naluri (baqa, nau’, tadayyun) dan adanya kehidupan pada manusia.
Adapun penginderaan pada realitas adalah pemindahan realitas ke otak melalui alat panca indera yaitu penginderaan penglihatan dengan alat mata, penginderaan pendengaran dengan telinga, penginderaan perabaan dengan alatnya kulit, dan penginderaan rasa dengan alatnya lidah serta penginderaan penciuman dengan alatnya hidung.
Adapun mekanisme penginderaan dengan jalan mata secara lengkapnya sebagai berikut:
Sampainya sinar yang terang yang terpantul dari benda ke dalam kelopak mata menuju jaring mata, lalu jaring mata meneruskan sinar terang tadi menuju syaraf mata dalam bentuk gelombang-gelombang listrik ke pusat penglihatan di bagian belakang otak, seketika manusia melihat bentuk gambar yang ada di depannya, akan tetapi orang yang bisa melihat tersebut belum bisa memahami gambar yang ada di depannya, yakni tidak bisa menghukumi gambar tersebut kecuali bila mempunyai ma’lumat sabiqah tentang gambar yang dilihatnya yang sudah tersimpan di dalam otaknya.
Penglihatan manusia terbatas karena mata manusia punya daya jangkau penglihatan sampai batas yang tidak mampu lagi melihat, hal ini terbukti ketika mata manusia melihat sesuatu yang sangat lembut atau ketika melihat atom juga ketika melihat sebagian bintang yang sangat jauh. Oleh karena kita tidak bisa melihat sebagian besar apa yang sebetulnya ada, ini karena keterbatasan tadi, firman Allah :
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat, dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” (QS. Al Haaqqah 38-39).
Indera pendengaran adalah salah satu indera yang penting, karena melalui indera ini manusia memperoleh ilmu, Allah telah menyebutkan di dalam ayat-ayat-Nya tentang penginderaan ini dengan penyebutan lebih dahulu daripada indera penglihatan, firman-Nya:
“atau siapakah yang berkuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan.” (QS.Yunus 31)
Firman-Nya :
“Dan dia memberi kamu pendengaran dan penglihatan.” (QS. An-Nahl 78)
“Sesungguhnya pengendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Israa 36)
Indera pendengaran adalah yang menerima gelombang-gelombang suara lalu diteruskan menuju ke syaraf pendengaran kemuadian ke otak. Telinga manusia bisa menangkap getaran-getaran suara yang kecepatannya antara 16-20 ribu getaran tiap detik, adapun suara yang getarnnya lebih cepat dari di atas, telinga manusia tidak mampu memindahkannya ke otak.
Sedang telinga kucing kemampuannya 50 ribu getaran tiap detik, dan telinga kelelawar mampu memindahkan getaran yang diterima ke otak sekitar 120 ribu getaran tiap detik, sehingga mampu menggantikan penglihatannya, karena mempunyai ketajaman terhadap benda yang ada di depannya walau tidak melihatnya, Maha Besar Allah , Firman-Nya:
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang yakin. “(QS. Adz Dzaariyaat 20)
Dan manusia tidak bisa mendengarkan sesuatu, kecuali sebagian dari suara yang ada di sekitarnya.
Indera perasa dengan syaraf-syaraf yang banyak tersebar diseluruh bagian tubuh manusia, terutama di kulit, tiap syaraf mempunyai fungsi tertentu, maka seperti indera perasa mempunyai syaraf-syaraf yang tidak seluruhnya berfungsi memindahkan indera rasa sakit, atau indera rasa dingin dan indera rasa panas. Seperti syarat-syarat penginderaan rasa sakit terdapat di kulit, sehingga bila ditusukkan sebuah jarum lewat di kulit, maka bila sudah masuk ke dalam otot-otot tidak terasa sakit, firman Allah :
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka meraskan adzab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. An Nisaa’ 56)
Setiap Kulit orang kafir itu hangus terbakar api neraka, maka Allah akan menggantikan dengan kulit yang lain agar syaraf-syaraf indera yang ada dikuliti bisa memindahkan kepada orang kafir dengan merasakan sakitnya terbakar.
Sedangakan hidung dan mulut memindahkan penginderaan, bau atau makanan melalui proses mekanisme kimiawi, yakni melalui syaraf-syaraf penciuman dan syaraf-syaraf pengecapan ke otak.
Dan yang terakhir dari unsur-unsur pemikiran adalah al-ma’luumat saabiqoh, yaitu apa yang tersimpan di dalam otak dari informasi-informasi yang telah masuk berupa realitas yang terindera. Otak akan mengeluarkan simpanan informasi yang telah masuk tadi, bila dibutuhkan dalam proses pemikiran. Informasi ini ada 2 macam:
1. Pemikiran-pemikiran yang lalu tentang realitas yang terindera, pemikiran inilah yang lazim digunakan untuk mempersepsi atau menghukumi tentang realitas yang ada di depannya, yakni dengan menghubungkan antara al-afkar al-sabiqoh dengan ealitas yang ada didepannya.
2. Informasi yang merupakan hasil dari respon otak karena penginderaannya yang lalu, yang punya hubungan dengan realitas yang terindera, hal ini disebabkan berulang-ulangnya penginderaan kepada realitas yang mempunyai hubungan dengan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani secara langsung.
Umumnya yang membentuk ma’lumat dari realitas ini adalah dilihat apakah dapat memenuhi atau tidak terhadap al-gharaaiz dan kebutuhan jasmani, ma’lumat seperti ini tidak sesuai bila digunakan untuk menghukumi sesuatu.
Informasi sebelunya dari realitas adalah bagian penting dari mekanisme berfikir (‘amaliyyatu al-tafkir), Jadi tidak mungkin bisa berfikir tentang realitas tanpa adanya informasi sebelumnya.
Sekarang timbul pertanyaan kritis, kalau informasi sebelumnya adalah bagian penting dari mekanisme berfikir, dari mana awal mula datangnnya informasi sebelumnya itu pada realitas pertama yang bisa dibuat pemikiran manusia ?
Konsekwensi logis dari manusia, bagaimanapun manusia tetap manusia, dengan asumsi manusia yang pertama kali hidup atau yang pertama kali ada di dunia, lalu bagaimana manusia yang pertama kali itu mendapatkan al-ma’luumatu al-saabiqah yang bisa di tangkap oleh inderanya ?
Dari sini bisa difikirkan, bahwa manusia yang pertama kali hidup di dunia harus ada informasi sebelumnya dari sesuatu, sehingga ia bisa memikirkan dan mendapatkan informasi sesuatu itu. Manusia tidak mungkin mendapatkan informasi yang bisa dan cocok untuk digunakan sebagai salah satu dari empat syarat berfikir kalau hanya penginderaan yang berulang-ulang dari sesuatu, apalagi bila digunakan untuk mempersegi atau menghukumi sesuatu, hal ini bisa dihadirkan ketika dihadirkan dihadapan kita realitas yang bisa terindera berupa bahasa china, lalu kita suguhkan secara berulang-ulangbahasa china tersebut kepada orang yang tidak mengetahui dan sebelumnya tidak pernah paham bahasa ini. Maka orang tersebut tidak akan bisa mempersepsi dan memahami bahasa tersebut walaupun dengan cara diulang-ulang.
Jadi harus ada ma’lumat yang datang dari luar manusia pertama, dan dari luar realitas, karena penginderaan pada realitas bagaimanapun berulang-ulangnya senantiasa hanya sebatas penginderaan saja, tidak bisa didapatkan ma’lumat saabiqah yang bisa memindahkan dari penginderaan ke pemikiran.
Manusia senantiasa tidak akan bisa membentuk ma’lumat sabiqah dari sesuatu, dan manusia adalah makhluk tertinggi yang ada di bumi, maka harus ada ma’lumat sabiqah yang pertama untuk pemikiran yang datang dari luar dirinya yang lebih sempurna dan lebih mengetahui, Dialah Al-Khaliq Allah SWT:
Dan Al-Qur’an telah menukilkan kepada kita, yaitu kalaamullah yang al-qoth’I al-tsubuut, bahwa Allahlah yang telah memberikan kepada manusia berupa ma’lumat, firman-Nya:
“ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Malaikat lalu berfirman Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab:”Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahu lagi maha bijaksana”. Allah berfirman:” hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu. Allah berfirman:”Bukankah sudah-Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”(QS. Al-Baqarah 31-33)
Malaikat tidak mampu mengetahui nama-nama benda yang diajarkan kepada Adam karena Malaikat tidak bisa mengidraak / memikirkan nama-nama benda itu, Malaikat berkata: “Tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al Baqarah 32)
Sedangkan Adam dapat memberitahukan kepada Malaikat karena Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, yaitu mengajarkan rahasia sesuatu itu seperti yang dianjurkan Allah kepada Malaikat. Allah memberikan ma’lumat yang pasti, yang dapat memikirkan sesuatu itu. Sehingga ketika Adam dituntut Allah untuk memberitahukan hakekat sesuatu itu kepada Malaikat, Adam dengan menggunakan ma’lumat tersebut mampu menerangkan kepada Malaikat.
Dan inilah awal penggunaan akal oleh Adam dan awal pemikiran terhadap sesuatu yang dibangun atas ma’lumat sabiqah dari sesuatu yang diberitahukan Allah Rabbul’alamin, yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang disembunyikan makhluq-Nya ataupun yang ditampakan, dan ma’lumat ini adalah ni’mat besar yang diberikan kepada manusia, firman-Nya:
”Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.” (QS. Al ‘Alaq 5).
Ma’lumat tersebut adalah inti / butir pemikiran bagi manusia yang bertambah dari sesuatu ke sesuatu dari generasi ke generasi dari zaman ke zaman hingga bermilyar-milyar ma’luumat, sebagai hasil penggunaan manusia pada ma’lumat untuk menghukumi al-assyya dan al-af’aal, sebab pemikiran manusia sebelumnya akan menjadi ma’lumat untuk manusia yang kemudian, dan hal ini akan berlanjut selama kehidupan manusia di bumi.
Lantas bagaimana berhasilnya pemikiran, inilah yang disebut dengan ‘amaliyyatu al-tafkir al-aqli (mekanisme akal dalam berfikir). Ketika manusia melihat, mendengar, mencium, merasakan dan meraba, indera memindahkan realitas ini ke otak melalui syaraf-syaraf indera, sehingga bila di dalam otak ada ma’lumat sabiqah dari realitas yang diindera maka otak akan menyambungkan realitas ini dengan ma’lumat. Proses selanjutnya otak akan memberikan penafsiran terhadap realitas dan mempersepsi / menghukuminya. Semisal kita menyuguhkan tulisan bahasa inggris kepada seseorang yang mempunyai ma’lumat sabiqah tentang bahasa tersebut maka indera mata orang tersebut akan melihat tulisan yang di depannya, kemudian dilanjutkan indera ke otak yang di dalam otak tersebut sudah tersimpan ma’lumat sabiqah terhadap bahasa yang dikirimkan otak, lalu otak tersebut akan memproses apa yang masuk, yang dilanjutkan oleh orang tersebut dengan membaca memahami bahasa tersebut, tetapi bila bahasa tadi disuguhkan kepada orang lain yang tidak mempunyai sedikitpun ma’lumat sabiqah pada bahasa inggris, maka indera penglihat akan melihat tulisan bahasa inggris yang ada di hadapannya.
Walaupun penginderaan terhadap realitas tersebut berulang-ulang hanya jadi sekedar penginderaan saja, tanpa bisa dibuat sebagai hasil dari pemikiran.
Adapun proses berfikir kadang-kadang hadir dengan realitas yang terindera tetapi juga kadang-kadang tanpa terindera hanya tergambar di dalam otak saja. Manusia kadang-kadang berfikir tentang seorang laki-laki yang dia lihat fotonya ketika membaca berita kematiannya di koran, maka foto tersebut akan menjadi ma’lumat di dalam otak dan suatu saat dia bisa mengatakan kepada orang lain bahwa orang yang mati tersebut mulia, karena sebelumnya dia telah memiliki ma’lumat tentang kemulian orang yang mati tersebut.
Kadang-kadang manusia berfikir tentang kapal terbang, dan dia bisa mempresepsi kapal terbang tersebut apakah milik sipil atau militer, dengan mendengar suaranya, karena sebelumnya telah ada ma’lumat yang masuk tentang ciri-ciri kapal terbang.
Penginderaan pada realitas kadang-kadang dengan sampainya indera itu sendiri pada realitas, dengan penginderaan mata dan lainnya , juga kadang terjadi dengan sampainya indera pada realitas tidak secara langsung tetapi berhubungan dengan realitas seperti suara atau gambar. Juga kadang-kadang dengan pengembalian indera pada realitas di dalam otak, tanpa adanya realitas atau bekasnya di dalam pusat indera, hal ini sering digunakan di dalam pembahasan di dalam pemikiran politik, pakar politik bisa memecahkan problema politik melalui kumpulan-kumpulan berita, yang dari itu dapat digambarkan sebuah realitas dan kemudian mengeluarkan ide politik tadi, yang sebetulnya indera tidak mendapatkan realitas secara langsung.
Seperti apa yang telah dianalogikan oleh sebagian orang bahwa ma’lumat sabiqah bisa dihasilkan dari eksperimen seseorang pada dirinya sendiri tanpa dimulai dari ma’lumat sabiqah yang datang dari luar dirinya.
Mereka mengemukakan argumen dengan eksperimen dari binatang, yang kemudian dari sini mereka menganalogikan antara manusia pertama dengan binatang. Di dalam eksperimen tersebut mereka berhasil menjadikan beberapa binatang seperti anjing, kera dan tikus tunduk pada eksperimen mereka, yakni mereka memukul bel setiap kali memberikan makanan pada anjing tersebut dan diulangi setiap kali …. Kemudian pada suatu saat mereka memukul bel tanpa diiringi pemberian makanan maka anjing tersebut mengalir air liurnya.
Dari sini mereka menyimpulkan bahwa ma’lumat sabiqah didapat pada anjing tersebut dengan teori berulang kali eksperimen, dan menghukumi pada realitas dengan menggunakan ma’lumat yang diambil dari eksperimen tadi.
Kemudian mereka menganalisa di padang penggembalaan yang banyak binatannya, binatang-binatang tersebut menjauhi dan tidak mau memakan rumput yang kering, maka mereka menghukumi bahwa binatang faham dan bisa memikiran hakekat sesuatu dengan disandarkan pada eksperimen di atas, yaitu binatang telah mendapatkan ma’lumat untuk menafsirkan realitas yang dihadapi.
Adapun yang benar apa yang dihasilkan dari eksperimen pada anjing di atas adalah rasa naluriah / instink yang berhubungan dengan apa bisa memenuhi rasa naluriah dan apa yang tidak, dan mengetahui secara instink ini adalah hasil dari khasiat yang telah diberikan Allah kepada binatang tersebut, agar bisa menjaga baqa dan nau’nya. Adapun apa yang dihasilkan binatang tersebut adalah pengembalian penginderaan yang dahulu karena hal tersebut bisa memenuhi gharizah atau kebutuhan jasmani maka hasilnya binatang tersebut menahan tidak memakan rumput kering itu, jadi tidak bisa menghukumi esensi dari sesuatu.
Anjing pada eksperimen diatas mendengar suara bel, maka akan muncul reaksi balik pada penginderaan yang dahulu, yakni yang berhubungan dengan pemenuhan rasa lapar berupa makanan, sebab suara bel menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan makanan, yang bisa memenuhi rasa laparnya, maka suara bel tidak ada bedanya menurut anjing dari penglihatannya atau penciumannya pada makanan, maka dua hal ini (makanan dan bel) ada dalam penginderaan yang dahulu yang terkait dengan apa yang bisa memenuhi laparnya.
Dan dari sini menjadi jelas, sekiranya kita memukul bel di dekat telinga anjing lain yang lapar, maka eksperimen di atas tentu tidak berguna, juga tentu air liur anjing tersebut tidak akan mengalir. Dan akan mengalir air liurnya bila melihat atau mencium makanan saja yang bisa memenuhi laparnya.
Adapun binatang tidak bisa berfikir karena otak yang ada padanya kosong dari khaasiyatu al-ribthi (Khasiat bisa menghubungkan ma’lumat/ penginterrelasian antara reliatas dan ma’lumat oleh otak). Jika alat inderanya mengindera suatu realitas, maka otak dan inderanya akan memberikan reaksi balik terhadap sesuatu yang bisa memenuhi gharizah atau haajatu al-udwiyyah saja. Jadi binatang bisa mengindera, tetapi tidak bisa berfikir seperti manusia, firman Allah:
“ Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan dari mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, menahan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).”(QS. Al Furqaan 44).
Dari ayat ini bisa dipahami binatang itu tidak bisa berfikir.
Peneliti dari eksperimen di atas telah melakukan kesalahan, karena mereka menganalogikan antara manusia dengan binatang, padahal manusia mempunyai khaasiyatu al-ribthi sedangkan binatang tidak mempunyai, binatang tidak bisa berfikir sedangkan manusia bisa. Juga kesalahan lain adalah menganalogikan orang yang menyaksikan dengan orang yang tidak ada dan tidak menyaksikan, maka mereka menganalogikan antara manusia yang ada sekarang dengan manusia yang pertama ada. Dan analog yang benar adalah antara manusia dengan manusia, dan analog orang yang tidak ada pada orang yang ada / menyaksikan.
Masih dalam pembahasan tentang manusia, manusia itu ada dan didapatkan kekhususannya, yaitu manusia tidak bisa berfikir tentang sesuatu serta menghukuminya tanpa ada ma’lumat sabiqah, maka faedah apa yang bisa kita petik dari mengetahui cara berfikir manusia pertama ? Pertama: manusia pertama memiliki kekhususan yang sama dengan manusia sekarang, dan dengan ini manusia sekarang tidak bisa berfikir menghukumi sesuatu kecuali dengan ma’lumat sabiqah, begitu juga manusia pertama tidak akan bisa dengan kemampuannya berfikir dan menghukumi sesuatu kecuali dengan ma’lumat sabiqah, dan inilah yang telah diinformasikan oleh Al-Quran tentang ma’lumat sabiqah yang pertama yaitu dari Allah:
“ Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya.”(QS. Al-Baqarah 31)
Firman-Nya lagi:
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. Al ‘Alaq 5 )
Adapun ma’lumat yang terbentuk pada manusia dari proses berulang-ulang pengindraannya yang berhubungan dengan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani adalah ma’lumat yang tidak layak untuk menghukumi sesuatu, karena ma’lumat seperti ini hanya sebatas yang berhubungan dengan bisa dan tidaknya pemenuhan terhadap naluri dan kebutuhan jasmani. Maka khaasiyatu al-ribthi yang terdapat pada otak manusia dan tidak terdapat pada otak binatang, mampu menjadikan inderanya melakukan proses reaksi balik yakni dalam mengembalikan realitas dengan bentuk yang lebih baik dan lebih cepat dari hewan, maka jika disuguhkan kepada manusia sepotong buah yang belum pernah diinderanya, lalu dimakannya dan merasakan rasa serta baunya , dan orang tersebut setelah memakannya merasakan bahwa buah tadi bisa memenuhi kebutuhan jasmani, maka pada suatu saat yang lain orang tersebut melihat melihat buah itu untuk kedua kalinya, maka otaknya akan mengulang kembali ma’lumat dulu yang telah terbentuk sebagai hasil dari penginderaannya yang pertama kali pada buah tersebut, yakni berhubungan dengan rasa, bau dan bisa memenuhi kebutuhan jasmani. Akan tetapi ma’lumat seperti ini mempunyai hubungan denga gharaiz dan hajatu al-udwiyyah tidak berarti dan tidak concern untuk menghukumi terhadap esensi sesuatu materi, atau dalam menghukumi terbentuknya materi tersebut.
Manusia tidak bisa menghukumi buah di atas dengan pernyataan, apakah masak atau mentah juga apakah buah tersebut mengandung gula, garam dan air serta vitamin-vitamin dan lainnya.
Bagaimanapun pengulangan atas penginderaan pada buah tersebut senantiasa akan berkisar pada kesimpulan bahwa buah itu adalah materi yang bisa memenuhi dari rasa lapar saja. Dan jika ingin menghukumi buah tersebut dari segi yang lain maka dibutuhkan ma’lumat sabiqah dari luar otaknya dan dari luar buah tersebut, maka tanpa ma’luumat ini senantiasa pengetahuan pada buah tadi berkisar sama dengan penginderaan hewan.
Dari preposisi di atas timbul masalah, lebih dahulu mana adanya pemikiran dengan al-maddah (materi)? Untuk menjawab pertanyaan ini kami berkata: Materi lebih dahulu dari fikir hal ini dinisbatkan kepada nabi Adam AS, Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda yang ada, sebelum pemberian Adam ma’lumat sabiqah tentang benda-benda tersebut.
Materi telah ada sebelum manusia berfikir, tanpa materi (yang berupa realitas) proses berfikir karena berjalan karena realitas adalah unsur asasi dari unsur-unsur berfikir dan karena pemikiran berfungsi untuk menghukumi realitas (alfikru hukmu ‘ala waaqi’), jka tidak di dapatkan realitas tentu tidak akan didapatkan pemikiran, jadi materi bila dinisbatkan dengan pemikiran adalah lebih dahulu.
Hal diatas bila dinisbatkan dengan manusia, adapun bila materi dinisbatkan dari tidak adanya, telah datang dalil yang jelas dan qath’I, bahwa perintah Allah lebih dahulu dari adanya materi, firman-Nya:
“Sesungguhnya perinyah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “jadilah” maka jadilah ia .”(QS. Yaa Siin 82)
Maka perintah Allah dengan “jadilah” lebih dahulu dari adanya materi, maka Allah Azza Wajalla adalah yang awal tempat bergantung yang tidak bisa disandarkan wujudnya atau sesuatu, justru mahkluklah yang disandarkan wujudnya kepada-Nya, Firman Allah:
“ Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuran dengan serapi-rapinya.”(QS. Al-Furqaan 2)
“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.”(QS. An Nahl 20)


Read More..